Malam hari, meja makan.
Duduk di meja makan Asrina menatap sekeliling mencoba mencari keberadaan Arbian. Setelah beberapa saat dia tidak melihat orang itu datang."Bi, apa Arbian belum pulang?" tanya Asrina pada Bi Yupi."Belum, Nona. Hari ini Tuan ada makan malam dengan klien jadi pulangnya larut. Nona makan saja, tidak perlu menunggu Tuan," jawab Bi Yupi melihat makanan di atas meja belum tersentuh."Baik, Bi." Asrina pun menggerakkan sendoknya dan makan perlahan.Setelah makan malam Asrina pergi mandi, lalu duduk di atas tempat tidur selesai mengeringkan rambutnya. Bermain dengan ponsel Asrina menjelajahi internet mencari informasi tentang Arbian dan perusahaannya. Dia ingin mengenal pria itu lebih baik lagi. Ada baiknya jika dia berhati-hati."Kenapa tidak ada anggota keluarga yang dicamtumkan di biografinya, ya? Ah, sudahlah lebih baik aku tidur saja. Hoaaamhh...." Asrina menguap tidak sanggup menahan kantuk.Padahal dia ingin menunggu pria itu pulang, tapi apa daya kantuk melanda Asrina pun tertidur.߷Arbian yang baru saja kembali membuka pintu kamar dan terkejut melihat kamarnya terang benderang. Melirik ke tempat tidur, dilihatnya wajah cantik dan lembut berbaring di bawah selimutnya.Kamarnya biasanya gelap kini menjadi terang. Arbian tidak menyukai kegelapan, namun hanya jika ruangannya gelap barulah dia bisa menutup matanya dengan tenang. Cahaya hanya membuatnya tidak bisa memjamkan mata, bahkan untuk bisa tertidur dia harus menelan obat tidur setiap hari.Arbian tahu mengonsumsi obat tidur berlebihan merupakan racun. Dia tidak tahu berapa lama tubuhnya ini bisa bertahan. Banyak cara telah dia coba hanya untuk menyembuhkan penyakitnya ini yang tidak membuahkan hasil.Wanita ini adalah satu-satunya cara sekarang. Jika tidak mempan, gunakan saja wanita ini sebagai mainan. Jika benar-benar bisa menyembuhkannya, dia tidak keberatan membuat kontrak mereka menjadi kenyataan. Wanita ini bahkan bisa menjadi nyonya Gautama.Arbian melonggarkan dasinya dan berjalan ke kamar mandi.Beberapa saat kemudian Arbian keluar dengan mengenakan kaos putih polos lengan pendek dan celana hitam selutut berjalan ke tempat tidur.Berbaring di atas ranjang sama seperti waktu itu. Dia ingin mencoba apakah ini benar-benar akan berhasil?Tanpa obat tidur Arbian memejamkan matanya berusaha tertidur.Beberapa saat kemudian, dua suara napas yang berirama terdengar dalam ruangan itu. Arbian benar-benar berhasil tidur tanpa menggunakan obat tidur.Keesokan harinya, Arbian terbangun tepat waktu seperti biasanya. Dia merasakan sebuah tangan memeluk lengannya. Arbian membalikkan kepalanya dan melihat sebuah tangan putih, kecil, dan ramping memegang erat lengannya menjadikannya sebagai bantal. Dan pemilik tangan itu menyandarkan pipinya di pundaknya.Arbian menarik tangannya dan bangun dari tempat tidur. Saat melakukan itu dia memperhatikan gadis itu tidak terbangun. Sama seperti waktu itu, dia tidur dengan sangat lelap dan tidak merasakan hal-hal disekelilingnya.Apakah dia putri tidur?Bagaimana jika itu pria lain yang bersamanya, bukan dirinya? Gadis ini pasti sudah habis dimakan tanpa menyisahkan tulang.Lagi pula pria mana yang akan tahan bila seorang gadis cantik berbaring di tempat tidurnya. Pasti akan langsung berubah menjadi serigala jahat.Untuknya itu dia. Dia tidak tertarik berhubungan dengan wanita. Entah sudah berapa banyak wanita yang dilemparkan ke tempat tidurnya, namun tak satupun dari