Sinta memang telah masuk ke dalam kamarnya sejak tadi. Tapi ia sama sekali tidak bisa memejamkan matanya. Jangankan untuk tidur, berbaring saja Sinta tidak betah.
Perempuan itu sedari tadi mondar-mandir di samping tempat tidurnya. Ia merasa sangat gelisah karena tidak bisa mengikuti apa yang sedang terjadi di ruang tamu.
Apakah lamaran Janu diterima atau ditolak? Apakah setelah ini Smith akan tinggal di rumah itu atau dibiarkan tinggal di luar sana? Dan segala macam pertanyaan yang membuat pikirannya semakin kusut saja.
"Sial! Aku sudah bertindak sangat bodoh karena membuat suamiku emosi. Sekarang akibatnya aku tidak tahu apa-apa! Bagaimana jika Smith menghasut ayahnya untuk menceraikanku? Bagaimana kalau gadis kepar*t itu meminta ayahnya untuk mencoret Sisil dari daftar pewaris kekayaan. Bangs*t! Kenapa aku harus diam di tempat ini ketika Smith sedang meluncurkan serangannya? Jika aku ada bersama mereka sekarang, aku bi
Sinta berjalan menuju dapur setelah mencium aroma masakan yang menggugah selera. Ia berjalan masih dengan memegangi kepalanya yang sudah hampir pecah karena pikiran kusutnya yang tidak lekas selesai.Namun dalam kondisinya yang sudah seperti orang terkena sakit berat itu, Sinta masih bisa tersenyum lantaran belum dipertemukan dengan wajah putri sambungnya, si Gadis Singa Jantan yang sangat menyebalkan, Smith!"Akan sangat bagus jika gadis itu mengurung diri selamanya di kamar. Sampai mamp*s! Melihat wajahnya bisa membuat amarahku mencapai puncak langit," gerutu Sinta yang mulai memasuki dapur."Iya, Nyonya. Apa Nyonya mengatakan sesuatu?" tanya Bibi Ipah sambil mengecilkan nyala api kompor karena mendengar suara Sinta tapi hanya samar-samar saja."Apa Bi? Tidak ada yang berbicara pada Bibi! Aku bicara sendiri! Eh, tapi kenapa Bibi masak banyak hari ini? Apa akan ada tamu penting yang datang?" kata Sinta setelah meli
Ruang makan kediaman Hendry Sasongko memang selalu membuat takjub siapa pun yang memasukinya. Interior yang sangat mewah tampak sangat memesona dengan lampu hias yang sangat indah.Selain itu, segalanya menjadi tampak sempurna dengan adanya kedamaian di sana. Kedamaian adalah hal yang sangat sukar ditemukan di rumah Hendry. Padahal itu merupakan hiasan paling newah nan berharga yang tidak bisa dibeli, hanya bisa diciptakan. Meski bunyi benturan peralatan makan terdengar berdentingan, tidak ada kegaduhan yang muncul bersama perselisihan di sana.Benar, saat ini makan malam bersama memang sedang berlangsung dengan formasi yang lengkap. Hendry terlihat terus saja menyunggingkan senyum atas ketenangan dan kelancaran acara. Ia sangat senang karena Sinta tidak banyak bicara seperti pada makan malam sebelumnya.Sebenarnya pening di kepala Sinta masih terasa. Tapi ia memaksakan diri untuk tetap mengikuti makan malam itu ka
Smith lekas-lekas berdiri dan berjalan mendekati Sinta. Ia juga menggandeng tangan kiri Sinta dan tersenyum manis layaknya seorang anak yang begitu menyayangi ibunya.Sudah barang tentu hal itu membuat Sinta ingin menepis tangan Smith hingga patah. Tapi apa yang ia lakukan justru menunjukkan sebaliknya. Sinta tersenyum lebar dan menoleh sejenak ke arah suaminya, seperti hendak mengatakan bahwa hubungan dirinya dengan smith sudah membaik. Sebagai balasannya, Hendry mengangguk dengan senyum lebar, juga memberikan acungan jempol kanan.Smith dan Sinta pun berjalan perlahan menuju kamar mandi tanpa membawa kecemasan yang saat ini sedang mendiami halaman hati Sisil. Sisil merasa begitu khawatir kalau-kalau di dalam kamar mandi nanti mamanya dan Smith terlibat dalam pertikaian, yang sampai menggunakan kontak fisik.Sisil sungguh ingin ikut ke kamar mandi untuk memastikan semua baik-baik saja. Tapi Sisil tidak bisa melakukan itu. Ia tidak ingin mengganggu k
