Biya Anggia, yang sering dipanggil Biya itu terlihat menatap sungai jernih di depannya. Langkah kakinya yang kini hanya terbalut kaos kaki terus dirinya ayun menuju ke arah sungai.
Tatapannya kosong, wajahnya yang kotor ternoda jus tomat di abaikan. Seragam putihnya sudah compang camping, penuh dengan noda dan basah di abaikan juga olehnya.
Biya lelah terus menjadi sasaran bullying. Dia tidak tahu di mana letak kesalahannya. Tak hanya di bully fisik di sekolah, di rumah pun sama. Fisiknya yang rapuh tidak pernah absen dari pukulan.
Ayahnya yang sering mabuk selalu saja marah - marah. Biya selalu terkena pukulan darinya dan selalu di salahkan atas kematian sang bunda. Biya bahkan tidak tahu sosok bundanya seperti apa, dia besar dengan nenek yang kini sudah tiada.
Biya merasakan langkahnya yang terus masuk ke dalam air kini semakin berat walau air sungai sangat tenang.
Air sungai hampir menyentuh dada, sepertinya Biya memang akan meninggal begini. Tragis, miris, dan menyedihkan.
***
Brian berenang dengan susah payah menuju Biya yang sudah menenggelamkan diri dan tidak tampak di sungai tenang itu.
Setelah menemukan Biya, Brian menariknya ke udara. Biya sontak terbatuk - batuk. Dengan susah payah Brian menarik Biya kedaratan.
“SIAL! Apes banget gue hari ini!” umpat Brian dengan nafas terengah.
Biya tergeletak di pinggir sungai dengan masih terbatuk - batuk. Brian mencoba menetralkan nafasnya tanpa berpaling dari Biya.
Brian menatap tajam gadis yang basah kuyup itu.“LO GILA! Sungai itu dalem! Lo mau bunuh diri?” teriaknya dengan masih ngos - ngosan.
Biya terisak, rasa panas di dadanya dia abaikan. Biya menatap sang penolong dengan mata rabun terhalang air mata.
Brian tidak mengenal dekat gadis itu, dia hanya mengenal seragamnya yang kebetulan sama dengan seragam yang di pakai olehnya kini.
Namun seketika Brian menautkan alisnya, merasa tak asing dengan gadis yang masih terisak itu, di tatapnya teliti seragam Biya yang kotor itu.
“Oh! Lo korban Yuna Cs? Lo mau bunuh diri karena di bully?” tanya Brian tak percaya dan tak habis pikir dengan tindakan gadis itu.
Biya menatap sinis Brian dengan mata berlinang air mata.“Ga usah so tahu!” ketusnya pelan dan lirih seraya berusaha bangkit walau tubuhnya terasa lemas.
Brian mencoba membantu namun segera Biya tepis.“Ga usah! Kalian sama! Tukang bully! Aku benci kalian!” teriak Biya dengan susah payah, tenaganya benar - benar hilang rasanya.
Biya kembali terisak, apa hidup semelelahkan ini? Dengan masih berusaha berdiri Biya semakin tidak bisa menahan isakannya.
Brian berdecak, kesal melihat keleletan gadis itu. Dengan cepat dia menggendongnya.“Diem! Gue pengen cepet selesai! Gue males berurusan sama pengecut kaya lo! Lemah banget sih jadi orang..” gerutunya.
Biya menatap wajah Brian dari bawah gendongan dengan berang. Kalau saja berani dan tidak lemas, Biya pastikan sudah melayangkan tinjuan padanya.
Biya menjadi pengecut karena ada alasan, namun entah apa.
Dia tidak bisa melawan, dia pun benci pada dirinya sendiri! Brian tidak mengerti dan tidak akan pernah bisa mengerti!
Kecuali dia menjadi dirinya dan merasakan sendiri bagaimana rasa penderitaannya selama ini.
“Hiks.. Kenapa harus aku?” racau Biya di setiap langkah yang di lalui Brian.
