Nova menyeret Angga ke sisi ruang yang lebih sepi dengan langkah hati-hati. Gaun panjangnya ternyata cukup membatasi pergerakannya di tengah orang-orang yang menghadiri pesta.Di belakangnya Angga sama sekali tidak memberontak.
“Sejak kapan kamu merencanakan hal gila itu?” Seloroh Nova tanpa basa-basi.
“Rencana apa maksudmu?”
“Pesta kelahiran anak kita? Kamu bahkan tidak memberitahuku untuk hal itu, Angga.”
Nova frustasi. Ia pikir, setelah kelahiran anak mereka nantinya, Angga akan memberikan sedikit ruang untuk membiarkan Nova menjadi dirinya sendiri. Memulai hidup sebagai seorang ibu baru untuk bayi dalam kandungannya. Nova tidak peduli apakah Angga akan memperdulikan keinginannya atau tidak, tetapi, ia sudah menyusun banyak rencana dalam proses membesarkan anak mereka.
Angga terkekeh, “aku tidak mungkin menyanggah suatu hal yang bisa menaikkan pamorku di mata publik. Kamu hanya perlu mengikuti aturan mainnya.”
Nova menahan amarahnya di dalam dada. Seperti biasa, Angga hanya akan mementingkan nama baiknya di hadapan banyak orang. Ia sama sekali tidak tertarik dengan istilah “privacy is pricey” yang dijunjung tinggi oleh Nova saat ini.
“Aku hanya tidak ingin hal itu mengganggu kenyamanan anak kita,” gumam Nova lirih. Itu ucapan paling jujur yang pernah ia utarakan di depan Angga. Pria itu pun mematung beberapa saat. Seolah tertampar dengan kalimat yang diucapkan oleh Nova.
“Pikirkan saja dirimu sendiri. Aku akan memberikannya kehidupan yang layak yang tak pernah dimiliki anak manapun di dunia ini.” Setelah mengatakan itu, Angga pergi meninggalkan Nova sendiri. Sepertinya ia lupa saat ini mereka masih dikelilingi oleh orang-orang yang penasaran dengan kehidupan pribadi mereka.
‘Kamu pikir, semua hal bisa dibeli dengan uang?’ Batin Nova nelangsa.
Selama acara berlangsung, Nova tak henti menebarkan senyum pada tamu lain yang datang. Di sampingnya, Angga sibuk menanggapi pujian-pujian yang dilontarkan padanya. Mendengar itu terus-menerus lama-lama membut Nova mual.
“Ya, aku baru saja menanamkan modal di beberapa perusahaan rintisan. Aku melihat potensi besar dalam model bisnis yang mereka eksekusi.”
“Pak Angga memang pengusaha hebat. Belasan tahun berkiprah di dunia bisnis, tidak ada satupun berita yang mencoreng nama bapak di mata khalayak. Kalau boleh, ajarkan aku untuk menjadi sepertimu,” ucap seorang pemuda asing. Nova mengernyitkan dahi menatap pria dalam balutan jas serba hitam itu. Sorot matanya memancarkan banyak harapan yang ia gantungkan terhadap reaksi Angga nantinya.
Angga beralih pada pria itu, seraya menepuk pelan pundaknya. “Tentu aku akan membimbingmu. Aku rasa ini kali pertama aku melihatmu. Siapa namamu?”
“Chris, Pak Angga. Saat ini aku sedang merintis usahaku. Aku banyak membaca tentangmu di media. Pak Angga adalah pengusaha dermawan yang tidak pelit ilmu, maka dari itu aku ingin belajar banyak darimu.”
Nova hanya diam memperhatikan tingkah orang-orang yang gemar memuji suaminya. Ingin rasanya ia enyah dari perkumpulan orang-orang tak tulus seperti ini. Namun, berbeda dengan Nova, Angga justru sangat menikmati pujian-pujian yang diberikan padanya.
Angga akan merasa bak seorang dewa yang tengah dipuja rakyatnya tiap kali berada dalam lingkarang elit seperti saat ini.
“Sayang, kenalkan ini Chris. Aku pikir, aku akan mendukung bisnis yang baru dia rintis. Bagaimana menurutmu?” Angga menatap Nova meminta persetujuan. Namun Nova tahu betul suaminya hanya sedang membangun citra baik untuk dirinya sendiri, bukan benar-benar meminta izin pdanya.
