Hendry tersenyum tipis. Ia terkesan dengan keberanian Janu. Juga perjuangannya demi untuk mendapatkan penghasilan tambahan dari tangannya sendiri.
Dari wajah Janu terlihat jelas kalau pemuda itu bahkan tidak memikirkan soal harta warisan. Ia sama sekali tidak peduli pada kekayaan calon mertuanya yang tidak akan habis sampai tujuh turunan.
"Sekarang katakan padaku, akan tinggal dimana kalian setelah menikah?"
Pertanyaan Hendry tersebut sama sekali tidak mengagetkan Janu sebab dari awal ia tidak berharap akan hidup menumpang di rumah mertuanya. Justru Smith-lah yang kembali terkejut mendengarnya.
Pasalnya, Smith sudah sangat berharap akan tinggal di rumah itu setelah ia dan Janu menikah. Smith tidak menghendaki tinggal di tempat lainnya. Sebab ia sangat ingin membuat Sisil dan Sinta angkat kaki dari rumah itu dengan sendirinya karena tidak sanggup lagi menahan sakit hati. Namun sang ayah bertanya seolah dirinya
Sinta memang telah masuk ke dalam kamarnya sejak tadi. Tapi ia sama sekali tidak bisa memejamkan matanya. Jangankan untuk tidur, berbaring saja Sinta tidak betah.Perempuan itu sedari tadi mondar-mandir di samping tempat tidurnya. Ia merasa sangat gelisah karena tidak bisa mengikuti apa yang sedang terjadi di ruang tamu.Apakah lamaran Janu diterima atau ditolak? Apakah setelah ini Smith akan tinggal di rumah itu atau dibiarkan tinggal di luar sana? Dan segala macam pertanyaan yang membuat pikirannya semakin kusut saja."Sial! Aku sudah bertindak sangat bodoh karena membuat suamiku emosi. Sekarang akibatnya aku tidak tahu apa-apa! Bagaimana jika Smith menghasut ayahnya untuk menceraikanku? Bagaimana kalau gadis kepar*t itu meminta ayahnya untuk mencoret Sisil dari daftar pewaris kekayaan. Bangs*t! Kenapa aku harus diam di tempat ini ketika Smith sedang meluncurkan serangannya? Jika aku ada bersama mereka sekarang, aku bi
Sinta berjalan menuju dapur setelah mencium aroma masakan yang menggugah selera. Ia berjalan masih dengan memegangi kepalanya yang sudah hampir pecah karena pikiran kusutnya yang tidak lekas selesai.Namun dalam kondisinya yang sudah seperti orang terkena sakit berat itu, Sinta masih bisa tersenyum lantaran belum dipertemukan dengan wajah putri sambungnya, si Gadis Singa Jantan yang sangat menyebalkan, Smith!"Akan sangat bagus jika gadis itu mengurung diri selamanya di kamar. Sampai mamp*s! Melihat wajahnya bisa membuat amarahku mencapai puncak langit," gerutu Sinta yang mulai memasuki dapur."Iya, Nyonya. Apa Nyonya mengatakan sesuatu?" tanya Bibi Ipah sambil mengecilkan nyala api kompor karena mendengar suara Sinta tapi hanya samar-samar saja."Apa Bi? Tidak ada yang berbicara pada Bibi! Aku bicara sendiri! Eh, tapi kenapa Bibi masak banyak hari ini? Apa akan ada tamu penting yang datang?" kata Sinta setelah meli
Ruang makan kediaman Hendry Sasongko memang selalu membuat takjub siapa pun yang memasukinya. Interior yang sangat mewah tampak sangat memesona dengan lampu hias yang sangat indah.Selain itu, segalanya menjadi tampak sempurna dengan adanya kedamaian di sana. Kedamaian adalah hal yang sangat sukar ditemukan di rumah Hendry. Padahal itu merupakan hiasan paling newah nan berharga yang tidak bisa dibeli, hanya bisa diciptakan. Meski bunyi benturan peralatan makan terdengar berdentingan, tidak ada kegaduhan yang muncul bersama perselisihan di sana.Benar, saat ini makan malam bersama memang sedang berlangsung dengan formasi yang lengkap. Hendry terlihat terus saja menyunggingkan senyum atas ketenangan dan kelancaran acara. Ia sangat senang karena Sinta tidak banyak bicara seperti pada makan malam sebelumnya.Sebenarnya pening di kepala Sinta masih terasa. Tapi ia memaksakan diri untuk tetap mengikuti makan malam itu ka