mereka yang berhasil.Arbian tidak akan menjadi serigala karena dia adalah harimau, harimau yang sedang tidur. Jika harimau itu terbangun, maka tamatlah Asrina."Tring! Tring! Tring!" Dering panggilan masuk berbunyi memecah keheningan di dalam kamar.Asrina segera terbangun mendengar suara itu. Dia mengambil ponselnya yang kemarin di letakkan nya di atas meja. Melihat nama yang tertera melalui layar, Asrina mengangkat panggilan itu."Halo Hilya," ucap Asrina saat panggilan terhubung."Kamu lama banget angkat telepon aku. Kamu masih tidur ya?" suara kesal Hilya tersengar dari balik ponsel.Asrina menguap malas. "Hoammm.... Aku baru bangun. Ada apa kamu menelpon sepagi ini?""Ayolah Asri. Masa kamu lupa sih? Hari ini kan Widy akan fiting baju pengantin. Kita juga harus pergi buat fiting baju sebagai bridesmaidnya," jelas Hilya mengingatkan.Widy adalah salah satu teman se-asrama Asrina saat kuliah. Asrama mereka berisikan 4 orang dan Asrina paling dekat dengan Hilya. Sementara yang lain Asrina tidak terlalu akrab.Kali ini untuk pernikahan Widy sebagai mantan teman se-asrama, Asrina harus ikut berpartisipasi sebagian bridesmaid atas desakan Hilya."Oh, aku lupa. Untungnya kamu mengingatkan aku. Baiklah aku akan siap-siap sekarang. Kamu kirimkan saja alamatnya padaku. Aku akan langsung ke sana nanti," ucap Asrina buru-buru turun dari tempat tidur."Ok. Akan aku kirimkan alamatnya. Sampai ketemu disana," ucap Hilya menutup panggilan.Asrina melemparkan ponselnya ke atas tempat tidur dan berlari ke kamar mandi. Saat membuka pintu Asrina terkejut melihat Arbian berdiri di balik pintu.Arbian menatap wanita dengan rambut berantakan yang tiba-tiba membuka pintu berdiri mematung."Masuk," ucap Arbian memberi jalan.Asrina tersadar setelah mendengar ucapan Arbian. "Maaf, aku tidak tahu ada orang," ucapnya malu."Aku akan keluar. Kamu bisa masuk," kata Arbian.Asrina pun mundur sedikit membiarkan Arbian keluar dari kamar mandi. Dia tidak berani melihat kebelakang, baru saat mendengar suara pintu tertutup Asrina berani berbalik.Asrina menghela napas lega sambil mengusap dadanya melihat Arbian tidak ada lagi di dalam ruangan. "Untungnya dia sudah keluar." Asrina masuk ke kamar mandi tidak lupa mengunci pintu."Ahhh! Apa yang aku lakukan?! Bagaimana ini? Jelek sekali," teriak Asrina melihat pantulan dirinya di cermin kamar mandi.Apakah pria itu akan menganggapnya sebagai wanita jelek tanpa aturan?Dengan rambut seperti sarang burung dan pakaian berkerut, tidak cantik sama sekali. Bisa-bisanya dia bertemu denga pria itu dalam tampilan seperti ini?Asrina menyalakan keran dan membasuh wajahnya dengan air. Dia melihat wajahnya di cermin dan tiba-tiba melebarkan matanya."Apakah kemarin mereka tidur bersama?" tanya Asrina pada dirinya sendiri baru sadar."Ahh! Ahh! Bagaimana ini? Kenapa dia tidak sadar saat pria itu datang? Asrina, kamu itu tidur apa pingsan, sih?" teriak Asrina kesal menepuk pipinya.Asrina memeriksa seluruh tubuhnya dan tidak menemukan hal aneh. Untungnya dia masih utuh, pria itu tidak melakukan apapun padanya."Pokoknya nanti malam aku tidak boleh tidur lebih dulu," gumam Asrina menyemangati dirinya. "Sebenarnya apa sih mau pria itu? Kontraknya mengatakan sebagai suami istri. Apa termasuk yang itu juga? Tapi, kenapa dia tidak menyentuhnya kemarin?" pikir Asrina bingung.Evan saja selalu ingin dekat dengannya yang selalu dia tolak. Dia telah mempersiapkan dirinya jika pria itu