Setelah hari itu, Asrina mengurung diri di rumah. Asrina tidak memberitahu orang tuanya mengenai Evan yang memutuskan pertunangan mereka. Dia tidak ingin orang tuanya khawatir.
Duduk di meja makan, Asrina menikmati sarapan yang dibuat oleh mamanya."Ada yang ingin Papa katakan pada kalian," ucap Pak Morael menatap istri dan putrinya."Apa Pa?" tanya Asrina penasaran."Heh ... kita harus pindah dari rumah ini hari ini juga," kata Pak Morael dengan wajah berat."Apa!""Papa bercanda kan?"Bu Kinanti dan Asrina berkata bersamaan.Pak Morael menggelengkan kepalanya. "Perusahaan sedang mengalami krisis keuangan. Para investor telah menarik dana mereka dan pihak bank tidak mau memberikan pinjaman. Papa terpaksa harus menjual rumah ini dan barang-barang lain untuk mengisi kekosongan dana perusahaan."Ucapan Pak Morael seakan menjatuhkan bom bagi Asrina dan Bu Kinanti."Ini? Bagaimana bisa? Terus apa yang harus kita lakukan sekarang?" tanya Bu Kinanti panik.Asrina menggigit bibirnya tidak tahu harus bagaimana."Kalian tenang saja. Papa akan mengurus semua ini. Papa akan mencoba mencari jalan keluar." Pak Morael berusaha menyemangati, dia tidak ingin keluarganya khawatir."Pa, Asrina akan minta bantuan Evan. Evan pasti mau membantu kita," saran Asrina."Dia tidak akan membantu kita, Nak. Dan pertunangan kalian berdua juga telah dibatalkan," kata Pak Morael pahit."Kenapa? Aku akan pergi memohon pada Evan. Dia pasti akan membantu kalau aku memohon padanya," ulang Asrina meyakinkan."Jangan pernah kamu memohon pada pria brengsek itu! Papa tidak akan membiarkan kamu memohon pada orang yang telah membuat perusahaan kita seperti ini!" teriak Pak Morael menahan amarah.Asrina tertegun melihat kemarahan papanya. Ini pertama kalinya papa berteriak dan marah didepannya. Papa biasanya selalu lembut dan tersenyum saat berbicara padanya."Tenang Pa. Jangan menakuti Asri. Pasti akan ada jalan keluarnya, nanti." Bu Kinanti berkata membujuk suaminya.Asrina tidak pernah membayangkan Evan bisa berbuat seperti itu pada perusahaan mereka. Sepertinya dia telah salah menilai Evan selama ini.Setelah mengepak barang-barangnya, Asrina dan orang tuanya meninggalkan rumah mewah yang telah mereka tempati selama 20 tahun terakhir.Pak Morael membawa anak dan istrinya menuju rumah lama mereka. Sebuah rumah kecil yang terletak di pinggir kota."Ini rumah pertama kita di kota Jampu. Papa sudah menyuruh orang membersihkan sebelumnya. Sekarang kita bisa langsung tinggal di dalamnya," kata Pak Morael berjalan ke dalam rumah.Asrina menatap rumah itu yang mungkin hanya seluas ruang tamu rumah mereka sebelumya. Rumah itu terlihat sudah sangat tua, tapi terawat dengan baik.Menggigit bibirnya, Asrina menarik kopernya dan masuk ke dalam rumah. Dia harus mencari cara untuk membantu papa mendapatkan uang dan mempertahankan perusahaan.