Smith dan Sisil kembali ke ruang makan setelah mengantar Sinta beristirahat di kamarnya. Keduanya menunjukkan ekspresi wajah yang sedikit masam mengingat keadaan Sinta yang sedang sakit karena pening di kepalanya yang tidak kunjung membaik meski telah meminum obat sakit kepala.Benar, Smith juga merasa perlu untuk menunjukkan kesedihan di wajahnya supaya sandiwaranya menjadi terlihat lebih nyata. Seolah-olah dirinya memang sudah berubah dan mulai peduli pada keadaan Sinta. Padahal di dalam hatinya, Smith sedang tertawa terbahak-bahak menikmati reaksi Sinta yang sesuai dengan keinginannya. Ia sangat puas telah berhasil membuat ibu tirinya ketakutan."Dimana mamamu? Apa terjadi sesuatu padanya? Kenapa dia tidak ikut kemari bersama kalian?" tanya Hendry dengan wajah yang tampak panik karena Sinta tidak terlihat berjalan bersama kedua putrinya kembali ke meja makan. Lelaki itu sampai berdiri"Sakit kepala Mama sepertinya semakin parah, Ayah. Mama meminta kami unt
Hendry memandang istrinya lekat-lekat. Ia tersenyum tipis melihat Sinta yang terbaring di atas ranjang dengan mata terpejam.Dalam batinnya Hendry berkata, "Kau terlihat sangat manis saat tidak terlalu banyak bicara. Tapi aku tidak ingin melihatmu terbaring sakit seperti ini."Tetiba saja Hendry merasa dadanya menjadi sesak. Ada sesuatu yang membuat tenggorokannya terasa sakit.Dalam saat-saat dirinya duduk di samping Sinta, ingatan Hendry terseret kembali pada almarhum istrinya, Lisa. Ia tidak bisa membayangkan betapa sakitnya hati Lisa karena dalam sakit, sang suami tidak ada di sisinya untuk menguatkan. Justru Hendry sibuk main serong, bahkan tidak kunjung pulang hingga Lisa menemui ajalnya."Sangat wajar jika Smith begitu membenciku. Memangnya apa yang bisa diharapkan dari ayah sepertiku. Sudah pasti gadis itu putus asa menanti kedatanganku. Seandainya aku bisa mengulang waktu, aku pasti akan mendampingimu, Lisa
Sisil mengernyitkan dahi dan berkata, "Memangnya kenapa dengan pernikahan kalian? Apa Ayah memutuskan sesuatu yang bertentangan dengan keinginan kalian?"Smith sengaja ingin mempermainkan perasaan Sisil. Ia tidak segera menjawab pertanyaan yang diajukan, tetapi malah mempersedih ekspresi di wajahnya sembari terus menggelengkan kepala.Smith sungguh senang karena akhirnya air matanya mau keluar juga. Jika tidak, ia berpikir untuk menyimpan bubuk cabai di kantong celananya. Barangkali sewaktu-waktu diperlukan untuk membantu kesuksesan sandiwaranya."Smith, katakan saja. Kita 'kan saudara. Aku tahu mungkin selama ini aku sering membuatmu kesal. Tapi ...."Smith memeluk Sisil. Ia benar-benar harus berusaha keras untuk menahan rasa mualnya yang menggunung. Jijik yang dirasakan Smith bahkan melebihi rasa jijik ketika ia memeluk Janu di rumah sakit.Smith mengumpat pada dirinya sendiri karena melakukan drama yang sedikit berlebihan. Semestinya ia t
Saat telah sampai di depan kamar orang tuanya, niat Sisil untuk menginterogasi sang mama jadi ciut. Kenyataannya, ia tidak sampai hati jika harus membangunkan mamanya yang tampaknya sudah terlelap. Apalagi sampai meminta ayahnya untuk keluar kamar dan meninggalkan dirinya bersama Sinta sesaat. Tapi rasa ingin tahu atas kebenaran yang sangat mengganggunya, juga tidak terbendung.Maka, kini Sisil berdiri di depan pintu kamar orang tuanya. Hanya berdiri. Tanpa bersuara untuk memanggil ataupun mengetuk pintu."Sisil? Apa yang kau lakukan di sini? Jantung Ayah sampai mau copot!" ujar Hendry yang tetiba membuka pintu dan mendapati putri tirinya berdiri mematung di sana. Ia sampai memegangi dadanya karena keterkejutan yang hampir-hampir membuatnya berteriak.Sementara itu Sisil yang tidak kalah kaget atas kemunculan sang ayah yang sangat mendadak, kini hanya meringis tanpa menjawab pertanyaan Hendry."Sayan
"Tenanglah Ayah. Menangis seperti ini tidak ada gunanya. Sampai kapan pun Ibu tidak akan pernah bisa hidup lagi. Akan lebih baik jika kita mendoakannya saja. Semoga Ibu tenang di sana," jawab Smith yang mengelus lengan ayahnya."Ya, kau benar. Ayah sudah sangat menyusahkan ibumu ketika dia masih hidup. Ayah tidak ingin membuat dia tidak tenang di alam sana karena segala keluh-kesah Ayah. Kalau begitu besok Ayah akan pergi ke makam ibumu. Apa kau akan ikut bersama ayah?"Smith mengangguk dengan senyum serta air mata. Ia sangat senang karena akhirnya Hendry telah menyadari semuanya setelah bertahun-tahun hanya mendengarkan ucapan Sinta.Hal itu tentu akan berdampak baik pada rencana Smith untuk membalaskan dendam pada Sinta dan Sisil. Smith tahu, sesudah ini ayahnya akan selalu ada di pihaknya."Aku mungkin bisa memaafkan kesalahan Ayah. Tapi sampai kapan pun, aku tidak akan pernah bisa memaafkan