seperti Evan hanya ingin memanfaatkan tubuhnya."Apa karena aku tertidur, jadi pria itu tidak melakukan apapun padaku?" Asrina menggelengkan kepalanya menghilangkan pikirannya yang pusing dan mulai mandi.Setelah mandi dan berpakaian Asrina turun ke lantai bawah menuju meja makan dimana sudah ada Arbian duduk di sana. "Selamat pagi," sapa Asrina dengan senyum lembut dan duduk di samping Arbian. "Pagi," gumam Arbian sebagai tanggapan. Keduanya sarapan dalam diam, Asrina tidak tahu harus berbicara apa dengan pria itu. Sementara Arbian tidak suka bicara saat makan. "Bisakah aku ikut dengan mobilmu?" tanya Asrina tiba-tiba menghentikan Arbian yang bagun dari kursi. "Kemana?" tanya Arbian. "Aku ingin ke Wedding Butik. Bisakah?" ucap Asrina menatap Arbian sedikit takut. Melihat wajah pria itu yang selalu terlihat dingin membuat Asrina takut. Dia takut akan membuat pria itu marah. "Oke," angguk Arbian. Asrina segera berjalan mengikuti Arbian dan masuk ke dalam mobil. "Aku sudah bertemu Pak Morael kemarin. Dan uang itu sudah aku berikan padanya. Ini dokumen perjanjian kerja sama dan 50% saham atas namamu," ucap Arbian mengeluarkan dokumen dari dalam tasnya dan memberikannya pada Asri
Setelah berpisah dari teman-temannya Asrina tidak langsung kembali ke vila Arbian, tapi pergi ke rumah orang tuanya. Dia masih memikirkan tawaran Arbian untuk mengadakan pesta pernikahan. "Asri, kapan kamu datang? Kenapa hanya berdiri di situ? Ayo masuk," Kinanti terkejut dengan kedatangan putrinya segera memintanya masuk ke dalam rumah. Asrina sadar mendengar suara mamanya, dia pun tersenyum dan memasuki rumah. "Bagaimana pekerjaanmu? Apa kamu betah? Apa pekerjaannya sulit?" tanya Kinanti khawatir. "Tidak, Ma. Pekerjaannya sangat mudah," jawab Asrina duduk di kursi. "Baguslah kalau begitu," kata Kinanti berjalan ke dapur. Beberapa saat kemudian dia keluar sambil membawa nampan berisi teh dan kue. "Nih, minum dulu." Asrina mengambil cangkir yang di serahkan mamanya dan meletakkannya di atas meja. Kemudian, dia meraih tangan Kinanti dan memegangnya dengan kedua tangannya sedikit melamun. "Ada apa sayang? Kamu terlihat punya banyak pikiran seperti itu. Kalau ada masalah kamu bi
Asrina menatap berbagai macam hadiah yang dibawa oleh sekretaris Arbian dengan bingung. "Untuk apa semua ini?" tanyanya menghentikan Doni yang tengah sibuk menghitung hadiah. "Nona, ini semua adalah hadiah lamaran yang diperintahkan oleh Pak Arbian," terang Doni. "Hadiah lamaran?" gumam Asrina tidak mengerti. Untuk apa hadiah lamaran? Siapa yang mau dia lamar? "Kamu tidak ingin bersiap?" Asrina terkejut mendengar suara itu segera berbalik dan melihat Arbian berpakaian rapih, entah sejak kapan berdiri di belakangnya. "Bersiap untuk apa?" tanyanya menatap Arbian penuh tanya. "Untuk melamar ke rumahmu," jawab Arbian berjalan ke sofa dan duduk di sana. Ucapan Arbian membuat Asrina tertegun, apakah dia tidak salah dengar? Pria itu benar-benar ingin melamarnya? "Aku akan menunggumu setengah jam. Cepat berganti pakaian," kata Arbian sambil melirik arloji yang melingkari pergelangan tangan kirinya. "Ah, oke. Aku akan segera berganti pakaian," ujar Asrina segera berlari menuju lantai