ꕤꕤꕤDi dalam ruang pemeriksaan Arbian berbaring di ranjang sambil memejamkan mata. Beberapa saat kemudian Arbian duduk dan menghadap Raditya, dokter pribadi yang merawatnya sekaligus temannya.Kedua keluarga mereka telah berteman sejak lama, jadi mereka juga akrab dan berteman."Bagaimana?" tanya Raditya.Arbian menggelengkan kepala. "Kenangan itu masih muncul setiap kali aku memejamkan mata," jawab Arbian muram."Jadi, hanya saat bersama wanita itu kamu bisa tertidur tanpa gangguan," analisis Raditya mengingat penjelasan Arbian sebelumnya."Kalau begitu kamu bisa mencoba membuat wanita itu tetap disampingmu. Kita lihat apakah masalahmu ini bisa disembuhkan," lanjut Raditya.Arbian merupakan pasien Raditya yang mengalami insomnia hanya bisa tertidur menggunakan obat tidur. Tapi, kali ini ada harapan dimana Arbian bisa tertidur tanpa obat, namun itu karena seorang wanita."Oh, ya, dimana wanita itu? Kenapa tidak memperkenalkan aku padanya?" tanya Raditya penuh antisipasi.Ini pertama kalinya Arbian dekat dengan wanita dan wanita ini sangat istimewa."Dia sudah pergi," jawab Arbian."Apa? Bukankah dia bisa menjadi obatmu? Kenapa kamu membiarkannya pergi? Kamu sangat tempan dan kaya, mana ada wanita yang menolakmu," cerocos Raditya tidak mengerti.Setahunya, Arbian tidak akan pernah melepaskan hal-hal menarik perhatiannya. Sama seperti saat dia tertarik dalam bidang investasi hingga membuat perusahaan investasi terbesar di kota Jampu."Katakan padaku, apakah wanita itu benar-benar bisa menjadi obat?" Arbian bertanya balik serius, dia tidak ingin menanggapi Raditya. Yang dia inginkan penyakitnya ini bisa disembuhkan secepatnya."Kita akan tahu saat kamu mencobanya," angguk Raditya serius."Oke." Arbian berdiri dan berjalan pergi setelah mendapatkan jawabannya.ꕤꕤꕤRuang perjamuan penuh dengan tamu yang datang merayakan ulang tahun Pak Roy Larkin yang ke-70 tahun. Pak Roy merupakan mantan bupati kota Jampu sekaligus ketua Larkin Company.Asrina mengepalkan tangannya, menarik bibirnya membentuk senyuman, dan perlahan melangkah masuk. Asrina mengenakan dress kuning muda dan sepatu hak kecil kuning terpasang indah di kakinya. Sebuah tas tangan senada tergantung di lengan kirinya dan sebuah tas kertas dipegang ditangan kanannya.Hari ini adalah ulang tahun kakek sahabatnya, Hilya. Hilya telah mengundangnya sebelumnya dan disinilah dia menepati janjinya pada Hilya."Asrina, akhirnya kamu datang juga. Aku pikir kamu tidak akan datang." Seorang gadis cantik mengenakan dress hitam berjalan menghampiri Asrina.Asrina tersenyum tulus melihat sahabatnya, Hilya. "Mana mungkin aku tidak datang. Kamu kan sudah mengundangku dan aku berjanji padamu. Ini hadiah untuk kakek mu dariku," kata Asrina menyerahkan tas ditangannya kepada Hilya."Kenapa kamu repot bawa hadiah segala. Sudah ku bilang tidak perlu. Tapi, terima kasih ya." Hilya menerima hadiah itu dan memegang tangan Asrina bahagia."Sama-sama.""Ayo masuk. Aku akan membawamu menemui kakekku," kata Hilya menarik tangan Asrina menuju ke dalam rumah."Kakek, aku membawa sahabatku untuk menemuimu," memasuki ruangan Hilya sudah berteriak.Asrina yang ditarik memasuki ruangan melihat seorang lelaki tua duduk di sofa dengan dua pria lain. Lelaki tua itu tersenyum pada Hilya."Kemarilah duduk di samping Kakek," panggil lelaki tua itu.Hilya tersenyum pada Asrina dan menariknya duduk disebelah kakeknya.Setelah duduk barulah Asrina melihat kedua orang itu dengan jelas. Salah satunya adalah pria yang ditemuinya beberapa hari lalu dan menginap