Brian menggeram gemas, pinggulnya terus bergerak membuat perempuan di bawahnya mendesah kelimpungan tak bisa diam.
“Ah Bi!” desah Brian tertahan, matanya terpejam. Mencoba membayangkan sosok yang beberapa hari ini mengganggu pikirannya.
Luna terdiam sejenak saat mendengar panggilan Brian dalam desahannya, namun detik berikutnya kembali mengerang kenikmatan.
Luna hendak memeluk leher Brian namun Brian tahan.“Lo lupa? Jangan sentuh gue! Biarin gue gerak sendiri!” kesal Brian seraya menghentikan gerakan di bawahnya.
“Maaf, yaudah lanjut lagi..” Luna menggerakkan pinggulnya membuat Brian kembali menggerakannya juga.
Brian berjanji, ini yang terakhir kalinya dia menyentuh Luna. Brian mempercepat gerakannya, membuat Luna mendesah semakin kencang.
Di sebelah kamar mereka Biya tampak syok, tak menyangka Luna dan Brian sudah sejauh itu.
Setelah kepergian Zela, Brian memanggil Luna ke rumahnya dan suara - suara aneh pun mulai terdengar di pendengaran Biya.
Biya merinding ketakutan.
Kembali ke tempat Brian. Setelah menuntaskan gairahnya, Brian dengan acuhnya menyuruh Luna agar pulang.
“Udah malem, nginep aja..” rengek Luna manja dan centil.
Di simpannya uang di atas pakaian Luna.“Pulang! Supir yang anter..” Brian memakai pakaian santainya lalu berjalan meninggalkan kamar tamu itu.
Brian menghampiri Biya yang ada di kamarnya dan mungkin sudah mendengar suara pergulatan mereka.
Biya tersentak kaget saat pintu kamarnya terbuka. Tatapan Biya menyorot horror si pelaku.
“Lo denger, bayi?” tanya Brian tiba - tiba seraya membawa langkahnya mendekati Biya.
Biya sontak menunduk takut dan was - was, tanpa mengerti maksud dari bayi diakhirnya. Reaksinya itu sukses membuat Brian menggeram kesal sesaat.
“Sengaja gue seks dulu biar saat tidur sama lo, guenya udah cape duluan..”
Biya kembali menggigil takut. Brian tidak mundur, dia mengangkat tubuh Biya agar merebahkan tubuhnya di atas Brian.
Kepalanya sedang sakit, jadi Brian akan menjaganya agar Biya tidak menekan kepala belakangnya saat tidak sadar nanti.
“Tidur, gue cape..” aku Brian dengan menghela nafas penuh kenyamanan, tangannya mengusap punggung Biya.
Biya tampak menggeliat pelan, dia begitu gelisah, tidak nyaman. Dadanya yang memar terasa sakit, Biya ingin tidur dalam posisi miring saja.
Brian membuka matanya.“Lo mau gue perkosa? Tidur!” tegas Brian terdengar jengkel.
“Sa-sakit..” aku Biya dengan menahan dada Brian.“da-dada aku_”
Brian membuka piyama itu dengan tidak berperasaan dan tampaklah memar di dada yang merambat hingga daging membusung yang terlindung itu.
Brian tidak terangsang sama sekali, matanya berkilat emosi. Brian ingin rasanya melucuti pakaian Biya, memperiksa semua lukanya.
Pintu kamar terbuka membuat Brian dan Biya menoleh tanpa mengubah posisi.
Luna tampak menganga melihat mereka, posisi yang pasti siapapun akan langsung salah paham.
“A-aku pamit, Bri..”
Brian hanya bergumam, dengan cepat Luna menutup pintu. Raut wajahnya masih tampak kaget seraya berjalan Luna memutuskan bermain ponsel, sepertinya malam - malam bergosip akan membantunya meredakan keterkejutan.
Brian berpikir, kalau dia memaksa Biya untuk telanjang mungkin gadis itu akan bertambah takut.
Brian meraih ponselnya tanpa membiarkan Biya turun dan mengubah posisi. Brian menyalakan kamera dan memfoto memar di dada Biya.
“Ke-kenapa_” Biya ingin menutup dadanya namun Brian terlalu kuat mengunci tangannya.
“Diem! Suatu saat nanti ini bisa jadi bukti, gue mau lo ke rumah sakit besok buat_”
“Aku ga papa, ayah engga salah..” Biya menunduk dengan berusaha menutup dadanya dengan piyama yang kini tidak berkancing itu.