Brian melirik Biya sekilas.“Karena lo lemah!” balas Brian ketus dan asal ceplos.
Tak lama Brian menurunkan Biya di rumah minimalis milik gadis sederhana itu lalu melepas jaketnya.
“Inikan rumah lo?” tanya Brian memastikan seraya memberikan jaket yang berlogo gengnya itu pada Biya.“pake ini ke sekolah__gue jamin mereka ga akan berani bully lo lagi..” yakinnya dengan tampang acuh seraya berlalu.
Hari selasanya Biya baru bisa masuk, senin dia tidak sekolah di karenakan sakit. Sakit pada mental lebih tepatnya.
Biya meremas jaket berbahan jeans yang di pakainya dengan menunduk takut. Langkahnya tiba - tiba terasa berat dan lama.
“Liat si cupu itu pake jaket geng Brian.. Seriusan?” pekik salah satu siswa.
Biya semakin mempercepat langkahnya yang terasa semakin berat dan lama itu. Namun sial, saat di belokan menuju tangga Biya menabrak seseorang.
“Maaf ma_” ucapan Biya terhenti karena kaget dengan sosok yang di tabraknya.
“Akhirnya dateng juga lo..” ujar Brian seraya menepuk bahu Biya lalu berlalu di ikuti kawan satu gengnya.
“Anjir! Brian deket sama Biya? Liat cuma Brian yang ga pake jaket! Jaket yang di pake mereka itu limited edition! Ga mungin beli atau bikin” pekik salah satu Siswi yang berlalu lalang.
Brian mengabaikan kehebohan di sekitarnya, walau dia tukang bully dia tidak bisa melihat perempuan di bully. Dia menyesal selama ini diam saat perempuan di bully.
Korban bully Brian memang anak yang lemah dengan maksud baik agar menjadikan mereka kuat. Brian mau semua laki - laki di sekolahnya bermental kuat! Itu tujuannya dan buktinya, anak - anak yang dulunya cupu kini tampak berani bahkan ikut tawuran.
Yuna yang berpapasan dengan mereka langsung menyamakan langkahnya, mengikuti mereka.
“Beb, kamu kok lindungin Biya? Aku harus bully siapa dong kalo bukan dia?” keluh Yuna manja seraya bergelayut di lengan Brian.
Brian tersenyum mesum.“Kamu cantik hari ini..” pujinya mengalihkan topik pembicaraan.
“Ih apa sih!” elak Yuna dengan tersipu malu nan manja.
Brian rasanya ingin muntah melihat Yuna bermanja - manja padanya. Namun Yuna enak di ajak pergi, di ajak main ke hotel pun Yuna gampang. Lumayan untuk mainan pikir Brian brengsek memang.
“Pulang main yu..” bisik Brian dengan senyum khasnya. Wajah manisnya begitu sulit untuk siapapun menolaknya.
Brian terus membawa langkahnya ke markas di belakang sekolah dengan kawan - kawannya mengekor di belakang.
“Boleh..” jawab Yuna dengan senyum genitnya.
Dari belakang Angga merangkul Yuna membuat Yuna mendongkak. Angga membawa Yuna bersandar di balik bilik yang entah bekas apa di gudang itu.
Brian dan yang lainnya hanya menggeleng pelan. Sudah biasa melihat Yuna di gilir. Sekarang Angga dan nanti Brian.
“Jadi gimana soal Biya?” tanya Waldi setelah mereka duduk.
Brian merogoh bungkus rokok di saku beserta koreknya.“Ya gitu..” balas Brian acuh lalu menyalakan rokoknya.
“Ya gitu gimana bego!” semprot Satria dengan kekehan pelan di akhir.
Brian menghembuskan asap rokoknya ke muka Satria yang langsung membuatnya terbatuk - batuk. Brian Usil memang.
“Brengsek emang lo!” semprot Satria dengan berusaha menetralkan nafasnya.
