“Kenapa, Mbak? Kenapa Mbak menjebak saya dengan minuman itu?”
Setelah berbicara dengan Reygan, Ayrin memilih untuk menemui Veranda–sepupunya di rumahnya. Usai menunggu sekitar dua jam, wanita itu datang dengan penampilan elegan dan wajah segarnya. Sangat kontras dengan keadaan Ayrin saat ini.
Ia menatap kakak sepupunya dengan mata berkaca-kaca, masih tidak menyangka dengan apa yang telah diperbuat olehnya.
Veranda terdiam sejenak, wajahnya terlihat begitu tenang dan tidak terganggu sedikit pun dengan ucapan adik sepupunya itu. Ia menatap Ayrin tanpa penyesalan dan perasaan bersalah sedikit pun. Tampak seringai tipis di sudut bibirnya yang tidak disadari Ayrin.
“Sudahlah, Rin. Mbak hanya mencoba untuk membantu kamu kok. Jangan terlalu diambil pusing!” seru Veranda dengan santai lalu duduk di sofa sambil menyilangkan kaki mulusnya.
“Membantu bagaimana maksudnya, Mbak?” tanya Ayrin dengan nada tidak percaya. “Apa dengan sengaja membuat saya tidak sadar dan masuk ke kamar pria lain….”
Tangis Ayrin pecah sebelum ia sempat menyelesaikan ucapannya. Kata-kata yang ingin ia keluarkan seolah tersangkut di dalam kerongkongannya. Tubuhnya kembali bergetar ketika ingatan tentang ciuman kasar dan penuh hasrat dari seorang pria yang tak pernah terlintas dalam khayalannya itu masih menghantui pikirannya.
Veranda bersedekap sambil menatap Ayrin. “Lalu kamu mau apa, Rin? Reygan itu pria yang baik, tampan, dan sudah mapan. Tidak ada ruginya kamu bersama dia,” Veranda tidak bisa mengusir nada kejengkelan dalam suaranya.
“Tapi dia sudah dijodohkan dengan Daisha, Mbak. Mereka akan menikah, dan Daisha menyukainya,” kata Ayrin sambil menggigit bibir bawahnya, menahan isak tangisnya yang semakin kuat.
“Terus kenapa kalau mereka dijodohkan?” Nada suara Veranda semakin naik. Ia bahkan seperti membentak Ayrin. “Menurutku kamu yang lebih pantas bersama dengan Reygan, Rin, bukan Daisha.”
Ayrin menggelengkan kepalanya, lalu menghapus air matanya. “Saya tidak mau merebut pria yang kakak saya sukai, Mbak. Dan saya juga tidak mau menikah dengan pria yang tidak saya cintai.”
“Cinta?” Veranda berdecih sesaat sebelum melanjutkan kalimatnya. “Sudahlah, Rin. ini semua Mbak lakukan demi kebaikanmu kok. Kamu akan bebas kalau kamu menikahinya, Daisha dan ibumu tidak bisa mengganggumu lagi.”
Raut wajah Veranda berubah kesal, ada seringai tajam yang luput dari adik sepupunya itu. Wanita itu agaknya mulai kehilangan kesabaran.
“Saya takut, Mbak. Saya mau pergi saja,” desah Ayrin ragu.
“Jangan gila kamu, Rin! Bukankah ini kesempatanmu untuk bebas dan membalas mereka yang sudah menyakitimu sejak dulu? Kamu akan kehilangan semua kalau kamu pergi sekarang.”
“Saya tidak mau terjebak dalam pernikahan dengan pria yang tidak saya cintai, apalagi hanya untuk membalas dendam,” bantah Ayrin dengan mantap.
Kekesalannya pada Ayrin sudah mencapai puncak. Setelah mencoba berdiam diri sejenak, Veranda pun melemparkan bom yang diyakininya menjadi senjata ampuh untuk membuat Ayrin menuruti ucapannya.
“Apa kamu tidak bisa menerima Reygan karena kamu masih memiliki perasaan kepada Mas Rayden?”
Ayrin terdiam ketika Veranda menyinggung Rayden, suami sepupunya yang juga kakak dari Reygan. Tubuhnya mulai gemetar, ia bahkan tidak mampu menatap kakak sepupunya itu. Dalam hatinya, Ayrin berharap agar Veranda tidak kegugupannya yang meningkat.
