Brian meraih helm di tangan Biya, menyimpannya lalu bercermin sesaat sebelum menggandeng Biya menuju ke dalam gedung sekolah.
“Brian_” Biya melirik Brian dengan ragu dan canggung.“ki-kita pisah aja sekarang..” dengan pelan Biya berusaha menarik tangannya dari genggaman Brian.
“Kenapa? Kelas kamu masih cukup jauh..” Brian berujar acuh.
“Itu_” Biya mengedarkan pandangannya dengan tidak nyaman.“aku engga nyaman, lebih baik_”
“Diem, ngikut aja jangan banyak berpikir, bayi..” Brian berujar santai tanpa menatap Biya, melainkan menatap sekitar dengan memindai tajam.
Tak lama, keduanya sampai di depan kelas Biya. Brian melepaskan genggamannya, membuka jaketnya lalu di pakaikan pada Biya.
Brian ingin menegaskan kalau Biya itu miliknya, jangan ada yang berani mengusiknya.
“Jaketnya kenap_”
“Pake aja, sayang..” Brian mengusap kepala Biya lalu berlalu menuju kelasnya yang cukup jauh dari kelas Biya.
Biya merona samar, jantungnya berdebar aneh. Biya menelan ludah saat melihat semua anak kelas menatap kearahnya lalu dengan cepat mengalihkan pandangan darinya. Aneh?
Biya memutuskan membawa langkahnya masuk dengan canggung, bahkan kepalanya terus menunduk.
“Cih! Beruntung banget..” Luna tersenyum mengejek namun tidak bisa bertindak jauh, bisa - bisa Brian menghabisinya.
Biya duduk dengan sedikit tidak nyaman, namun dia berusaha untuk diam senormal mungkin. Biya harus percaya kalau pengaruh Brian tidak akan membuatnya kembali di injak - injak.
Biya mengulas senyum tipis, Brian sungguh seseorang yang sangat berarti di hidupnya kini. Tuhan mengirimkan Brian di sisa - sisa terakhirnya SMA. Seolah - olah Tuhan ingin membiarkannya bahagia walau sesaat. Brian membuatnya percaya walau jujur, dia masih takut dan belum bisa bersikap nyaman di sampingnya.
***
“Mau ngajak 'main'? Kemana?” balas Yuna dengan tatapan yang memikat.
“Hotellah, masa main begituan di arena balap!” sewot Satria dengan mulut penuh batagor.
Yuna melirik Satria dengan jengkel.“Anak rese itu kenapa? Masih aja sewot..” dumelnya.
Waldi mengusap pipi Yuna yang sedikit berdebu, ah bukan ternyata make upnya.“Jangan marah, makin seksi tahu, ntar gue maunya main di sini..” bisik Waldi dengan melempar kedipan genit.
Angga yang sempat mendengar bisikan itu sontak membuat ekspresi yang pura - pura akan muntah.
Angga menatap Waldi ngeri, buaya satu itu benar - benar bermulut besar. Entah berapa wanita yang masuk perangkapnya.
“Azahra, jangan lupa_” sindir Angga yang membuat Waldi menekuk wajahnya suram, justru dia butuh hiburan karena gadis itu. Waldi tidak mendapat restu dari orang tua Azahra, jadi hubungan mereka tengah renggang saat ini.
“Azahra? Cewek alim anak pemilik pesantren?” Yuna menahan tawanya, merasa tidak percaya kalau selera Waldi anak alim.
Waldi melepas rangkulannya pada bahu Yuna, tatapannya berubah tidak suka.“Kenapa sama gadis alim? Seburuk - buruknya gue, gue masih berharap jodoh gue baik, ga kayak lo!” amuknya dengan beranjak dari duduk.
Yuna memutar matanya.“Dih, kok marah, ga jelas banget..” kepalanya menggeleng pelan.
Satria tersenyum cerah.“Brian, Angga, Waldi, udah buang lo hari ini..” terangnya dengan begitu bahagia.
Angga menghela nafas pendek, entah apa masalah Satria dengan Yuna. Keduanya membuat Angga pusing.
“Gue cabut!” Angga beranjak menyusul Waldi.
Kini hanya ada Satria dan Yuna di sana. Yuna menatap Satria dengan penuh rasa benci. Yuna merasa tidak memiliki salah tapi Satria bawaannya selalu sewot padanya.