dirumahnya. Yang lainnya adalah bupati saat ini, Yusran Pratama, menantu Pak Roy."Kakek, ini Asrina sahabatku," kata Hilya memperkenalkan."Em, kamu Asrina. Hilya sering bercerita tentang kamu. Terima kasih karena telah merawat Hilya selama ini," ucap Pak Roy pada Asrina tersenyum penuh kebaikan."Kakek tidak perlu berterima kasih. Hilya adalah sahabatku," balas Asrina sopan."Hilya, Kakek ingin memperkenalkan kamu dengan Arbian, CEO Arbi Corporation. Arbian, ini cucu bungsu saya, Hilya." Pak Roy berkata memperkenalkan.Arbian mengangguk menanggapi, tapi matanya selalu tertuju pada Asrina."Ah, dia pengusaha muda pemilik perusahaan investasi terbesar di kota ini!" seru Hilya terkejut tidak menyangka pamannya bisa mengundang orang itu ke ulang tahun kakek."Ya, kalian anak muda pasti memiliki bahasa yang sama. Tidak seperti kakek dan pamanmu yang sudah tua. Bagaimana kalau kamu membawa Arbian melihat-lihat rumah kita," pinta Kakek Roy.Kakek Roy ingin memberikan kesempatan pada cucunya untuk lebih dekat dengan pengusaha muda ini. Siapa tahu mereka bisa berjodoh, itu akan lebih baik lagi.Asrina merasa risih ditatap terus oleh Arbian. 'Kenapa dia menatapku seperti itu?'ꕤꕤꕤꕤꕤHilya membawa Arbian dan Asrina berjalan-jalan hingga ke depan tempat perjamuan saat tiba-tiba seorang wanita paruh baya mengahapiri Hilya. "Hilya, kemana saja kamu? Mama sudah mencarimu sejak tadi. Ayo ikut Mama," kata wanita itu menarik tangan Hilya. Hilya melirik Arbian dan Asrina meminta maaf. "Tuan Arbian maaf saya harus pergi dulu. Asrina kamu bisa menemani Tuan Arbian sebentar, ya." Hilya tersenyum meminta maaf dan mengikuti mamanya. Tinggal berdua, Asrina tidak tahu harus berbuat atau berkata apa. "Itu, Tuan Arbian, apa Anda haus? Bagaimana kalau saya mengambilkan Anda minuman?" tanya Asrina kikuk. "Tidak perlu. Aku hanya ingin tahu, apakah kamu mempertimbangkan kontrak waktu itu?" tanya Arbian menatap gadis yang berdiri di depannya dengan kepala tertunduk. Gadis itu mengangkat kepalanya dan menatapnya dengan mata yang bingung dan seperti akan menangis kapan saja. Apakah dia akan menangis seperti saat pertama kali mereka bertemu? Gadis ini sepertinya sangat mudah menang
Di pagi hari berikutnya, Asrina bangun pagi-pagi dan berpakaian rapi. "Selamat pagi, Papa, Mama," sapa Asrina duduk di meja makan. "Selamat pagi, Sayang," balas Pak Morael. "Tumben kamu bangun pagi? Biasanya kamu masih tidur jam segini," tanya Bu Kinanti sambil menyendok nasi goreng ke dalam piring putrinya. "Mulai sekarang aku akan bangun pagi. Aku tidak akan seperti dulu lagi," kata Asrina. Pukulan belakangan ini membuat Asrina sadar dunia tidak seindah yang dibayangkannya. Asrina tahu dia bisa hidup dengan bebas, murni, dan riang semuanya berkat perlindungan kedua orang tuanya. Papa dan mamanya tidak pernah membiarkannya terpapar kekejaman dan intrik dunia. Pertarungan secara terang-terangan maupun diam-diam diantara keluarga kaya. Ternyata selama ini dia hidup sangat polos. Mungkin jika tidak melihat tunangannya selingkuh, memutuskan pertunangan, atau kebangkrutan perusahaan, dia pasti akan tetap berada dalam dunianya yang murni. "Bagaimana keadaan perusahaan sekarang Pa?"