“Tidak, Mbak. Saya tidak mungkin berani memiliki perasaan seperti itu pada Mas Rayden,” sangkal Ayrin sambil meremas-remas jarinya.
“Nah, kalau memang kamu sudah tidak memiliki perasaan apa pun untuk Mas Rayden, menikahlah dengan Reygan!” seru Veranda dengan sengit. “Kalau kamu menolak, itu tandanya kamu memang masih mencintai suamiku!”
Ayrin menggigit bibir bawahnya dengan kuat, ia mengerti sekarang kenapa Veranda begitu bersikeras menyatukannya dengan Reygan. Pastilah wanita itu merasa dirinya adalah pengganggu yang mungkin akan merusak rumah tangganya dengan Rayden.
Sejak dulu, Veranda memang selalu menjadi yang paling peka, mampu membaca perasaannya terhadap Rayden—yang kini menjadi suami Veranda dan ayah dari anak mereka. Tapi tetap saja, itu tidak dapat dijadikan alasan untuk Veranda menjebaknya seperti ini.
Lagipula tidak ada alasan untuk Veranda merasa tersaingi olehnya, sebab dari penampilan saja, Ayrin akan berpikir seribu kali untuk bersaing dengannya.
Wanita itu hampir sempurna, Veranda selalu pintar membawa diri dan menarik, wajahnya cantik, tubuhnya seksi, dan yang terpenting dia adalah pewaris dari Rakasena group yang memang sudah terkenal sebagai salah satu perusahaan teknologi yang berkembang pesat. Jadi, untuk apa dia merasa terancam dengan dirinya yang tidak terlalu memperhatikan penampilan, tidak mudah bergaul, dan juga tidak begitu cantik menurutnya.
“Apa Mbak melakukan ini hanya karena takut saya akan merebut Mas Rayden?”
Pertanyaan yang dipenuhi dengan keputusasaan itu begitu jelas dalam benaknya sehingga Ayrin mengira jika dirinya sudah mengucapkannya dengan lantang sampai ia tersadar Veranda menatapnya seolah masih menunggu jawabannya. Tangan Ayrin terkepal di atas kantong rok denimnya dan ia mulai melemaskannya.
“Saya….”
“Buktikan saja tentang kebenaran ucapanmu tadi, Rin! Kalau kamu memang tidak memiliki perasaan apa pun untuk suamiku.” sela Veranda dengan tidak sabar. Ditatapnya mata gadis itu dengan tatapan penuh arti.
Ayrin pulang ke tempat kosnya dengan lelah. Ia berpikir untuk langsung mandi dan tidur untuk mengistirahatkan tubuhnya yang terasa kaku. Namun, baru sampai beberapa langkah setelah turun dari taksi onlinenya. Ayrin melihat mobil mewah milik ibu tirinya yang sudah berada di halaman indekosnya.Ayrin memutar tubuhnya, bersiap untuk pergi. Namun, sebuah tangan sudah lebih dulu meraih lengannya yang mencengkeramnya dengan kuat.“Mau lari kemana kamu?” tanya Diera dengan sengit lalu menghempaskan tubuh Ayrin hingga terhuyung ke belakang.“Ayrin capek, Ma. Kalau Mama mau bicara lebih baik besok saja,” ujar Ayrin setelah berdiri tegap di hadapan Diera yang menatapnya dengan begitu tajam.“Sudah berani kamu melawan saya? Sudah merasa paling hebat kamu setelah merebut pria yang akan dijodohkan dengan Daisha?” tuntut Diera dengan berapi-api. “Ayrin tidak pernah merebut siapa pun, Ma. Semuanya hanya salah paham,” balas Ayrin dengan tenang. Tatapannya meluncur ke arah Daisha yang baru saja turun
