Jika bisa memilih nasib, tentu hidup Nova saat ini bukanlah hidup yang Nova inginkan. Bayangan masa lalu masih seringkali menghantuinya. Entah sampai kapan perasaan takut dan bersalah itu akan mengisi hari-hari Nova, ia sudah pasrah dengan hidup yang harus dijalani.
"Kamu mau menguji kesabaranku berapa lama lagi?" Suara tinggi Angga menggema di seluruh penjuru kamar. Pria itu berdiri di ambang pintu dengan dua tangannya bersedekap di depan dada.
“Aku sudah selesai,” jawab Nova lantas bangkut dari kursi meja rias yang ia tempati.
Dress putih polos dengan pita berukuran besar di bagian pundak Nova membuat penampilan wanita itu sangat memukau malam ini. Meski perutnya kian hari semakin besar, kehamilannya semakin memancarkan aura kecantikan Nova.
“Kamu selalu punya banyak hal untuk memancing emosiku. Jika ini bukan acara penting, tidak akan susah payah aku mengajakmu,” sahut Angga meninggalkan Nova di belakangnya.
Ucapan-ucapan pedas Angga sudah menjadi makanan sehari-hari bagi Nova. Sebagai manusia biasa, tak mungkin hatinya tidak sakit ditempa dengan sikap dingin dan arogansi Angga.
“Aku harus melewati malam ini dengan sempurna, jangan sampai dia memakai tubuhku untuk pelampiasan kemarahannya lagi,” gumam Nova sambil terus melangkah.
Di usia kandungan yang sudah memasuki bulan persiapan untuk bersalin, semakin banyak kesulitan yang harus Nova lewati. Tentu saja, fase roller coaster sebagai ibu hamil harus Nova lalui sendiri. Bahkan di menit-menit terakhir sebelum topeng mereka berdua di pakai di depan banyak orang, Angga sama sekali tidak peduli.
Sebuah sedan hitam sudah menunggu pasangan dengan citra harmonis itu. Angga menuntun tangan Nova, membantu sang istri masuk ke dalam mobil seraya berbisik.
“Aku tahu ini terlalu awal untuk memulai akting, jangan berpikir aku memang berniat melayanimu.”
Posisi kosong di sebelah Nova sudah ditempati sosok pria tampan dengan model rambut terkini. Sama halnya dengan Nova, penampilan Angga mampu menarik perhatian banyak tamu undangan di acara itu. Tubuh tegapnya dibalut jas hitam dari bahan kashmir asli seharga satu buah mobil.
"Akan banyak media yang meliput acara ini. Jangan sampai kamu mempermalukan aku di sana. Pastikan kamu tahu apa hukumannya jika kamu melanggar,” tegas Angga tanpa sedikitpun menoleh. Pandangannya lurus ke depan, bahu bidangnya yang kokoh kerap kali Nova rindukan sebagai tempat bersandar namun, tiap kali menginginkannya, Nova sadar, ia tidak akan mendapatkan figur suami idamannya dalam diri Angga.
Entah sampai kapan Nova harus bertahan dengan rumah tangga bak dasar neraka ini. Hatinya pilu, seringkali ia bertanya pada diri sendiri, apakah Nova tak berhak untuk mendapatkan cinta yang tulus?
Tak terasa perjalanan selama dua puluh menit sudah berlalu, dua orang pengawal sudah berdiri di sisi pintu mobil mempersilahkan pasangan itu memulai akting mereka.
Sejak pembicaraan mereka di mobil tadi, Nova sama sekali tidak menyela peringatan Angga. Tanpa perlu diingatkan, setiap luka yang tertoreh di batin Nova akan selalu teringat jelas.
Kilatan lampu kamera silih berganti menyorot kehadiran sang pengusaha muda dan istrinya. Nova sedikit kesulitan melangkah karena gaun panjangnya. Sebuah hal tak terduga tiba-tiba dilakukan oleh Angga.
“Hati-hati melangkah, sayang. Peganglah tanganku,” ucapnya dengan sorot mata teduh penuh cinta. Untuk sepersekian detik Nova mengernyitkan dahi bingung. Sorot mata itu bukan hal yang biasanya pria itu lakukan.