Andreas Corporation, kantor CEO. Seorang pria paruh baya mengenakan setelan jas duduk di kursi CEO sementara Evan duduk di depannya. "Bagaimana hal ini bisa terjadi?" tanya pria paruh baya itu yang tidak lain adalah papa Evan, Davis Andreas. "Aku tidak tahu, Pa. Aku merasa ada yang menargetkan perusahaan kita," jawab Evan. Pak Davis melemparkan dokumen ke depan Evan. "Saham perusahaan menurun tajam dan kamu tidak tahu! Bukankah perusahaan kita bekerja sama dengan perusahaan Asri Corporation. Perusahaan itu berkembang pesat baru-baru ini. Kenapa kamu tidak meminta bantuannya?" Evan mengepalkan tinjunya mendegar ucapan papanya. Dia tidak tahu bagaimana bisa perusahaan yang sudah akan bangkrut itu bisa melakukan serangan balik dan bahkan terus meningkat. Rencananya selama ini semuanya sia-sia. "Aku sudah memutuskan pertunangan dengan Asrina, Pa." Kata-kata putranya membuat Pak Davis sangat marah. "Dasar anak bodoh! Kamu melepaskan peluang yang sangat besar seperti itu. Pokoknya pa
"Aku tidak menyangka bisa bertemu denganmu di sini. Kenapa kamu memblokir nomorku? Aku mencarimu ke rumahmu, tapi rumahmu sudah di jual. Kamu tinggal di mana sekarang?" Atas perintah papanya Evan telah berusaha menghubungi Asrina. Tidak pernah terpikir olehnya tunangannya yang polos ini benar-benar berani memblokir nomor ponselnya. "Kamu tidak perlu tahu di mana aku tinggal. Kita sudah tidak ada hubungan lagi." Asrina berkata berjalan menghindari Evan. Melihat sikap acuh Asrina membuat Evan kesal dan menghentikan langkah gadis itu. "Kamu tunanganku! Hubungan kita sangat jelas." "Pertunangan kita sudah putus. Kamu sendiri yang mengatakan itu," tangkas Asrina. "Aku hanya bercanda waktu itu. Bisakah kamu melupakannya. Saat itu aku sedang dalam suasana hati yang buruk, jadi mengatakan hal seperti itu." Evan buru-buru menjelaskan secara asal. Asrina menatap pria yang telah menjadi tunangannya selama 3 tahun. Satu-satunya pria yang sangat dekat dengannya dan dia berikan kepercayaan un
Arbian duduk di meja makan tanpa menyentuh sarapan yang sudah disajikan di atas meja. Dia sedang menunggu Asrina untuk sarapan bersama."Selamat pagi?" Sapa Asrina baru saja turun."Pagi. Kamu mau kemana?" tanya Arbian melihat Asrina yang sudah berpakaian rapi. Tinggal bersama membuat Arbian mengerti kebiasaan gadis itu. Saat berpakaian rapi dan cantik dia akan keluar, sementara saat hanya tinggal di rumah dia hanya berpakaian seadanya tanpa merias wajah."Hilya akan membuka cabang di Grandmall. Sebagai teman dan mitra aku akan datang ke pembukaannya," jelas Asrina sambil menarik kursi dan duduk."Ini untukmu." Arbian meletakkan kunci mobil di depan Asrina."Apa ini? Kamu memberiku mobil?" Asrina memegang kunci mobil menatap Arbian terkejut. Hari ini bukan hari ulang tahunnya, buat apa memberi hadiah mobil?"Ya. Kamu bisa menggunakan mobil itu untuk bepergian saat aku tidak bersamamu," jelas Arbian. Asrina selalu menggunakan mobil online saat keluar atau menumpang mobilnya. Dengan mo
Memasuki kafe Asrina memimpin memilih meja kosong, Hilya dan Vany saling memandang dan mengikuti Asrina. Asrina memanggil pelayan dan memesan teh susu dan kue black forest. Sebenarnya dia merasa sedikit haus dan dia tahu kalau pasti akan menghabiskan banyak air liur untuk berbicara dengan kedua sahabatnya itu. Jadi, Asrina menghentikan Hilya dan Vany yang akan berbicara dan meminta mereka untuk memesan juga. Pembukaan toko Hilya masih ada satu jam lagi, dia bisa memanfaatkan waktu ini untuk berbicara dengan keduanya. Setelah pelayan itu pergi Hilya dan Vany tidak sabar mendengar pengakuan dari Asrina yang menyulut rasa ingin tahu mereka. "Oke, jadi dari mana kamu dapat mobil mewah itu? Jangan mencoba bicara yang berputar-putar dan jangan mengalihkan pembicaraan lagi." Hilya tidak dapat menahan rasa penasarannya. Menunggu penjelasan Asrina dari pintu masuk mal hingga memesan makanan dan minuman sudah menghabiskan banyak kesabarannya. Asrina selalu menunda-nunda dan mengalihkan pemb
