"Nona, sudah sampai di rumah sakit," kata Pak Sopir mengingatkan sambil menoleh ke belakang.
"Ini...?" Pak Sopir tidak tahu harus berbuat apa melihat nona yang hampir ditabraknya tadi sepertinya tertidur.Entah kapan Asrina mulai tertidur ditengah tangisannya yang tak kunjung berhenti. Mungkin dia kelelahan setelah menangis begitu banyak dan tertidur."Tuan, Nona itu sepertinya tertidur. Apa yang harus kita lakukan?" tanya Pak Sopir melihat ke arah bosnya.Mendengar pertanyaan Pak Dodi, Arbian mengangkat kepalanya dari dokumen di tangannya dan melirik ke arah Asrina. Arbian tidak mengerti kenapa wanita ini bisa tertidur begitu saja di mobilnya. Tidakkah dia merasa khawatir, dimana kewaspadaannya sebagai orang asing yang tidak mengenal bisa-bisanya dia tidur seperti itu."Kembalilah ke vila," ucap Arbian kemudian. Dia tidak tahu dimana tempat tinggal wanita itu dan dia tidak mau membangunkannya.Ya, Arbian tidak suka ikut campur dalam urusan orang lain, termasuk berbicara dengan orang asing.Hari sudah hampir petang lebih baik membawanya ke vilanya daripada menunggunya bangun di sini."Baik, Tuan." Pak Dodi mengangguk patuh dan menjalankan mobil menuju vila Tuan Arbian.Dibutuhkan waktu satu jam berkendara ke vila, Arbian menutup dokumen ditangannya dan mengusap pangkal hidungnya merasa lelah seharian bekerja. Arbian memejamkan mata mencoba beristirahat sejenak.ꕤSebuah Rolls-Royce Phantom melaju kedepan gerbang komunitas kaya, pintu gerbang segera dibuka oleh penjaga keamanan melihat mobil yang datang. Rolls-Royce Phantom terus melaju masukin komunitas melewati rumah-rumah mewah berlantai dua dan tiga hingga berhenti di depan sebuah rumah besar berlantai dua dengan nomor 9.Pak Dodi menghentikan mobil dan melirik ke kaca spion. "Tuan, kita sudah sampai," ucapnya mengingatkan.Pak Dodi melihat bosnya memejamkan mata seperti tertidur. Pak Dodi berbalik sekali lagi memanggil dengan suara yang sedikit lebih keras. "Tuan."Arbian merasakan seseorang memanggilnya segera membuka matanya dan bertemu dengan pandangan ingin tahu dari Pak Dodi. Arbian kemudian duduk tegak, mengusap kedua alisnya, lalu melirik wanita di sampingnya yang masih tertidur."Bawa dia ke dalam," ucap Arbian pada Pak Dodi sebelum turun dari mobil."Baik, Tuan."Pak Dodi turun dari mobil, membuka pintu penumpang belakang dan membangunkan Asrina. "Nona bangun. Kita sudah sampai." Pak Dodi berkata dengan sedikit keras takut wanita itu tidak akan mendengar kalau suaranya kecil.Asrina mendengar seseorang berteriak di telinganya perlahan bangun, membuka mata, dan melihat seorang pria paruh baya berdiri di luar mobil."Nona sebaiknya tidur di dalam, jangan di sini." Pak Dodi berkata melihat Asrina membuka matanya.Asrina yang setengah sadar mengangguk patuh mengikuti Pak Dodi menuntunya ke dalam vila hingga memasuki kamar tidur. Asrina yang masih sangat mengantuk dengan mata berat akibat menangis tidak bisa membuka matanya dengan jelas. Dia hanya berjalan secara mekanis menuju tempat tidur dan berbaring di sana melanjutkan tidurnya yang terganggu.Pak Dodi melihat Asrina memasuki kamar dan tertidur kembali membantunya menutup pintu sebelum pergi.