‘Aku yakin dia hanya sedang memainkan perannya. Sorot mata itu bukan sorot cinta, Nova. Sadarlah!’ batin Nova mempertegas sebuah bisikan setan kecil dalam dirinya.
Mana mungkin Angga akan mencintainya seperti sorot mata yang ditunjukkan olehnya barusan.
“Ayo, sayang. Mereka sudah menunggu kita di dalam.”
“Ayo,” jawab Nova sambil berusaha keras mengulas senyum terbaiknya di depan kamera.
Para wartawan beriringan mengikuti langkah mereka berdua. Namun Angga memilih untuk menolak secara halus ajakan untuk wawancara.
“Kita bicara nanti, ya. Istri saya perlu istirahat sejenak. Terima kasih.” Angga menolak halus. Ia membimbing nova masuk ke area dalam hotel dikelilingi oleh lima orang pengawal.
Pesta malam ini digelar dengan begitu megah. Nova tahu siapa sosok yang mengadakan perhelatan akbar ini, tak lain adalah rekan bisnis Angga yang terkenal dengan kepiawaiannya dalam berbisnis. Jangan berpikir bahwa sosok itu tulus menjadikan Angga sebagai rekannya dalam mengolah uang. Puluhan kali Nova bertemu dengannya, sosok itu sama sekali tidak menunjukkan ketulusan.
“Aku harap kamu tidak termakan oleh bujukan investasi dari Pak Jhony lagi, Angga. Firasatku tidak enak jika kaku berbisnis lagi dengannya,” bisik Nova di telinga sang suami. Senyum lebar yang tak pernah lepas dari wajah Angga berubah menjadi kerutan amarah.
“Apa maksudmu? Jangan mencoba mengaturku. Aku jauh lebih tahu banyak tentang bisnis daripada kamu,” balas Angga tak terima.
Angga selalu menyangkal setiap nasihat yang diberikan Nova. Padahal, bagaimanapun perangainya terhadap Nova, sebagai seorang istri, Nova tidak ingin Angga tergelincir oleh lidah dan gengsinya sendiri.
“Di sini, aku adalah istri sahmu. Jadi kupikir tidak ada salahnya jika kamu menampung saran dari istrimu sendiri.”
Telak.
Nova cukup pintar memanfaatkan situasi. Momen-momen seperti ini, suaranya bisa di dengar oleh Angga. Sepuluh bulan menikahi pria itu, tak satupun saran Nova yang masuk ke telinga.
“Bersiaplah, Pak Jhony menghampiri kita. Kamu harus bisa menjaga nama baikku di depan dia dan kolegaku yang lain,” perintah Angga, disambut anggukan kecil Nova.
Seorang pria paruh baya berusia akhir empat puluhan datang menghampiri Angga dan Nova.
“Pak Angga, selamat datang ke acaraku. Aku sudah menunggu kedatanganmu sejak tadi.”
“Selamat malam Pak Jhony, sudah cukup lama kita tidak bertemu. Aku lihat anda semakin sukses,” ucap Angga mulai
“Pak Angga bisa saja. Bagaimanapun, ini semua berkat investasi yang sudah bapak berikan ke perusahaan saya.”
Nova memperhatikan interaksi dua orang di hadapannya dengan pandangan menyelidik. Tatapannya tak sengaja bertemu dengan Pak Jhony yang juga tengah melirik ke arahnya. Lantas pria itupun kembali bersuara.
“Kau pandai memuji, Pak Jhony.”
“Sepertinya, sebentar lagi komisaris kita ini akan menyandang gelar seorang ayah. Aku tidak sabar ingin mengenal jagoan penerus penerus kejayaanmu, Pak Angga,” ucap Pak Jhony langsung membuat senyum Angga berubah kikuk.
Mulut pria paruh baya itu sangat licin dalam memuji. Pandai membuat Angga merasa superior hingga kini suami Nova itu semakin memperkikis jarak dengan Nova.
“Kemarilah,” bisik Angga sambil menyeret Nova mendekat.