“Lo_” Brian menahan emosinya, tidak habis pikir dengan pemikiran gadis itu.
“Lu-Luna liat, gi-gimana kalau salah paham?” cicit Biya dengan kembali menggeliat saat merasakan pegangan Brian mengetat di pinggangnya.
Brian menatap mata yang menunduk itu, bulu mata yang sangat lentik pikir Brian salah fokus.
Brian menyimpan asal ponselnya.“Jangan di peduliin, dia ga akan berani nyebarin di sekolah, kalau pun berani, pasrah aja..” santainya.“justru itu bagus, biar semua orang engga ada yang berani nyentuh lo..” lanjutnya.
***
“Sh!” Brian merasakan kebas juga di lengannya, namun ringisan dan kernyitan itu hilang saat sadar ternyata Biya terlelap disampingnya.
Brian perlahan tersenyum, mengabaikan lengannya yang kebas. Tangan Brian terulur, mengusap perban itu dengan memperhatikannya, takut kembali berdarah.
“Engga..” nafas lega pun lolos.
Brian mengusap kening Biya lalu menunduk untuk berbisik.“Bangun bayi, apa harus di cium dulu kayak dongeng kesukaan Amora?” bisiknya dengan kekehan geli.
Biya tidak terganggu, tidurnya terlihat lelap dan nyaman. Baru pertama kali Biya tidur sampai lupa daratan dan merasa aman. Biasanya baru 3 jam sudah bangun dan tidur lagi lalu bangun lagi, tidak pernah lelap.
“Brian..” suara Zela menyapa dari luar kamar, membuat Brian menoleh ke arah pintu dengan kelabakan. Jangan sampai bundanya itu tahu kalau semalaman mereka tidur dalam satu ranjang.
Brian meraih kaosnya yang terongok di lantai lalu dengan tergesa merapihkan wajah, rambut dan penampilannya.
“Ya, bun..” sahut Brian dengan sedikit gugup dan terengah. Brian keluar kamar lalu menghampiri Zela.
“Biya masih di sini?” tanya Zela setelah menyimpan belanjaan untuk persediaan Brian selama dua minggu.
Brian mengangguk kaku.“Biya masih tidur, baru Brian tengok..” terangnya dengan mengusap tengkuknya.
Entah kenapa Brian gugup, padahal tidak melakukan hal - hal aneh pada Biya selain tidur.
Mata Zela memicing.“Kamu engga apa - apain, Biyakan?” selidiknya.
“Enggalah!” jawab Brian tidak santai, refleks.
Zela tersenyum.“Biasa aja, sayang..” di usapnya bahu Brian yang semakin tinggi itu.“ajak, Biya gih..” lanjutnya.
Brian yang kikuk hanya mengangguk.
***
“Bangun!” bisik Brian, Biya malah terkulai tanpa membuka matanya.“astaga! Babi sekali gadis ini..” geramnya sekaligus gemas, wajah Biya lucu di mata Brian saat ini.
Brian mengecup pipi Biya lalu menidurkannya lagi, mungkin pengaruh obat atau memang gadis itu kelelahan secara fisik maupun mental.
“Snow apaan sih, lupa gue, si Amor yang tahu..” gumamnya seraya menyelimuti Biya.“apa harus gue cium biar lo bangun, putri tidur?” lanjutnya dengan senyum geli.
“Untung di gue dong?” kekehnya lalu menatap bibir Biya dengan penuh pertimbangan.
Brian mendekat, memiringkan wajahnya karena posisi Biya memang miring.“Gue cium, abis gue gemes sama lo yang kebonya udah merambat ke babi..” bisiknya di depan mulut Biya.
Brian mengecupnya sekilas, hanya sekilas namun membuat Brian tak karuan. Brian mematung, pikirannya yang mulai kotor membuat Brian bergegas turun, membawa langkahnya keluar.
Brian mengusap dadanya, menenangkan diri sebelum duduk di meja makan. Mengabaikan bundanya yang berbicara soal nasi goreng telor sapi yang di buatnya.
"Bri?"
Brian mengerjap."Y-ya bun?" gelagapnya
"Kenapa? Apa kurang?"