Asrina menahan tawa, tapi tidak berhasil. Sebuah senyum getir terukir di bibirnya sebelum berubah menjadi tawa kecil yang dingin dan sarkastik.“Kesalahpahaman?” ulang Asrina pelan, menatap Bella lewat pantulan cermin. “Kamu bilang apa yang kulihat dengan mata kepala sendiri—ciuman itu—adalah kesalahpahaman?”Bella menunduk. “Saya... saya hanya tidak tahu harus berkata apa lagi.”Asrina membalikkan tubuhnya, kini langsung berhadapan dengan Bella. Wajahnya tidak lagi menunjukkan amarah. Justru terlalu tenang. Tapi ketenangan itu jauh lebih menakutkan.“Kamu tahu apa yang paling menyakitkan dari semua ini, Bella?” tanyanya lirih. “Bukan karena kamu mengambil Evan dariku. Tapi karena kamu membuatku sadar—kalau selama ini aku mencintai pria yang tidak pernah benar-benar mengenalku, tidak pernah benar-benar menghargai kesetiaanku.”Bella menggigit bibirnya. “Saya—”“Jangan salah paham, Bella. Aku tidak membencimu. Tidak punya waktu untuk itu,” potong Asrina. “Tapi aku juga tidak membutuhka
Bella berdiri di depan kaca besar dalam ruang ganti butik kecil milik temannya, mengenakan blouse putih sederhana dan celana bahan krem. Tidak ada kesan mewah, tidak ada riasan berlebihan. Hari ini, ia ingin tampil ‘bersahabat’. Sederhana. Supaya tidak menimbulkan pertahanan dari seseorang yang ingin ia dekati—Asrina.Ia sudah tahu kebiasaan baru Asrina sejak beberapa hari lalu, berkat seorang pegawai toko yang dikenalnya secara pribadi. Hari ini, dia tahu Asrina akan datang ke butik Hilya untuk menyesuaikan ukuran kebaya resepsi.Dan seperti rencana yang sudah ia siapkan, Bella lebih dulu sampai di sana.Saat Asrina memasuki butik dengan membawa map kecil di tangan, langkahnya terhenti ketika melihat sosok Bella yang duduk tenang di pojok ruangan.“Bella?” gumam Asrina dengan nada datar, kaget namun tidak menunjukkan keterbukaan.Bella langsung berdiri dan menyambut dengan senyum sopan, seolah-olah pertemuan ini sepenuhnya kebetulan.“Asrina... kebetulan sekali,” ucap Bella dengan na
Di dalam studio foto ternama di pusat kota Jampu, suasana pagi itu penuh persiapan. Fotografer, asisten, dan penata rias sibuk berlalu-lalang, menyiapkan set latar, properti, dan gaun pengantin yang digantung rapi di rak kaca. Cahaya matahari menerobos jendela besar, membuat ruangan terasa hangat dan hidup.Asrina duduk di depan cermin rias besar, mengenakan dressing gown putih satin, rambutnya setengah dikeriting oleh tangan terampil seorang penata rambut. Wajahnya yang memang sudah cantik kini ditata lebih anggun, membuatnya tampak seperti calon pengantin dari negeri dongeng."Aku masih tidak percaya ini terjadi," gumam Asrina pelan, lebih kepada dirinya sendiri."Apa, Nona?" tanya si makeup artist, mendongak dari palet eyeshadow.Asrina tersenyum kecil. "Tidak apa-apa."Di ruang ganti sebelah, Arbian berdiri mengenakan kemeja putih dan jas hitam yang disesuaikan khusus oleh desainer internasional. Penata gaya sedang memperbaiki dasinya dan memastikan potongan rambutnya pas di kamer