Senyum palsu kembali dipamerkan oleh Angga, sungguh Nova muak melihat semua kepalsuan ini.
“Ah. Aku hampir saja lupa untuk mengundangmu ke acara pesta kelahiran calon anak kami nanti, Pak Jhony.” Kedua mata Nova terbelalak tak percaya. Sejak kapan Angga memiliki rencana untuk membuat pesta kelahiran anak mereka?
“Aku pasti akan datang, Pak Angga. Aku yakin, calon penerusmu adalah orang hebat sepertimu juga. Akan aku tunggu undangan darimu dan Nona Nova.” Jhony melirik sekilas ke arah Nova. Tanpa diketahui Angga, pria itu mengedipkan sebelah mata menggoda.
Benar saja firasat Nova selama ini, Pak Jhony bukanlah orang yang tulus. Diam-diam pria tua bangka ini menggodanya di hadapan sang suami, membuat Nova tak nyaman.
“Tentu kita akan mengabarimu secepatnya. Bukan begitu, sayang?” kata Angga beralih pada Nova yang menegang.
Nova menyeret Angga ke sisi ruang yang lebih sepi dengan langkah hati-hati. Gaun panjangnya ternyata cukup membatasi pergerakannya di tengah orang-orang yang menghadiri pesta.Di belakangnya Angga sama sekali tidak memberontak.“Sejak kapan kamu merencanakan hal gila itu?” Seloroh Nova tanpa basa-basi.“Rencana apa maksudmu?”“Pesta kelahiran anak kita? Kamu bahkan tidak memberitahuku untuk hal itu, Angga.”Nova frustasi. Ia pikir, setelah kelahiran anak mereka nantinya, Angga akan memberikan sedikit r
Nova terperangah saat kaitan tangannya di bisep Angga dienyahkan begitu saja ketika mereka sudah sampai di rumah.“Jangan lupa diri. Aktingmu sudah berakhir,” ujar Angga sinis kemudian melangkah lebih dulu memasuki rumah. Para pelayan menyambut kedatangan mereka dengan dua buah baki berisi selop rumahan untuk bos mereka.“Aku hanya sedang menyeimbangkan langkahku. Memakai dres panjang ini dalam keadaan hamil besar itu menyiksaku,” Nova membalas sembari bernafas lega.Di rumah, Nova tidak perlu khawatir aktingnya akan dikuliti oleh para pelayan karena sebelum mereka dipilih dan memilih untuk mengabdikan diri mereka untuk Angga, s
Nova baru pertama kali merasakan sakit yang begitu menghujam. Mulas menjalar di sekujur tubuhnya hingga ke punggung. Pikiran negatifnya semakin menjadi saat mendengar suara Angga yang naik satu oktaf disusul dengan cairan dingin turun dari area sensitifnya. "Awh, Angga. Awh! Sakit," ucap Nova meringis kesakitan. Sprei yang mengalasi kulitnya dengan tempat tidur menjadi pelampiasan Nova melepas sakit. "Kita ke rumah sakit sekarang!" Angga bergegas melepaskan belenggunya dari Nova. Terdengar panik menyusuri sudut kamar menuju lemari pakaian. Sakit semakin menjadi. Separuh tubuh Nova perlahan melemas seolah nyawanya sudah diujung kepala. Ruangan besar berukuran 5x6 meter itu terasa seperti sebuah gudang dengan kadar oksigen rendah, menyesakkan dada. Setengah kesadaran Nova masih bisa meraba pergerakan Angga yang panik melihat darah semakin mengalir deras dari pahanya. "Bangun perlahan, darahmu semakin banyak." Hampir saja Nova terjengkat kaget mendengar nada bicara Angga yang semak
“Tuan Angga, semua urusan administrasi dan media sudah saha urus.” Angga berdiri mematung di depan pintu ruang UGD dengan raut wajah datarnya yang khas. Aldo—tangan kanan pria itu melangkah gagah mendekat ketika melihat tuannya.“Pastikan tidak ada satu media pun yang tahu masalah ini. Jikapun ada kebocoran informasi, persiapkan jawaban paling masuk akal,” perintah Angga, tak mengindahkan laporan Aldo untuknya.“Baik, tuan.” Angga kembali ke mode diamnya. Aura kekuasaan yang selalu menyelimuti pria itu perlahan terkikis dengan kegelisahan yang mulai bisa diraba oleh sang asisten. Sorot mata Angga sendu, seolah ia sedang mempertaruhkan sebuah hal paling penting dalam hidupnya. Antara hidup dan mati Angga tengah digadaikan demi menebus sebuah ancaman kehilangan.“Tuan, apakah mau aku belikan kopi untuk sedikit penenang?” tanya Aldo ikut gusar. Melalui ekor matanya, Angga mengamati sosok di sampingnya, “jangan bertingkah seolah kamu dekat denganku. Jelaskan padaku hasil kerjamu hari