Smith lekas-lekas berdiri dan berjalan mendekati Sinta. Ia juga menggandeng tangan kiri Sinta dan tersenyum manis layaknya seorang anak yang begitu menyayangi ibunya.Sudah barang tentu hal itu membuat Sinta ingin menepis tangan Smith hingga patah. Tapi apa yang ia lakukan justru menunjukkan sebaliknya. Sinta tersenyum lebar dan menoleh sejenak ke arah suaminya, seperti hendak mengatakan bahwa hubungan dirinya dengan smith sudah membaik. Sebagai balasannya, Hendry mengangguk dengan senyum lebar, juga memberikan acungan jempol kanan.Smith dan Sinta pun berjalan perlahan menuju kamar mandi tanpa membawa kecemasan yang saat ini sedang mendiami halaman hati Sisil. Sisil merasa begitu khawatir kalau-kalau di dalam kamar mandi nanti mamanya dan Smith terlibat dalam pertikaian, yang sampai menggunakan kontak fisik.Sisil sungguh ingin ikut ke kamar mandi untuk memastikan semua baik-baik saja. Tapi Sisil tidak bisa melakukan itu. Ia tidak ingin mengganggu k
Smith dan Sisil kembali ke ruang makan setelah mengantar Sinta beristirahat di kamarnya. Keduanya menunjukkan ekspresi wajah yang sedikit masam mengingat keadaan Sinta yang sedang sakit karena pening di kepalanya yang tidak kunjung membaik meski telah meminum obat sakit kepala.Benar, Smith juga merasa perlu untuk menunjukkan kesedihan di wajahnya supaya sandiwaranya menjadi terlihat lebih nyata. Seolah-olah dirinya memang sudah berubah dan mulai peduli pada keadaan Sinta. Padahal di dalam hatinya, Smith sedang tertawa terbahak-bahak menikmati reaksi Sinta yang sesuai dengan keinginannya. Ia sangat puas telah berhasil membuat ibu tirinya ketakutan."Dimana mamamu? Apa terjadi sesuatu padanya? Kenapa dia tidak ikut kemari bersama kalian?" tanya Hendry dengan wajah yang tampak panik karena Sinta tidak terlihat berjalan bersama kedua putrinya kembali ke meja makan. Lelaki itu sampai berdiri"Sakit kepala Mama sepertinya semakin parah, Ayah. Mama meminta kami unt
Hendry memandang istrinya lekat-lekat. Ia tersenyum tipis melihat Sinta yang terbaring di atas ranjang dengan mata terpejam.Dalam batinnya Hendry berkata, "Kau terlihat sangat manis saat tidak terlalu banyak bicara. Tapi aku tidak ingin melihatmu terbaring sakit seperti ini."Tetiba saja Hendry merasa dadanya menjadi sesak. Ada sesuatu yang membuat tenggorokannya terasa sakit.Dalam saat-saat dirinya duduk di samping Sinta, ingatan Hendry terseret kembali pada almarhum istrinya, Lisa. Ia tidak bisa membayangkan betapa sakitnya hati Lisa karena dalam sakit, sang suami tidak ada di sisinya untuk menguatkan. Justru Hendry sibuk main serong, bahkan tidak kunjung pulang hingga Lisa menemui ajalnya."Sangat wajar jika Smith begitu membenciku. Memangnya apa yang bisa diharapkan dari ayah sepertiku. Sudah pasti gadis itu putus asa menanti kedatanganku. Seandainya aku bisa mengulang waktu, aku pasti akan mendampingimu, Lisa
Sisil mengernyitkan dahi dan berkata, "Memangnya kenapa dengan pernikahan kalian? Apa Ayah memutuskan sesuatu yang bertentangan dengan keinginan kalian?"Smith sengaja ingin mempermainkan perasaan Sisil. Ia tidak segera menjawab pertanyaan yang diajukan, tetapi malah mempersedih ekspresi di wajahnya sembari terus menggelengkan kepala.Smith sungguh senang karena akhirnya air matanya mau keluar juga. Jika tidak, ia berpikir untuk menyimpan bubuk cabai di kantong celananya. Barangkali sewaktu-waktu diperlukan untuk membantu kesuksesan sandiwaranya."Smith, katakan saja. Kita 'kan saudara. Aku tahu mungkin selama ini aku sering membuatmu kesal. Tapi ...."Smith memeluk Sisil. Ia benar-benar harus berusaha keras untuk menahan rasa mualnya yang menggunung. Jijik yang dirasakan Smith bahkan melebihi rasa jijik ketika ia memeluk Janu di rumah sakit.Smith mengumpat pada dirinya sendiri karena melakukan drama yang sedikit berlebihan. Semestinya ia t