Bisik-bisik tamu lain di sekitar Nova menelusup ke telinga, “dia romantis sekali. Bahkan untuk mengambil sebuah keputusan saja, dia meminta saran istrinya. Wanita itu sangat beruntung menikah dengan Pak Angga.”
Lewat ekor matanya Nova bisa melihat senyum puas Angga saat mendengar pujian mereka. Tidak ada yang tahu apa yang sedang Angga lakukan hanyalah sebuah sandiwara. Tidak ada jaminan Angga benar-benar membantu sebuah perusahaan rintisan ketika pria itu justru menganggapnya sebagai sampah yang harus dimusnahkan.
“Bagaimana, menurutmu sayang?” Angga bertanya lagi.
“Um, ya. Aku pikir itu ide yang bagus, sayang. Kamu harus mendukung pengusaha-pengusaha muda seperti Chris,” jawab Nova dengan berat hati. Diam-diam Niva memanjatkan ribuan maaf pada sang pencipta atas kesalahannya kali ini. Dengan menyetujui keputusan Angga, sama saja ia menjerumuskan banyak pengusaha pemula menjadi korban keserakahan Angga selanjutnya.
Nova hanya bisa berharap, apa yang Angga lakukan tidak berbuah karma menyakitkan untuk keluarga mereka.
“Sayang, kamu baik-baik saja?”
“Ah? Ya. Aku baik-baik saja,” Nova gelagapan. Terlalu lama melamun dengan pikiran yang mengawang membuatnya tak fokus. Tatapan Angga yang berubah marah seolah menampakkan sinyal bahwa dirinya dalam bahaya.
“Sepertinya kamu kelelahan. Maafkan aku sudah membuatmu berdiri terlalu lama. Kalau begitu semuanya, aku izin pamit lebih awal. Kandungan istriku semakin besar dan sebentar lagi anak kami akan seger lahir. Mereka perlu banyak istirahat. Kita bertemu lain kali,” kata Angga, menyalami satu per satu kolega bisnisnya.
“Kami tunggu berita baik kelahiran penerusmu Bapak Angga!” Salah satu pria dari sekumpulan orang itu memekik saat Angga sudah melangkah menjauh.
“Kita pulang lebih awal? Kamu sedang mengigau ya?”
“Jangan bercanda. Aku sudah muak berada di kumpulan itu. Mereka hanya menyanjungku satu sama lain. Khalayak tidak akan tahu rencana-rencana terbaruku jika aku tidak membicarakannya di media. Bersiaplah,” ujar Angga.
Mereka keluar dari lobi disambut oleh sekumpulan wartawan yang sudah menunggu. Kilatan lampu kamera membuat pandangan Nova memburam hingga harus mengaitkan tangannya lebih erat pada bisep Angga yang kokoh.
“Pak Angga, mohon berikan waktu sebentar saja.”
“Pak Angga, bagaimana bisnis anda saat ini. Kami dengar sekarang anda berfokus untuk mendukung perusahan-perusahan rintisan dengan modal hingga miliyaran rupiah, apa itu benar pak?”
Deretan pertanyaan menyerbu pasangan suami istri itu. Sadar tubuhnya tak cukup mampu untuk menerima tekanan situasi, Nova memilih bersembunyi di balik tubub tegap Angga.
“Biar aku yang bicara,” titah Angga.
“Benar. Bahkan beberapa saat lalu aku baru saja memutuskan untuk menanamkan modalku lagi untuk salah satu bisnis baru. Kita sebagai pelaku bisnis harus saling mendukung satu sama lain untuk kemajuan bersama,” kata Angga opstimis.
Nova heran, seberapa banyak stamina yang dimiliki suaminya untuk meladeni bualan-bualan orang lain tentang dirinya. Hidup di atas sebuah kebohongan bukanlah hidup yang ingin Niva miliki. Tetapi sekarang dirinya malah terkurung dengan kerlap kerlip sosialita yang penuh dengan ambisi dan keserakahan.
Dalam hati Nova mengasihani diri sendiri. Di sini ia hanya menjadi boneka Angga yang bisa diatur kapan dirinya harus bicara. Di depan banyak orang, Angga mengelu-elukan kepiwaiannya dalam berbisnis. Kehidupan pribadinya yang mewah, dan kisah rumah tangganya yang romantis bak cerita novel.