ꕤꕤꕤSetelah menangani berbagai dokumen di ruang kerja, Arbian masuk ke kamarnya. Kamar Arbian gelap hanya menyisakan sedikit cahaya kuning dari lampu tidur. Tanpa menyalakan lampu, dia langsung berjalan ke tempat tidur sedikit mengernyit melihat tonjolan di atas kasur.Sepertinya bibi tidak membersihkan kamarnya hari ini. Pikir Arbian.Arbian mengangkat selimut dan berbaring di atas ranjang menutup matanya. Tidak lama kemudian suara napas yang berirama terdengar di dalam ruangan.Keseokan harinya Arbian terbangun sesuai jam biologisnya. Dia merasakan sesuatu menekan perutnya. Mengangkat selimut, dilihatnya sebuah tangan ramping, putih, halus, dan kecil tergeletak di atas perutnya.Arbian mengalihkan pandangannya mengikuti arah tangan itu dan melihat seorang wanita cantik berbaring di sampingnya tengah tertidur. Dia ingat wanita inilah yang kemarin hampir tertabrak mobilnya dan tertidur saat dibawa ke rumah sakit.Arbian tidak menyangka wanita ini masih ada di rumahnya dan bahkan tidur bersamanya sepanjang malam. Arbian meraih tangan wanita itu yang berada di atas perutnya, meletakkannya di samping. Setelah itu, dia bangun dan bersandar di kepala ranjang sambil menatap wanita yang tidur lelap di sebelahnya dengan kerumitan di matanya.Beberapa saat kemudian, Arbian turun dari tempat tidur dan menuju ruang kerja.Satu jam setelah kepergian Arbian, Asrina membuka matanya perlahan. Melihat langit-langit ruangan yang asing membuatnya langsung duduk dan melihat sekeliling dengan waspada."Dimana ini? Ini bukan kamarku!" seru Asrina waspada.Ruangan itu terlihat dingin didominasi oleh warna putih. Asrina mengingat kembali kejadian kemarin dimana tunangannya berselingkuh dan memutuskan pertunangan mereka. Mengingat hal itu membuatnya merasa sedih lagi dan akan menangis.Asrina juga ingat kalau dia hampir ditabrak mobil dan menumpang mobil itu."Apa ini rumah pemilik mobil?" gumam Asrina.Asrina merasa wajahnya lengket dan kering. Dia pun bangun dari tempat tidur dan berjalan menuju kamar mandi.Setelah mencuci muka, Asrina keluar dari kamar mandi dan meninggalkan kamar. Asrina turun ke lantai pertama dan melihat seorang pria berjas tengah sarapan di meja makan."Ah, Nona sudah bangun. Ayo sarapan dulu," ucap Bibi Yupi melihat Asrina berdiri di tengah tangga.Bibi Yupi adalah pembantu di vila ini yang bertugas untuk memasak dua kali sehari dan membersihkan kamar Arbian. Bibi Yupi merupakan istri Pak Dodi, jadi dia sudah tahu kalau ada nona muda yang tinggal bersama tuan. Suaminya telah menceritakan semuanya padanya kemarin.Arbian terus menikmati sarapannya tanpa menoleh saat mendengar suara Bibi Yupi.Asrina tersenyum pada Bibi Yupi yang terlihat sangat ramah. "Terima kasih, Bibi." Asrina berkata, lalu turun menuju meja makan.Duduk di meja makan, Asrina memperhatikan pria yang duduk di sampingnya. Pria itu membenamkan diri menyantap sarapan di depannya dengan sangat elegan. Dia terlihat sangat tampan, seperti pangeran di negeri dongeng. Cara makannya sangat standar, sepertinya sudah di praktikkan berkali-kali."Terima kasih telah membiarkan aku tinggal di rumahmu. Namaku Asrina," ucap Asrina memulai percakapan."Arbian," kata pria itu singkat."Maaf telah merepotkan kamu," ucap Asrina