Saat telah sampai di depan kamar orang tuanya, niat Sisil untuk menginterogasi sang mama jadi ciut. Kenyataannya, ia tidak sampai hati jika harus membangunkan mamanya yang tampaknya sudah terlelap. Apalagi sampai meminta ayahnya untuk keluar kamar dan meninggalkan dirinya bersama Sinta sesaat. Tapi rasa ingin tahu atas kebenaran yang sangat mengganggunya, juga tidak terbendung.Maka, kini Sisil berdiri di depan pintu kamar orang tuanya. Hanya berdiri. Tanpa bersuara untuk memanggil ataupun mengetuk pintu."Sisil? Apa yang kau lakukan di sini? Jantung Ayah sampai mau copot!" ujar Hendry yang tetiba membuka pintu dan mendapati putri tirinya berdiri mematung di sana. Ia sampai memegangi dadanya karena keterkejutan yang hampir-hampir membuatnya berteriak.Sementara itu Sisil yang tidak kalah kaget atas kemunculan sang ayah yang sangat mendadak, kini hanya meringis tanpa menjawab pertanyaan Hendry."Sayan
Janu menelan ludah setelah mengetahui yang sebenarnya terjadi. Ia menghembuskan napas panjang, menyayangkan kecelakaan yang sampai menewaskan Sinta."Janu, Ayah minta maaf. Kau benar, Ayah sudah melakukan kesalahan besar. Kini semua telah terungkap. Sinta sudah menunjukkan siapa dia sebenarnya.""Tidak, Ayah sudah keliru jika meminta maaf padaku. Ayah tidak punya salah padaku," kata Janu memasang senyum lebar. Sama sekali tidak menunjukkan adanya kemarahan apalagi dendam."Tapi Ayah sudah mengusirmu dari rumah.""Tidak Ayah. Sejak awal itu bukan rumahku. Tapi sejak kecil, Smith telah tinggal dan tumbuh besar di sana. Ada banyak kenangan manis di rumah itu. Jadi, akan lebih tepat jika Ayah meminta maaf pada Smith.""Benar, itu semua benar. Ayah tahu kesalahan Ayah pada Smith tidak akan termaafkan.""Tidak Ayah. Smith sudah berjanji untuk memaafkan Ayah."Janu pun ke luar untuk memanggil Smith. Sesaat kemudian Janu kembali dengan mengga
Bruaaakkk!"Mama!" jerit Sisil saat melihat mobil yang ditumpangi Sinta bertabrakan dengan mobil lain.Sontak saja jalanan sekitar menjadi sangat ramai. Orang-orang mulai berkerumun untuk melihat lebih dekat kecelakaan itu.Sementara itu, Smith masih berada dalam dekapan Janu. Peristiwa kecelakaan itu berada tepat di belakang mereka. Suara dua mobil yang bertubrukan itu terdengar begitu keras di telinga mereka. Kerasnya tabrakan yang terjadi bahkan sampai membuat salah satu mobil terbalik.Sisil langsung menghentikan mobilnya begitu saja, tanpa menepi dulu. Ia ke luar dengan berlinang air mata. Berlari mendekat untuk melihat keadaan mamanya."Mama ...!" jerit Sisil lebih lantang melihat mamanya mengeluarkan banyak darah dari kepala dan telinga.Smith dan Janu langsung menoleh. Mereka mengenal dengan baik suara perempuan yang berteriak itu. Smith dan Janu langsung terbelalak karena mengenal mobil yang terlibat kecelakaan lalu lint
