Sisil berdiri dan hendak mengikuti mamanya yang pergi ke kamar. Batinnya sungguh tidak kuat jika harus menyaksikan apa yang akan terjadi di ruangan itu. Namun Smith menahannya dengan ucapan yang membuat Sisil tidak mampu untuk menolak.
"Walau bagaimanapun, kau adalah saudaraku. Akan sangat bagus jika kau mau tetap tinggal di sini dan menjadi saksi hal penting yang akan terjadi dalam hidupku. Keberadaanmu di sini akan sangat berarti," begitulah kata Smith membuat Sisil duduk kembali di atas sofa.
Smith pikir, semua sandiwara itu dilakukan utamanya untuk Sisil. Untuk membuat hati gadis itu benar-benar hancur berkeping-keping, hingga tidak ada sisa lagi untuk bahagia.
Semua akan menjadi kurang seru jika Sisil meninggalkan ruangan itu. Sisil harus tetap tinggal dan menyaksikan prosesi lamaran yang dilakukan pemuda yang sangat disayanginya pada gadis lain yang merupakan saudara sambungnya sendiri. Tragis. Tapi menyenangkan untuk Smith.
Hendry tersenyum tipis. Ia terkesan dengan keberanian Janu. Juga perjuangannya demi untuk mendapatkan penghasilan tambahan dari tangannya sendiri.Dari wajah Janu terlihat jelas kalau pemuda itu bahkan tidak memikirkan soal harta warisan. Ia sama sekali tidak peduli pada kekayaan calon mertuanya yang tidak akan habis sampai tujuh turunan."Sekarang katakan padaku, akan tinggal dimana kalian setelah menikah?"Pertanyaan Hendry tersebut sama sekali tidak mengagetkan Janu sebab dari awal ia tidak berharap akan hidup menumpang di rumah mertuanya. Justru Smith-lah yang kembali terkejut mendengarnya.Pasalnya, Smith sudah sangat berharap akan tinggal di rumah itu setelah ia dan Janu menikah. Smith tidak menghendaki tinggal di tempat lainnya. Sebab ia sangat ingin membuat Sisil dan Sinta angkat kaki dari rumah itu dengan sendirinya karena tidak sanggup lagi menahan sakit hati. Namun sang ayah bertanya seolah dirinya
Sinta memang telah masuk ke dalam kamarnya sejak tadi. Tapi ia sama sekali tidak bisa memejamkan matanya. Jangankan untuk tidur, berbaring saja Sinta tidak betah.Perempuan itu sedari tadi mondar-mandir di samping tempat tidurnya. Ia merasa sangat gelisah karena tidak bisa mengikuti apa yang sedang terjadi di ruang tamu.Apakah lamaran Janu diterima atau ditolak? Apakah setelah ini Smith akan tinggal di rumah itu atau dibiarkan tinggal di luar sana? Dan segala macam pertanyaan yang membuat pikirannya semakin kusut saja."Sial! Aku sudah bertindak sangat bodoh karena membuat suamiku emosi. Sekarang akibatnya aku tidak tahu apa-apa! Bagaimana jika Smith menghasut ayahnya untuk menceraikanku? Bagaimana kalau gadis kepar*t itu meminta ayahnya untuk mencoret Sisil dari daftar pewaris kekayaan. Bangs*t! Kenapa aku harus diam di tempat ini ketika Smith sedang meluncurkan serangannya? Jika aku ada bersama mereka sekarang, aku bi
Sinta berjalan menuju dapur setelah mencium aroma masakan yang menggugah selera. Ia berjalan masih dengan memegangi kepalanya yang sudah hampir pecah karena pikiran kusutnya yang tidak lekas selesai.Namun dalam kondisinya yang sudah seperti orang terkena sakit berat itu, Sinta masih bisa tersenyum lantaran belum dipertemukan dengan wajah putri sambungnya, si Gadis Singa Jantan yang sangat menyebalkan, Smith!"Akan sangat bagus jika gadis itu mengurung diri selamanya di kamar. Sampai mamp*s! Melihat wajahnya bisa membuat amarahku mencapai puncak langit," gerutu Sinta yang mulai memasuki dapur."Iya, Nyonya. Apa Nyonya mengatakan sesuatu?" tanya Bibi Ipah sambil mengecilkan nyala api kompor karena mendengar suara Sinta tapi hanya samar-samar saja."Apa Bi? Tidak ada yang berbicara pada Bibi! Aku bicara sendiri! Eh, tapi kenapa Bibi masak banyak hari ini? Apa akan ada tamu penting yang datang?" kata Sinta setelah meli
Ruang makan kediaman Hendry Sasongko memang selalu membuat takjub siapa pun yang memasukinya. Interior yang sangat mewah tampak sangat memesona dengan lampu hias yang sangat indah.Selain itu, segalanya menjadi tampak sempurna dengan adanya kedamaian di sana. Kedamaian adalah hal yang sangat sukar ditemukan di rumah Hendry. Padahal itu merupakan hiasan paling newah nan berharga yang tidak bisa dibeli, hanya bisa diciptakan. Meski bunyi benturan peralatan makan terdengar berdentingan, tidak ada kegaduhan yang muncul bersama perselisihan di sana.Benar, saat ini makan malam bersama memang sedang berlangsung dengan formasi yang lengkap. Hendry terlihat terus saja menyunggingkan senyum atas ketenangan dan kelancaran acara. Ia sangat senang karena Sinta tidak banyak bicara seperti pada makan malam sebelumnya.Sebenarnya pening di kepala Sinta masih terasa. Tapi ia memaksakan diri untuk tetap mengikuti makan malam itu ka