“Aku rasa aku nggak bisa melanjutkan ini, Ra. Gadis itu terlalu rapuh dan dia nggak pantas untuk kita sakiti.” Usai melihat keadaan Ayrin yang begitu menyedihkan–babak belur, tetapi masih kukuh untuk tidak bersuara perihal pelakunya, naluri Reygan perlahan tersentuh. Ia yang tadinya begitu semangat menjalankan rencana apik yang telah disusunnya bersama sang kekasih gelap, kini mulai goyah. “Jangan gila, Rey! Kita sudah sering membicarakan ini. Sudah nggak ada jalan untuk kembali.” Reygan menghela napas panjang, tetapi masih tetap memeluk kekasih yang begitu ia cintai itu dalam dekapannya. “Ceraikan saja Rayden, Ra. Menikahlah denganku. Kita bisa membangun hidup bersama.” Mata itu menatap sungguh-sungguh pada Veranda yang juga tengah menatapnya. Sesaat, raut wajah Veranda berubah kesal. Namun, tak lama ia kembali menguasai diri. “Nggak semudah itu, Rey. Sudah berapa kali aku bilang kalau aku nggak bisa semudah itu untuk bercerai dengan Mas Rayden. Apalagi kami sudah memiliki
“Kenapa kamu bicara seperti itu? Apa kamu sudah gila?” Usai mengeluarkan kalimat menggemparkan, Reygan mengajak Ayrin pulang terburu-buru. Gadis itu menghempas tangan pria itu yang terus menggandengnya, bahkan nyaris menyeretnya paksa menuju mobil pria itu yang diparkir di garasi rumah. “Sudah saya bilang kita akan menikah. Kamu yang tidak mau mendengarkan saya sejak awal. Jadi, sekarang jangan salahkan saya!” Melihat Reygan yang santai, kening Ayrin mengerut dalam. Ia mencoba menerka, rencana apa yang sebenarnya tengah pria ini susun tanpa ia ketahui? “Apa salah saya, kenapa kamu harus melakukan ini?” tanya Ayrin, menuntut penjelasan dengan wajah marahnya. “Kamu tidak salah.” Reygan menatap gadis di hadapannya dengan lembut. “Saya hanya tidak mau menikah dengan kakakmu.” “Dasar bajingan!” Ayrin begitu marah, terlebih melihat pria itu sama sekali tidak merasa bersalah. Padahal, jika pria itu enggan menikahi Daisha, ia bisa langsung menolak perjodohan itu tanpa melibatkannya.
Pernikahan dadakan Ayrin dan Reygan berlangsung dengan gemerlap dan meriah. Sebagai ratu sehari, mereka berdiri di pelaminan dengan pakaian pengantin yang memukau. Ayrin terlihat anggun dalam gaunnya yang berkilauan, sementara Reygan gagah dengan setelan mewah yang membalut tubuhnya. Senyum tak pernah lepas dari bibir mereka, meskipun kelelahan mulai terasa sebab ribuan tamu tak kunjung usai menyalami mereka. Di tengah senyumannya, juga lantunan doa-doa tamu, di kejauhan, Ayrin merasakan ketegangan ketika pandangannya bertemu dengan Rayden, cinta masa lalunya yang kini menjadi kakak iparnya. Pria itu menatapnya dengan tatapan tajam, tanpa ekspresi yang jelas, sambil memegang minuman di tangannya. Ayrin merasa detak jantungnya meningkat, menciptakan getaran aneh di dalam dirinya.Ingatannya tiba-tiba kembali pada saat beberapa tahun lalu ketika Rayden tegak di hadapannya untuk mengakhiri hubungan mereka.“Kita tidak bisa melanjutkan semua ini, Rin. Saya akan menikah dengan Veranda. Se
"Masih belum tidur?" tanya Reygan yang baru saja keluar dari kamar mandi dengan setengah telanjang. Hanya ada handuk yang melingkari pinggangnya, juga sebuah handuk kecil di leher. Tubuh pria atletis itu terlihat begitu segar.Ayrin menoleh, wajahnya memanas. Selama beberapa saat matanya masih tertuju pada otot-otot di tubuh suaminya."Ayrin," panggil Reygan yang membuyarkan lamunannya. "I..iya. Belum. Kamu baru mandi?" Ayrin menggigit bibir bawahnya dan langsung merutuki pertanyaan bodohnya. "Kamu nggak mandi?" Bukannya menjawab, Reygan malah balik bertanya. "Eh... iya. Aku mandi sekarang." Ayrin segera melangkah, melewati Reygan sambil menahan napasnya. Rasa canggungnya masih belum hilang. "Mau saya bantu?" Kata-kata yang Reygan ucapkan dengan tenangnya itu berhasil menghentikan Ayrin."Bantu... bantu apa?" tanya Ayrin dengan gugup."Kamu bisa buka gaun itu sendiri?" tanya Reygan dengan santai. "Bantu buka resleting belakangnya aja," sahut Ayrin setelah cukup lama diam.Reygan