Brian mengangkat bahunya acuh lalu mulai merangkai kata.“Dia mau bunuh diri, di sungai..” katanya dengan tenang.
“Seriusan?” tanya Waldi seraya menjentrikkan rokoknya sebelum menyesapnya kembali.
Brian mengangguk lalu menyandarkan tubuhnya di bahu sofa panjang itu.“Mulai sekarang gue ga ijinin di sekolah ini bully cewek!” tegasnya.
Satria mengangguk.“Setuju gue, setahu gue Yuna Cs udah keterlaluan..” Satria ingin menghentikan bullying para perempuan itu namun dia terlalu malas berurusan dengan makhluk paling cerewet itu.
Waldi mengerang kesal.“Si Yuna mendesah sampe ke denger ke sini! Bikin gue tegang aja! Istirahat masih lamakan, bro?” tanyanya keluar dari topik pembahasan.
“Lumayan..” balas Brian acuh, dia tidak terangsang sama sekali. Malah Brian sudah bosan pada Yuna, apa rencananya main nanti harus batal?
Waldi pun kini sudah hilang ikut gabung dengan Angga. Brian masih menyesap rokoknya dengan acuh.
“Gue males gabung, takut kena penyakit. Si Yuna ga takut apa yah?” celetuk Satria santai.
“Dia anak pemilik rumah bordil, kejamin kayaknya tapi gue udah bosen..” terang Brian lalu menyesap lagi rokoknya.
“Itu dia..” balas Satria.
Tak lama Angga datang dengan penuh kelegaan.“Akhirnya lepas juga! Semalem gue ga main gara - gara bokap pulang!” jelas Angga kesal seraya memejamkan matanya.
“Pantes ga tahu tempat!” balas Satria seraya melempar bungkus rokok ke arah Angga yang membuat Angga kembali membuka matanya.
“Yang penting puas!” balas Angga enteng lalu mulai membuka bungkus rokok itu.
Brian menggeleng pelan, semua teman - temannya memang brengsek tapi budak cinta parah! Bisa di bilang Yuna Cs boneka pelampiasan karena tidak bisa menyentuh pacarnya yang rata - rata masih polos dan suci.
Senakal - nakalnya laki - laki, pasti mau jodohnya perempuan baik - baik. Yakan?
Selama ini hanya Brian yang betah menyendiri.
Brian mematikan rokoknya di asbak lalu beranjak.“Gue cari Biya dulu..” pamit Brian.
Brian pertama kalinya berkeliaran di sekolah tanpa jaket kebesarannya. Dari kejauhan Brian bisa melihat Biya menunduk sedang di tunjuk - tunjuk Luna, salah satu antek - antek Yuna.Siswa - siswi kepo terlihat berkerumun di sekitaran mereka. Psikis orang yang terguncang menjadikan hiburan bagi mereka, miris.Saat melihat Brian datang semua langsung memberi jalan.“Ngapain?” tanya Brian tak bersahabat. Tatapannya menajam memindai sekitar lalu menatap lurus penuh peringatan pada satu manusia yang menjadi biangnya.Luna gelagapan lalu mundur beberapa langkah. Menelan ludah kasar, ternyata soal jaket itu benar pikirnya kelabakan.“I-ini, anu_”“Lo ga liat tanda yang gue kasih? Jaket ini lo ga kenal?” tanpa menunggu jawaban, Brian menarik Biya untuk meninggalkan kerumunan.Brian tidak perlu panjang
