“Ingat ucapanku ini. Jika nanti muncul pertanyaan mengapa Celva lahir lebih awal dari perkiraan, berikan jawaban yang paling masuk akal. Jangan sampai ada satu katapun dari ucapanmu yang menyudutkan peranku,” ucap Angga. Nova berdiri di sampingnya, sebelah tangan terkait mesra dengan lengan Angga yang keras. Sekeras sifat pria itu. Berbagai wejangan Angga sampaikan untuk Nova, tentu pria itu tidak akan menyampaikannya di depan banyak orang. Sebentar lagi, mereka akan menghadapi kerumunan wartawan yang sudah membuat janji wawancara. Jengah. Satu kata yang menggambarkan suasana hati Nova saat ini. Setiap hal yang terjadi pada rumah tangganya selalu jadi sorotan. Bahkan, kronologi kejadian Nova yang melahirkan lebih awal dari hari perkiraan dokter pun menjadi tanda tanya bagi sebagian besar pemuja seorang Savangga. “Aku tahu apa yang harus aku lakukan,” jawab Nova malas. Di kepalanya, sudah tergambar jelas bagaimana keadaan di luar sana nantinya. Pikiran N
“Kondisi Bu Nova saat ini sudah cukup stabil. Hanya tinggal menunggu beliau sadar, pak,” ucap dokter yang menangani Nova selama dirawat di rumah sakit. Angga yang berdiri di depannya hanya diam mematung dengan sorot mata yang mengandung banyak arti. Tatapannya tak pernah lepas dari sosok istrinya yang terbaring di atas tempat tidur. “Kalau begitu saya permisi dulu, Pak Angga.” Karena tak mendapatkan reaksi apapun, dokter pun pamit dari hadapan Pria itu.Angga melangkahkan kakinya, berhenti tepat di samping Nova. Pandangannya menyapu sekujur tubuh istrinya. Seolah belum percaya bahwa dengan kehidupan yang saat ini ia jalani, Angga tak lagi sendiri. Kepergian adiknya membuat Angga terpukul begitu hebatnya. Hidupnya semakin hancur ketika ia menemukan fakta bahwa pembunuh adiknya adalah Nova. “Karena kamu, satu-satunya keluargaku harus meregang nyawa. Dan sekarang kamu berdrama begitu hebatnya di depan banyak orang.” Angga mengatakan itu tepat di samping telinga Nova. Tanpa ia ketahu
“Apa kamu sudah gila? Mau ditaruh mana wajahku jika sikapmu begitu pada mama?! Astaga!” Sejak kemarin Angga menahan emosinya terhadap sang istri. Sikap Nova yang kekanakan dan diluar kendali membuat Angga harus menahan malu di hadapan mertuanya sendiri.“Aku hanya menyuarakan perasaanku. Apakah itu salah?” “Tentu salah. Sikapmu kemarin bisa menciptakan persepsi negatif tentangku di pikiran orang tuamu. Mereka pasti akan bertanya-tanya bagaimana caraku mendidikmu untuk menjadi seorang istri,” cerocos Angga panjang lebar. Namun sepertinya hal itu hanya akan masuk ke telinga kanan dan keluar dari telinga kiri Nova. Setelah melahirkan, Angga hampir tak bisa mengontrol Nova di bawah kendalinya. “Apakah aku harus menggunakan kekuasaanku untuk membuatmu jera? Aku sudah memberikan semua fasilitas mewah, hidup yang nyaman dan uang yang banyak untuk orang tuamu agar mereka bisa bertahan hidup. Tapi kamu justru berulah.” Kesabaran Angga sudah habis. Ia hampir lupa alasannya menikahi wanita
Entah setan apa yang sudah merasuki Nova tadi hingga tega hampir menghabisi nyawanya sendiri. Akal warasnya seolah buntu. Bayangan-bayangan kelam terus berputar di kepalanya. Namun, Nova harus bisa menahan diri. Di pangkuannya kini Celva tertidur lelap setelah meminum ASI. Anaknya menjadi saksi hidup betapa Nova tidak bisa menahan depresinya sendirian. Tekanan dari Angga dan perasaan tak berharga terus menghantuinya.Tetapi, saat mendengar tangisan Celva. Semuanya berubah. Suara anaknya bagaikan angin segar di tengah Nova yang berdiri diantara gurun pasir. Detik itu juga Nova sadar, Celva adalah kebahagiaan terbesar yang Tuhan berikan untuknya.“Maafkan mama, sayang. Tidak seharusnya mama memikul ini semua sendirian,” ujar Nova pada bayinya yang baru berusia dua hari itu. Nova memindahkan Celva ke dalam keranjang bayi dengan sangat hati-hati. Seolah bayi itu adalah sebongkah kaca yang ringkih. Celva tertidur lelap di gendongannya. Baru kali ini Nova menyadari, ada seseorang yang