“Sebaiknya berhenti membandingkan diri kamu sama Ayrin.” Veranda tidak berhenti bertanya dan membandingkan dirinyadengan Ayrin. Ciuman dari siapakah yang lebih menggairahkan untuk Reygan? Apakahpria itu menyentuh istrinya sebelum menemui Veranda di sini—di Puncak?Pertanyaan-pertanyaan itu membuat Reygan seketika dikuasaiamarah. Ia telah mengorbankan waktunya dengan meninggalkan sang istri untukmenemui kekasihnya. Namun, yang ia dapatkan justru kecurigaan juga rasaketidaknyamanan dari Veranda. “Kenapa?” wanita itu bertanya dengan pandangan menuntut padaReygan.“Sudah jelas kamu yang menang. Kenapa harus terus cemburusama dia.” Reygan berusaha menenangkan perasaan Veranda di sela pikiran danemosinya juga nyaris tersulut.Veranda mendengus kesal. “Tetap saja aku nggak tenang.Meskipun Ayrin nggak mungkin masuk dalam kategori wanitamu, tapi—”Reygan bisa membaca kegundahan hati Veranda. Tanpa banyakbicara lagi, pria itu merengkuh tubuh Veranda lalu mengurung wanita itu dibawa
“Sudah mau pergi, Mas?” tanya Ayrin yang mengejutkan Reygan. Pria itu terlihat tertegun saat melihat Ayrin yang sudah terjaga. “Kenapa kamu nggak bangunin aku dan selalu pergi diam-diam?” lanjut Ayrin, sementara Reygan masih diam di tempatnya. Sudah tiga minggu telah berlalu sejak Ayrin terbangun tanpa kehadiran Reygan di sisinya. Setiap pagi, rasa kosong itu semakin terasa, menyisakan pertanyaan yang tak terjawab di dalam hati Ayrin. Pada malam di mana Reygan memeluknya, Ayrin merasa seperti ada ikatan yang terjalin. Namun sejak saat itu, semuanya menjadi berbeda. Reygan seperti menghindar darinya.“Tidurmu nyenyak sekali, saya—”“Kamu sudah biasa bangun dan berangkat kerja sepagi ini?” potong Ayrin sambil menatap jam dinding yang menunjukkan pukul 04.15. Reygan belum menjawab, ponselnya sudah bergetar. Ia menatap Ayrin dengan tatapan yang sulit diartikan. “Saya–”Ayrin membungkam ucapan Reygan dan bersuara, “Kalau memang kamu sibuk sekali sampai harus berangkat pukul segini… lai
“Kita nggak bisa bertemu dulu untuk sementara waktu. Jadi, tolong jangan hubungi aku, terutama di hari libur.”Rupanya, kata-kata Ayrin malam itu begitu membekas untuk Reygan. Terbukti, ketika ia bertemu dengan Veranda usai mereka meluapkan hasrat gila, pria itu mengangkat isu ini pada kekasihnya.“Apa maksud kamu?” tuntut Veranda dengan kesal sambil mendongakkan kepalanya ke arah Reygan yang berbaring di sampingnya. Reygan tahu Veranda akan kesal dan marah. Namun, ia juga harus memikirkan posisi Ayrin. Gadis polos tak bersalah itu tidak boleh lagi jadi korban keegoisannya.“Ayrin sudah mulai curiga. Dia sadar aku selalu menghindar,” balas Reygan dengan gemas. “Yang benar aja. Kita ini sudah jarang ketemu, Rey. Setiap hari kamu sibuk di kantor mertuamu. Kita cuma bisa bertemu saat kamu libur… dan sekarang—”“Aku harus gimana lagi, Ra? Sejak awal kan ini rencana kamu.” Reygan mengacak rambutnya dan mengusap wajahnya kasar. Ia memotong ucapan Veranda dengan cepat. Veranda mendengus k
Ayrin duduk dengan gelisah di sebuah bangku kayu yang menghadap kolam. Hatinya dipenuhi dengan berbagai perasaan, harapan, dan kecemasan. Dia terus memandangi jalan setapak yang mengarah ke taman, menunggu kehadiran Lily. Frans telah berjanji untuk membawa gadis itu ke sana, dan saat itu akhirnya tiba.Ketika Lily muncul di kejauhan, melangkah mendekatinya dengan perlahan, Ayrin merasa ada kehangatan yang tak bisa dijelaskan dalam hatinya. Gadis itu tumbuh menjadi remaja cantik, penuh pesona, namun di mata Ayrin, Lily masih seperti anak kecil yang dulu pernah hilang dari pelukannya.Mereka saling pandang untuk beberapa saat, tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Keheningan itu begitu penuh makna, seolah semua yang ingin mereka katakan sudah tercurah dalam tatapan mereka."Lily..." suara Ayrin bergetar saat dia akhirny
