Tio bergeming membocorkan sendu kepergiannya yang penuh amarah. Ia menyesal telah melakukan hal itu kepada anak dan istrinya, ia harus bertanya dulu apa yang terjadi sebenarnya menuduh Zara bahkan mengatakan dengan keras. Silvi mencoba menggenggam tangan sang suami yang terasa dingin, berharap untuk memberikan kehangatan."Mas...." lirih Silvi.Tio mengusap wajahnya kasar, kemudian menghela napas. Ia tahu jika sifat terlalu keras kepala. Sampai sekarang pun Sherly belum bisa menerima kehadiran Silvi sebagai Ibu sambungnya, dan sekarang ia dihadapkan dengan pilihan yang sulit yaitu antara anak kandungnya dan wanita yang ia cintai dengan ibu kandung dari anaknya. Tio menolek ke arah Silvi, dan menatap dengan lembut."Maafkan sikap Sherly tadi ya sayang." ucap Tio sembari mengelus punggung tangan Silvi yang memegang tangannya."Nggak Mas, Sherly gak salah. Aku yang salah.""Sssttt, sudah tidak ada yang salah dalam hal ini. Semua ini sudah menjadi takdir kita.""Untuk sementara kamu tingg
Sekarang yang harus bagaimana caranya membongkar kedok Jihan didepan semua orang, ia akan menemukan terlebih dahulu apa motif dari perempuan itu hingga akhirnya seperti itu. kepastian tanpa segetahuan dari Riri Dan ia juga ingin tahu mengapa dulu wanita itu sampai rela mengaku hamil anak Rian, ia masih sangat penasaran dengan itu. "Joana, heii. Jo, kamu melamun?" ujar Riri dengan memanjakan didepan wanita itu."Ah, iya Kak. Ada apa?""Tidak ada, hanya saja tadi dipanggil kamu.""Haha serius kak?""He he, gak ding bercanda. Lagian kamu dari tadi melamun saja, ada apa?""Hah, dasar Kakak! Gak, siapa yang melamun?""Mmmmhhhh..."Joana nampak bimbang ingin tertarik dengan Jihan keada sang Kakak, karena mengkhawatirkan kondisi Riri dan calon keponakannya. Riri yang menyadari raut bingung dari wajah Joana, pun menggenggam tangan gadis itu berusaha keras jika dia baik saja."Ada apa? Apa ini masalah Rian lagi?" tanya Riri lembut."Bukan Kak, ini bukan masalah Rian kok.""Lalu? Cerita aja s
"Maaf! Gak akan pernah Mas, aku gak sudi dimadu!" tegas Zara dengan penuh amarah.Seharusnya Tio bisa memahami peradaan Zara yang tak ingin berbagi suami dengan wanita lain, namun mengapa sekarang malah ia yang memohon mohon dengan wajah memelas seperti itu."Zara please, aku mohon agar kamu berubah fikiran lagi!""Maafkan aku Bu, yang tidak bisa menjadi menantu terbaikmu."Bukannya menjawab ucapan sang suami, Zara justru berbicara kepada Ibu mertuanya."Tidak Zara, sampai kapanpun kamu akan tetap menjadi menantu Ibu yang terbaik."Zara benar benar tak bisa mengerti jalan pikiran Tio, mengapa dia mati matian membujuk Zara untuk mau menerima Silvi sebagai adik madunya. Apakah bagi Tio satu wanita saja tidak cukup, sehingga ia memghadirkan wanita lain dalam kehidupan rumah tangga mereka? Bukankah yang ada malah dia mencari penyakit saat semuanya masih baik baik saja.Zara lebih memilih diam, ia mencoba meredam rasa amarah dan kecewa yang timbul akibat perkataan Tio. Ia menarik napasnya
Keesokan harinya Pak Yuda benar benar datang menemui Rian, ia tidak mau kehidupan kedua putrinya yerus terusan diusik oleh keluarga mantan menantunya itu. Ia akan berbicara dengan pelan pelan, supaya perkataannya bisa diresapi oleh menantunya yang satu itu."Yan..." panggil Pak Yuda."Pa, silakan duduk. Mau pesan apa?""Papa, kopi hitam aja."Hening seketika sampai pesanan mereka datang pun keduanya masih bergeming dan berkelut dengan fikirannya masing masing. Pak Yuda memandang Rian yang terlihat gelisah duduknya seperti seseorang yang tengah menahan BAB, tak tahu saja jika Rian saat ini sudah panas dingin karena Pak Yuda yang tiba tiba mengajaknya bertemu. Rian sangat cemas sekarang sampai duduknya pun menjadi gelisah."Rian." panggil Pak Yuda."I-iya Pa.""Kamu tahu kenapa saya mengajak kamu untuk bertemu?" tanya Pak Yuda.Rian menggeleng pelan, "Enggak tahu Pa." jawab Rian membuat Pak Yuda menghela napas pelan."Langsung saja ya, saya cuma mau bilang sama kamu tolong jangan ganggu