Smith lekas-lekas berdiri dan berjalan mendekati Sinta. Ia juga menggandeng tangan kiri Sinta dan tersenyum manis layaknya seorang anak yang begitu menyayangi ibunya.Sudah barang tentu hal itu membuat Sinta ingin menepis tangan Smith hingga patah. Tapi apa yang ia lakukan justru menunjukkan sebaliknya. Sinta tersenyum lebar dan menoleh sejenak ke arah suaminya, seperti hendak mengatakan bahwa hubungan dirinya dengan smith sudah membaik. Sebagai balasannya, Hendry mengangguk dengan senyum lebar, juga memberikan acungan jempol kanan.Smith dan Sinta pun berjalan perlahan menuju kamar mandi tanpa membawa kecemasan yang saat ini sedang mendiami halaman hati Sisil. Sisil merasa begitu khawatir kalau-kalau di dalam kamar mandi nanti mamanya dan Smith terlibat dalam pertikaian, yang sampai menggunakan kontak fisik.Sisil sungguh ingin ikut ke kamar mandi untuk memastikan semua baik-baik saja. Tapi Sisil tidak bisa melakukan itu. Ia tidak ingin mengganggu k
Smith dan Sisil kembali ke ruang makan setelah mengantar Sinta beristirahat di kamarnya. Keduanya menunjukkan ekspresi wajah yang sedikit masam mengingat keadaan Sinta yang sedang sakit karena pening di kepalanya yang tidak kunjung membaik meski telah meminum obat sakit kepala.Benar, Smith juga merasa perlu untuk menunjukkan kesedihan di wajahnya supaya sandiwaranya menjadi terlihat lebih nyata. Seolah-olah dirinya memang sudah berubah dan mulai peduli pada keadaan Sinta. Padahal di dalam hatinya, Smith sedang tertawa terbahak-bahak menikmati reaksi Sinta yang sesuai dengan keinginannya. Ia sangat puas telah berhasil membuat ibu tirinya ketakutan."Dimana mamamu? Apa terjadi sesuatu padanya? Kenapa dia tidak ikut kemari bersama kalian?" tanya Hendry dengan wajah yang tampak panik karena Sinta tidak terlihat berjalan bersama kedua putrinya kembali ke meja makan. Lelaki itu sampai berdiri"Sakit kepala Mama sepertinya semakin parah, Ayah. Mama meminta kami unt
Hendry memandang istrinya lekat-lekat. Ia tersenyum tipis melihat Sinta yang terbaring di atas ranjang dengan mata terpejam.Dalam batinnya Hendry berkata, "Kau terlihat sangat manis saat tidak terlalu banyak bicara. Tapi aku tidak ingin melihatmu terbaring sakit seperti ini."Tetiba saja Hendry merasa dadanya menjadi sesak. Ada sesuatu yang membuat tenggorokannya terasa sakit.Dalam saat-saat dirinya duduk di samping Sinta, ingatan Hendry terseret kembali pada almarhum istrinya, Lisa. Ia tidak bisa membayangkan betapa sakitnya hati Lisa karena dalam sakit, sang suami tidak ada di sisinya untuk menguatkan. Justru Hendry sibuk main serong, bahkan tidak kunjung pulang hingga Lisa menemui ajalnya."Sangat wajar jika Smith begitu membenciku. Memangnya apa yang bisa diharapkan dari ayah sepertiku. Sudah pasti gadis itu putus asa menanti kedatanganku. Seandainya aku bisa mengulang waktu, aku pasti akan mendampingimu, Lisa
Sisil mengernyitkan dahi dan berkata, "Memangnya kenapa dengan pernikahan kalian? Apa Ayah memutuskan sesuatu yang bertentangan dengan keinginan kalian?"Smith sengaja ingin mempermainkan perasaan Sisil. Ia tidak segera menjawab pertanyaan yang diajukan, tetapi malah mempersedih ekspresi di wajahnya sembari terus menggelengkan kepala.Smith sungguh senang karena akhirnya air matanya mau keluar juga. Jika tidak, ia berpikir untuk menyimpan bubuk cabai di kantong celananya. Barangkali sewaktu-waktu diperlukan untuk membantu kesuksesan sandiwaranya."Smith, katakan saja. Kita 'kan saudara. Aku tahu mungkin selama ini aku sering membuatmu kesal. Tapi ...."Smith memeluk Sisil. Ia benar-benar harus berusaha keras untuk menahan rasa mualnya yang menggunung. Jijik yang dirasakan Smith bahkan melebihi rasa jijik ketika ia memeluk Janu di rumah sakit.Smith mengumpat pada dirinya sendiri karena melakukan drama yang sedikit berlebihan. Semestinya ia t