Asrina menahan tawa, tapi tidak berhasil. Sebuah senyum getir terukir di bibirnya sebelum berubah menjadi tawa kecil yang dingin dan sarkastik.“Kesalahpahaman?” ulang Asrina pelan, menatap Bella lewat pantulan cermin. “Kamu bilang apa yang kulihat dengan mata kepala sendiri—ciuman itu—adalah kesalahpahaman?”Bella menunduk. “Saya... saya hanya tidak tahu harus berkata apa lagi.”Asrina membalikkan tubuhnya, kini langsung berhadapan dengan Bella. Wajahnya tidak lagi menunjukkan amarah. Justru terlalu tenang. Tapi ketenangan itu jauh lebih menakutkan.“Kamu tahu apa yang paling menyakitkan dari semua ini, Bella?” tanyanya lirih. “Bukan karena kamu mengambil Evan dariku. Tapi karena kamu membuatku sadar—kalau selama ini aku mencintai pria yang tidak pernah benar-benar mengenalku, tidak pernah benar-benar menghargai kesetiaanku.”Bella menggigit bibirnya. “Saya—”“Jangan salah paham, Bella. Aku tidak membencimu. Tidak punya waktu untuk itu,” potong Asrina. “Tapi aku juga tidak membutuhka
Memasuki kafe Asrina memimpin memilih meja kosong, Hilya dan Vany saling memandang dan mengikuti Asrina. Asrina memanggil pelayan dan memesan teh susu dan kue black forest. Sebenarnya dia merasa sedikit haus dan dia tahu kalau pasti akan menghabiskan banyak air liur untuk berbicara dengan kedua sahabatnya itu. Jadi, Asrina menghentikan Hilya dan Vany yang akan berbicara dan meminta mereka untuk memesan juga. Pembukaan toko Hilya masih ada satu jam lagi, dia bisa memanfaatkan waktu ini untuk berbicara dengan keduanya. Setelah pelayan itu pergi Hilya dan Vany tidak sabar mendengar pengakuan dari Asrina yang menyulut rasa ingin tahu mereka. "Oke, jadi dari mana kamu dapat mobil mewah itu? Jangan mencoba bicara yang berputar-putar dan jangan mengalihkan pembicaraan lagi." Hilya tidak dapat menahan rasa penasarannya. Menunggu penjelasan Asrina dari pintu masuk mal hingga memesan makanan dan minuman sudah menghabiskan banyak kesabarannya. Asrina selalu menunda-nunda dan mengalihkan pemb
Arbian duduk di meja makan tanpa menyentuh sarapan yang sudah disajikan di atas meja. Dia sedang menunggu Asrina untuk sarapan bersama."Selamat pagi?" Sapa Asrina baru saja turun."Pagi. Kamu mau kemana?" tanya Arbian melihat Asrina yang sudah berpakaian rapi. Tinggal bersama membuat Arbian mengerti kebiasaan gadis itu. Saat berpakaian rapi dan cantik dia akan keluar, sementara saat hanya tinggal di rumah dia hanya berpakaian seadanya tanpa merias wajah."Hilya akan membuka cabang di Grandmall. Sebagai teman dan mitra aku akan datang ke pembukaannya," jelas Asrina sambil menarik kursi dan duduk."Ini untukmu." Arbian meletakkan kunci mobil di depan Asrina."Apa ini? Kamu memberiku mobil?" Asrina memegang kunci mobil menatap Arbian terkejut. Hari ini bukan hari ulang tahunnya, buat apa memberi hadiah mobil?"Ya. Kamu bisa menggunakan mobil itu untuk bepergian saat aku tidak bersamamu," jelas Arbian. Asrina selalu menggunakan mobil online saat keluar atau menumpang mobilnya. Dengan mo
"Aku tidak menyangka bisa bertemu denganmu di sini. Kenapa kamu memblokir nomorku? Aku mencarimu ke rumahmu, tapi rumahmu sudah di jual. Kamu tinggal di mana sekarang?" Atas perintah papanya Evan telah berusaha menghubungi Asrina. Tidak pernah terpikir olehnya tunangannya yang polos ini benar-benar berani memblokir nomor ponselnya. "Kamu tidak perlu tahu di mana aku tinggal. Kita sudah tidak ada hubungan lagi." Asrina berkata berjalan menghindari Evan. Melihat sikap acuh Asrina membuat Evan kesal dan menghentikan langkah gadis itu. "Kamu tunanganku! Hubungan kita sangat jelas." "Pertunangan kita sudah putus. Kamu sendiri yang mengatakan itu," tangkas Asrina. "Aku hanya bercanda waktu itu. Bisakah kamu melupakannya. Saat itu aku sedang dalam suasana hati yang buruk, jadi mengatakan hal seperti itu." Evan buru-buru menjelaskan secara asal. Asrina menatap pria yang telah menjadi tunangannya selama 3 tahun. Satu-satunya pria yang sangat dekat dengannya dan dia berikan kepercayaan un