"Sudah biarkan saja, kan sekarang kamu sudah punya aku. Ngapain mikirin mereka segala! Senyum dong." ucap orang itu.Silvi tersenyum manis didepannya, ia membalas genggaman tangan orang yang berada didepannya.Drt drtPonsel yang ada disakunya bergetar, terdapat panggilan masuk didalamnya. Membuat orang itu terpaksa melepas genggaman tangan Silvi."Siapa?" tanya Silvi."Bos."Silvi menyuruhnya untuk segera mengangkat telepon dari Mas Tionya itu, sementara dia akan diam saja berpura pura tak ada disamping orang tersebut.[Iya Pak, ada apa?][No, kamu dimana? Kamu sedang bersama Ibu tidak, kok saya coba hubungi Ibu tapi gak bisa ya?]Ya orang yang saat ini sedang bersama dengan Silvi adalah Nino, supir yang dipercaya oleh Tio untuk mengantar Silvi kembali ke rumah Ibunya kemarin. Namun tanpa diketahui oleh semua orang, Nino dan Silvi sudah menjalin sebuah hubungan sejak tiga bulan yang lalu.Nino, pria muda yang tampan dan bertubuh tegap. Lelaki berperawakan tinggi atletis yang mampu m
"Sayang, boleh aku bertanya sesuatu?" tanya Silvi sambil menyandarkan kepalanya di dada bidang kekasih gelapnya yang masih balum memakai baju."Apa yang ingin kau tanyakan sayang?""Hmmm, sampai kapan yah kita bakal seperti ini? Menjalin hubungan backstret gini." tanya Silvi."Kenapa? Apa kau sudah mulai bosan denganku?""Bukan begitu, hanya saja aku sepertinya sudab tidak tahan jika harus terus bersembunyi sembunyi seperti ini.""Ya sudah kalau begitu, tinggalkan suamimu yang sudah tua itu dan pergilah denganku.""Mmmh, maaf ya yah. Tapi apa kamu sanggup menanggung semua biaya hidup aku nantinya? Bukan aku mau meremehkan kamu sayang, tapi saat ini pekerjaan kamu juga hanya sebagai supir pribadi Mas Tio kan?" ucap Silvi dengan penuh hati hati, ia tidak ingin kekasihnya itu menjadi marah dengannya."Kamu tenang saja, aku sudah punya tabungan yang cukup banyak kok. Tinggal sebentar lagi, lagian kalau misalkan kamu berpisah dengan bos bukankah kamu akan mendapatkan harta gono gini? Kan i
Joana tak ingin terlalu lama terlarut dalam kesedihannya, ia bersiap siap untuk ke butik sang Ibu untuk membantu mengelolanya seperti biasa. Dengan pakaian yang rapi, sederhana namun terlihat elegan ditambah dengan riasan tipis diwajahnya menambah memancarkan aura kecantikan dari perempuan itu.Ia berjalan anggun memasuki butik sang Ibu, dengan wajah tersenyum cerah. Senyum yang cantik ditampilkannya kepada siapapun yang berpapasan dengannya disana, ia ingin dunia tahu bahwa ia baik baik saja walaupun perpisahan didepan mata."Pagi Mbak...""Ya, pagi." jawab Joana sumringah.Ia terus berjalan menuju ruangannya untuk mencari tas, barulah ia akan ke ruangan sang Ibu setelahnya. Tak ada yang tahu betapa sedihnya hati ini, karena Joana sangat pandai menyembunyikan luka tersebut. Ia tidak ingin mengekspresikan perasaannya di depan orang lain."Pagi Ma." sapa Joana begitu ia memasuki ruangan Ibunya."Pagi sayang, wahh ada apa nih kamu terlihat begitu berbinar sekali hari ini?""Oh ya, Ma ma
Sudah beberapa bulan sejak pertengkaran Tio dan Zara waktu itu, nyatanya permasalahan mereka masih saja tetap sama. Zara sudah melayangkan gugatan cerai untuk Tio, namun lelaki itu terus saja menolak dan tidak mau menandatangani surat tersebut. Meskipun tak memungkiri jika Zara sakit bila pernikahannya yang selama ini berjalan harus tandas ditengah jalan."Apakah keputusanmu tidak bisa diubah lagi?" tanya Tio.Zara duduk ditepi ranjang kamarnya, menghadap ke arah jendela dan membelakangi sang suami."Andai saja kamu tak menghadirkan orang ketiga dalam biduk rumah tangga kita, tentunya aku tak akan melakukan gugatan ini. Tapi batas kesabaranku sudah cukup." jawab Zara tanpa menoleh ke arah sang suami.Ya alasan yang tepat untuk Zara memutuskan semuanya, dan membuat Tio bergeming dan tak bisa menjawabnya. Untuk sesaat Tio memikirkan semuanya."Baiklah, jika kamu memilih untuk bertahan berarti kita lanjut. Tapi ternyata kamu tak mau dimadu bahkan sudah melayangkan gugatan cerai kepadaku.