“Lo cuma boleh ngangkang buat gue!” tegasnya dengan tersenyum miring.“itu pun kalau lo ga mau gue ganggu bisnis gelap keluarga lo..” Satria beranjak dengan mengusap kepala Yuna sekilas.
Yuna menggeram kesal, menatap kepergian Satria dengan geram. Yuna tidak mengerti dengan cara berpikir Satria, Yuna tidak bisa membaca rencana apa yang sedang Satria buat.
***
“Kenapa?” Brian menyeka saos di ujung bibir Biya lalu mulai menyuapinya lagi.“kenapa engga bisa diem?” lanjutnya.
Biya menggeleng.“Engga papa, cuma engga nyaman aja..” akunya jujur.
“Mereka emang engga ada kerjaan, biarin aja” cueknya lalu kembali mendekatkan kentang goreng di cocol saos pada Biya.
Biya menarik ingusnya, mencoba untuk terus menerima walau mulutnya sudah terasa seperti terbakar. Biya tidak bisa tahan pedas, bahkan saos.
Brian menautkan alisnya, menatap wajah Biya yang memerah dengan keringat membasahi keningnya.
“Pedes?” tanya Brian merasa kalau saosnya tidak seperti cabai 3 biji. Reaksi Biya sungguh berlebihan baginya yang cinta dengan saos.
Biya mengangguk dengan berdesis pedas, bahkan duduknya semakin gelisah. Paket kumplit! Biya langsung merasakan mulas.
Brian terlihat kesal, rahangnya mengeras karena merasa buruk. Padahal Brian sudah mencari informasi tentang Biya sedetail mungkin. Tetap saja masih ada yang terlewat.
“Minta obat ke UKS..” Brian menarik tangan Biya pelan, membantunya berjalan.
Biya menepuk pelan tangan Brian yang melilit di lengannya.“Se-sebentar, perutnya sakit_” aku Biya dengan keringat dingin bercucuran.
Brian terhenyak, perasaannya tiba - tiba cemas dan juga merasa bersalah. Demi apapun, Brian tidak pernah merasakan perasaan itu yang sungguh aneh baginya itu.
Brian menggendong Biya yang terus meringis dengan memegang perutnya, Brian memang menganggap Biya berlebihan hanya karena saos tapi ya namanya juga tidak bisa makan pedas beda lagi urusannya.
***
Brian masih duduk di samping kasur Biya, menatapnya lurus dengan tidak terbaca. Brian melirik ponselnya yang bergetar lalu mengangkatnya.
“Bri, lo di mana? Bukannya kita mau nongkrong di si mbah?” sapa Angga di sebrang sana.
“Di rumah sakit, Biya di rawat_” Brian memijat pelipisnya.“gue ga bisa ke sana, tapi kalau kalian mau ke sini ga papa, gue titip bakso atau apa terserah, gue laper”
“Yaudah, ke sana aja__kita langsung ke sana_” Angga pun memutus sambungan tanpa menunggu balasan Brian.
Brian melirik pasien yang ada di sebrang Biya. Laki - laki yang Brian perkirakan seusianya itu.
Brian lebih baik menahan lapar dari pada meninggalkan Biya. Laki - laki itu terlalu ketara menatap Biya, tanpa takut dengan tatapannya.
“Brian_”
Brian menoleh, menatap Biya yang tampak pucat itu. Brian kembali di hinggapi rasa bersalah. Harusnya dia tidak memaksa Biya dan menunggu alasan gadis itu menolak.
“Apa yang sakit?” suara Brian terdengar dingin, Biya sontak menelan ludahnya yang terasa pahit.
“Eng-engga, cuma haus..” Biya mengerjap gugup, tatapan Brian begitu tajam, wajahnya mengeras dan suaranya dingin. Biya merinding.
Brian meraih gelas di nakas, membingkai sebelah pipi Biya. Brian tidak suka tatapan Biya mengarah pada pasien laki - laki itu.
“Aku di sini, jangan jelalatan!” Brian membantu Biya minum.
Biya menerimanya dengan sedikit bingung, kenapa dengan Brian? Biya benar - benar tidak paham.
“Makan sekarang?” Brian kembali menahan wajah Biya yang hendak mengedarkan pandangannya.“liat gue! Jangan ke tempat lain!” geramnya.