Brian memakai jaket berlogo gengnya, sedari di pakai bau Biya selalu menyeruak di hidungnya. Nyaman rasanya.“Bri! Lo punya ade?” tanya Susilo, teman tongkrongan yang lebih tua dua tahun dari Brian.“setahu gue, kembaran lo udah gede..” lanjutnya dengan berusaha berpikir keras.“Engga, bang.” singkat Brian.“Bau lo bau bayi, tumben ga kayak biasanya, bau jalang lo ga kayak gini..” terang Susilo yang di angguki beberapa anggota lain.Brian mengabaikan tanpa menjelaskan, jelas bau bayi, kan jaketnya di pakai Biya yang memang selalu beraroma bayi.Selalu? Haha Brian merasa gila dengan kelakuannya, ternyata bau gadis yang sering di bully itu sudah dia hafal sejak lama. Mungkin sejak dia berpapasan di gerbang sekolah saat pertama masuk sekolah dulu? Entahlah, rumit.Mengingat bau bayi, membuat Brian tidak tega menyakiti Biya. Brian berjanji, mulai sekarang tidak
Brian menggeram gemas, pinggulnya terus bergerak membuat perempuan di bawahnya mendesah kelimpungan tak bisa diam.“Ah Bi!” desah Brian tertahan, matanya terpejam. Mencoba membayangkan sosok yang beberapa hari ini mengganggu pikirannya.Luna terdiam sejenak saat mendengar panggilan Brian dalam desahannya, namun detik berikutnya kembali mengerang kenikmatan.Luna hendak memeluk leher Brian namun Brian tahan.“Lo lupa? Jangan sentuh gue! Biarin gue gerak sendiri!” kesal Brian seraya menghentikan gerakan di bawahnya.“Maaf, yaudah lanjut lagi..” Luna menggerakkan pinggulnya membuat Brian kembali menggerakannya juga.Brian berjanji, ini yang terakhir kalinya dia menyentuh Luna. Brian mempercepat gerakannya, membuat Luna mendesah semakin kencang.Di sebelah kamar mereka Biya tampak syok, tak menyangka Luna dan Brian sudah sejauh itu.Setelah keperg
Pagi adalah masa - masa di mana miliknya kadang tegang, apa lagi dengan Biya yang tertidur di atasnya. Beberapa kali bahkan Biya menggeliat membuat Brian mengerang tertahan.“Sial! Setelah main sama Yuna semalem pun masih aja kurang!” desisnya tertahan.“apalagi kalau bunda nginep di sini, bisa gawat..” dumelnya.Brian menahan nafas saat Biya menggerakkan wajahnya untuk menukar posisi, Brian bahkan merasakan sentuhan sekilas itu. Sentuhan di mana bibir Biya menyentuh bibir Brian.Brian berdebar lagi, padahal itu bukan ciuman yang pertama tapi kenapa jantungnya begitu histeris.“Fuck!” umpat Brian seraya pelan - pelan memindahkan Biya ke tempat kosong di sampingnya.“Dia bahaya! Bikin gue gila kayak gini!” gerutu Brian seraya membawa langkahnya menuju kamar mandi.Brian melirik celananya yang mengembung.“Dan lo! Kenapa
Jayden memijat pelipisnya sekilas, Jayden di buat geleng - geleng kepala dengan kelakuan Brian.Banyak pelanggaran, ikut tawuran hingga di bawa polisi dan ada yang lebih parah. Seks bebas.Demi apapun, Jayden sudah merasakan karmanya. Ternyata perbuatannya dulu sama sekali tidak di benarkan dan membuat orang tuanya pusing.Jayden jadi rindu sang ayah--Jefri. Dia harus banyak meminta maaf pada ayahnya yang sering di buat pusing olehnya dulu.“Kapan baikan?”Jayden menoleh, mengusap pipi Zela yang kini bersandar di bahunya.“Bukan salah aku, sayang..” Jayden menyandarkan kepalanya pada kepala Zela.“__tunggu anak itu sadar sendiri, dia yang salah di sini..” lanjutnya dengan tidak ingin di bantah.“Aku kangen Brian ada di rumah, kita kumpul setiap hari, setiap pulang dari luar kita bisa ketemu mereka..”“Brian laki
