Pagi adalah masa - masa di mana miliknya kadang tegang, apa lagi dengan Biya yang tertidur di atasnya. Beberapa kali bahkan Biya menggeliat membuat Brian mengerang tertahan.
“Sial! Setelah main sama Yuna semalem pun masih aja kurang!” desisnya tertahan.“apalagi kalau bunda nginep di sini, bisa gawat..” dumelnya.
Brian menahan nafas saat Biya menggerakkan wajahnya untuk menukar posisi, Brian bahkan merasakan sentuhan sekilas itu. Sentuhan di mana bibir Biya menyentuh bibir Brian.
Brian berdebar lagi, padahal itu bukan ciuman yang pertama tapi kenapa jantungnya begitu histeris.
“Fuck!” umpat Brian seraya pelan - pelan memindahkan Biya ke tempat kosong di sampingnya.
“Dia bahaya! Bikin gue gila kayak gini!” gerutu Brian seraya membawa langkahnya menuju kamar mandi.
Brian melirik celananya yang mengembung.“Dan lo! Kenapa bereaksi berlebihan! Ah sial! Masa harus solo! Semua gara - gara si bayi!” dumelnya dengan mengerang tak terima.
***
Sudah dua hari Biya tidak pulang, khawatir memang pada ayahnya, tapi Biya terlalu hanyut dengan kasih sayang yang di berikan Zela.
“Kamu nginep lagi ya? Brian engga pernah macem - macemkan? Biar soal ayah kamu Brian yang urus, dia yang minta izin, bunda masih mau kenalan sama kamu..” kata Zela dengan suara lembutnya yang menenangkan bagi Biya.
Biya tidak pernah senyaman ini dengan orang lain semenjak sang nenek berpulang.
“Biya pasti ngerepotin bunda, mending_” Biya tidak melanjutkan ucapannya saat melihat Brian masuk.
Zela mengulum senyum geli, Biya masih saja takut pada Brian. Zela maklum sih, Brian ekspresi wajahnya memang terlihat tidak ramah kalau sedang tidak berbicara, terlihat tidak mudah di sentuh juga, yang pastinya membuat orang yang baru kenal pasti segan. Padahal aslinya tidak begitu.
“Pokoknya nginep dulu, ayah kamu bunda pastiin baik - baik aja..” di usapnya lagi kepala Biya.“kamu anak gadis yang baik, bunda engga mau kamu kena pukul lagi, biarin ayah kamu tenang dulu ya..” lanjutnya.
Biya menggigit bibirnya dengan tatapan menunduk, rasanya begitu sesak di dadanya kini. Perhatian yang selama ini selalu Biya impikan akhirnya bisa dia dapat, walau dari orang lain dan tidak apa walau sesaat. Biya benar - benar terharu bahagia.
“Bunda engga jemput ayah?” tanya Brian sebelum menyimpan air dalam botol di nakas untuk Biya minum.
Zela menepuk jidatnya.“Astaga! Hampir bunda lupa! Bisa ngamuk ayah kamu..” dengan tergesa Zela berlari kecil.“bunda keluar dulu, jagain Biyanya..” teriaknya pelan lalu menghilang.
Biya meremas rok selutut yang di pakainya, rok yang di belikan Zela itu terlihat pas dan manis membalut tubuh kurus Biya.
Brian mengamati Biya lalu duduk di sebrangnya, membuat keduanya berhadapan di atas kasur milik Brian yang kini menjadi tempat Biya itu.
“Masih aja nunduk!” sindir Brian dengan sedikit jengkel.
Biya menggigit bibirnya takut, benar - benar belum bisa beradaptasi dengan Brian. Biya terlalu trauma dengan pembully, entah itu Yuna Cs atau pun Brian Cs.
Brian menghela nafas pelan, tangannya terulur untuk menggenggam tangan Biya yang terus meremas roknya.
“Lo bisa bikin roknya naik! Jangan di remas..” biar gue yang remas, eh goblok! Kok ambigu.
Biya membiarkan tangan gemetar dan berkeringatnya di genggam dan di elus Brian. Biya terlalu takut untuk menolak atau bersuara.
Brian bergerak mendekat, membuat lututnya dengan lutut Biya saling menyapa. Brian meraih dagu Biya agar menatapnya.
“Gue Brian, Biya. Penolong lo__bukan pembully lo..” suara Brian terdengar lembut menyapa telinga Biya.“jangan bikin gue sedih karena lo anggap gue orang jahat yang ikut andil bully lo..” lanjutnya.
Biya masih diam, mengamati wajah Brian dengan gugup. Brian tidak membiarkan Biya untuk menunduk.