Mendadak Smith dan Janu menjadi buronan banyak orang. Anak buah Hendry dan orang-orang Sinta sedang berusaha keras melacak keberadaan pasangan muda itu. Sedangkan Sisil, diam-diam mengikuti mamanya.Baik Hendry maupun Sinta sama-sama sibuk menghubungi nomor ponsel Smith, tapi jelas tidak tersambung karena ponsel Smith ikut terbakar. Mereka lantas menghubungi Janu, tapi tidak bisa juga. Ponsel Janu terjatuh ketika lelaki itu pingsan."Bangs*t! Lihat saja, kalau aku sampai menemukan kalian, aku pastikan kalian mamp*s!" umpat Sinta sambil mengendarai mobilnya. Sesekali ia menagih informasi hasil dari pencarian anak buahnya.***"Apa kau yakin kau tidak apa-apa?" tanya Smith melihat suaminya yang masih tampak pucat."Aku baik-baik saja. Selama kau bersamaku, aku akan selalu baik," jawab Janu sambil memegang tangan istrinya. Ia juga menyunggingkan senyum yang membuat hati Smith leleh hingga tanpa sadar pipinya memerah.Di dalam angkot itu hanya a
Dengan dada hampir meledak, Hendry membuka pintu rumahnya. Tidak cukup sampai di situ, Hendry juga berteriak-teriak memanggil sang istri.Pak Jono yang melihat hal itu, menjadi sangat takut. Ia tahu majikannya sedang sangat murka setelah mendengarkan pengakuannya.Sejujurnya Pak Jono terhitung nekat. Sinta telah melarangnya untuk mengatakan pada siapa pun bahwa majikannya itu telah pergi ke lingkungan kost Smith. Tapi Pak Jono tidak bisa menyembunyikan apa yang ia ketahui. Tuan Hendry harus tahu semuanya, begitulah pikir Pak Jono."Ada apa, Ayah?" kata Sisil yang baru saja membuka kulkas di dapur untuk mengambil air dingin. Ia Langsung berlari menghampiri sang ayah yang terdengar murka menyebut nama mamanya."Di mana mamamu?" bentak Hendry dengan urat leher yang mencuat.Sisil menelan ludah. Ia tidak mengerti mengapa ayahnya sampai membentak dirinya. Sisil merasa tidak melakukan suatu kesalahan apa pun."Mama ... Mama sedang ke luar, Ayah,"
Sudah barang tentu kalau wajah Hendry tidak bisa menyembunyikan kecemasan yang luar biasa besar melihat lingkungan kost tempat Smith dan Janu tinggal telah hangus terbakar. Bahkan hingga kini api masih diusahakan untuk dipadamkan.Tanpa pikir panjang, Hendry langsung ke luar dari dalam mobilnya. Ia pun berlari mendekat, bertanya pada siapa saja yang ia temui terkait keberadaan putri dan menantunya. Tapi tentu saja semua yang ia tanyai menggeleng. Tidak ada satu pun yang mengenal orang bernama Smith dan Janu. Mereka bahkan tidak tahu siapa lelaki berkemeja hitam yang bertanya pada mereka.Benar, meski Hendry Sasongko adalah pengusaha sukses yang sering muncul dalam koran bisnis ataupun berita-berita di internet, bahkan televisi, kenyataannya sosoknya tidak menjadi penting dan berharga bagi orang-orang pinggiran di sana.Bagi mereka hidup adalah perjuangan tiada akhir. Tidak berjuang artinya tidak akan makan, sama dengan menggali lubang sendiri. Hal-hal terk
Janu melepas sendiri selang oksigen yang terpasang. Ia merasa kurang leluasa untuk berbicara. Tentu saja hal itu membuat Smith menanyakan kondisinya. Smith tampak sangat gusar melihat Janu yang masih pucat dan lemah."Tidak apa. Aku baik-baik saja. Melihatmu ada di hadapanku seperti ini membuatku langsung sembuh. Katakan padaku apa kau terluka? Apa ada tubuhmu yang terkena api?" kata Janu yang merasa seperti satu tahun tidak bertemu dengan istrinya."Sebagai orang yang baru sadar, kau terlalu banyak bicara," tukas Smith dengan wajah kesal, tapi hatinya sangat senang dan lega."Maafkan aku. Aku tidak bisa menahan diri. Selalu ingin berbicara saat bersamamu. Sekarang jawablah, apa kau terluka?""Tidak, aku baik-baik saja. Katakan padaku bagaimana dengan napasmu? Apa masih terasa sesak?" tanya Smith dengan jantung yang nyaris melompat ke luar."Tidak," jawab Janu yang kemudian menghela napas panjang untuk memastikan napasnya memang telah normal.