Biya menjilat bibirnya gugup, tidak ada siapa - siapa di kamar ini. Bukan karena takut, dia bahkan sudah biasa sendirian. Biya hanya malu sendiri dengan apa yang di lakukan Brian pada bibirnya.Demi apapun, ciuman pertamanya di ambil Brian saat itu dan yang kedua lalu ketiga, rasanya Biya bisa gila di peluk malu dan sedih. Sedihnya karena Biya merasa tidak ada bedanya dengan Yuna CS. Apakah setelah bibir lalu turun ke_Biya menggelengkan kepalanya cepat, mencoba menepis semua pemikiran anehnya. Biya kembali gelisah, banyak sekali yang memberatkan pikirannya.“Kenapa belum siap - siap?”Biya tersentak kaget di duduknya. Nafasnya terasa tersedot tiba - tiba. Biya kembali menundukan kepalanya.“Kenapa?” Brian berdiri menjulang tinggi di depan Biya yang terduduk itu, di usapnya kepala mungil yang sering berpikir
Biya merasa tangan yang di genggam Brian kini berkeringat, karena hanya tinggal beberapa langkah lagi kakinya akan sampai di ruangan yang di tempati ayahnya.“Bri-Brian_” Biya menatap canggung wajah Brian yang tampan bak dewa itu.“a-aku em sebentar_” di tarik tangannya yang berada di tangan Brian itu.Keduanya tengah berdiri di samping pintu yang menjadi ruangan Rudy di rawat. Biya membiarkan kedua tangannya saling meremas gelisah.“Tarik nafas_buang” Brian mengusap bahu Biya, mencoba membuatnya tenang.“_ada aku bayi, tenang_ semua pasti baik - baik aja..” yakinnya.Biya menelan ludah, menatap wajah maskulin Brian dengan gugup. Suara dan wajahnya sungguh berbeda.Tidak akan ada yang percaya kalau wajah tampan namun menakutkan itu memiliki suara yang lembut. Bahkan membuat Biya nyaman.
Brian meraih helm di tangan Biya, menyimpannya lalu bercermin sesaat sebelum menggandeng Biya menuju ke dalam gedung sekolah.“Brian_” Biya melirik Brian dengan ragu dan canggung.“ki-kita pisah aja sekarang..” dengan pelan Biya berusaha menarik tangannya dari genggaman Brian.“Kenapa? Kelas kamu masih cukup jauh..” Brian berujar acuh.“Itu_” Biya mengedarkan pandangannya dengan tidak nyaman.“aku engga nyaman, lebih baik_”“Diem, ngikut aja jangan banyak berpikir, bayi..” Brian berujar santai tanpa menatap Biya, melainkan menatap sekitar dengan memindai tajam.Tak lama, keduanya sampai di depan kelas Biya. Brian melepaskan genggamannya, membuka jaketnya lalu di pakaikan pada Biya.Brian ingin menegaskan kalau Biya itu miliknya, jangan ada yang berani mengusiknya.“Jaketnya kenap_”“Pake aja, sayang..” Bria