Biya kicep, Brian membuat Biya semakin sakit karena di buat bingung. Biya pun hanya menatap Brian yang juga menatapnya.
Cukup lama keduanya saling menyelami perasaan masing - masing.
“Lo punya gue, Bayi..” gumam Brian di telan angin, tanpa bisa Biya tangkap terlebih dahulu.
Angga, Waldi, Satria sudah berada di ruang inap Biya yang baru di pindahkan pada ruang VVIP itu. Brian terlihat lahap memakan nasi padangnya. Angga memang tahu sekali selera Brian.“Lo gimana sih, masa anak bayi di kasih saos_” setelahnya Angga cekikikan.Waldi mengangguk.“Orang tua macam apa yang nyumpel mulut bayinya pake saos..” sindirnya.Brian mencoba abai.Satria mengamati Biya yang terlelap tanpa terganggu, bahkan tawa menggelegar Waldi tidak membuatnya terusik.Satria menepuk bahu Brian.“Bri, dia masih nafaskan?” tunjuknya pada Biya yang terlelap di atas kasur pasien.Brian mengunyah santai nasinya lalu mengangguk.“Nafaslah bego! Anjing banget pikiran lo!” semprot Brian dengan mulut penuh.
Susilo bersiul, melayangkan tos ria pada Brian yang tengah berkumpul dengan para teman - teman tongkrongannya yang lain itu. Matanya memicing geli, menggoda Brian yang jarang kumpul itu.“Pengantin baru kenapa jarang nongkrong, hm? Ngasik keluar - masuk?”Brian tersenyum kecil, menerima tosan itu.“Dia bukan cewek yang bisa gue masukin, bang__” Susilo pun duduk di samping Brian.“dia cuma bisa bikin gue gemes_” lanjutnya.Angga, Waldi dan Satria sontak bersorak geli paling heboh di antara yang lainnya. Sungguh tidak biasa mereka membahas hal menye - menye di tongkrongan. Biasanya kalau tidak selangkangan ya minuman atau balapan yang di bahas.“Cielah! Anak muda emang beda, dah berumur mana bisa pikirin yang gemes - gemesan__kepuasan sih iyah!” seru Susilo seraya meraih gelas sloki bersih lalu menuangkan minuman beralkohol yang cukup bermerk itu.Brian ha
Brian mengendus leher Biya, mengabaikan ketidak nyamanan gadisnya itu. Televisi di depan mereka tidak berhasil menarik perhatian Brian.“Brian__” Biya menahan wajah Brian dengan tangan mungilnya.“geli, berhenti..” pintanya.Brian mengulum senyum.“Iya, Bayiku sayang..” di kecupnya pipi Biya sekilas dengan kedua tangan masih melilit memeluk Biya.Biya tersipu, jantungnya berdebar. Pengalaman pertama baginya bisa sedekat ini dengan laki - laki.“Bayi, di sekolah kita umumin ya..” Brian kembali mendekat, mengendus leher Biya yang selalu manariknya untuk mendekat. Seperti ada magnet.Biya menggeliat, kembali menahan wajah Brian.“Umumin? Umumin apa, Brian?” tanyanya tidak paham.“Kita pacaran__” Brian mengecup hidung mungil Biya dengan gemas.“aku mau semua orang tahu, kamu punya, Brian Adrazi Rulzein..” bangganya.Bi
Brian masih saja senyum - senyum sendiri. Siswa yang sering Brian bully pun di biarkan hanya lewat. Padahal siswa itu sudah mempersiapkan diri jika Brian menariknya ke belakang sekolah.Bahkan saat Brian berjalan ada yang menyenggolnya, biasa ngamuk kini acuh dengan senyum masih terbit. Efek dahsyat dari cinta.“Bri, gue merasa dunia yang kita pijak itu beda..” Angga memicingkan matanya, menatap Brian ngeri.Brian tidak terganggu.“Kalian emang engga gini ya? Bawaannya kangen, pengen senyum..” di tatapnya mereka dengan heran.“Gitu sih awalnya, tapi dulu pas SMP__lo sih telat, SMA baru pacaran..” Waldi menyahut.Brian mengangguk paham, dia memang telat. Lebih tepatnya, Tuhan baru mempertemukannya dengan Biya sekarang. Di akhir perjalanan SMA.“Biya mana?” Satria bertanya dengan mulut mengunyah.“Masih di kelas, katanya banyak salin catetan..”“Lo y
Seperti niat awal, Brian bermanja - manja pada Biya setelah keduanya sampai di apart Brian. Biya yang awalnya risih dan berdebar pun kini teralihkan dengan hujan di kaca jendela.“Hujan, tapi masih cerah cuacanya..” Biya melirik Brian sekilas.Brian mengamati apa yang sebelumnya Biya lihat lalu mengangguk setuju.“Iyah, ga mendung malah cerah..” herannya, lebih tepatnya baru ngeh. Selama ini Brian mana peka cuaca.“Katanya, mitosnya kalau hujan gini, ada orang meninggal yang belum bisa ikhlas ninggalin orang terdekatnya..”Brian hanya menatap Biya, tidak peduli pada mitos yang di bahasnya. Biya semakin cantik di matanya, sungguh bercahaya.Mungkin inilah alaynya cinta, masa iya wajah Biya bercahaya. Ada lampunya begitu? Brian geli sendiri.“Sayang..” Biya menoleh, membuat Brian menghangat. Biya semakin peka saat Brian memanggilnya sayang.