Angga bangga akan hal itu namun tidak dengan Nova. Setiap helaan napas Nova bahkan diatur sedemikian rupa oleh Angga dengan mengikuti les kepribadian sampai ia bisa dikatakan layak untuk mendampingi suaminya di depan khalayak.
“Aku berada di posisi ini sekarang, bukan hanya karena usahaku sendiri. Ada sosok wanita tangguh yang sudah mendukungku sejak aku masih merintis. Dia selalu ada di sampingku setiap saat dan kini akan menemaniku sepanjang hayat. Wanita itu adalah Nova, istriku,” tutur Angga terdengar lihai memainkan intonasi bicaranya agar terkesan tulus. Semua sorot kamera mengarah pada Nova. Menjadikan Nova dan Angga sebagai bintang utama dalam laman utama berbagai media.
‘Sampai kapan aku harus hidup dalam kepalsuan seperti ini?’ Batin Nova meringis.
Nova terperangah saat kaitan tangannya di bisep Angga dienyahkan begitu saja ketika mereka sudah sampai di rumah.“Jangan lupa diri. Aktingmu sudah berakhir,” ujar Angga sinis kemudian melangkah lebih dulu memasuki rumah. Para pelayan menyambut kedatangan mereka dengan dua buah baki berisi selop rumahan untuk bos mereka.“Aku hanya sedang menyeimbangkan langkahku. Memakai dres panjang ini dalam keadaan hamil besar itu menyiksaku,” Nova membalas sembari bernafas lega.Di rumah, Nova tidak perlu khawatir aktingnya akan dikuliti oleh para pelayan karena sebelum mereka dipilih dan memilih untuk mengabdikan diri mereka untuk Angga, s
Nova baru pertama kali merasakan sakit yang begitu menghujam. Mulas menjalar di sekujur tubuhnya hingga ke punggung. Pikiran negatifnya semakin menjadi saat mendengar suara Angga yang naik satu oktaf disusul dengan cairan dingin turun dari area sensitifnya. "Awh, Angga. Awh! Sakit," ucap Nova meringis kesakitan. Sprei yang mengalasi kulitnya dengan tempat tidur menjadi pelampiasan Nova melepas sakit. "Kita ke rumah sakit sekarang!" Angga bergegas melepaskan belenggunya dari Nova. Terdengar panik menyusuri sudut kamar menuju lemari pakaian. Sakit semakin menjadi. Separuh tubuh Nova perlahan melemas seolah nyawanya sudah diujung kepala. Ruangan besar berukuran 5x6 meter itu terasa seperti sebuah gudang dengan kadar oksigen rendah, menyesakkan dada. Setengah kesadaran Nova masih bisa meraba pergerakan Angga yang panik melihat darah semakin mengalir deras dari pahanya. "Bangun perlahan, darahmu semakin banyak." Hampir saja Nova terjengkat kaget mendengar nada bicara Angga yang semak
“Tuan Angga, semua urusan administrasi dan media sudah saha urus.” Angga berdiri mematung di depan pintu ruang UGD dengan raut wajah datarnya yang khas. Aldo—tangan kanan pria itu melangkah gagah mendekat ketika melihat tuannya.“Pastikan tidak ada satu media pun yang tahu masalah ini. Jikapun ada kebocoran informasi, persiapkan jawaban paling masuk akal,” perintah Angga, tak mengindahkan laporan Aldo untuknya.“Baik, tuan.” Angga kembali ke mode diamnya. Aura kekuasaan yang selalu menyelimuti pria itu perlahan terkikis dengan kegelisahan yang mulai bisa diraba oleh sang asisten. Sorot mata Angga sendu, seolah ia sedang mempertaruhkan sebuah hal paling penting dalam hidupnya. Antara hidup dan mati Angga tengah digadaikan demi menebus sebuah ancaman kehilangan.“Tuan, apakah mau aku belikan kopi untuk sedikit penenang?” tanya Aldo ikut gusar. Melalui ekor matanya, Angga mengamati sosok di sampingnya, “jangan bertingkah seolah kamu dekat denganku. Jelaskan padaku hasil kerjamu hari