Smith terbatuk-batuk. Tidak dipungkiri kepulan asap membuat dadanya menjadi sangat sesak. Juga penglihatan yang menjadi sangat terbatas. Ia berkedip beberapa kali karena asap itu juga membuat matanya perih.Janu masih mengira bahwa Smith yang alergi debu menjadi sangat tersiksa karena asap yang memenuhi bilik kost mereka. Ia lekas-lekas mengambil dua pakaian dari dalam lemari dan mencelupkannya ke dalam bak air. Dengan sigap Janu menutupkan baju itu ke hidung istrinya.Dari luar, suara teriakan Pak Herman memberi peringatan pada Smith dan Janu yang masih terperangkap api. Pak Herman menjadi sangat was-was melihat dua sandal yang ada di depan pintu kost nomor empat. Asal tahu saja, bagian depan bilik, termasuk atap dan pintu telah dipenuhi api. Tidak ada jalan bagi Smith dan Janu untuk ke luar."Smith jangan biarkan kain ini lepas dari mulutmu. Aku akan mengambil selimut," kata Janu setengah berteriak. Ia bersicepat menarik selimut putih yang ada di atas ranjang.
Pagi-pagi sekali Sinta telah rapi. Ia mengendap diam-diam ke luar dari kamar, tidak ingin diketahui oleh Hendry. Sinta akan melakukan pekerjaan besar hari ini. Sebuah pekerjaan yang akan sangat menyenangkan jika sampai berhasil dilakukan.Dengan cepat Sinta berjalan menuju lantai dasar. Ia bahkan membuka pintu rumah dengan hati-hati agar tidak ada orang rumah yang mendengar.Sinta tersenyum lebar saat melihat Pak Jono sedang mengelap mobil. Ia pun bergegas menghampiri Pak Jono."Pak, cepat antarkan aku!" perintah Sinta tanpa basa-basi. Semakin cepat ia pergi, akan semakin baik."Ke mana Nyonya?" tanya Pak Jono keheranan. Biasanya majikannya itu lebih memilih untuk ke luar dengan mengemudikan mobil sendiri. Selain itu, hari masih terlalu pagi untuk Nyonya Sinta bangun.Satu-satunya alasan Sinta memilih untuk ke luar diantar Pak Jono adalah lantaran ia tidak tahu pasti lokasi yang dituju sebab belum pernah ke sana. Meski Sinta mengantungi alamatnya,
Pak Jono menghembuskan napas panjang, bingung dengan tujuan dari sang majikan yang memintanya mengantar ke satu tempat dan berpindah ke tempat lain, tanpa tahu apa yang ingin dilakukan.Pak Jono mengamati ekspresi wajah sang majikan yang tampak tetap berkerut dahinya. Ia juga bisa melihat gurat kecemasan yang membuat sang majikan menatap ke arah jendela mobil, memandang entah."Tuan ... " panggil Pak Jono akhirnya setelah tidak mampu lagi menahan rasa ingin tahunya."Ada apa Pak Jono?" sahut Hendry masih dengan kening mengernyit."Apa ... tadi Tuan ingin menemui Bibi Ipah?""Ya," jawab Hendry cepat dan singkat. Seolah sebagai tanda tidak boleh ada dialog lagi sesudahnya.Entah mengapa jawaban Hendry itu membuat Pak Jono menelan ludah. Sejujurnya Pak Jono ingin bertanya lebih lanjut menyoal tujuan majikannya itu menemui Bibi Ipah padahal hari sudah larut dan semestinya majikannya itu tahu kalau panti tentu sudah tutup.Pak Jono j