Biya meniup pelan bubur panas di sendok yang di pegangnya. Brian hanya menatapnya dengan tersenyum kecil. Biya begitu telaten mengurusnya."Kata dokter, lusa pulang.." Biya tersenyum dengan wajah cerah karena senang dengan kabar akan pulangnya Brian.Brian mengangguk seraya menerima suapan dari Biya."Ga sabar pengen nikahin kamu, bayi.." godanya dengan sesekali mengunyah bubur.Brian heran, kenapa bubur di mulutnya masih bisa di kunyah. Brian melirik mangkuk yang di pangku tangan Biya. Ternyata ada wortel dan beberapa sayur, pantesan."Kamu kok ngebet.." Biya tersipu dengan pura - pura fokus meniup bubur di sendok.Brian mengulum senyum gemas."Pengen cari kebaikan sama kamu bareng - bareng, tiap pagi liat kamu, sebelum tidur bahkan kita bisa olah raga bersama.." kekehnya di akhir.Biya sontak menahan nafas sesaat dengan
Brian mengulum senyum, dia sudah benar - benar gila. Si pecandu seks, menyakiti perempuan, ketua geng, brandalan yang seenaknya, pemabuk, pembalap liar. Semua tertinggal di masa lalu. Brian 180° derajat berubah total."Mana bayi gue, Mor?" Brian menoleh pada Amora, senyumnya perlahan luntur saat melihat kondisi Amora."Biya, Bri__" Amora terisak."di culik, Junior lagi kejar, bantuin dia.." suara Amora bergetar hebat.Brian meraih kunci mobil dengan kelabakan, wajahnya menegang. Jangan sampai Biya kenapa - kenapa, tinggal seminggu lagi mereka akan menikah.Amora mengikuti Brian, dia tidak boleh sendirian. Kepalanya masih di perban, kakinya pun masih pincang."Pelan, Bri.."Brian melempar ponselnya ke arah Amora yang sudah duduk di sampingnya.
Brian mengusap punggung polos Biya dengan mengulum senyum. Beberapa jam lalu baru itu namanya bercinta. Tidak seperti kesalahannya waktu itu.Brian menyesal karena melakukannya saat pertama kali dalam keadaan tidak sadar. Ah bukan, tapi setengah sadar.Bahkan Brian semakin menyesal dan merasa bersalah saat mengingat tidak ada kelembutan saat melakukannya. Ceroboh khas orang mabuk. Untung saja Biya tidak terlalu kesakitan paginya.Ingatannya kembali di penuhi dengan kegiatan semalam. Senyum kembali merekah. Sungguh bucin Brian itu. Apalagi semalam, Biyanya terlalu em... Nikmat?Brian cengengesan sendiri, sedangkan Biya sudah bahagia bersama mimpi - mimpi."Ah! Gue budak cinta banget.." gumamnya dengan merinding sendiri, semenggelikan itukah dirinya sekarang?