Sinar matahari semakin terik menyorot. Padahal baru pukul delapan pagi. Sebenarnya ada kekhawatiran dalam diri Nova, Celva tidak nyaman dengan sesi berjemur yang ia rencanakan pagi ini. Atas saran kepala pelayan, Nova mempraktikkan salah satu tips yang katanya tidak pernah lekang oleh waktu dilakukan para ibu muda seperti dirinya. “Celva mau berjemur, asyik. Anak mama mau berjemur ya. Sekarang berjemurnya di depan rumah dulu. Kalau Celva sudah besar kita berjemur di pantai ya, sayang,” kata Nova bermonolog. Ia tak peduli orang akan menilainya berhalusinasi atau bahkan mengecapnya gila. Bayi dalam gendongannya masih terlelap tanpa sedikitpun terusik oleh ritual mamanya. Satu minggu setelah melahirkan Nova baru bisa menikmati hidupnya menjadi ibu baru. Jatuh bangun ia lalui dan rasanya jauh lebih melelahkan dibandingkan bekerja dibawah tekanan para atasan. Tetapi, satu hal yang membuat Nova belajar. Banyak hal yang harus ia pelajari sejak menjadi ibu muda. Tentang bagaimana merawat
Antara yakin dan tidak, Nova menyerahkan Celva pada Angga. Meski Angga adalah ayah kandung Celva, Nova belum sepenuhnya memberikan seluruh akses bagi Angga untuk menguasai anak mereka. Nova takut, temperamen Angga yang sering kali tak terkendali membuatnya Celva tersakiti. “Kamu menunggu apa? Aku ini papanya. Tidak mungkin aku menyakiti anakku sendiri,” kata Angga seolah bisa membaca isi pikiran istrinya. “Jika kamu membuatnya tak nyaman, kamu juga akan mendapatkan hukuman dariku.” Nova memperingati. Bayi mungil itu kini sudah berpindah tangan. Sejak lahir, terhitung baru tiga kali Angga menimang Celva. Kesibukan pria itu membuatnya jarang berada di rumah dan selalu pulang larut malam. Terlebih, Nova seolah menguasai semua urusan tentang Celva seorang diri. Seperti tak membutuhkan figur suami. Nova memperhatikan setiap pergerakan Angga dengan pandangan menyelidik. Sedikit saja Angga mengganggu kenyamanan anaknya, Nova tidak akan tinggal diam. “Halo, sayang. Anak papa cantik seka
Kepergian Nova dengan aura kemarahan sangat menguji Angga hari ini. Keputusannya berubah ketika ia mendapatkan kesempatan menghabiskan waktu dengan Celva. “Dasar wanita pemarah,” Angga mencibir. Ia tersenyum puas kala pandangannya bertemu dengan sosok mungil yang memiliki wajah sangat mirip dengannya. Celva menuruni hampir sembilan puluh persen garis wajah Angga. Hal itu tentu menjadi sebuah kebanggan untuk ayah baru seperti dirinya. “Kamu memang benar-benar anakku, Celva. Semua yang ada di wajahku kamu tiru.”Angga melanjutkan lagi kegiatannya memakaikan baju sang anak. Untuk seorang pemula seperti dirinya, kemampuan Angga mengurus bayi cukup baik. Mulai dari memakaikan popok, memakaikan baju, san beberapa pernak-pernik lucu seperti bandana dan sepatu, semuanya Angga lakukan sendiri.“Celva sudah cantik sekarang,” kata Angga. Bangga dengan keterampilan yang ia miliki. Ini kali pertamanya melakukan pendekatan mendalam dengan anaknya. Angga tidak pernah berpikir kalau ia akan mem