merasa malu tinggal di rumah orang yang tidak dikenalnya.Asrina melirik Arbian yang hanya fokus makan, tidak tahu harus berkata apa lagi dia pun diam.Melihat sarapan di depannya membuat Asrina merasa malu. Etiket makannya sangat buruk, tidak bisa dibandingkan dengan pria itu. Apalagi sarapan ala barat seperti ini.Asrina si anak manja selalu dilayani oleh mamanya saat makan. Sebagai orang kaya Asrina telah belajar etiket sejak kecil, tapi selalu malas untuk belajar. Cinta orang tuanya membuatnya suka melakukan hal-hal semaunya.Setelah sarapan Arbian mengeluarkan sebuah dokumen dan meletakkannya di depan Asrina.Asrina melirik dokumen yang tiba-tiba muncul, kemudian menatap Arbian penuh tanya mencari tahu apa maksudnya."Aku ingin kamu berpura-pura jadi istriku. Aku akan memberimu uang sebanyak yang kamu mau," jelas Arbian langsung ke intinya."Hah?" Asrina terkejut mendengar ucapan Arbian. Dia membuka dokumen itu dan membaca isinya."Tidak! Aku tidak mau." Tolak Asrina melemparkan dokumen ke atas meja."Meskipun kamu membantuku dengan membiarkanku tinggal dan makan di rumah mu, bukan berarti aku akan memberikan diriku padamu!" Tegas Asrina marah.Dokumen itu berisi perjanjian dimana Asrina akan berpura-pura menjadi istri Arbian selama satu tahun. Dimana mereka akan tinggal bersama layaknya suami istri pada umumnya dan Arbian akan memberikan sejumlah uang kepada Asrina sebagai bayaran.Asrina sangat marah setelah membaca isi kontrak itu. Melihat Evan mencium wanita lain dia tidak semarah ini, dia hanya merasa sedih. Permintaan Arbian sudah melewati batas moral, tidak mungkin dia tinggal serumah atau bahkan tidur sekamar dengan pria yang tidak dicintainya.Yang tidak diketahui Asrina mereka sudah melakukan itu semua tanpa dia sadari."Kamu bisa menghubungiku jika berubah pikiran. Aku sudah meminta Pak Dodi untuk mengantarmu kembali," kata Arbian berdiri dari kursi sambil mengeluarkan kartu nama dan meletakkannya di depan Asrina tanpa memberikan penjelasan tambahan. Kemudian, dia meninggalkan ruang makan.Asrina melirik kartu nama yang diletakkan Arbian. Di kartu nama itu tertera "Arbi Corporation".Melihat nama itu, Asrina mengambil kartu nama tersebut dan memasukkannya ke dalam tas.ꕤꕤꕤꕤꕤSetelah hari itu, Asrina mengurung diri di rumah. Asrina tidak memberitahu orang tuanya mengenai Evan yang memutuskan pertunangan mereka. Dia tidak ingin orang tuanya khawatir. Duduk di meja makan, Asrina menikmati sarapan yang dibuat oleh mamanya. "Ada yang ingin Papa katakan pada kalian," ucap Pak Morael menatap istri dan putrinya. "Apa Pa?" tanya Asrina penasaran. "Heh ... kita harus pindah dari rumah ini hari ini juga," kata Pak Morael dengan wajah berat. "Apa!""Papa bercanda kan?"Bu Kinanti dan Asrina berkata bersamaan. Pak Morael menggelengkan kepalanya. "Perusahaan sedang mengalami krisis keuangan. Para investor telah menarik dana mereka dan pihak bank tidak mau memberikan pinjaman. Papa terpaksa harus menjual rumah ini dan barang-barang lain untuk mengisi kekosongan dana perusahaan."Ucapan Pak Morael seakan menjatuhkan bom bagi Asrina dan Bu Kinanti. "Ini? Bagaimana bisa? Terus apa yang harus kita lakukan sekarang?" tanya Bu Kinanti panik. Asrina menggigit bibirnya