Brian menatap nasi goreng yang ternyata sudah di depannya itu."Ah, udah bun.. Bunda kenapa pagi - pagi udah ke sini, jangan sampai ayah makin benci sama aku, bun.." acuhnya di akhir.
"Ayah kamu engga pernah benci sama kamu.."
Brian hanya diam, tidak ingin membahas lagi dan merusak moodnya.
***
Pagi adalah masa - masa di mana miliknya kadang tegang, apa lagi dengan Biya yang tertidur di atasnya. Beberapa kali bahkan Biya menggeliat membuat Brian mengerang tertahan.“Sial! Setelah main sama Yuna semalem pun masih aja kurang!” desisnya tertahan.“apalagi kalau bunda nginep di sini, bisa gawat..” dumelnya.Brian menahan nafas saat Biya menggerakkan wajahnya untuk menukar posisi, Brian bahkan merasakan sentuhan sekilas itu. Sentuhan di mana bibir Biya menyentuh bibir Brian.Brian berdebar lagi, padahal itu bukan ciuman yang pertama tapi kenapa jantungnya begitu histeris.“Fuck!” umpat Brian seraya pelan - pelan memindahkan Biya ke tempat kosong di sampingnya.“Dia bahaya! Bikin gue gila kayak gini!” gerutu Brian seraya membawa langkahnya menuju kamar mandi.Brian melirik celananya yang mengembung.“Dan lo! Kenapa
Jayden memijat pelipisnya sekilas, Jayden di buat geleng - geleng kepala dengan kelakuan Brian.Banyak pelanggaran, ikut tawuran hingga di bawa polisi dan ada yang lebih parah. Seks bebas.Demi apapun, Jayden sudah merasakan karmanya. Ternyata perbuatannya dulu sama sekali tidak di benarkan dan membuat orang tuanya pusing.Jayden jadi rindu sang ayah--Jefri. Dia harus banyak meminta maaf pada ayahnya yang sering di buat pusing olehnya dulu.“Kapan baikan?”Jayden menoleh, mengusap pipi Zela yang kini bersandar di bahunya.“Bukan salah aku, sayang..” Jayden menyandarkan kepalanya pada kepala Zela.“__tunggu anak itu sadar sendiri, dia yang salah di sini..” lanjutnya dengan tidak ingin di bantah.“Aku kangen Brian ada di rumah, kita kumpul setiap hari, setiap pulang dari luar kita bisa ketemu mereka..”“Brian laki
Biya menjilat bibirnya gugup, tidak ada siapa - siapa di kamar ini. Bukan karena takut, dia bahkan sudah biasa sendirian. Biya hanya malu sendiri dengan apa yang di lakukan Brian pada bibirnya.Demi apapun, ciuman pertamanya di ambil Brian saat itu dan yang kedua lalu ketiga, rasanya Biya bisa gila di peluk malu dan sedih. Sedihnya karena Biya merasa tidak ada bedanya dengan Yuna CS. Apakah setelah bibir lalu turun ke_Biya menggelengkan kepalanya cepat, mencoba menepis semua pemikiran anehnya. Biya kembali gelisah, banyak sekali yang memberatkan pikirannya.“Kenapa belum siap - siap?”Biya tersentak kaget di duduknya. Nafasnya terasa tersedot tiba - tiba. Biya kembali menundukan kepalanya.“Kenapa?” Brian berdiri menjulang tinggi di depan Biya yang terduduk itu, di usapnya kepala mungil yang sering berpikir
Biya merasa tangan yang di genggam Brian kini berkeringat, karena hanya tinggal beberapa langkah lagi kakinya akan sampai di ruangan yang di tempati ayahnya.“Bri-Brian_” Biya menatap canggung wajah Brian yang tampan bak dewa itu.“a-aku em sebentar_” di tarik tangannya yang berada di tangan Brian itu.Keduanya tengah berdiri di samping pintu yang menjadi ruangan Rudy di rawat. Biya membiarkan kedua tangannya saling meremas gelisah.“Tarik nafas_buang” Brian mengusap bahu Biya, mencoba membuatnya tenang.“_ada aku bayi, tenang_ semua pasti baik - baik aja..” yakinnya.Biya menelan ludah, menatap wajah maskulin Brian dengan gugup. Suara dan wajahnya sungguh berbeda.Tidak akan ada yang percaya kalau wajah tampan namun menakutkan itu memiliki suara yang lembut. Bahkan membuat Biya nyaman.