Nova tidak menyangka kelahiran bayinya akan lebih cepat dari perkiraan dokter. Ditambah lagi dengan cara yang tak pernah ia inginkan sebelumnya. Calon ibu mana yang tidak khawatir jika kelahiran anaknya disambut dengan adegan menegangkan antara hidup dan mati? Sepanjang iringan brankar yang ia tempati menuju ruang UGD, hati Nova terus bergemuruh dibalut kekhawatiran dan berbagai pikiran negatif yang menjajah pikirannya. Masih terasa jelas bagaimana cairan merah itu terus mengalir di antara kedua kakinya. Membuat Nova hampir tak bisa mempertahankan kesadarannya. Rasa sakit di sekujur tubuhnya tak bisa mengalahkan kegelisahan yang membelenggu Nova saat ini. Sayup-sayup pendengarannya masih menangkap suara suster yang terus berusaha membuat Nova dalam keadaan terjaga. Namun, Nova hanya manusia biasa yang bisa kalah dengan keadaan kapanpun. “Angga..” cicitnya lemah. Berharap pria yang turut mendorong tempat tidurnya sedikit peka akan kesakitan yang ia rasakan. Sayang seribu sayang, h
Tidak pernah terpikirkan oleh Nova sebelumnya akan melewati masa-masa kritis sebelum resmi menjadi seorang ibu. Pertarungan antara hidup dan mati seolah digadaikan di ujung nadinya. Bayi mungil berjenis kelamin perempuan dalam gendongannya kini, setidaknya melengkapi hidup Nova yang tidak diselimuti kebahagiaan sejak menikah dengan Angga.“Kamu cantik sekali, sayang,” ucap Nova. Dua jam setelah kelahiran bayi itu, seolah menjadi babak baru hidupnya yang mulai dipenuhi harapan. “Parasmi persis sekali dengan papamu. Ternyata kamu memang mewarisi segala lekuk dan sudut papa. Kalau begitu, mama beri kamu nama…” “Celvasea.” Ucapan Nova tertahan ketika sebuah nama terlontar dari mulut seseorang yang suaranya tak asing terdengar. Angga, masuk ke ruang rawat VIP yang ditempati oleh Nova saat ini. Sikap angkuhnya tak pernah luntur. Meski di hadapan istri dan anaknya kini, pria itu tetap melangkah sambil membusungkan dada. “Aku sudah memutuskan nama depannya. Kamu hanya boleh memberikan sa
Pria berumur akhir empat puluhan itu mendekati Nova dengan kerlingan mata jahilnya. Entah darimana Pak Jhony bisa mengetahui keberadaannya di sini. “Terima kasih sudah datang menjengukku, Pak Jhony. Seharusnya kamu tidak perlu repot-repot,” ucap Nova. Ia menyembunyikan ketakutan sekaligus kekhawatiran jikalau kedatangan Pak Jhony akan mengancam keselamatan Celva. Entah apa yang membuat Nova begitu tak menyukai pria yang digadang-gadang sudah memiliki dua istri itu. Setiap kali berhadapan dengannya, firasat Nova selalu mengisyaratkan untuk tidak mengenalnya terlalu dekat. Sebuah parcel buah diletakkan di atas nakas samping brankar Nova. Nova ingin menjaga jarak namun kondisinya yang lemah tak memungkinkannya untuk bergerak kemanapun. Rasa kekhawatiran Nova semakin besar ketika Pak Jhony tiba-tiba mengulurkan tangannya hendak mengelus puncak kepala Celva. Refleks Niva tentu langsung bekerja cepat dengan memundurkan tubuhnya.“Kenapa kam
Akhirnya Nova bisa bernapas lega. Kedatangan Angga di tengah dirinya yang sedang bersitegang dengan Jhony bagaikan anugerah yang sudah Nova tunggu sejak tadi. Melihat Angga sudah berada di belakangnya, Jhony gelagapan. Ternyata, selain tak pandai mengintimidasi, Jhony juga payah menyembunyikan kegugupannya. "Pak Angga, akhirnya kamu datang juga. Aku sudah menunggumu sejak tadi," ucap Jhony menjilat. Sikapnya berubah 180 derajat di depan Angga. "Aku ada urusan mendesak jadi aku harus pergi sebentar. Sejak kapan Pak Jhony di sini? Aku bahkan tidak tahu kamu akan datang."Pertanyaan yang sama dengan Nova dilontarkan juga oleh Angga. Nova memilih menarik diri dari perbincangan dua pria itu. Kewarasannya jauh lebih penting dari pada membuang waktu memperhatikan mereka. Kegugupan Jhony semakin jelas karena dirinya terlihat tidak percaya diri. "Setelah acara selesai, aku merasa kurang enak badan. Maka dari itu aku pergi ke rumah sakit ini untuk memeriksakan diri dan tidak sengaja melihat