Glen terlihat diam, semenjak Biya hamil anak yang kedua memang gelagat Glen berubah. Mungkin karena akan memiliki adik."Sebenernya, Glen kenapa ya bun?" Biya menatap Glen dari kejauhan.Zela menyeruput teh jahe buatannya itu."Mungkin karena mau punya adik, dia murung dan takut perhatian kedua orang tuanya beralih ke sang adik." jawabnya."Mendadak baik, mendadak murung dan mendadak marah - marah atau bahkan rewel dan manja." terang Biya dengan sesekali mengusap perutnya yang kini sudah memasuki bulan ke 5."Itu sih jelas, alasannya karena takut perhatian kamu beralih." tebak Zela yang mungkin bisa saja iyah."Sayang."Zela menoleh, menatap Jayden yang semakin tua malah semakin terlihat segar itu."Kenapa?" tanya Zela seraya mengusap telapak tangan keriput Jayden yang bertengger di pundaknya itu."Kita
"Ga mau!" Glen terus meronta di gendongan Junior."Mama sama papa pergi sebentar kok." Junior mengusap punggung Glen yang bergetar karena menangis itu."Ga mau! No-no!" amuknya dengan suara meninggi bahkan hampir serak.Amora mengusap kepala Glen, menenangkannya dengan penuh kelembutan.Zela dan Jayden menuntun kedua cucu kembarnya yang terlihat memandang Glen dengan bingung harus bagaimana."Kita pulang, bawa masuk ke mobil." kata Jayden yang di angguki Junior dan Amora.Sedangkan Biya dan Brian, keduanya tengah berada di perjalanan udara menuju salah satu pantai yang terkenal bagi para pasangan yang akan honeymoon."Kenapa?" Brian merangkul Biya, mengusap puncak kepalanya dengan sayang."Pertama kali ninggalin Glen, rasanya khawatir. Padahal bunda, ayah sama Amora pasti jagain."Brian paham dengan perasaan Biya, dia pun
"Astaga! Itu buat tanaman, bukan makanan." Biya berlari menuju Glen yang hampir saja memakan tanah."Tapi walnanya kayak coklat, mama." Glen melempar sekepal tanah di tangannya dengan sebal.3 tahun usia Glen sekarang, usia yang membuat Biya hampir kewalahan. Untung Brian sudah memutuskan bekerja di rumah.Mungkin ini juga yang menjadi alasan kenapa Tuhan tidak kunjung memberi adik untuk Glen.Glennya sungguh nakal dan ingin banyak tahu. Biya tidak akan sanggup jika harus memiliki bayi sekarang."Kenapa lagi, ma?" Brian datang dengan tenang."Itu Glen, hampir nyobain tanah yang katanya mirip coklat." Biya mencuci jemari Glen dengan telaten."Penasalan, milip soalnya." Glen terlihat tidak suka di sudutkan."Glen pasti mau coklat?" Brian berjongkok di belakang Glen yang masih menyerahkan jemarinya di cuci oleh sang mama."Iy
Waldi dan Angga sedikit kaget saat melihat Yuna dan Luna datang yang ternyata di undang oleh Brian dan Biya."Ha-hai" Yuna terlihat canggung, sempat ragu juga sebenarnya. Dia hampir saja tidak akan ikut kumpul kalau saja Luna tidak datang."O-oh hai." Angga tersenyum ramah, mereka terlihat berbeda. Mungkin karena zaman dan usia yang berubah."Maaf telat." Luna duduk di samping Yuna yang duduk dekat Waldi.Waldi terlihat gugup di duduknya, pergaulan remaja mereka yang membuatnya jadi ingat saat di mana dia nakal dan bermain dengan Yuna dan Luna."Gimana kabar kalian?" Angga tersenyum ramah, seolah mereka memang baik - baik saja. Melupakan semua tentang kenakalan remaja dulu."Baik." jawab Yuna dan Luna bersamaan."Kabar kalian?" tanya Yuna."aku ga sangka bisa ketemu dan kumpul kayak gini." akunya.