Dua jam berlalu tanpa ada pergerakan apapun dari Nova. Ia hanya duduk diam di atas sebuah gazebo yang ada di taman. Pemandangan di hadapannya sedikit banyak membantu menyegarkan pikirannya dari kemelut rumah tangga yang tak pernah usai.Ting!Di tengah lamunan yang kian panjang membawa Nova lari dari kenyataan. Nada pemberitahuan ponselnya berbunyi. Nova melirik sekilas ponsel yang dibiarkan tergeletak begitu saja di lantai gazebo. Terpampang sebuah nama yang belakangan Nova hindari. Ting nong! Ting nong! Semakin Nova mengabaikan pesan itu, semakin gencar pula seseorang yang menghubungi Nova menuntut respon. Pesannya diabaikan, orang itu beralih melakukan panggilan telepon. Nova meraih ponselnya dengan perasaan enggan. Waktunya menenangkan diri terusik oleh sikap mamanya yang egois. “Ya, ma?” sapa Nova tanpa salam. Ia terlalu malas untuk berbasa-basi. Apalagi pada sosok yang kini bicara dengannya di telepon. “Nova? Kamu dimana sekarang?“ “Di rumah, ma. Ada apa?” Dari balik tele
Kata orang, cinta juga bisa datang terlambat. Sama halnya seperti momen ini. Momen dimana sekujur tubuh Nova mematung saat berhadapan dengan sosok yang menghujam hatinya dengan kerinduan mendalam. Otaknya terasa mati karena Nova tidak bisa mendeteksi perintah apapun dari sana. Sedang Nova bergeming, ada sosok yang kini menatapnya penuh harap. Sosok itu berdiri tegak. Setegar karang yang tak jera menghantamnya dengan gelombang. Banyak cara Nova lakoni untuk menghabiskan keberanian Angga agar tak lagi menemuinya. Berharap dengan memupuk benci, hal itu akan membuat jarak diantara mereka semakin panjang. Sayang, yang terjadi justru kebalikannya. Angga lantang menerabas gelombang, hingga sebagian kecil dari dirinya enyah. Tidak lagi Nova lihat sorot angkuh di mata Angga, pun gestur cinta berlebihan terhadap diri sendiri pada pria itu. Berat Nova mencoba untuk menelan ludah, tapi, Angga justru mulai kembali bersuara. “Aku tahu ini keterlaluan. Tapi aku mohon, kali ini kita bicarakan dar
Secarik kertas di tangan Angga konsisten membuat pikiran pria itu terus berputar. Di dalam kursi pesawat, pemandangan kota-kota kecil di bawah sana sama sekali tidak menarik minat Angga untuk beralih sedetikpun dari kertas itu. “Kau sudah menatap kertas itu hampir satu jam lamanya, Tuan. Apa kau tidak ingin melihat pemandangan indah di luar jendela itu?” Suara Chris membuat Angga mendongak. Ia menatap sang asisten dengan sorot jengah seraya menghembuskan napas berat. “Kapan pesawat akan landing?” tanya Angga. Responnya sangat jauh dari konteks obrolan yang dibangun oleh Chris. “Bukannya ini sudah dua jam?” “Kurang lebih lima menit lagi kita mendarat, Tuan. Bersabarlah, kesabaran akan berbuah manis,” jawab Chris. Pria itu kembali memandang lurus ke depan. Dimana para pramugari tengah sibuk memberikan peringatan untuk mengencangkan sabuk pengaman. Angga kembali berkutat pada pikirannya. Bayangan ekspresi wajah Nova berubah-ubah di sana sesuai dengan asumsi-asumsi yang Angga ciptakan
Sudah satu minggu lamanya, Mario menetap di hotel yang sama dengan Nova. Menjadi garda terdepan bagi nova tanpa diminta. Sore ini langit cukup cerah namun perlahan beranjak mengabu sebelum matahari benar-benar pamit dari altarnya. Mario bangkit dari sofa, diikuti sang asisten di belakangnya. “Kau sudah dapat informasi yang aku minta?” tanyanya sambil melangkah menuju mini bar di sudut ruang santai. “Sudah, Tuan. Saya dihubungkan oleh asisten beliau yang kebetulan sedang berada di Korea saat ini. Menurut informasi, Pak Angga sedang sakit.” “Sakit?” Mario mengulang. “Iya, Pak. Saya sudah coba mencari tahu tentang penyakit beliau, tapi Asisten pribadinya tidak bersedia memberi informasi detail.” “Tapi, kau sudah lakukan apa yang aku minta ‘kan?” Sang asisten mengangguk mantap. “Sudah, Pak. Beliau bersedia untuk bertemu malam ini jam tujuh.” Melihat pemandangan di luar jendela besar kamar hotelnya, Mario beralih pada arloji di tangan. “Sudah pukul enam. Kita berangkat sekarang saj