Kembali ke rumah kecilnya, Asrina mengepak beberapa pakaian dan yang lainnya ke dalam koper. Selesai berkemas Asrina menarik kopernya keluar dan bertemu dengan mamanya yang baru saja pulang dari pasar. "Kamu mau kemana bawa koper segala sayang?" tanya Bu Kinanti menatap koper di belakang putrinya dengan bingung. "Asri mau pindah ke rumah teman, Ma," jawab Asrina. "Loh, kok tiba-tiba. Memangnya ada apa?" Bu Kinanti meletakkan belanjanya di atas meja. "Maafin Asri ya, Ma. Sebenarnya Asri diam-diam cari kerja tanpa memberitahu mama dan papa. Kebetulan hari ini Asri keterima dan rumah teman Asri sangat dekat dengan perusahaan. Jadi, Asri akan tinggal di sana untuk sementara," jelas Asrina. Menjadi kekasih kontrak Arbian juga merupakan pekerjaan kan? Arbian membayarnya gaji yang sangat mahal sebagai istri kontrak, ini namanya kerja juga kan? Meskipun dalam bentuk lain. Anggap sajalah seperti itu. Jangan sampai orang tuanya khawatir. Dia tidak boleh menambah beban orang tuanya sekaran
Malam hari, meja makan. Duduk di meja makan Asrina menatap sekeliling mencoba mencari keberadaan Arbian. Setelah beberapa saat dia tidak melihat orang itu datang. "Bi, apa Arbian belum pulang?" tanya Asrina pada Bi Yupi. "Belum, Nona. Hari ini Tuan ada makan malam dengan klien jadi pulangnya larut. Nona makan saja, tidak perlu menunggu Tuan," jawab Bi Yupi melihat makanan di atas meja belum tersentuh. "Baik, Bi." Asrina pun menggerakkan sendoknya dan makan perlahan. Setelah makan malam Asrina pergi mandi, lalu duduk di atas tempat tidur selesai mengeringkan rambutnya. Bermain dengan ponsel Asrina menjelajahi internet mencari informasi tentang Arbian dan perusahaannya. Dia ingin mengenal pria itu lebih baik lagi. Ada baiknya jika dia berhati-hati. "Kenapa tidak ada anggota keluarga yang dicamtumkan di biografinya, ya? Ah, sudahlah lebih baik aku tidur saja. Hoaaamhh...." Asrina menguap tidak sanggup menahan kantuk. Padahal dia ingin menunggu pria itu pulang, tapi apa daya kantuk
Setelah mandi dan berpakaian Asrina turun ke lantai bawah menuju meja makan dimana sudah ada Arbian duduk di sana. "Selamat pagi," sapa Asrina dengan senyum lembut dan duduk di samping Arbian. "Pagi," gumam Arbian sebagai tanggapan. Keduanya sarapan dalam diam, Asrina tidak tahu harus berbicara apa dengan pria itu. Sementara Arbian tidak suka bicara saat makan. "Bisakah aku ikut dengan mobilmu?" tanya Asrina tiba-tiba menghentikan Arbian yang bagun dari kursi. "Kemana?" tanya Arbian. "Aku ingin ke Wedding Butik. Bisakah?" ucap Asrina menatap Arbian sedikit takut. Melihat wajah pria itu yang selalu terlihat dingin membuat Asrina takut. Dia takut akan membuat pria itu marah. "Oke," angguk Arbian. Asrina segera berjalan mengikuti Arbian dan masuk ke dalam mobil. "Aku sudah bertemu Pak Morael kemarin. Dan uang itu sudah aku berikan padanya. Ini dokumen perjanjian kerja sama dan 50% saham atas namamu," ucap Arbian mengeluarkan dokumen dari dalam tasnya dan memberikannya pada Asri
Setelah berpisah dari teman-temannya Asrina tidak langsung kembali ke vila Arbian, tapi pergi ke rumah orang tuanya. Dia masih memikirkan tawaran Arbian untuk mengadakan pesta pernikahan. "Asri, kapan kamu datang? Kenapa hanya berdiri di situ? Ayo masuk," Kinanti terkejut dengan kedatangan putrinya segera memintanya masuk ke dalam rumah. Asrina sadar mendengar suara mamanya, dia pun tersenyum dan memasuki rumah. "Bagaimana pekerjaanmu? Apa kamu betah? Apa pekerjaannya sulit?" tanya Kinanti khawatir. "Tidak, Ma. Pekerjaannya sangat mudah," jawab Asrina duduk di kursi. "Baguslah kalau begitu," kata Kinanti berjalan ke dapur. Beberapa saat kemudian dia keluar sambil membawa nampan berisi teh dan kue. "Nih, minum dulu." Asrina mengambil cangkir yang di serahkan mamanya dan meletakkannya di atas meja. Kemudian, dia meraih tangan Kinanti dan memegangnya dengan kedua tangannya sedikit melamun. "Ada apa sayang? Kamu terlihat punya banyak pikiran seperti itu. Kalau ada masalah kamu bi