“Ingat ucapanku ini. Jika nanti muncul pertanyaan mengapa Celva lahir lebih awal dari perkiraan, berikan jawaban yang paling masuk akal. Jangan sampai ada satu katapun dari ucapanmu yang menyudutkan peranku,” ucap Angga. Nova berdiri di sampingnya, sebelah tangan terkait mesra dengan lengan Angga yang keras. Sekeras sifat pria itu. Berbagai wejangan Angga sampaikan untuk Nova, tentu pria itu tidak akan menyampaikannya di depan banyak orang. Sebentar lagi, mereka akan menghadapi kerumunan wartawan yang sudah membuat janji wawancara. Jengah. Satu kata yang menggambarkan suasana hati Nova saat ini. Setiap hal yang terjadi pada rumah tangganya selalu jadi sorotan. Bahkan, kronologi kejadian Nova yang melahirkan lebih awal dari hari perkiraan dokter pun menjadi tanda tanya bagi sebagian besar pemuja seorang Savangga. “Aku tahu apa yang harus aku lakukan,” jawab Nova malas. Di kepalanya, sudah tergambar jelas bagaimana keadaan di luar sana nantinya. Pikiran N
Cukup lama Angga dan Mark bersitegang. Tidak ada satupun diantara dua pria itu yang berniat untuk membuka obrolan. Dibatasi oleh stroller yang ditempati Noa. Baik Angga maupun Mark, sama-sama sibuk dengan isi pikirannya sendiri. “Kenapa kau ada di sini? Kau belum menjawab pertanyaanku. “ Mark pada akhirnya mengalah. Nada bicaranya berubah lebih santai. Tidak ada lagi sorot kejam yang menghunus dan menyudutkan Angga. “Seharusnya kamu tahu tanpa perlu bertanya.” Angga melirik ke arah Noa. Mark tahu maksud terselubung atas kode yang diberikan oleh Angga. Mark terkekeh, menertawakan nasib Angga yang mengenaskan. “Kau lebih rela mengalah demi sahabatmu?” ejek Mark. Senyum lebarnya sengaja dipampang di depan Angga karena berhasil memenangkan keadaan. “Bukan urusanmu. Jadi tutuplah mulut.” “Apapun yang menyangkut Nova adalah urusanku,” Mark mendengus. Emosinya terpancing kala sadar Angga tidak terpengaruh sedikitpun dengan ejekannya tadi. “Kalau begitu, kenapa kau masih di sini? Bukan
Reno meraih rahan Anya untuk menatapnya. Sikap Anya yang berbeda membuat Reno mengikuti arah pandang wanita itu.Tidak ada siapapun di sana. Apakah Anya sedang berhalusianasi? Pikir Reno.“Anya, tenanglah. Apa yang terjadi?” tanya Reno penasaran. Kekhawatiran pria itu tidak bisa dibendung lagi. Anya tidak menjawab, melainkan beralih menatap dua manik hitam di hadapannya dengan pandangan kosong. Isi kepalanya terlalu penuh. Bahkan sudah disesaki oleh sekian banyak masalah yang menimpa hidup. Kini, satu-satunya orang yang peduli dengan kondisinya selain Reno di tempat kerja mungkin tidak akan bisa menaruh kepercayaan lagi pada Anya.“Aku baik-baik saja, Ren. Lebih baik kita pergi dari sini,” ajak Anya menarik tangan Reno keluar dari lorong.Anya yakin, Diana sudah melihat semua adegan mesra yang dilakukan oleh Reno untuknya. Rasa bersalah kembali menghantam batin Anya. Bagaimana caranya agar Diana mau mendengarkan ucapannya?Dalam hati, anya terus bertanya-tanya, apakah dirinya salah m
Menyusuri koridor di mana unitnya berada, Lita berjalan dengan langkah gontai. Riasan di wajah sudah tidak beraturan. Meski demikian, kecantikan wanita berusia 29 tahun itu tak kunjung luntur terhanyut oleh air mata yang sebelumnya mengalir dengan deras. Tok tok tok! “Mario, buka pintu!” teriak Lita dari luar unitnya. “Mario!”Tetap tidak ada jawaban. Lita baru menyadari, ia tidak membawa kunci akses unitnya sendiri sebelum pergi tadi. Dengan perasaan kesal Lita mengutuk kebodohannya hari ini. “Selamat malam, Nyonya Lita?” suara petugas yang bertugas di lantai itu menyapa Lita. “Malam.” “Kelihatannya anda sedang kebingungan, ada yang bisa saya bantu, Nyonya?” Ah, akhirnya bantuan datang tanpa membuat Lita repot harus turun ke meja resepsionis untuk meminta akses baru. “Bisakah anda membantu saya membukakan pintu unit? Saya lupa membawa kuncinya di dalam.” Senyum hangat menghiasi wajah yang mulai menampakkan keriput di bawah mata pria itu, “Dengan senang hati, Nyonya. “Krek.