Lampu remang-remang di dalam klub malam di tengah kota Seoul ini membatasi pandangan Chris yang masuk ke dalamnya. Muda-mudi berlenggak-lenggok di lantai dansa. Di bawah lampu sorot mengikuti irama musik beat yang menggila. Pandangan Chris mengedar ke segala penjuru. Ia langsung bergegas dari bandara ke sini setelah menghubungi Angga. Kabarnya, pria itu berada di sini, namun sampai sekarang Chris belum menemukan petunjuk tentang keberadaan bosnya. Pergerakan Chris di tengah kerumunan orang-orang yang berdansa, menarik perhatian beberapa wanita di sana. Sesekali terdengar mereka mencoba menggoda Chris dengan panggilan-panggilan nakal. “Hai, tampan. Kau sendiri saja?” Seorang wanita mendekati Chris. Dua bingkai lensa di mata Chris ia koreksi saat berhadapan dengan wanita itu. “Kalau kau datang sendiri, aku mau menemani,” ucap wanita itu lagi. Rambut panjangnya sengaja dikibaskan di depan wajah Chris. Aroma bunga menguar setelahnya. Jelas, wanita itu sedang berusaha untuk menarik perh
“Bagaimana bisa Anda membiarkan orang dengan kondisi mental yang terganggu, bepergian sendirian bahkan, mengurus bayi? Apalagi Anda bukan suaminya.” Seorang pria paruh baya dengan seragam kepolisian menginterogasi Mario dengan segerombol pertanyaan. Ia menghela napas panjang, hendak menyela ucapan sang polisi namun pria itu terus berceloteh, tidak memberikan kesempatan bagi Mario untuk menjelaskan. “Anda tahu ‘kan? Apa yang Anda lakukan bisa disebut sebagai bentuk kelalaian dan berpotensi menyakiti orang lain.” “Saya paham, Pak. Itu mengapa saya ada di sini sekarang. Saya akan menebus Nova dan mengikuti prosedur hukum yang berlaku. Tolong beri sedikit keringanan untuk Nova. Bagaimanapun dia masih punya tanggung jawab untuk mengurus anaknya yang masih bayi,” ucap Mario panjang lebar. Tidak akan ia sia-siakan kesempatan untuk bicara. Tujuannya saat ini adalah membebaskan Nova dari hukuman paling berat. Mario mengikuti semua prosedur hukum yang berlaku atas pelanggaran yang Nova laku
Kesibukan terlihat padat di pintu kedatangan Bandara Incheon. Seorang pria mengenakan setelan jas lengkap berwarna keabuan menarik beberapa mata di sana. Di balik kacamata hitam yang nangkring di hidung mancung pria itu, ada sepasang mata yang awas mengintai pergerakan seseorang dari arah lain bandara. Seorang wanita, dengan stroller bayi menemaninya duduk di ruang tunggu menuju pintu keberangkatan. Tujuannya bertolak belakang dengan kedatangan pria tadi. Pria itu melirik arlojinya, tiga puluh menit lagi seluruh penumpang jurusan penerbangan domestik lepas landas. Pria itu bergegas mendekati sang wanita. Dengan penampilan, tidak, ketampanannya yang sedikit mencolok dan menarik perhatian, Chris–pria itu–mendekati targetnya. “Selamat pagi, Nyonya.” Wanita berambut panjang, dengan iris mata hazel yang indah itu mendongak. Dahinya berkerut pun dengan kedua matanya yang memicing. Mencoba menilik sosok asing di depannya. “Ya? Anda siapa?” tanyanya. Ada sedikit getaran dalam suaranya.