Asrina menatap berbagai macam hadiah yang dibawa oleh sekretaris Arbian dengan bingung. "Untuk apa semua ini?" tanyanya menghentikan Doni yang tengah sibuk menghitung hadiah. "Nona, ini semua adalah hadiah lamaran yang diperintahkan oleh Pak Arbian," terang Doni. "Hadiah lamaran?" gumam Asrina tidak mengerti. Untuk apa hadiah lamaran? Siapa yang mau dia lamar? "Kamu tidak ingin bersiap?" Asrina terkejut mendengar suara itu segera berbalik dan melihat Arbian berpakaian rapih, entah sejak kapan berdiri di belakangnya. "Bersiap untuk apa?" tanyanya menatap Arbian penuh tanya. "Untuk melamar ke rumahmu," jawab Arbian berjalan ke sofa dan duduk di sana. Ucapan Arbian membuat Asrina tertegun, apakah dia tidak salah dengar? Pria itu benar-benar ingin melamarnya? "Aku akan menunggumu setengah jam. Cepat berganti pakaian," kata Arbian sambil melirik arloji yang melingkari pergelangan tangan kirinya. "Ah, oke. Aku akan segera berganti pakaian," ujar Asrina segera berlari menuju lantai
Andreas Corporation, kantor CEO. Seorang pria paruh baya mengenakan setelan jas duduk di kursi CEO sementara Evan duduk di depannya. "Bagaimana hal ini bisa terjadi?" tanya pria paruh baya itu yang tidak lain adalah papa Evan, Davis Andreas. "Aku tidak tahu, Pa. Aku merasa ada yang menargetkan perusahaan kita," jawab Evan. Pak Davis melemparkan dokumen ke depan Evan. "Saham perusahaan menurun tajam dan kamu tidak tahu! Bukankah perusahaan kita bekerja sama dengan perusahaan Asri Corporation. Perusahaan itu berkembang pesat baru-baru ini. Kenapa kamu tidak meminta bantuannya?" Evan mengepalkan tinjunya mendegar ucapan papanya. Dia tidak tahu bagaimana bisa perusahaan yang sudah akan bangkrut itu bisa melakukan serangan balik dan bahkan terus meningkat. Rencananya selama ini semuanya sia-sia. "Aku sudah memutuskan pertunangan dengan Asrina, Pa." Kata-kata putranya membuat Pak Davis sangat marah. "Dasar anak bodoh! Kamu melepaskan peluang yang sangat besar seperti itu. Pokoknya pa
Memasuki kafe Asrina memimpin memilih meja kosong, Hilya dan Vany saling memandang dan mengikuti Asrina. Asrina memanggil pelayan dan memesan teh susu dan kue black forest. Sebenarnya dia merasa sedikit haus dan dia tahu kalau pasti akan menghabiskan banyak air liur untuk berbicara dengan kedua sahabatnya itu. Jadi, Asrina menghentikan Hilya dan Vany yang akan berbicara dan meminta mereka untuk memesan juga. Pembukaan toko Hilya masih ada satu jam lagi, dia bisa memanfaatkan waktu ini untuk berbicara dengan keduanya. Setelah pelayan itu pergi Hilya dan Vany tidak sabar mendengar pengakuan dari Asrina yang menyulut rasa ingin tahu mereka. "Oke, jadi dari mana kamu dapat mobil mewah itu? Jangan mencoba bicara yang berputar-putar dan jangan mengalihkan pembicaraan lagi." Hilya tidak dapat menahan rasa penasarannya. Menunggu penjelasan Asrina dari pintu masuk mal hingga memesan makanan dan minuman sudah menghabiskan banyak kesabarannya. Asrina selalu menunda-nunda dan mengalihkan pemb