Brian terlihat mesem - mesem, melirik dan sesekali mencolek Biya yang tengah mengamati Glen dan satu gadis cantik yang kebetulan sama, tengah berlibur dengan keluarganya."No! Danan (jangan)!" Glen berseru tidak suka, bahkan menepis tangan gadis seusianya itu yang hendak mengambil mainan Glen.Gadis kecil itu hanya cemberut.Biya melirik Brian yang tidak bisa diam itu, terus saja menggodanya."Apa, Brian?" tanyanya dengan lembut, pura - pura tidak paham."Abis dari sini ya, kita program." Brian gelayutan di lengan Biya yang pendeknya jelas lebih pendek darinya."Program apa sih, Bri." kekehnya geli, mengusap pipi sang suami sekilas."Kamu suka pura - pura, aku udah kasih kamu kode tadi, bahkan kamu bales, sayang."Biya mengulum senyum."Iyah, asal kamu bisa atur waktu. Baru aku mau." balasnya."Bisa - bisa, aku usahain pa
Ana menggendong bayi cantik yang bernama Alana Pashania. Bayi yang kini baru berusia 2 bulan itu. Bayi miliknya dan Aldi."Mana Aldi, Na?" tanya Brian."Ada, lagi di belakang, kak." jawab Ana dengan masih menimang Alana yang belum kunjung tidur itu."Al!" panggil Brian seraya celingukan mencari Aldi."Apa?" Aldi berjalan santai melewati Brian."Pinjem tenda dong, lo kan kadang naik gunung." kata Brian seraya mengekori Aldi."Ada, di gudang. Bentar gue ambilin." kata Aldi."mau kemana?" tanyanya.Brian memutuskan untuk mengekor Aldi."Piknik, udah lama ga liburan sama keluarga." jawabnya."Nah gitu dong, jangan telantarin anak istri lo."Brian memukul pundak Aldi."Enak aja! Gue ga pernah nelantarin mereka." semprotnya tidak terima."Terserah.""Nyebelin lo masih aja
Brian terlihat menatap langit - langit kamar, menunggu Biya yang sepertinya baru selesai mandi. Suara pintu terbuka pun menyadarkan Brian."Kenapa? Kamu kayak lagi ada pikiran." kata Biya seraya berjalan menuju meja rias.Brian menghela nafas panjang."Banyak." jawabnya singkat namun penuh beban."Banyak? Salah satunya? Ceritain biar enak. Siapa tahu aku bisa bantu." Biya memakai cream malam lalu lipbam.Biya melangkah menghampiri Brian yang menyambutnya dengan memeluknya."Kenapa, hm?" Biya mengusap kepala Brian seperti anak kecil, tapi Brian tidak terganggu, malah dia suka."Kamu liat Glen? Dia sering marah, di ajak main ga mau. Apa dia marah karena selama ini aku ga ada saat siang?"Biya tersenyum tipis."Kamu sadar ternyata soal itu, Glen emng sering ngeluh, dia ingin main tapi papa kerja." terangnya.
1 tahun kemudian... Yuna datang berdua dengan Luna. Hari ini mereka ingin berdamai dengan masa lalu. Belum ada kata maaf yang terucap, maka saat inilah waktunya. Setahun mereka urung terus dengan niat baik itu, rasanya mereka tidak bisa menundanya lagi."Om, saya teman Biya dan Brian." kata Yuna pada Rudy.Rudy tersenyum ramah."Silahkan masuk." sambutnya."Makasih, om."Rudy hanya tersenyum, membawa langkahnya ke dapur. Kebetulan Biya sedang di dapur bersama Zela."Biya, ada teman di depan." kata Rudy yang membuat Biya bingung sesaat, siapa?"Iyah, ayah." Biya melepas celemeknya, bergegas ke ruang tamu.Brian yang tengah turun tangga kini mengikuti Biya."Kemana?" tanyanya."Katanya ada temen di depan." Biya terus melangkah di ikuti Brian."Oh mungkin—" Brian tidak melanjutkan lan
Ana terdiam di dalam mobil, pikirannya masih berputar pada pertemuannya bersama Anita."Sayang, bukannya mau beli makanan?" Aldi melirik Ana sekilas.Aldi merasa ada yang aneh, apa karena pertemuan dengan Anita? Aldi sih yakin, pasti soal itu."Anita emang mantan terakhir aku, alasan aku pulang ke sini." Aldi akan mencoba terbuka, toh mereka sudah menikah."Tapi asal kamu tahu, soal perasaan aku ke kamu itu bukan main - main, aku serius jatuh cinta sama kamu." lanjut Aldi dengan masih fokus mengemudi."Hubungan kakak sama kak Anita berapa lama?" tanya Ana dengan masih tidak menatap Aldi."3 tahun.""Lama ya, kok cepet move onnya." Ana terlihat seperti ingin menangis, entah kenapa dia jadi mudah menangis. Mungkin karena kehamilannya."Sayang, bahkan dalam semenit bisa jatuh cinta. Jangan berpikir yang aneh - a