Brian meraih helm di tangan Biya, menyimpannya lalu bercermin sesaat sebelum menggandeng Biya menuju ke dalam gedung sekolah.“Brian_” Biya melirik Brian dengan ragu dan canggung.“ki-kita pisah aja sekarang..” dengan pelan Biya berusaha menarik tangannya dari genggaman Brian.“Kenapa? Kelas kamu masih cukup jauh..” Brian berujar acuh.“Itu_” Biya mengedarkan pandangannya dengan tidak nyaman.“aku engga nyaman, lebih baik_”“Diem, ngikut aja jangan banyak berpikir, bayi..” Brian berujar santai tanpa menatap Biya, melainkan menatap sekitar dengan memindai tajam.Tak lama, keduanya sampai di depan kelas Biya. Brian melepaskan genggamannya, membuka jaketnya lalu di pakaikan pada Biya.Brian ingin menegaskan kalau Biya itu miliknya, jangan ada yang berani mengusiknya.“Jaketnya kenap_”“Pake aja, sayang..” Bria
Angga, Waldi, Satria sudah berada di ruang inap Biya yang baru di pindahkan pada ruang VVIP itu. Brian terlihat lahap memakan nasi padangnya. Angga memang tahu sekali selera Brian.“Lo gimana sih, masa anak bayi di kasih saos_” setelahnya Angga cekikikan.Waldi mengangguk.“Orang tua macam apa yang nyumpel mulut bayinya pake saos..” sindirnya.Brian mencoba abai.Satria mengamati Biya yang terlelap tanpa terganggu, bahkan tawa menggelegar Waldi tidak membuatnya terusik.Satria menepuk bahu Brian.“Bri, dia masih nafaskan?” tunjuknya pada Biya yang terlelap di atas kasur pasien.Brian mengunyah santai nasinya lalu mengangguk.“Nafaslah bego! Anjing banget pikiran lo!” semprot Brian dengan mulut penuh.
Susilo bersiul, melayangkan tos ria pada Brian yang tengah berkumpul dengan para teman - teman tongkrongannya yang lain itu. Matanya memicing geli, menggoda Brian yang jarang kumpul itu.“Pengantin baru kenapa jarang nongkrong, hm? Ngasik keluar - masuk?”Brian tersenyum kecil, menerima tosan itu.“Dia bukan cewek yang bisa gue masukin, bang__” Susilo pun duduk di samping Brian.“dia cuma bisa bikin gue gemes_” lanjutnya.Angga, Waldi dan Satria sontak bersorak geli paling heboh di antara yang lainnya. Sungguh tidak biasa mereka membahas hal menye - menye di tongkrongan. Biasanya kalau tidak selangkangan ya minuman atau balapan yang di bahas.“Cielah! Anak muda emang beda, dah berumur mana bisa pikirin yang gemes - gemesan__kepuasan sih iyah!” seru Susilo seraya meraih gelas sloki bersih lalu menuangkan minuman beralkohol yang cukup bermerk itu.Brian ha
Brian mengendus leher Biya, mengabaikan ketidak nyamanan gadisnya itu. Televisi di depan mereka tidak berhasil menarik perhatian Brian.“Brian__” Biya menahan wajah Brian dengan tangan mungilnya.“geli, berhenti..” pintanya.Brian mengulum senyum.“Iya, Bayiku sayang..” di kecupnya pipi Biya sekilas dengan kedua tangan masih melilit memeluk Biya.Biya tersipu, jantungnya berdebar. Pengalaman pertama baginya bisa sedekat ini dengan laki - laki.“Bayi, di sekolah kita umumin ya..” Brian kembali mendekat, mengendus leher Biya yang selalu manariknya untuk mendekat. Seperti ada magnet.Biya menggeliat, kembali menahan wajah Brian.“Umumin? Umumin apa, Brian?” tanyanya tidak paham.“Kita pacaran__” Brian mengecup hidung mungil Biya dengan gemas.“aku mau semua orang tahu, kamu punya, Brian Adrazi Rulzein..” bangganya.Bi