Arbian duduk di meja makan tanpa menyentuh sarapan yang sudah disajikan di atas meja. Dia sedang menunggu Asrina untuk sarapan bersama."Selamat pagi?" Sapa Asrina baru saja turun."Pagi. Kamu mau kemana?" tanya Arbian melihat Asrina yang sudah berpakaian rapi. Tinggal bersama membuat Arbian mengerti kebiasaan gadis itu. Saat berpakaian rapi dan cantik dia akan keluar, sementara saat hanya tinggal di rumah dia hanya berpakaian seadanya tanpa merias wajah."Hilya akan membuka cabang di Grandmall. Sebagai teman dan mitra aku akan datang ke pembukaannya," jelas Asrina sambil menarik kursi dan duduk."Ini untukmu." Arbian meletakkan kunci mobil di depan Asrina."Apa ini? Kamu memberiku mobil?" Asrina memegang kunci mobil menatap Arbian terkejut. Hari ini bukan hari ulang tahunnya, buat apa memberi hadiah mobil?"Ya. Kamu bisa menggunakan mobil itu untuk bepergian saat aku tidak bersamamu," jelas Arbian. Asrina selalu menggunakan mobil online saat keluar atau menumpang mobilnya. Dengan mo
"Aku tidak menyangka bisa bertemu denganmu di sini. Kenapa kamu memblokir nomorku? Aku mencarimu ke rumahmu, tapi rumahmu sudah di jual. Kamu tinggal di mana sekarang?" Atas perintah papanya Evan telah berusaha menghubungi Asrina. Tidak pernah terpikir olehnya tunangannya yang polos ini benar-benar berani memblokir nomor ponselnya. "Kamu tidak perlu tahu di mana aku tinggal. Kita sudah tidak ada hubungan lagi." Asrina berkata berjalan menghindari Evan. Melihat sikap acuh Asrina membuat Evan kesal dan menghentikan langkah gadis itu. "Kamu tunanganku! Hubungan kita sangat jelas." "Pertunangan kita sudah putus. Kamu sendiri yang mengatakan itu," tangkas Asrina. "Aku hanya bercanda waktu itu. Bisakah kamu melupakannya. Saat itu aku sedang dalam suasana hati yang buruk, jadi mengatakan hal seperti itu." Evan buru-buru menjelaskan secara asal. Asrina menatap pria yang telah menjadi tunangannya selama 3 tahun. Satu-satunya pria yang sangat dekat dengannya dan dia berikan kepercayaan un
Andreas Corporation, kantor CEO. Seorang pria paruh baya mengenakan setelan jas duduk di kursi CEO sementara Evan duduk di depannya. "Bagaimana hal ini bisa terjadi?" tanya pria paruh baya itu yang tidak lain adalah papa Evan, Davis Andreas. "Aku tidak tahu, Pa. Aku merasa ada yang menargetkan perusahaan kita," jawab Evan. Pak Davis melemparkan dokumen ke depan Evan. "Saham perusahaan menurun tajam dan kamu tidak tahu! Bukankah perusahaan kita bekerja sama dengan perusahaan Asri Corporation. Perusahaan itu berkembang pesat baru-baru ini. Kenapa kamu tidak meminta bantuannya?" Evan mengepalkan tinjunya mendegar ucapan papanya. Dia tidak tahu bagaimana bisa perusahaan yang sudah akan bangkrut itu bisa melakukan serangan balik dan bahkan terus meningkat. Rencananya selama ini semuanya sia-sia. "Aku sudah memutuskan pertunangan dengan Asrina, Pa." Kata-kata putranya membuat Pak Davis sangat marah. "Dasar anak bodoh! Kamu melepaskan peluang yang sangat besar seperti itu. Pokoknya pa
Asrina menatap berbagai macam hadiah yang dibawa oleh sekretaris Arbian dengan bingung. "Untuk apa semua ini?" tanyanya menghentikan Doni yang tengah sibuk menghitung hadiah. "Nona, ini semua adalah hadiah lamaran yang diperintahkan oleh Pak Arbian," terang Doni. "Hadiah lamaran?" gumam Asrina tidak mengerti. Untuk apa hadiah lamaran? Siapa yang mau dia lamar? "Kamu tidak ingin bersiap?" Asrina terkejut mendengar suara itu segera berbalik dan melihat Arbian berpakaian rapih, entah sejak kapan berdiri di belakangnya. "Bersiap untuk apa?" tanyanya menatap Arbian penuh tanya. "Untuk melamar ke rumahmu," jawab Arbian berjalan ke sofa dan duduk di sana. Ucapan Arbian membuat Asrina tertegun, apakah dia tidak salah dengar? Pria itu benar-benar ingin melamarnya? "Aku akan menunggumu setengah jam. Cepat berganti pakaian," kata Arbian sambil melirik arloji yang melingkari pergelangan tangan kirinya. "Ah, oke. Aku akan segera berganti pakaian," ujar Asrina segera berlari menuju lantai