Hilya membawa Arbian dan Asrina berjalan-jalan hingga ke depan tempat perjamuan saat tiba-tiba seorang wanita paruh baya mengahapiri Hilya. "Hilya, kemana saja kamu? Mama sudah mencarimu sejak tadi. Ayo ikut Mama," kata wanita itu menarik tangan Hilya. Hilya melirik Arbian dan Asrina meminta maaf. "Tuan Arbian maaf saya harus pergi dulu. Asrina kamu bisa menemani Tuan Arbian sebentar, ya." Hilya tersenyum meminta maaf dan mengikuti mamanya. Tinggal berdua, Asrina tidak tahu harus berbuat atau berkata apa. "Itu, Tuan Arbian, apa Anda haus? Bagaimana kalau saya mengambilkan Anda minuman?" tanya Asrina kikuk. "Tidak perlu. Aku hanya ingin tahu, apakah kamu mempertimbangkan kontrak waktu itu?" tanya Arbian menatap gadis yang berdiri di depannya dengan kepala tertunduk. Gadis itu mengangkat kepalanya dan menatapnya dengan mata yang bingung dan seperti akan menangis kapan saja. Apakah dia akan menangis seperti saat pertama kali mereka bertemu? Gadis ini sepertinya sangat mudah menang
Di pagi hari berikutnya, Asrina bangun pagi-pagi dan berpakaian rapi. "Selamat pagi, Papa, Mama," sapa Asrina duduk di meja makan. "Selamat pagi, Sayang," balas Pak Morael. "Tumben kamu bangun pagi? Biasanya kamu masih tidur jam segini," tanya Bu Kinanti sambil menyendok nasi goreng ke dalam piring putrinya. "Mulai sekarang aku akan bangun pagi. Aku tidak akan seperti dulu lagi," kata Asrina. Pukulan belakangan ini membuat Asrina sadar dunia tidak seindah yang dibayangkannya. Asrina tahu dia bisa hidup dengan bebas, murni, dan riang semuanya berkat perlindungan kedua orang tuanya. Papa dan mamanya tidak pernah membiarkannya terpapar kekejaman dan intrik dunia. Pertarungan secara terang-terangan maupun diam-diam diantara keluarga kaya. Ternyata selama ini dia hidup sangat polos. Mungkin jika tidak melihat tunangannya selingkuh, memutuskan pertunangan, atau kebangkrutan perusahaan, dia pasti akan tetap berada dalam dunianya yang murni. "Bagaimana keadaan perusahaan sekarang Pa?"
Kembali ke rumah kecilnya, Asrina mengepak beberapa pakaian dan yang lainnya ke dalam koper. Selesai berkemas Asrina menarik kopernya keluar dan bertemu dengan mamanya yang baru saja pulang dari pasar. "Kamu mau kemana bawa koper segala sayang?" tanya Bu Kinanti menatap koper di belakang putrinya dengan bingung. "Asri mau pindah ke rumah teman, Ma," jawab Asrina. "Loh, kok tiba-tiba. Memangnya ada apa?" Bu Kinanti meletakkan belanjanya di atas meja. "Maafin Asri ya, Ma. Sebenarnya Asri diam-diam cari kerja tanpa memberitahu mama dan papa. Kebetulan hari ini Asri keterima dan rumah teman Asri sangat dekat dengan perusahaan. Jadi, Asri akan tinggal di sana untuk sementara," jelas Asrina. Menjadi kekasih kontrak Arbian juga merupakan pekerjaan kan? Arbian membayarnya gaji yang sangat mahal sebagai istri kontrak, ini namanya kerja juga kan? Meskipun dalam bentuk lain. Anggap sajalah seperti itu. Jangan sampai orang tuanya khawatir. Dia tidak boleh menambah beban orang tuanya sekaran