Nova tidak menyangka kelahiran bayinya akan lebih cepat dari perkiraan dokter. Ditambah lagi dengan cara yang tak pernah ia inginkan sebelumnya. Calon ibu mana yang tidak khawatir jika kelahiran anaknya disambut dengan adegan menegangkan antara hidup dan mati? Sepanjang iringan brankar yang ia tempati menuju ruang UGD, hati Nova terus bergemuruh dibalut kekhawatiran dan berbagai pikiran negatif yang menjajah pikirannya. Masih terasa jelas bagaimana cairan merah itu terus mengalir di antara kedua kakinya. Membuat Nova hampir tak bisa mempertahankan kesadarannya. Rasa sakit di sekujur tubuhnya tak bisa mengalahkan kegelisahan yang membelenggu Nova saat ini. Sayup-sayup pendengarannya masih menangkap suara suster yang terus berusaha membuat Nova dalam keadaan terjaga. Namun, Nova hanya manusia biasa yang bisa kalah dengan keadaan kapanpun. “Angga..” cicitnya lemah. Berharap pria yang turut mendorong tempat tidurnya sedikit peka akan kesakitan yang ia rasakan. Sayang seribu sayang, h
Tidak pernah terpikirkan oleh Nova sebelumnya akan melewati masa-masa kritis sebelum resmi menjadi seorang ibu. Pertarungan antara hidup dan mati seolah digadaikan di ujung nadinya. Bayi mungil berjenis kelamin perempuan dalam gendongannya kini, setidaknya melengkapi hidup Nova yang tidak diselimuti kebahagiaan sejak menikah dengan Angga.“Kamu cantik sekali, sayang,” ucap Nova. Dua jam setelah kelahiran bayi itu, seolah menjadi babak baru hidupnya yang mulai dipenuhi harapan. “Parasmi persis sekali dengan papamu. Ternyata kamu memang mewarisi segala lekuk dan sudut papa. Kalau begitu, mama beri kamu nama…” “Celvasea.” Ucapan Nova tertahan ketika sebuah nama terlontar dari mulut seseorang yang suaranya tak asing terdengar. Angga, masuk ke ruang rawat VIP yang ditempati oleh Nova saat ini. Sikap angkuhnya tak pernah luntur. Meski di hadapan istri dan anaknya kini, pria itu tetap melangkah sambil membusungkan dada. “Aku sudah memutuskan nama depannya. Kamu hanya boleh memberikan sa
Pria berumur akhir empat puluhan itu mendekati Nova dengan kerlingan mata jahilnya. Entah darimana Pak Jhony bisa mengetahui keberadaannya di sini. “Terima kasih sudah datang menjengukku, Pak Jhony. Seharusnya kamu tidak perlu repot-repot,” ucap Nova. Ia menyembunyikan ketakutan sekaligus kekhawatiran jikalau kedatangan Pak Jhony akan mengancam keselamatan Celva. Entah apa yang membuat Nova begitu tak menyukai pria yang digadang-gadang sudah memiliki dua istri itu. Setiap kali berhadapan dengannya, firasat Nova selalu mengisyaratkan untuk tidak mengenalnya terlalu dekat. Sebuah parcel buah diletakkan di atas nakas samping brankar Nova. Nova ingin menjaga jarak namun kondisinya yang lemah tak memungkinkannya untuk bergerak kemanapun. Rasa kekhawatiran Nova semakin besar ketika Pak Jhony tiba-tiba mengulurkan tangannya hendak mengelus puncak kepala Celva. Refleks Niva tentu langsung bekerja cepat dengan memundurkan tubuhnya.“Kenapa kam