Setelah berpisah dari teman-temannya Asrina tidak langsung kembali ke vila Arbian, tapi pergi ke rumah orang tuanya. Dia masih memikirkan tawaran Arbian untuk mengadakan pesta pernikahan. "Asri, kapan kamu datang? Kenapa hanya berdiri di situ? Ayo masuk," Kinanti terkejut dengan kedatangan putrinya segera memintanya masuk ke dalam rumah. Asrina sadar mendengar suara mamanya, dia pun tersenyum dan memasuki rumah. "Bagaimana pekerjaanmu? Apa kamu betah? Apa pekerjaannya sulit?" tanya Kinanti khawatir. "Tidak, Ma. Pekerjaannya sangat mudah," jawab Asrina duduk di kursi. "Baguslah kalau begitu," kata Kinanti berjalan ke dapur. Beberapa saat kemudian dia keluar sambil membawa nampan berisi teh dan kue. "Nih, minum dulu." Asrina mengambil cangkir yang di serahkan mamanya dan meletakkannya di atas meja. Kemudian, dia meraih tangan Kinanti dan memegangnya dengan kedua tangannya sedikit melamun. "Ada apa sayang? Kamu terlihat punya banyak pikiran seperti itu. Kalau ada masalah kamu bi
Setelah mandi dan berpakaian Asrina turun ke lantai bawah menuju meja makan dimana sudah ada Arbian duduk di sana. "Selamat pagi," sapa Asrina dengan senyum lembut dan duduk di samping Arbian. "Pagi," gumam Arbian sebagai tanggapan. Keduanya sarapan dalam diam, Asrina tidak tahu harus berbicara apa dengan pria itu. Sementara Arbian tidak suka bicara saat makan. "Bisakah aku ikut dengan mobilmu?" tanya Asrina tiba-tiba menghentikan Arbian yang bagun dari kursi. "Kemana?" tanya Arbian. "Aku ingin ke Wedding Butik. Bisakah?" ucap Asrina menatap Arbian sedikit takut. Melihat wajah pria itu yang selalu terlihat dingin membuat Asrina takut. Dia takut akan membuat pria itu marah. "Oke," angguk Arbian. Asrina segera berjalan mengikuti Arbian dan masuk ke dalam mobil. "Aku sudah bertemu Pak Morael kemarin. Dan uang itu sudah aku berikan padanya. Ini dokumen perjanjian kerja sama dan 50% saham atas namamu," ucap Arbian mengeluarkan dokumen dari dalam tasnya dan memberikannya pada Asri
Malam hari, meja makan. Duduk di meja makan Asrina menatap sekeliling mencoba mencari keberadaan Arbian. Setelah beberapa saat dia tidak melihat orang itu datang. "Bi, apa Arbian belum pulang?" tanya Asrina pada Bi Yupi. "Belum, Nona. Hari ini Tuan ada makan malam dengan klien jadi pulangnya larut. Nona makan saja, tidak perlu menunggu Tuan," jawab Bi Yupi melihat makanan di atas meja belum tersentuh. "Baik, Bi." Asrina pun menggerakkan sendoknya dan makan perlahan. Setelah makan malam Asrina pergi mandi, lalu duduk di atas tempat tidur selesai mengeringkan rambutnya. Bermain dengan ponsel Asrina menjelajahi internet mencari informasi tentang Arbian dan perusahaannya. Dia ingin mengenal pria itu lebih baik lagi. Ada baiknya jika dia berhati-hati. "Kenapa tidak ada anggota keluarga yang dicamtumkan di biografinya, ya? Ah, sudahlah lebih baik aku tidur saja. Hoaaamhh...." Asrina menguap tidak sanggup menahan kantuk. Padahal dia ingin menunggu pria itu pulang, tapi apa daya kantuk
Kembali ke rumah kecilnya, Asrina mengepak beberapa pakaian dan yang lainnya ke dalam koper. Selesai berkemas Asrina menarik kopernya keluar dan bertemu dengan mamanya yang baru saja pulang dari pasar. "Kamu mau kemana bawa koper segala sayang?" tanya Bu Kinanti menatap koper di belakang putrinya dengan bingung. "Asri mau pindah ke rumah teman, Ma," jawab Asrina. "Loh, kok tiba-tiba. Memangnya ada apa?" Bu Kinanti meletakkan belanjanya di atas meja. "Maafin Asri ya, Ma. Sebenarnya Asri diam-diam cari kerja tanpa memberitahu mama dan papa. Kebetulan hari ini Asri keterima dan rumah teman Asri sangat dekat dengan perusahaan. Jadi, Asri akan tinggal di sana untuk sementara," jelas Asrina. Menjadi kekasih kontrak Arbian juga merupakan pekerjaan kan? Arbian membayarnya gaji yang sangat mahal sebagai istri kontrak, ini namanya kerja juga kan? Meskipun dalam bentuk lain. Anggap sajalah seperti itu. Jangan sampai orang tuanya khawatir. Dia tidak boleh menambah beban orang tuanya sekaran