Glen terlihat diam, semenjak Biya hamil anak yang kedua memang gelagat Glen berubah. Mungkin karena akan memiliki adik."Sebenernya, Glen kenapa ya bun?" Biya menatap Glen dari kejauhan.Zela menyeruput teh jahe buatannya itu."Mungkin karena mau punya adik, dia murung dan takut perhatian kedua orang tuanya beralih ke sang adik." jawabnya."Mendadak baik, mendadak murung dan mendadak marah - marah atau bahkan rewel dan manja." terang Biya dengan sesekali mengusap perutnya yang kini sudah memasuki bulan ke 5."Itu sih jelas, alasannya karena takut perhatian kamu beralih." tebak Zela yang mungkin bisa saja iyah."Sayang."Zela menoleh, menatap Jayden yang semakin tua malah semakin terlihat segar itu."Kenapa?" tanya Zela seraya mengusap telapak tangan keriput Jayden yang bertengger di pundaknya itu."Kita
"Ga mau!" Glen terus meronta di gendongan Junior."Mama sama papa pergi sebentar kok." Junior mengusap punggung Glen yang bergetar karena menangis itu."Ga mau! No-no!" amuknya dengan suara meninggi bahkan hampir serak.Amora mengusap kepala Glen, menenangkannya dengan penuh kelembutan.Zela dan Jayden menuntun kedua cucu kembarnya yang terlihat memandang Glen dengan bingung harus bagaimana."Kita pulang, bawa masuk ke mobil." kata Jayden yang di angguki Junior dan Amora.Sedangkan Biya dan Brian, keduanya tengah berada di perjalanan udara menuju salah satu pantai yang terkenal bagi para pasangan yang akan honeymoon."Kenapa?" Brian merangkul Biya, mengusap puncak kepalanya dengan sayang."Pertama kali ninggalin Glen, rasanya khawatir. Padahal bunda, ayah sama Amora pasti jagain."Brian paham dengan perasaan Biya, dia pun
"Astaga! Itu buat tanaman, bukan makanan." Biya berlari menuju Glen yang hampir saja memakan tanah."Tapi walnanya kayak coklat, mama." Glen melempar sekepal tanah di tangannya dengan sebal.3 tahun usia Glen sekarang, usia yang membuat Biya hampir kewalahan. Untung Brian sudah memutuskan bekerja di rumah.Mungkin ini juga yang menjadi alasan kenapa Tuhan tidak kunjung memberi adik untuk Glen.Glennya sungguh nakal dan ingin banyak tahu. Biya tidak akan sanggup jika harus memiliki bayi sekarang."Kenapa lagi, ma?" Brian datang dengan tenang."Itu Glen, hampir nyobain tanah yang katanya mirip coklat." Biya mencuci jemari Glen dengan telaten."Penasalan, milip soalnya." Glen terlihat tidak suka di sudutkan."Glen pasti mau coklat?" Brian berjongkok di belakang Glen yang masih menyerahkan jemarinya di cuci oleh sang mama."Iy
Waldi dan Angga sedikit kaget saat melihat Yuna dan Luna datang yang ternyata di undang oleh Brian dan Biya."Ha-hai" Yuna terlihat canggung, sempat ragu juga sebenarnya. Dia hampir saja tidak akan ikut kumpul kalau saja Luna tidak datang."O-oh hai." Angga tersenyum ramah, mereka terlihat berbeda. Mungkin karena zaman dan usia yang berubah."Maaf telat." Luna duduk di samping Yuna yang duduk dekat Waldi.Waldi terlihat gugup di duduknya, pergaulan remaja mereka yang membuatnya jadi ingat saat di mana dia nakal dan bermain dengan Yuna dan Luna."Gimana kabar kalian?" Angga tersenyum ramah, seolah mereka memang baik - baik saja. Melupakan semua tentang kenakalan remaja dulu."Baik." jawab Yuna dan Luna bersamaan."Kabar kalian?" tanya Yuna."aku ga sangka bisa ketemu dan kumpul kayak gini." akunya.