Andreas Corporation, kantor CEO. Seorang pria paruh baya mengenakan setelan jas duduk di kursi CEO sementara Evan duduk di depannya. "Bagaimana hal ini bisa terjadi?" tanya pria paruh baya itu yang tidak lain adalah papa Evan, Davis Andreas. "Aku tidak tahu, Pa. Aku merasa ada yang menargetkan perusahaan kita," jawab Evan. Pak Davis melemparkan dokumen ke depan Evan. "Saham perusahaan menurun tajam dan kamu tidak tahu! Bukankah perusahaan kita bekerja sama dengan perusahaan Asri Corporation. Perusahaan itu berkembang pesat baru-baru ini. Kenapa kamu tidak meminta bantuannya?" Evan mengepalkan tinjunya mendegar ucapan papanya. Dia tidak tahu bagaimana bisa perusahaan yang sudah akan bangkrut itu bisa melakukan serangan balik dan bahkan terus meningkat. Rencananya selama ini semuanya sia-sia. "Aku sudah memutuskan pertunangan dengan Asrina, Pa." Kata-kata putranya membuat Pak Davis sangat marah. "Dasar anak bodoh! Kamu melepaskan peluang yang sangat besar seperti itu. Pokoknya pa
Asrina menatap berbagai macam hadiah yang dibawa oleh sekretaris Arbian dengan bingung. "Untuk apa semua ini?" tanyanya menghentikan Doni yang tengah sibuk menghitung hadiah. "Nona, ini semua adalah hadiah lamaran yang diperintahkan oleh Pak Arbian," terang Doni. "Hadiah lamaran?" gumam Asrina tidak mengerti. Untuk apa hadiah lamaran? Siapa yang mau dia lamar? "Kamu tidak ingin bersiap?" Asrina terkejut mendengar suara itu segera berbalik dan melihat Arbian berpakaian rapih, entah sejak kapan berdiri di belakangnya. "Bersiap untuk apa?" tanyanya menatap Arbian penuh tanya. "Untuk melamar ke rumahmu," jawab Arbian berjalan ke sofa dan duduk di sana. Ucapan Arbian membuat Asrina tertegun, apakah dia tidak salah dengar? Pria itu benar-benar ingin melamarnya? "Aku akan menunggumu setengah jam. Cepat berganti pakaian," kata Arbian sambil melirik arloji yang melingkari pergelangan tangan kirinya. "Ah, oke. Aku akan segera berganti pakaian," ujar Asrina segera berlari menuju lantai
Setelah berpisah dari teman-temannya Asrina tidak langsung kembali ke vila Arbian, tapi pergi ke rumah orang tuanya. Dia masih memikirkan tawaran Arbian untuk mengadakan pesta pernikahan. "Asri, kapan kamu datang? Kenapa hanya berdiri di situ? Ayo masuk," Kinanti terkejut dengan kedatangan putrinya segera memintanya masuk ke dalam rumah. Asrina sadar mendengar suara mamanya, dia pun tersenyum dan memasuki rumah. "Bagaimana pekerjaanmu? Apa kamu betah? Apa pekerjaannya sulit?" tanya Kinanti khawatir. "Tidak, Ma. Pekerjaannya sangat mudah," jawab Asrina duduk di kursi. "Baguslah kalau begitu," kata Kinanti berjalan ke dapur. Beberapa saat kemudian dia keluar sambil membawa nampan berisi teh dan kue. "Nih, minum dulu." Asrina mengambil cangkir yang di serahkan mamanya dan meletakkannya di atas meja. Kemudian, dia meraih tangan Kinanti dan memegangnya dengan kedua tangannya sedikit melamun. "Ada apa sayang? Kamu terlihat punya banyak pikiran seperti itu. Kalau ada masalah kamu bi