Brian mengusapkan jempolnya pada bibir Biya yang di gigit siempunya.“Jangan di gigit..” gue jadi pengen ngegigit juga, anjinglah pemikiran gue!
Biya mengerjap pelan.“Pegel..” akunya dengan suara pelan.
Brian melepaskan tangannya dari dagu Biya, membiarkan gadis itu pada posisinya yang nyaman.
“Kenapa takut sih? Gue baikin lo padahal..” Brian memeluk kedua lututnya sendiri tanpa mengalihkan tatapannya.
Biya mendongkak, melirik Brian sekilas.“Engga tahu, masih takut aja, kamu bisa aja bully akukan..” pelan sekali, untung Brian pendengarannya tajam.
Brian melepaskan pelukan di lututnya lalu meraih bahu Biya, mengecup keningnya sekilas.
“Ga ada gue bully lo, yang ada gue bakalan jaga lo, jadi jangan takut! Gue bisa sedih kalo lo terus takut dan anggap gue akan bully lo.."
***
“Mana Biya? Gue mau kenalan..” kata Amora pada Brian yang membukakan pintu.
“Nyapa gue dulu kek, yang sopan! Lo masih aja engga pernah bisa basa - basi..”
Amora dengan cepat menjitak kepala Brian.“Bodo amat!” semprotnya.“lo aja engga sopan sama ade lo, bang..” gerutu Amora.
Jayden hanya diam melihat interaksi anak - anaknya itu.“Gimana kabarnya Bri?” sapanya canggung. Maklum, masih belum akur sepenuhnya.
Jayden, Amora datang pun karena tahu soal Biya, Zela sudah banyak cerita tentang gadis itu, dan dengan lapang dada keluarganya menerima anggota baru yang di sayangi Brian itu.
Brian berdehem pelan.“Baik, yah..” balasnya sama canggung.
“Bagus kalau kamu baik..” jawabnya dengan masih tanpa ekspresi.
“Yuk masuk..” ajak Amora guna melerai aura canggung di antara mereka.
Brian mendengus pelan melihat tingkah sang adik. Langkah Brian pun memutuskan untuk ke kamarnya, menjemput Biya.
“Amor sama ayah mau ketemu..” Brian membantu Biya berdiri, matanya mengamati perban di kepala Biya yang takutnya lepas atau berdarah lagi.
Biya kembali di landa cemas, bertemu dengan orang baru membuatnya takut tanpa alasan.
Brian menggenggam tangan gemetar itu.“Amor baik, ayah juga..” Brian mengusap pelan tangan Biya yang di genggamnya itu.“tarik nafas terus buang, dalam pikiran lo, anggap kalau orang yang ada di sekitar lo nanti baik..” lanjutnya.
Biya mencoba menarik nafas lalu membuangnya perlahan, dengan terus berucap dalam hati kalau keluarga Brian semuanya baik.
Brian menuntun Biya keluar kamar, tangannya yang bertautan mulai terasa tidak setegang tadi. Biya sepertinya tidak terlalu gugup sekarang.
Langkahnya yang menuruni unakan tangga kini terayun pelan, bisa Biya lihat. Ada dua pasang manusia yang tengah menatapnya dengan senyuman hangat.
Biya merasakan lagi cemasnya, benar - benar tidak bisa di kendalikan.
“Tarik nafas, terus buang..” kata Brian saat tahu kalau Biya mulai cemas dan gugup.
Amora berdiri dari duduknya, tersenyum menatap Biya yang terlihat takut dan gugup itu. Amora mengerti, Zela sudah menceritakan semuanya.
***
“Biya..” panggil Jayden--ayah Brian.
Biya mendongkak dengan mata mengerjap takut, sedari mereka berkumpul Biya hanya diam dengan kegelisahannya.
“Engga usah takut, anggap kami keluarga kamu..” Jayden tersenyum tipis, aura keayahannya begitu terpancar.
Biya tidak berkedip, merasa dunia yang di pijaknya dulu dengan sekarang begitu berbeda. Kalau saja tidak malu, Biya ingin menangis meraung - raung saking harunya perasaannya kini.
“Pokoknya jangan sungkan, anggap rumah sendiri..” tambah Jayden yang berhasil membuat Brian mendengus.
'Perasaan ini apart gue, bukan rumah, ayah mulai pikun..'
Brian mengusap punggung Biya sekilas, membuat Biya tersentak pelan dan tersadar dari lamunannya.
“Makan..” setelah itu Brian kembali pada makanannya.