Glen terlihat diam, semenjak Biya hamil anak yang kedua memang gelagat Glen berubah. Mungkin karena akan memiliki adik."Sebenernya, Glen kenapa ya bun?" Biya menatap Glen dari kejauhan.Zela menyeruput teh jahe buatannya itu."Mungkin karena mau punya adik, dia murung dan takut perhatian kedua orang tuanya beralih ke sang adik." jawabnya."Mendadak baik, mendadak murung dan mendadak marah - marah atau bahkan rewel dan manja." terang Biya dengan sesekali mengusap perutnya yang kini sudah memasuki bulan ke 5."Itu sih jelas, alasannya karena takut perhatian kamu beralih." tebak Zela yang mungkin bisa saja iyah."Sayang."Zela menoleh, menatap Jayden yang semakin tua malah semakin terlihat segar itu."Kenapa?" tanya Zela seraya mengusap telapak tangan keriput Jayden yang bertengger di pundaknya itu."Kita
"Ga mau!" Glen terus meronta di gendongan Junior."Mama sama papa pergi sebentar kok." Junior mengusap punggung Glen yang bergetar karena menangis itu."Ga mau! No-no!" amuknya dengan suara meninggi bahkan hampir serak.Amora mengusap kepala Glen, menenangkannya dengan penuh kelembutan.Zela dan Jayden menuntun kedua cucu kembarnya yang terlihat memandang Glen dengan bingung harus bagaimana."Kita pulang, bawa masuk ke mobil." kata Jayden yang di angguki Junior dan Amora.Sedangkan Biya dan Brian, keduanya tengah berada di perjalanan udara menuju salah satu pantai yang terkenal bagi para pasangan yang akan honeymoon."Kenapa?" Brian merangkul Biya, mengusap puncak kepalanya dengan sayang."Pertama kali ninggalin Glen, rasanya khawatir. Padahal bunda, ayah sama Amora pasti jagain."Brian paham dengan perasaan Biya, dia pun
"Astaga! Itu buat tanaman, bukan makanan." Biya berlari menuju Glen yang hampir saja memakan tanah."Tapi walnanya kayak coklat, mama." Glen melempar sekepal tanah di tangannya dengan sebal.3 tahun usia Glen sekarang, usia yang membuat Biya hampir kewalahan. Untung Brian sudah memutuskan bekerja di rumah.Mungkin ini juga yang menjadi alasan kenapa Tuhan tidak kunjung memberi adik untuk Glen.Glennya sungguh nakal dan ingin banyak tahu. Biya tidak akan sanggup jika harus memiliki bayi sekarang."Kenapa lagi, ma?" Brian datang dengan tenang."Itu Glen, hampir nyobain tanah yang katanya mirip coklat." Biya mencuci jemari Glen dengan telaten."Penasalan, milip soalnya." Glen terlihat tidak suka di sudutkan."Glen pasti mau coklat?" Brian berjongkok di belakang Glen yang masih menyerahkan jemarinya di cuci oleh sang mama."Iy
Waldi dan Angga sedikit kaget saat melihat Yuna dan Luna datang yang ternyata di undang oleh Brian dan Biya."Ha-hai" Yuna terlihat canggung, sempat ragu juga sebenarnya. Dia hampir saja tidak akan ikut kumpul kalau saja Luna tidak datang."O-oh hai." Angga tersenyum ramah, mereka terlihat berbeda. Mungkin karena zaman dan usia yang berubah."Maaf telat." Luna duduk di samping Yuna yang duduk dekat Waldi.Waldi terlihat gugup di duduknya, pergaulan remaja mereka yang membuatnya jadi ingat saat di mana dia nakal dan bermain dengan Yuna dan Luna."Gimana kabar kalian?" Angga tersenyum ramah, seolah mereka memang baik - baik saja. Melupakan semua tentang kenakalan remaja dulu."Baik." jawab Yuna dan Luna bersamaan."Kabar kalian?" tanya Yuna."aku ga sangka bisa ketemu dan kumpul kayak gini." akunya.