Malam hari, meja makan. Duduk di meja makan Asrina menatap sekeliling mencoba mencari keberadaan Arbian. Setelah beberapa saat dia tidak melihat orang itu datang. "Bi, apa Arbian belum pulang?" tanya Asrina pada Bi Yupi. "Belum, Nona. Hari ini Tuan ada makan malam dengan klien jadi pulangnya larut. Nona makan saja, tidak perlu menunggu Tuan," jawab Bi Yupi melihat makanan di atas meja belum tersentuh. "Baik, Bi." Asrina pun menggerakkan sendoknya dan makan perlahan. Setelah makan malam Asrina pergi mandi, lalu duduk di atas tempat tidur selesai mengeringkan rambutnya. Bermain dengan ponsel Asrina menjelajahi internet mencari informasi tentang Arbian dan perusahaannya. Dia ingin mengenal pria itu lebih baik lagi. Ada baiknya jika dia berhati-hati. "Kenapa tidak ada anggota keluarga yang dicamtumkan di biografinya, ya? Ah, sudahlah lebih baik aku tidur saja. Hoaaamhh...." Asrina menguap tidak sanggup menahan kantuk. Padahal dia ingin menunggu pria itu pulang, tapi apa daya kantuk
Setelah mandi dan berpakaian Asrina turun ke lantai bawah menuju meja makan dimana sudah ada Arbian duduk di sana. "Selamat pagi," sapa Asrina dengan senyum lembut dan duduk di samping Arbian. "Pagi," gumam Arbian sebagai tanggapan. Keduanya sarapan dalam diam, Asrina tidak tahu harus berbicara apa dengan pria itu. Sementara Arbian tidak suka bicara saat makan. "Bisakah aku ikut dengan mobilmu?" tanya Asrina tiba-tiba menghentikan Arbian yang bagun dari kursi. "Kemana?" tanya Arbian. "Aku ingin ke Wedding Butik. Bisakah?" ucap Asrina menatap Arbian sedikit takut. Melihat wajah pria itu yang selalu terlihat dingin membuat Asrina takut. Dia takut akan membuat pria itu marah. "Oke," angguk Arbian. Asrina segera berjalan mengikuti Arbian dan masuk ke dalam mobil. "Aku sudah bertemu Pak Morael kemarin. Dan uang itu sudah aku berikan padanya. Ini dokumen perjanjian kerja sama dan 50% saham atas namamu," ucap Arbian mengeluarkan dokumen dari dalam tasnya dan memberikannya pada Asri
Setelah berpisah dari teman-temannya Asrina tidak langsung kembali ke vila Arbian, tapi pergi ke rumah orang tuanya. Dia masih memikirkan tawaran Arbian untuk mengadakan pesta pernikahan. "Asri, kapan kamu datang? Kenapa hanya berdiri di situ? Ayo masuk," Kinanti terkejut dengan kedatangan putrinya segera memintanya masuk ke dalam rumah. Asrina sadar mendengar suara mamanya, dia pun tersenyum dan memasuki rumah. "Bagaimana pekerjaanmu? Apa kamu betah? Apa pekerjaannya sulit?" tanya Kinanti khawatir. "Tidak, Ma. Pekerjaannya sangat mudah," jawab Asrina duduk di kursi. "Baguslah kalau begitu," kata Kinanti berjalan ke dapur. Beberapa saat kemudian dia keluar sambil membawa nampan berisi teh dan kue. "Nih, minum dulu." Asrina mengambil cangkir yang di serahkan mamanya dan meletakkannya di atas meja. Kemudian, dia meraih tangan Kinanti dan memegangnya dengan kedua tangannya sedikit melamun. "Ada apa sayang? Kamu terlihat punya banyak pikiran seperti itu. Kalau ada masalah kamu bi