Jayden mengamati anaknya dengan senyum samar. Semarah apapaun dia, sekecewa apapun dia pada Brian karena kejadian itu, tetap saja Brian anaknya. Jayden bahkan ingin mengajaknya pulang, namun gengsi masih tertanam di hatinya.
“Biya, kita seumuran, lo bisa anggap gue temen lo..” Amor terlihat centil di sebrang mereka.
Brian mendengus.“Centil lo, mana mau dia temenan_”
“BERISIK!” amuk Amora memotong ucapan Brian.
“Dasar Emosian!” Brian berujar dengan setenang air mengalir.
“Kayak yang engga!” semprot Amor tidak terima.
Zela menghela nafas.“Udah, yang emosian itu ayah kalian, jadi jangan saling tuduh, makan..” lerai Zela dengan tidak bertenaga.
Mereka kalau bertemu selalu bertengkar, tapi kalau jauh saling menanyakan kabar.
Jayden tersenyum tipis, melirik sang istri yang semakin dewasa dan tetap cantik itu. Jayden rasanya ingin menarik Zela ke kamar, andai saja ini di rumahnya.
Brian melirik Biya, mengusap punggungnya. Brian masih saja melihat ketegangan di wajah cantik Biya, bayinya.
Biya melirik Brian sekilas, dan memutuskan kembali fokus dengan apa yang ada di depannya.
"Biya, lo takut sama Brian pasti ya?" tanya Amora.
Biya mendongkak lalu menggeleng pelan. Hanya itu yang bisa dia berikan sebagai respon. Biya akui, dia masih takut pada Brian.
"Jangan banyak tanya! Fokus aja sama makanan lo!" Brian berujar tegas dan tidak ingin di bantah.
"Ck! Kayak lo pacarnya aja.." dumel Amora.
Brian hanya diam, malas menanggapi kembaran beda kelaminnya itu. Dari pada moodnya jelek, lebih baik diam.
Jayden memijat pelipisnya sekilas, Jayden di buat geleng - geleng kepala dengan kelakuan Brian.Banyak pelanggaran, ikut tawuran hingga di bawa polisi dan ada yang lebih parah. Seks bebas.Demi apapun, Jayden sudah merasakan karmanya. Ternyata perbuatannya dulu sama sekali tidak di benarkan dan membuat orang tuanya pusing.Jayden jadi rindu sang ayah--Jefri. Dia harus banyak meminta maaf pada ayahnya yang sering di buat pusing olehnya dulu.“Kapan baikan?”Jayden menoleh, mengusap pipi Zela yang kini bersandar di bahunya.“Bukan salah aku, sayang..” Jayden menyandarkan kepalanya pada kepala Zela.“__tunggu anak itu sadar sendiri, dia yang salah di sini..” lanjutnya dengan tidak ingin di bantah.“Aku kangen Brian ada di rumah, kita kumpul setiap hari, setiap pulang dari luar kita bisa ketemu mereka..”“Brian laki
Biya menjilat bibirnya gugup, tidak ada siapa - siapa di kamar ini. Bukan karena takut, dia bahkan sudah biasa sendirian. Biya hanya malu sendiri dengan apa yang di lakukan Brian pada bibirnya.Demi apapun, ciuman pertamanya di ambil Brian saat itu dan yang kedua lalu ketiga, rasanya Biya bisa gila di peluk malu dan sedih. Sedihnya karena Biya merasa tidak ada bedanya dengan Yuna CS. Apakah setelah bibir lalu turun ke_Biya menggelengkan kepalanya cepat, mencoba menepis semua pemikiran anehnya. Biya kembali gelisah, banyak sekali yang memberatkan pikirannya.“Kenapa belum siap - siap?”Biya tersentak kaget di duduknya. Nafasnya terasa tersedot tiba - tiba. Biya kembali menundukan kepalanya.“Kenapa?” Brian berdiri menjulang tinggi di depan Biya yang terduduk itu, di usapnya kepala mungil yang sering berpikir
Biya merasa tangan yang di genggam Brian kini berkeringat, karena hanya tinggal beberapa langkah lagi kakinya akan sampai di ruangan yang di tempati ayahnya.“Bri-Brian_” Biya menatap canggung wajah Brian yang tampan bak dewa itu.“a-aku em sebentar_” di tarik tangannya yang berada di tangan Brian itu.Keduanya tengah berdiri di samping pintu yang menjadi ruangan Rudy di rawat. Biya membiarkan kedua tangannya saling meremas gelisah.“Tarik nafas_buang” Brian mengusap bahu Biya, mencoba membuatnya tenang.“_ada aku bayi, tenang_ semua pasti baik - baik aja..” yakinnya.Biya menelan ludah, menatap wajah maskulin Brian dengan gugup. Suara dan wajahnya sungguh berbeda.Tidak akan ada yang percaya kalau wajah tampan namun menakutkan itu memiliki suara yang lembut. Bahkan membuat Biya nyaman.