Akhirnya Nova bisa bernapas lega. Kedatangan Angga di tengah dirinya yang sedang bersitegang dengan Jhony bagaikan anugerah yang sudah Nova tunggu sejak tadi. Melihat Angga sudah berada di belakangnya, Jhony gelagapan. Ternyata, selain tak pandai mengintimidasi, Jhony juga payah menyembunyikan kegugupannya. "Pak Angga, akhirnya kamu datang juga. Aku sudah menunggumu sejak tadi," ucap Jhony menjilat. Sikapnya berubah 180 derajat di depan Angga. "Aku ada urusan mendesak jadi aku harus pergi sebentar. Sejak kapan Pak Jhony di sini? Aku bahkan tidak tahu kamu akan datang."Pertanyaan yang sama dengan Nova dilontarkan juga oleh Angga. Nova memilih menarik diri dari perbincangan dua pria itu. Kewarasannya jauh lebih penting dari pada membuang waktu memperhatikan mereka. Kegugupan Jhony semakin jelas karena dirinya terlihat tidak percaya diri. "Setelah acara selesai, aku merasa kurang enak badan. Maka dari itu aku pergi ke rumah sakit ini untuk memeriksakan diri dan tidak sengaja melihat
Kata orang, cinta juga bisa datang terlambat. Sama halnya seperti momen ini. Momen dimana sekujur tubuh Nova mematung saat berhadapan dengan sosok yang menghujam hatinya dengan kerinduan mendalam. Otaknya terasa mati karena Nova tidak bisa mendeteksi perintah apapun dari sana. Sedang Nova bergeming, ada sosok yang kini menatapnya penuh harap. Sosok itu berdiri tegak. Setegar karang yang tak jera menghantamnya dengan gelombang. Banyak cara Nova lakoni untuk menghabiskan keberanian Angga agar tak lagi menemuinya. Berharap dengan memupuk benci, hal itu akan membuat jarak diantara mereka semakin panjang. Sayang, yang terjadi justru kebalikannya. Angga lantang menerabas gelombang, hingga sebagian kecil dari dirinya enyah. Tidak lagi Nova lihat sorot angkuh di mata Angga, pun gestur cinta berlebihan terhadap diri sendiri pada pria itu. Berat Nova mencoba untuk menelan ludah, tapi, Angga justru mulai kembali bersuara. “Aku tahu ini keterlaluan. Tapi aku mohon, kali ini kita bicarakan dar
Secarik kertas di tangan Angga konsisten membuat pikiran pria itu terus berputar. Di dalam kursi pesawat, pemandangan kota-kota kecil di bawah sana sama sekali tidak menarik minat Angga untuk beralih sedetikpun dari kertas itu. “Kau sudah menatap kertas itu hampir satu jam lamanya, Tuan. Apa kau tidak ingin melihat pemandangan indah di luar jendela itu?” Suara Chris membuat Angga mendongak. Ia menatap sang asisten dengan sorot jengah seraya menghembuskan napas berat. “Kapan pesawat akan landing?” tanya Angga. Responnya sangat jauh dari konteks obrolan yang dibangun oleh Chris. “Bukannya ini sudah dua jam?” “Kurang lebih lima menit lagi kita mendarat, Tuan. Bersabarlah, kesabaran akan berbuah manis,” jawab Chris. Pria itu kembali memandang lurus ke depan. Dimana para pramugari tengah sibuk memberikan peringatan untuk mengencangkan sabuk pengaman. Angga kembali berkutat pada pikirannya. Bayangan ekspresi wajah Nova berubah-ubah di sana sesuai dengan asumsi-asumsi yang Angga ciptakan
Sudah satu minggu lamanya, Mario menetap di hotel yang sama dengan Nova. Menjadi garda terdepan bagi nova tanpa diminta. Sore ini langit cukup cerah namun perlahan beranjak mengabu sebelum matahari benar-benar pamit dari altarnya. Mario bangkit dari sofa, diikuti sang asisten di belakangnya. “Kau sudah dapat informasi yang aku minta?” tanyanya sambil melangkah menuju mini bar di sudut ruang santai. “Sudah, Tuan. Saya dihubungkan oleh asisten beliau yang kebetulan sedang berada di Korea saat ini. Menurut informasi, Pak Angga sedang sakit.” “Sakit?” Mario mengulang. “Iya, Pak. Saya sudah coba mencari tahu tentang penyakit beliau, tapi Asisten pribadinya tidak bersedia memberi informasi detail.” “Tapi, kau sudah lakukan apa yang aku minta ‘kan?” Sang asisten mengangguk mantap. “Sudah, Pak. Beliau bersedia untuk bertemu malam ini jam tujuh.” Melihat pemandangan di luar jendela besar kamar hotelnya, Mario beralih pada arloji di tangan. “Sudah pukul enam. Kita berangkat sekarang saj