Angga menurunkan pandangan cukup lama. Bukan kehilangan kepercayaan diri namun, tak kuasa melihat keintiman diantara dua sejoli yang bertemu malam ini. “Untung kamu sama om, Noa,” ucap Angga bermonolog. Bayi di dalam stroller itu menatap Angga lama. Seakan setuju dengan pernyataan omnya. Sedangkan, di seberang meja Angga saat ini. Ada dua sejoli yang sedang melakukan pendekatan satu sama lain. Mario nampak memamerkan senyum terbaiknya di depan Nova. Sedangkan Angga berusaha menahan napas karena pemandangan romantis itu menyakiti hatinya. Ya, Angga cemburu. “Ini untuk aku, Mario?” suara lemah lembut yang khas, menjalar disekitar telinga Angga. Terasa menggelitik hatinya meski pertanyaan itu ditujukan untuk Mario. “Iya, Nova. Ini untuk kamu. Kamu sudah berjuang sejauh ini, kamu wanita hebat.” Angga tidak tidak memiliki masalah dengan pendengaran. Tetapi ia sengaja menutup kedua telinga dengan penyumbat tak kasat mata. Dikala pujian demi pujian dilontarkan Mario untuk Nova, Angga m
Bab 31“Saya hanya berniat mengingatkan saja, tanpa bermaksud untuk ikut campur lebih jauh urusan nona dan tuan. Maafkan saya,” kata Astri merasa bersalah.Sarah berusaha untuk memaklumi kekhawatiran Astri. Tapi untuk seseorang yang cukup peka, Sarah tidak menelan mentah-mentah ucapan Astri tadi. Instingnya mengatakan Astri tahu hal lain yang disembunyikan oleh semua orang. Dan Astri penasaran akan hal itu.“Tidak masalah, aku senang kamu mengkhawatirkanku. Artinya kamu peduli padaku,” balas Sarah. Ia menampilkan senyumnya yang terpantul dari cermin di hadapannya. Dari sana terlihat Astri yang juga membalas senyuman Sarah.“Saya sangat peduli dengan nona. Dari sekian banyak wanita yang menjadi selir tuan, cuma nona Sarah yang sangat rendah hati.” Astri mengakui. Sambil menata rambut Sarah, sang asisten dengan cekatan memberikan polesan-polesan riasan tipis di wajah Sarah. Setengah jam sudah berlalu, namun dua wanita itu masih sibuk dengan segala tetek bengek bersolek. Brak!!Sarah da
“Bagaimana menurutmu, mana hadiah yang cocok untuk wanita pujaanku?” tanya Mario pada Angga. Sahabatnya itu tersenyum lebar tanpa beban. Menyeret Angga ke dalam sebuah toko perhiasan ternama.Angga belum sepenuhnya mengerti maksud Mario, hanya mengernyitkan dahi. “Untuk siapa?” Mario menghembuskan napas lelah. “Jadi, sejak tadi aku mengoceh di jalan, kau tidak mendengarkan aku?” keluh Mario kecewa. Wajahnya berubah masam. “Um, itu–” “Sudahlah, aku tahu apa yang mau kamu ucapkan. Sekarang bantu aku.memilih perhiasan yang cocok untuk Nova.” Deg! Berat rasanya menelan ludah saat mendengar nama Nova terlontar dari mulut Mario. Tatapan Mario yang dalam menyiratkan cinta yang besar untuk wanita yang justru masih berstatus sebagai istri Angga.Andai Mario tahu kebenarannya, apakah pria itu masih bisa bersikap hangat pada Angga dan menganggapnya sebagai sahabat?Belum tentu. Sebuah kenyataan pahit yang harus siap Angga telan mentah-mentah. “Diantara dua kalung ini, menurutmu, mana yang