Secangkir kopi panas di hadapannya sama sekali tidak menarik perhatian Angga. Di sudut salah satu kafe di jalan utama kota Seoul, ia membiarkan segala pikirannya berterbangan bebas terbawa angin. Laptop dengan layar yang masih menyala berakhir sama mengenaskannya dengan secangkir kopi itu. Padahal, deretan daftar pekerjaan yang seharusnya ia selesaikan secepatnya, meraung meminta dikerjakan. Suara di kepala Angga terlalu berisik. Bahkan membuat pria berusia 37 tahun itu kewalahan mengatur jam tidurnya. ‘Sudah waktunya kau mengejar kebahagiaanmu.” Untaian kalimat yang diucapkan Dalton tempo hari kian memperparah kegundahan hati yang selama beberapa hari ini meraung perhatian Angga agar tidak diabaikan. Lagi-lagi, hanya helaan napas berat yang menjadi penghujung keglisahan Angga. “Tidak seharusnya aku terjebak dalam kegalauan ini,” gumamnya, Angga mencoba mengalihkan pikirannya dengan menggeser pesan dengan seseorang yang jauh di belahan dunia sana. Deretan foto putri kecilnya mend
Seminggu setelah Mario memutuskan untuk mencabut perjanjian kerja perusahaan mereka, Angga memilih hengkang dari apartemen pria itu. Ia cukup tahu diri untuk tidak menjadi benalu sahabatnya. Saat ini, Angga tengah berhadapan dengan pria paruh baya. Mario bilang, itu adalah koleganya yang akan memberikan suntikan dana untuk perusahaan cabang milik Angga yang hampir bangkrut. “Aku tertarik dengan konsep perusahaanmu. Hanya saja, Kerugian selama periode dua tahun ini cukup menarik perhatianku. Dan akan lebih berisiko jika aku investasikan uangku di sana. Bagaimana kalau begini saja,” ucap pria itu. Pria bernama Dalton, berusia sekitar lima puluh tahunan menjabat sebagai pemilik perusahan olahan ginseng paling terkenal di Korea.Meski terlihat kecewa dengan Angga, Mario tetap bertanggung jawab atas apa yang sudah ia janjikan. Satu alasan yang membuat Angga semakin tak enak hati padanya. Dalton memajukan tubuhnya, menatap Angga dengan sorot penuh rasa ketertarikan yang begitu besar namun
Nova hendak mendekati Mark, namun langkahnya ditahan oleh Mario yang kini menatapnya dengan sorot menuntut. Sekujur tubuh Nova meremang. Pegangan Mario di lengannya seolah memiliki aliran magnet yang membuat pandangan Nova tidak beralih padanya. “Apa yang kamu lakukan, Mario? Tolong lepaskan aku,” pinta Nova. Ia membalas tatapan Mario tak kalah tegas, kemudian beralih pada kaitan tangan mereka. “Jawab yang sejujurnya, Nova. Apa benar yang dikatakan Mark?” Nada bicara Mario berubah dingin. Nova bisa merasakan pria itu sedang bergelut dengan kekecewaan yang begitu kental di dadanya. Dengan sedikit keras Nova menghempaskan pegangan Mario seraya berkata. “Benar atau tidak, masa laluku adalah urusanku. Baik kamu ataupun Mark tidak berhak mengintervensi hidupku,” balas Nova tegas. Kini jaraknya dengan Mark terkikis. Wajah mantan kekasihnya itu sama tegangnya dengan Mario setelah kalimat ultimatum Nova ucapkan. “Dan untuk kamu, Mark,” ucap Nova dingin. “Bukan hakmu juga mengatur hidupku.