Lampu remang-remang di dalam klub malam di tengah kota Seoul ini membatasi pandangan Chris yang masuk ke dalamnya. Muda-mudi berlenggak-lenggok di lantai dansa. Di bawah lampu sorot mengikuti irama musik beat yang menggila. Pandangan Chris mengedar ke segala penjuru. Ia langsung bergegas dari bandara ke sini setelah menghubungi Angga. Kabarnya, pria itu berada di sini, namun sampai sekarang Chris belum menemukan petunjuk tentang keberadaan bosnya. Pergerakan Chris di tengah kerumunan orang-orang yang berdansa, menarik perhatian beberapa wanita di sana. Sesekali terdengar mereka mencoba menggoda Chris dengan panggilan-panggilan nakal. “Hai, tampan. Kau sendiri saja?” Seorang wanita mendekati Chris. Dua bingkai lensa di mata Chris ia koreksi saat berhadapan dengan wanita itu. “Kalau kau datang sendiri, aku mau menemani,” ucap wanita itu lagi. Rambut panjangnya sengaja dikibaskan di depan wajah Chris. Aroma bunga menguar setelahnya. Jelas, wanita itu sedang berusaha untuk menarik perh
“Bagaimana bisa Anda membiarkan orang dengan kondisi mental yang terganggu, bepergian sendirian bahkan, mengurus bayi? Apalagi Anda bukan suaminya.” Seorang pria paruh baya dengan seragam kepolisian menginterogasi Mario dengan segerombol pertanyaan. Ia menghela napas panjang, hendak menyela ucapan sang polisi namun pria itu terus berceloteh, tidak memberikan kesempatan bagi Mario untuk menjelaskan. “Anda tahu ‘kan? Apa yang Anda lakukan bisa disebut sebagai bentuk kelalaian dan berpotensi menyakiti orang lain.” “Saya paham, Pak. Itu mengapa saya ada di sini sekarang. Saya akan menebus Nova dan mengikuti prosedur hukum yang berlaku. Tolong beri sedikit keringanan untuk Nova. Bagaimanapun dia masih punya tanggung jawab untuk mengurus anaknya yang masih bayi,” ucap Mario panjang lebar. Tidak akan ia sia-siakan kesempatan untuk bicara. Tujuannya saat ini adalah membebaskan Nova dari hukuman paling berat. Mario mengikuti semua prosedur hukum yang berlaku atas pelanggaran yang Nova laku
Kesibukan terlihat padat di pintu kedatangan Bandara Incheon. Seorang pria mengenakan setelan jas lengkap berwarna keabuan menarik beberapa mata di sana. Di balik kacamata hitam yang nangkring di hidung mancung pria itu, ada sepasang mata yang awas mengintai pergerakan seseorang dari arah lain bandara. Seorang wanita, dengan stroller bayi menemaninya duduk di ruang tunggu menuju pintu keberangkatan. Tujuannya bertolak belakang dengan kedatangan pria tadi. Pria itu melirik arlojinya, tiga puluh menit lagi seluruh penumpang jurusan penerbangan domestik lepas landas. Pria itu bergegas mendekati sang wanita. Dengan penampilan, tidak, ketampanannya yang sedikit mencolok dan menarik perhatian, Chris–pria itu–mendekati targetnya. “Selamat pagi, Nyonya.” Wanita berambut panjang, dengan iris mata hazel yang indah itu mendongak. Dahinya berkerut pun dengan kedua matanya yang memicing. Mencoba menilik sosok asing di depannya. “Ya? Anda siapa?” tanyanya. Ada sedikit getaran dalam suaranya.