Asrina menatap berbagai macam hadiah yang dibawa oleh sekretaris Arbian dengan bingung. "Untuk apa semua ini?" tanyanya menghentikan Doni yang tengah sibuk menghitung hadiah. "Nona, ini semua adalah hadiah lamaran yang diperintahkan oleh Pak Arbian," terang Doni. "Hadiah lamaran?" gumam Asrina tidak mengerti. Untuk apa hadiah lamaran? Siapa yang mau dia lamar? "Kamu tidak ingin bersiap?" Asrina terkejut mendengar suara itu segera berbalik dan melihat Arbian berpakaian rapih, entah sejak kapan berdiri di belakangnya. "Bersiap untuk apa?" tanyanya menatap Arbian penuh tanya. "Untuk melamar ke rumahmu," jawab Arbian berjalan ke sofa dan duduk di sana. Ucapan Arbian membuat Asrina tertegun, apakah dia tidak salah dengar? Pria itu benar-benar ingin melamarnya? "Aku akan menunggumu setengah jam. Cepat berganti pakaian," kata Arbian sambil melirik arloji yang melingkari pergelangan tangan kirinya. "Ah, oke. Aku akan segera berganti pakaian," ujar Asrina segera berlari menuju lantai
Memasuki kafe Asrina memimpin memilih meja kosong, Hilya dan Vany saling memandang dan mengikuti Asrina. Asrina memanggil pelayan dan memesan teh susu dan kue black forest. Sebenarnya dia merasa sedikit haus dan dia tahu kalau pasti akan menghabiskan banyak air liur untuk berbicara dengan kedua sahabatnya itu. Jadi, Asrina menghentikan Hilya dan Vany yang akan berbicara dan meminta mereka untuk memesan juga. Pembukaan toko Hilya masih ada satu jam lagi, dia bisa memanfaatkan waktu ini untuk berbicara dengan keduanya. Setelah pelayan itu pergi Hilya dan Vany tidak sabar mendengar pengakuan dari Asrina yang menyulut rasa ingin tahu mereka. "Oke, jadi dari mana kamu dapat mobil mewah itu? Jangan mencoba bicara yang berputar-putar dan jangan mengalihkan pembicaraan lagi." Hilya tidak dapat menahan rasa penasarannya. Menunggu penjelasan Asrina dari pintu masuk mal hingga memesan makanan dan minuman sudah menghabiskan banyak kesabarannya. Asrina selalu menunda-nunda dan mengalihkan pemb
Arbian duduk di meja makan tanpa menyentuh sarapan yang sudah disajikan di atas meja. Dia sedang menunggu Asrina untuk sarapan bersama."Selamat pagi?" Sapa Asrina baru saja turun."Pagi. Kamu mau kemana?" tanya Arbian melihat Asrina yang sudah berpakaian rapi. Tinggal bersama membuat Arbian mengerti kebiasaan gadis itu. Saat berpakaian rapi dan cantik dia akan keluar, sementara saat hanya tinggal di rumah dia hanya berpakaian seadanya tanpa merias wajah."Hilya akan membuka cabang di Grandmall. Sebagai teman dan mitra aku akan datang ke pembukaannya," jelas Asrina sambil menarik kursi dan duduk."Ini untukmu." Arbian meletakkan kunci mobil di depan Asrina."Apa ini? Kamu memberiku mobil?" Asrina memegang kunci mobil menatap Arbian terkejut. Hari ini bukan hari ulang tahunnya, buat apa memberi hadiah mobil?"Ya. Kamu bisa menggunakan mobil itu untuk bepergian saat aku tidak bersamamu," jelas Arbian. Asrina selalu menggunakan mobil online saat keluar atau menumpang mobilnya. Dengan mo
"Aku tidak menyangka bisa bertemu denganmu di sini. Kenapa kamu memblokir nomorku? Aku mencarimu ke rumahmu, tapi rumahmu sudah di jual. Kamu tinggal di mana sekarang?" Atas perintah papanya Evan telah berusaha menghubungi Asrina. Tidak pernah terpikir olehnya tunangannya yang polos ini benar-benar berani memblokir nomor ponselnya. "Kamu tidak perlu tahu di mana aku tinggal. Kita sudah tidak ada hubungan lagi." Asrina berkata berjalan menghindari Evan. Melihat sikap acuh Asrina membuat Evan kesal dan menghentikan langkah gadis itu. "Kamu tunanganku! Hubungan kita sangat jelas." "Pertunangan kita sudah putus. Kamu sendiri yang mengatakan itu," tangkas Asrina. "Aku hanya bercanda waktu itu. Bisakah kamu melupakannya. Saat itu aku sedang dalam suasana hati yang buruk, jadi mengatakan hal seperti itu." Evan buru-buru menjelaskan secara asal. Asrina menatap pria yang telah menjadi tunangannya selama 3 tahun. Satu-satunya pria yang sangat dekat dengannya dan dia berikan kepercayaan un