Frans tampak gelisah ketika dia menemui Ayrin di tempat prakteknya. Sejenak mereka hanya saling bertatapan, seolah kata-kata yang ingin diucapkan Frans begitu berat untuk disampaikan."Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan, Rin," kata Frans akhirnya, suaranya terdengar gemetar.Ayrin menatapnya dengan cemas. "Ada apa sih, Frans? Kenapa akhir-akhir ini kamu aneh sekali?" desaknya, penasaran dan khawatir karena tidak biasanya Frans datang ke tempat prakteknya dengan ekspresi seperti ini."Kamu tidak sakit, kan?" tuntutnya lagi dengan nada gemetar, takut kalau-kalau ada sesuatu yang buruk terjadi pada sahabatnya.Frans menggelengkan kepalanya perlahan, tatapannya penuh kebimbangan. Dia menatap Ayrin dengan lekat, seakan mencari keberanian dalam pandangannya sebelum akhirnya
"Selamat datang, silakan duduk," sambut Ayrin dengan senyum tulus, matanya berbinar-binar bahagia.Lily dan Frans duduk di tempat yang telah disiapkan, dan tanpa menunggu lama, mereka mulai menyantap hidangan yang telah tersedia. Suasana terasa nyaman dan akrab, seolah mereka sudah menjadi satu keluarga besar."Wah, masakan Tante memang oke juga," puji Lily dengan jujur setelah mencicipi satu suapan. "Semuanya enak, Tan."Ayrin baru akan menjawab, tetapi Rania dengan cepat menyela. "Iya, dong. Masakan Mama emang yang paling enak," ujarnya penuh kebanggaan. Pujian itu membuat semua orang di meja makan tersenyum."Kalau begitu, aku main ke sini setiap hari deh, biar bisa makan enak terus," goda Lily sambil melirik ke arah Rania.
Setelah semua ketegangan ini mereda, Ayrin dan Reygan kembali ke rumah mereka sambil saling bergandengan tangan, perasaan lega dan bahagia terpancar dari wajah mereka."Hai, Sayang," sapa mereka pada anak-anaknya yang tengah duduk bersama di ruang keluarga. Rian dan Rania, yang sedang asyik dengan aktivitas mereka, segera menoleh bersamaan. Melihat kedua orang tuanya datang bersama dengan senyum bahagia membuat hati mereka meledak oleh kebahagiaan."Mama dan Papa nggak akan berpisah, kan?" tanya Rian dengan hati-hati setelah beberapa saat lamanya mereka duduk bersama. Ada kekhawatiran di balik tatapan matanya yang polos, kekhawatiran akan perpisahan yang mungkin terjadi lagi.Reygan tersenyum sambil menoleh ke arah Ayrin, tatapannya penuh kasih. "Bodoh kalau Papa melepaskan wanita sebaik Mama, Rian," katanya dengan
Setelah akhirnya pulih, Ayrin memutuskan untuk menemui Lily bersama Reygan.Saat mereka masuk, mata Lily menatap mereka dengan perasaan campur aduk. Tidak ada lagi sorot tajam dan kebencian seperti dulu. Yang terlihat di sana hanyalah penyesalan yang mendalam. Gadis itu menundukkan kepalanya, suaranya gemetar saat berkata, "Maafkan Lily, Tante. Maafkan sikap Lily selama ini."Ayrin merasakan gelombang kesedihan mengalir di hatinya. Dia mendekati Lily dengan langkah pelan dan mendekap tubuh gadis itu dengan lembut. "Maafkan Tante juga, Lily. Maaf karena sikap Tante membuatmu salah paham. Maaf karena membuatmu tidak nyaman selama ini," balasnya dengan suara bergetar.Lily pun menangis, menumpahkan segala penyesalan dan kesedihannya di dada Ayrin. Dalam dekapan hangat itu, semua ketegangan yang selama ini a