Secangkir kopi panas di hadapannya sama sekali tidak menarik perhatian Angga. Di sudut salah satu kafe di jalan utama kota Seoul, ia membiarkan segala pikirannya berterbangan bebas terbawa angin. Laptop dengan layar yang masih menyala berakhir sama mengenaskannya dengan secangkir kopi itu. Padahal, deretan daftar pekerjaan yang seharusnya ia selesaikan secepatnya, meraung meminta dikerjakan. Suara di kepala Angga terlalu berisik. Bahkan membuat pria berusia 37 tahun itu kewalahan mengatur jam tidurnya. ‘Sudah waktunya kau mengejar kebahagiaanmu.” Untaian kalimat yang diucapkan Dalton tempo hari kian memperparah kegundahan hati yang selama beberapa hari ini meraung perhatian Angga agar tidak diabaikan. Lagi-lagi, hanya helaan napas berat yang menjadi penghujung keglisahan Angga. “Tidak seharusnya aku terjebak dalam kegalauan ini,” gumamnya, Angga mencoba mengalihkan pikirannya dengan menggeser pesan dengan seseorang yang jauh di belahan dunia sana. Deretan foto putri kecilnya mend
Seminggu setelah Mario memutuskan untuk mencabut perjanjian kerja perusahaan mereka, Angga memilih hengkang dari apartemen pria itu. Ia cukup tahu diri untuk tidak menjadi benalu sahabatnya. Saat ini, Angga tengah berhadapan dengan pria paruh baya. Mario bilang, itu adalah koleganya yang akan memberikan suntikan dana untuk perusahaan cabang milik Angga yang hampir bangkrut. “Aku tertarik dengan konsep perusahaanmu. Hanya saja, Kerugian selama periode dua tahun ini cukup menarik perhatianku. Dan akan lebih berisiko jika aku investasikan uangku di sana. Bagaimana kalau begini saja,” ucap pria itu. Pria bernama Dalton, berusia sekitar lima puluh tahunan menjabat sebagai pemilik perusahan olahan ginseng paling terkenal di Korea.Meski terlihat kecewa dengan Angga, Mario tetap bertanggung jawab atas apa yang sudah ia janjikan. Satu alasan yang membuat Angga semakin tak enak hati padanya. Dalton memajukan tubuhnya, menatap Angga dengan sorot penuh rasa ketertarikan yang begitu besar namun
Nova hendak mendekati Mark, namun langkahnya ditahan oleh Mario yang kini menatapnya dengan sorot menuntut. Sekujur tubuh Nova meremang. Pegangan Mario di lengannya seolah memiliki aliran magnet yang membuat pandangan Nova tidak beralih padanya. “Apa yang kamu lakukan, Mario? Tolong lepaskan aku,” pinta Nova. Ia membalas tatapan Mario tak kalah tegas, kemudian beralih pada kaitan tangan mereka. “Jawab yang sejujurnya, Nova. Apa benar yang dikatakan Mark?” Nada bicara Mario berubah dingin. Nova bisa merasakan pria itu sedang bergelut dengan kekecewaan yang begitu kental di dadanya. Dengan sedikit keras Nova menghempaskan pegangan Mario seraya berkata. “Benar atau tidak, masa laluku adalah urusanku. Baik kamu ataupun Mark tidak berhak mengintervensi hidupku,” balas Nova tegas. Kini jaraknya dengan Mark terkikis. Wajah mantan kekasihnya itu sama tegangnya dengan Mario setelah kalimat ultimatum Nova ucapkan. “Dan untuk kamu, Mark,” ucap Nova dingin. “Bukan hakmu juga mengatur hidupku.