Andreas Corporation, kantor CEO. Seorang pria paruh baya mengenakan setelan jas duduk di kursi CEO sementara Evan duduk di depannya. "Bagaimana hal ini bisa terjadi?" tanya pria paruh baya itu yang tidak lain adalah papa Evan, Davis Andreas. "Aku tidak tahu, Pa. Aku merasa ada yang menargetkan perusahaan kita," jawab Evan. Pak Davis melemparkan dokumen ke depan Evan. "Saham perusahaan menurun tajam dan kamu tidak tahu! Bukankah perusahaan kita bekerja sama dengan perusahaan Asri Corporation. Perusahaan itu berkembang pesat baru-baru ini. Kenapa kamu tidak meminta bantuannya?" Evan mengepalkan tinjunya mendegar ucapan papanya. Dia tidak tahu bagaimana bisa perusahaan yang sudah akan bangkrut itu bisa melakukan serangan balik dan bahkan terus meningkat. Rencananya selama ini semuanya sia-sia. "Aku sudah memutuskan pertunangan dengan Asrina, Pa." Kata-kata putranya membuat Pak Davis sangat marah. "Dasar anak bodoh! Kamu melepaskan peluang yang sangat besar seperti itu. Pokoknya pa
Asrina menatap berbagai macam hadiah yang dibawa oleh sekretaris Arbian dengan bingung. "Untuk apa semua ini?" tanyanya menghentikan Doni yang tengah sibuk menghitung hadiah. "Nona, ini semua adalah hadiah lamaran yang diperintahkan oleh Pak Arbian," terang Doni. "Hadiah lamaran?" gumam Asrina tidak mengerti. Untuk apa hadiah lamaran? Siapa yang mau dia lamar? "Kamu tidak ingin bersiap?" Asrina terkejut mendengar suara itu segera berbalik dan melihat Arbian berpakaian rapih, entah sejak kapan berdiri di belakangnya. "Bersiap untuk apa?" tanyanya menatap Arbian penuh tanya. "Untuk melamar ke rumahmu," jawab Arbian berjalan ke sofa dan duduk di sana. Ucapan Arbian membuat Asrina tertegun, apakah dia tidak salah dengar? Pria itu benar-benar ingin melamarnya? "Aku akan menunggumu setengah jam. Cepat berganti pakaian," kata Arbian sambil melirik arloji yang melingkari pergelangan tangan kirinya. "Ah, oke. Aku akan segera berganti pakaian," ujar Asrina segera berlari menuju lantai
Setelah berpisah dari teman-temannya Asrina tidak langsung kembali ke vila Arbian, tapi pergi ke rumah orang tuanya. Dia masih memikirkan tawaran Arbian untuk mengadakan pesta pernikahan. "Asri, kapan kamu datang? Kenapa hanya berdiri di situ? Ayo masuk," Kinanti terkejut dengan kedatangan putrinya segera memintanya masuk ke dalam rumah. Asrina sadar mendengar suara mamanya, dia pun tersenyum dan memasuki rumah. "Bagaimana pekerjaanmu? Apa kamu betah? Apa pekerjaannya sulit?" tanya Kinanti khawatir. "Tidak, Ma. Pekerjaannya sangat mudah," jawab Asrina duduk di kursi. "Baguslah kalau begitu," kata Kinanti berjalan ke dapur. Beberapa saat kemudian dia keluar sambil membawa nampan berisi teh dan kue. "Nih, minum dulu." Asrina mengambil cangkir yang di serahkan mamanya dan meletakkannya di atas meja. Kemudian, dia meraih tangan Kinanti dan memegangnya dengan kedua tangannya sedikit melamun. "Ada apa sayang? Kamu terlihat punya banyak pikiran seperti itu. Kalau ada masalah kamu bi