Brian terlihat mesem - mesem, melirik dan sesekali mencolek Biya yang tengah mengamati Glen dan satu gadis cantik yang kebetulan sama, tengah berlibur dengan keluarganya."No! Danan (jangan)!" Glen berseru tidak suka, bahkan menepis tangan gadis seusianya itu yang hendak mengambil mainan Glen.Gadis kecil itu hanya cemberut.Biya melirik Brian yang tidak bisa diam itu, terus saja menggodanya."Apa, Brian?" tanyanya dengan lembut, pura - pura tidak paham."Abis dari sini ya, kita program." Brian gelayutan di lengan Biya yang pendeknya jelas lebih pendek darinya."Program apa sih, Bri." kekehnya geli, mengusap pipi sang suami sekilas."Kamu suka pura - pura, aku udah kasih kamu kode tadi, bahkan kamu bales, sayang."Biya mengulum senyum."Iyah, asal kamu bisa atur waktu. Baru aku mau." balasnya."Bisa - bisa, aku usahain pa
Ana menggendong bayi cantik yang bernama Alana Pashania. Bayi yang kini baru berusia 2 bulan itu. Bayi miliknya dan Aldi."Mana Aldi, Na?" tanya Brian."Ada, lagi di belakang, kak." jawab Ana dengan masih menimang Alana yang belum kunjung tidur itu."Al!" panggil Brian seraya celingukan mencari Aldi."Apa?" Aldi berjalan santai melewati Brian."Pinjem tenda dong, lo kan kadang naik gunung." kata Brian seraya mengekori Aldi."Ada, di gudang. Bentar gue ambilin." kata Aldi."mau kemana?" tanyanya.Brian memutuskan untuk mengekor Aldi."Piknik, udah lama ga liburan sama keluarga." jawabnya."Nah gitu dong, jangan telantarin anak istri lo."Brian memukul pundak Aldi."Enak aja! Gue ga pernah nelantarin mereka." semprotnya tidak terima."Terserah.""Nyebelin lo masih aja
Brian terlihat menatap langit - langit kamar, menunggu Biya yang sepertinya baru selesai mandi. Suara pintu terbuka pun menyadarkan Brian."Kenapa? Kamu kayak lagi ada pikiran." kata Biya seraya berjalan menuju meja rias.Brian menghela nafas panjang."Banyak." jawabnya singkat namun penuh beban."Banyak? Salah satunya? Ceritain biar enak. Siapa tahu aku bisa bantu." Biya memakai cream malam lalu lipbam.Biya melangkah menghampiri Brian yang menyambutnya dengan memeluknya."Kenapa, hm?" Biya mengusap kepala Brian seperti anak kecil, tapi Brian tidak terganggu, malah dia suka."Kamu liat Glen? Dia sering marah, di ajak main ga mau. Apa dia marah karena selama ini aku ga ada saat siang?"Biya tersenyum tipis."Kamu sadar ternyata soal itu, Glen emng sering ngeluh, dia ingin main tapi papa kerja." terangnya.
1 tahun kemudian... Yuna datang berdua dengan Luna. Hari ini mereka ingin berdamai dengan masa lalu. Belum ada kata maaf yang terucap, maka saat inilah waktunya. Setahun mereka urung terus dengan niat baik itu, rasanya mereka tidak bisa menundanya lagi."Om, saya teman Biya dan Brian." kata Yuna pada Rudy.Rudy tersenyum ramah."Silahkan masuk." sambutnya."Makasih, om."Rudy hanya tersenyum, membawa langkahnya ke dapur. Kebetulan Biya sedang di dapur bersama Zela."Biya, ada teman di depan." kata Rudy yang membuat Biya bingung sesaat, siapa?"Iyah, ayah." Biya melepas celemeknya, bergegas ke ruang tamu.Brian yang tengah turun tangga kini mengikuti Biya."Kemana?" tanyanya."Katanya ada temen di depan." Biya terus melangkah di ikuti Brian."Oh mungkin—" Brian tidak melanjutkan lan
Ana terdiam di dalam mobil, pikirannya masih berputar pada pertemuannya bersama Anita."Sayang, bukannya mau beli makanan?" Aldi melirik Ana sekilas.Aldi merasa ada yang aneh, apa karena pertemuan dengan Anita? Aldi sih yakin, pasti soal itu."Anita emang mantan terakhir aku, alasan aku pulang ke sini." Aldi akan mencoba terbuka, toh mereka sudah menikah."Tapi asal kamu tahu, soal perasaan aku ke kamu itu bukan main - main, aku serius jatuh cinta sama kamu." lanjut Aldi dengan masih fokus mengemudi."Hubungan kakak sama kak Anita berapa lama?" tanya Ana dengan masih tidak menatap Aldi."3 tahun.""Lama ya, kok cepet move onnya." Ana terlihat seperti ingin menangis, entah kenapa dia jadi mudah menangis. Mungkin karena kehamilannya."Sayang, bahkan dalam semenit bisa jatuh cinta. Jangan berpikir yang aneh - a