Ayrin menatap wajah Lily yang pucat di ranjang rumah sakit sebelum operasi transplantasi ginjal yang sebentar lagi akan dilakukan. Hatinya serasa diremas melihat betapa rapuhnya gadis itu. Di dalam hatinya, ada perasaan yang tak terlukiskan. Entah dari mana datangnya perasaan ini, setiap kali berada di samping gadis ini, dia merasakan ada tali tak kasat mata yang mengikat mereka, seolah-olah Lily adalah bagian dari dirinya sendiri.Dengan lembut, Ayrin membelai kepala Lily, sentuhan yang penuh kasih dan kelembutan, seakan gadis itu adalah anaknya sendiri. "Cepatlah sembuh, Lily. Cepatlah kembali pulih. Izinkan Tante meminta maaf padamu. Izinkan Tante menjelaskan semuanya," bisik Ayrin dengan suara yang hangat namun penuh harap. Matanya berkaca-kaca, berharap agar gadis itu segera membuka mata indahnya lagi.Jika dulu Ayrin sangat tidak menyukai tatapan Lily yan
Reygan duduk di sudut ruang tunggu rumah sakit, dengan tatapan kosong yang menatap ke langit-langit putih yang terang. Setiap hari, ia merasa tersiksa oleh pertanyaan tak terjawab dan rasa bersalah yang membelit hatinya. Air mata sering kali tak bisa ia tahan lagi, mengalir deras ketika melihat Rania yang terbaring tak sadarkan diri di ranjang perawatan, dan Lily yang masih berjuang untuk hidupnya."Kalau memang dosa-dosaku lah yang menyebabkan semua ini. Tolong limpahkan semuanya padaku, Tuhan. Jangan pada anak istriku. Mereka tidak bersalah. Akulah yang penuh dosa," gumam Reygan dengan suara gemetar, bibirnya bergetar dalam keputusasaan yang mendalam.Tidak hanya Reygan yang dihantui rasa bersalah yang mendalam, tetapi juga Frans. Setiap hari, pria itu duduk di sisi ranjang Lily, memegang tangannya yang lemah, membelai rambutnya dengan penuh kasih sayang. Kat
Reygan melangkah masuk ke dalam klub malam yang gemerlap, tempat di mana dia pertama kali bertemu dengan Lily. Lampu berwarna-warni yang berkedip-kedip dan musik yang menghentak keras tidak mampu mengalihkan perhatiannya dari kekhawatiran yang menghimpit hatinya. Dia menelusuri setiap sudut klub, berharap menemukan gadis itu di antara kerumunan orang. Namun, sia-sia. Lily tidak terlihat di mana pun."Di mana kamu, Lily?" bisiknya putus asa pada diri sendiri, suaranya tenggelam di tengah bisingnya musik. Rasa bersalah semakin mencengkeram hatinya dengan setiap detik yang berlalu tanpa menemukan gadis itu.Dia hampir tergoda untuk mengalihkan perasaannya dengan segelas minuman. Namun, saat tangan terulur menuju bar, ponselnya bergetar. Panggilan dari Ayrin menyentak kesadarannya."Lily, Mas. Kami sudah bertemu d
Ayrin dan Reygan kembali bersama ke rumah sakit. Langkah mereka terayun mantap, seakan sudah menemukan keputusan besar yang akan mengubah segalanya. Ketika Frans melihat mereka, matanya langsung menangkap sinyal yang jelas—Ayrin telah membuat keputusan untuk memaafkan suaminya."Jadi, inikah kejutannya?" kata Frans dengan tenang, matanya yang penuh pengertian menatap dalam ke mata Ayrin. Setelah Reygan pergi ke sudut lain ruangan untuk memberi keduanya privasi, mereka akhirnya mendapatkan kesempatan untuk berbicara."Maafkan aku, Frans," gumam Ayrin sambil menundukkan kepalanya, jemarinya saling meremas dengan gelisah. Dia merasa berat untuk mengucapkan kata-kata itu, tetapi tahu bahwa dia harus melakukannya.Frans mendekat dan memegang kedua pundak Ayrin dengan lembut namun tegas, memaksa wanita itu men