Setelah mandi dan berpakaian Asrina turun ke lantai bawah menuju meja makan dimana sudah ada Arbian duduk di sana. "Selamat pagi," sapa Asrina dengan senyum lembut dan duduk di samping Arbian. "Pagi," gumam Arbian sebagai tanggapan. Keduanya sarapan dalam diam, Asrina tidak tahu harus berbicara apa dengan pria itu. Sementara Arbian tidak suka bicara saat makan. "Bisakah aku ikut dengan mobilmu?" tanya Asrina tiba-tiba menghentikan Arbian yang bagun dari kursi. "Kemana?" tanya Arbian. "Aku ingin ke Wedding Butik. Bisakah?" ucap Asrina menatap Arbian sedikit takut. Melihat wajah pria itu yang selalu terlihat dingin membuat Asrina takut. Dia takut akan membuat pria itu marah. "Oke," angguk Arbian. Asrina segera berjalan mengikuti Arbian dan masuk ke dalam mobil. "Aku sudah bertemu Pak Morael kemarin. Dan uang itu sudah aku berikan padanya. Ini dokumen perjanjian kerja sama dan 50% saham atas namamu," ucap Arbian mengeluarkan dokumen dari dalam tasnya dan memberikannya pada Asri
Malam hari, meja makan. Duduk di meja makan Asrina menatap sekeliling mencoba mencari keberadaan Arbian. Setelah beberapa saat dia tidak melihat orang itu datang. "Bi, apa Arbian belum pulang?" tanya Asrina pada Bi Yupi. "Belum, Nona. Hari ini Tuan ada makan malam dengan klien jadi pulangnya larut. Nona makan saja, tidak perlu menunggu Tuan," jawab Bi Yupi melihat makanan di atas meja belum tersentuh. "Baik, Bi." Asrina pun menggerakkan sendoknya dan makan perlahan. Setelah makan malam Asrina pergi mandi, lalu duduk di atas tempat tidur selesai mengeringkan rambutnya. Bermain dengan ponsel Asrina menjelajahi internet mencari informasi tentang Arbian dan perusahaannya. Dia ingin mengenal pria itu lebih baik lagi. Ada baiknya jika dia berhati-hati. "Kenapa tidak ada anggota keluarga yang dicamtumkan di biografinya, ya? Ah, sudahlah lebih baik aku tidur saja. Hoaaamhh...." Asrina menguap tidak sanggup menahan kantuk. Padahal dia ingin menunggu pria itu pulang, tapi apa daya kantuk
Kembali ke rumah kecilnya, Asrina mengepak beberapa pakaian dan yang lainnya ke dalam koper. Selesai berkemas Asrina menarik kopernya keluar dan bertemu dengan mamanya yang baru saja pulang dari pasar. "Kamu mau kemana bawa koper segala sayang?" tanya Bu Kinanti menatap koper di belakang putrinya dengan bingung. "Asri mau pindah ke rumah teman, Ma," jawab Asrina. "Loh, kok tiba-tiba. Memangnya ada apa?" Bu Kinanti meletakkan belanjanya di atas meja. "Maafin Asri ya, Ma. Sebenarnya Asri diam-diam cari kerja tanpa memberitahu mama dan papa. Kebetulan hari ini Asri keterima dan rumah teman Asri sangat dekat dengan perusahaan. Jadi, Asri akan tinggal di sana untuk sementara," jelas Asrina. Menjadi kekasih kontrak Arbian juga merupakan pekerjaan kan? Arbian membayarnya gaji yang sangat mahal sebagai istri kontrak, ini namanya kerja juga kan? Meskipun dalam bentuk lain. Anggap sajalah seperti itu. Jangan sampai orang tuanya khawatir. Dia tidak boleh menambah beban orang tuanya sekaran