Brian terlihat mesem - mesem, melirik dan sesekali mencolek Biya yang tengah mengamati Glen dan satu gadis cantik yang kebetulan sama, tengah berlibur dengan keluarganya."No! Danan (jangan)!" Glen berseru tidak suka, bahkan menepis tangan gadis seusianya itu yang hendak mengambil mainan Glen.Gadis kecil itu hanya cemberut.Biya melirik Brian yang tidak bisa diam itu, terus saja menggodanya."Apa, Brian?" tanyanya dengan lembut, pura - pura tidak paham."Abis dari sini ya, kita program." Brian gelayutan di lengan Biya yang pendeknya jelas lebih pendek darinya."Program apa sih, Bri." kekehnya geli, mengusap pipi sang suami sekilas."Kamu suka pura - pura, aku udah kasih kamu kode tadi, bahkan kamu bales, sayang."Biya mengulum senyum."Iyah, asal kamu bisa atur waktu. Baru aku mau." balasnya."Bisa - bisa, aku usahain pa
Ana menggendong bayi cantik yang bernama Alana Pashania. Bayi yang kini baru berusia 2 bulan itu. Bayi miliknya dan Aldi."Mana Aldi, Na?" tanya Brian."Ada, lagi di belakang, kak." jawab Ana dengan masih menimang Alana yang belum kunjung tidur itu."Al!" panggil Brian seraya celingukan mencari Aldi."Apa?" Aldi berjalan santai melewati Brian."Pinjem tenda dong, lo kan kadang naik gunung." kata Brian seraya mengekori Aldi."Ada, di gudang. Bentar gue ambilin." kata Aldi."mau kemana?" tanyanya.Brian memutuskan untuk mengekor Aldi."Piknik, udah lama ga liburan sama keluarga." jawabnya."Nah gitu dong, jangan telantarin anak istri lo."Brian memukul pundak Aldi."Enak aja! Gue ga pernah nelantarin mereka." semprotnya tidak terima."Terserah.""Nyebelin lo masih aja
Brian terlihat menatap langit - langit kamar, menunggu Biya yang sepertinya baru selesai mandi. Suara pintu terbuka pun menyadarkan Brian."Kenapa? Kamu kayak lagi ada pikiran." kata Biya seraya berjalan menuju meja rias.Brian menghela nafas panjang."Banyak." jawabnya singkat namun penuh beban."Banyak? Salah satunya? Ceritain biar enak. Siapa tahu aku bisa bantu." Biya memakai cream malam lalu lipbam.Biya melangkah menghampiri Brian yang menyambutnya dengan memeluknya."Kenapa, hm?" Biya mengusap kepala Brian seperti anak kecil, tapi Brian tidak terganggu, malah dia suka."Kamu liat Glen? Dia sering marah, di ajak main ga mau. Apa dia marah karena selama ini aku ga ada saat siang?"Biya tersenyum tipis."Kamu sadar ternyata soal itu, Glen emng sering ngeluh, dia ingin main tapi papa kerja." terangnya.
1 tahun kemudian... Yuna datang berdua dengan Luna. Hari ini mereka ingin berdamai dengan masa lalu. Belum ada kata maaf yang terucap, maka saat inilah waktunya. Setahun mereka urung terus dengan niat baik itu, rasanya mereka tidak bisa menundanya lagi."Om, saya teman Biya dan Brian." kata Yuna pada Rudy.Rudy tersenyum ramah."Silahkan masuk." sambutnya."Makasih, om."Rudy hanya tersenyum, membawa langkahnya ke dapur. Kebetulan Biya sedang di dapur bersama Zela."Biya, ada teman di depan." kata Rudy yang membuat Biya bingung sesaat, siapa?"Iyah, ayah." Biya melepas celemeknya, bergegas ke ruang tamu.Brian yang tengah turun tangga kini mengikuti Biya."Kemana?" tanyanya."Katanya ada temen di depan." Biya terus melangkah di ikuti Brian."Oh mungkin—" Brian tidak melanjutkan lan
Ana terdiam di dalam mobil, pikirannya masih berputar pada pertemuannya bersama Anita."Sayang, bukannya mau beli makanan?" Aldi melirik Ana sekilas.Aldi merasa ada yang aneh, apa karena pertemuan dengan Anita? Aldi sih yakin, pasti soal itu."Anita emang mantan terakhir aku, alasan aku pulang ke sini." Aldi akan mencoba terbuka, toh mereka sudah menikah."Tapi asal kamu tahu, soal perasaan aku ke kamu itu bukan main - main, aku serius jatuh cinta sama kamu." lanjut Aldi dengan masih fokus mengemudi."Hubungan kakak sama kak Anita berapa lama?" tanya Ana dengan masih tidak menatap Aldi."3 tahun.""Lama ya, kok cepet move onnya." Ana terlihat seperti ingin menangis, entah kenapa dia jadi mudah menangis. Mungkin karena kehamilannya."Sayang, bahkan dalam semenit bisa jatuh cinta. Jangan berpikir yang aneh - a