Duduk diantara banyak pepohonan rimbun demi kenyamanan bayi mungil yang terlelap dalam stroller. Dua orang yang sempat terlibat perang dingin memilih taman di belakang swalayan untuk sekedar menghalau ego yang menggebu. Atas saran Nova, Mark dan Angga diasingkan ke tempat ini. Supaya kalian tahu, bagaimana seharusnya menjadi pria dewasa. Itu pesan Nova saat menengahi perseteruan diantara dua pria yang menggilainya. Sedangkan wanita itu, memilih untuk menyendiri di bagian lain swalayan. Mark berinisiatif mengambil alih penjagaan atas Noa dari Nova setelah melakukan bujuk rayu yang kesekian hingga akhirnya Nova luluh juga. Itu Mark lakukan demi kenyamanan kekasihnya. “Setelah kau melakukan itu pada Nova, kau masih punya nyali untuk menemuinya?” Mark membuka obrolan di tengah keheningan sebelumnya mencabik batin dua pria itu. “Tahu apa kau tentang aku?” “Banyak hal. Banyak yang Nova bagikan padaku, termasuk tentang dirimu yang sudah melukai hatinya. Aku tidak habis pikir, apa kuran
“Nova, kamu kenapa menghindar dariku?” Tubuh Nova berbalik secara paksa ketika sebuah tangan mencegat pergelangannya. Nova tahu siapa pembuat onar di tengah keramaian swalayan yang sedang ia sambangi. Membelakangi stroller putranya, Nova memandang malas Mark yang kini berdiri menjulang di hadapannya. Manik keoranyean, menyorot tajam. Pandangan Mark turun ke arah dua tas belanjaan yang tersampir di kanan dan kiri stroller milik Noa. “Kenapa?” tanya Nova sinis. Awalnya, ia tidak ingin membuka topik pembicaraan dengan pertanyaan singkat itu. Tetapi, gerah semakin menjadi. Bahkan hanya ditatap Mark beberapa saat saja berhasil membuat sesuatu di dada Nova bergejolak. Tentu, gejolak aneh itu nova yakini sebagai bentuk tidak nyaman semata. Bukan karena perasaan nyaman atau cinta sekalipun.Terlalu lelah untuk bicara tentang cinta saat ini. Keberadaan Noa adalah yang paling utama baginya melebihi apapun. Mark memamerkan ekspresi bersalah, dan Nova tahu itu hanya sebuah upaya untuk memani
Tin! Tin!Suara klakson mobil membuyarkan obrolan pagi diantara Ameera dengan asisten rumah tangganya. Keduanya mengerutkan kening bingung. Siapa gerangan yang pagi-pagi sekali sudah bertamu? “Sepertinya ada tamu, non. Bibi ke depan dulu, ya,” kata bibi seraya menaruh kembali sebuah piring di meja makan. Ameera mengangguk, membiarkan wanita itu menyambut kehadiran sosok tak diundang itu kemudian melanjutkan makannya. Seperti biasa, Ameera bertugas jaga pagi hari ini. Deretan jadwal konsultasi bagi pasiennya sudah menunggu untuk di rampungkan hingga nanti sore. Setelah menyelesaikan makannya, terdengar suara langkah kaki menghampiri Ameera yang sedang meneguk air putih.“Non, mas itu datang lagi,” kata bibi. Raut wajahnya khawatir ketika mencium bau-bau perang dingin yang akan terjadi diantara majikannya dengan pria yang ia maksud. “Mas siapa, bi?” Ameera kebingungan. Pasalnya ia tidak memiliki bayangan sedikitpun. Hari masih terlalu pagi untuk mencerna sebuah teka-teki.“Pria yang