Brian meraih helm di tangan Biya, menyimpannya lalu bercermin sesaat sebelum menggandeng Biya menuju ke dalam gedung sekolah.“Brian_” Biya melirik Brian dengan ragu dan canggung.“ki-kita pisah aja sekarang..” dengan pelan Biya berusaha menarik tangannya dari genggaman Brian.“Kenapa? Kelas kamu masih cukup jauh..” Brian berujar acuh.“Itu_” Biya mengedarkan pandangannya dengan tidak nyaman.“aku engga nyaman, lebih baik_”“Diem, ngikut aja jangan banyak berpikir, bayi..” Brian berujar santai tanpa menatap Biya, melainkan menatap sekitar dengan memindai tajam.Tak lama, keduanya sampai di depan kelas Biya. Brian melepaskan genggamannya, membuka jaketnya lalu di pakaikan pada Biya.Brian ingin menegaskan kalau Biya itu miliknya, jangan ada yang berani mengusiknya.“Jaketnya kenap_”“Pake aja, sayang..” Bria
Angga, Waldi, Satria sudah berada di ruang inap Biya yang baru di pindahkan pada ruang VVIP itu. Brian terlihat lahap memakan nasi padangnya. Angga memang tahu sekali selera Brian.“Lo gimana sih, masa anak bayi di kasih saos_” setelahnya Angga cekikikan.Waldi mengangguk.“Orang tua macam apa yang nyumpel mulut bayinya pake saos..” sindirnya.Brian mencoba abai.Satria mengamati Biya yang terlelap tanpa terganggu, bahkan tawa menggelegar Waldi tidak membuatnya terusik.Satria menepuk bahu Brian.“Bri, dia masih nafaskan?” tunjuknya pada Biya yang terlelap di atas kasur pasien.Brian mengunyah santai nasinya lalu mengangguk.“Nafaslah bego! Anjing banget pikiran lo!” semprot Brian dengan mulut penuh.
Susilo bersiul, melayangkan tos ria pada Brian yang tengah berkumpul dengan para teman - teman tongkrongannya yang lain itu. Matanya memicing geli, menggoda Brian yang jarang kumpul itu.“Pengantin baru kenapa jarang nongkrong, hm? Ngasik keluar - masuk?”Brian tersenyum kecil, menerima tosan itu.“Dia bukan cewek yang bisa gue masukin, bang__” Susilo pun duduk di samping Brian.“dia cuma bisa bikin gue gemes_” lanjutnya.Angga, Waldi dan Satria sontak bersorak geli paling heboh di antara yang lainnya. Sungguh tidak biasa mereka membahas hal menye - menye di tongkrongan. Biasanya kalau tidak selangkangan ya minuman atau balapan yang di bahas.“Cielah! Anak muda emang beda, dah berumur mana bisa pikirin yang gemes - gemesan__kepuasan sih iyah!” seru Susilo seraya meraih gelas sloki bersih lalu menuangkan minuman beralkohol yang cukup bermerk itu.Brian ha
Brian mengendus leher Biya, mengabaikan ketidak nyamanan gadisnya itu. Televisi di depan mereka tidak berhasil menarik perhatian Brian.“Brian__” Biya menahan wajah Brian dengan tangan mungilnya.“geli, berhenti..” pintanya.Brian mengulum senyum.“Iya, Bayiku sayang..” di kecupnya pipi Biya sekilas dengan kedua tangan masih melilit memeluk Biya.Biya tersipu, jantungnya berdebar. Pengalaman pertama baginya bisa sedekat ini dengan laki - laki.“Bayi, di sekolah kita umumin ya..” Brian kembali mendekat, mengendus leher Biya yang selalu manariknya untuk mendekat. Seperti ada magnet.Biya menggeliat, kembali menahan wajah Brian.“Umumin? Umumin apa, Brian?” tanyanya tidak paham.“Kita pacaran__” Brian mengecup hidung mungil Biya dengan gemas.“aku mau semua orang tahu, kamu punya, Brian Adrazi Rulzein..” bangganya.Bi
Brian masih saja senyum - senyum sendiri. Siswa yang sering Brian bully pun di biarkan hanya lewat. Padahal siswa itu sudah mempersiapkan diri jika Brian menariknya ke belakang sekolah.Bahkan saat Brian berjalan ada yang menyenggolnya, biasa ngamuk kini acuh dengan senyum masih terbit. Efek dahsyat dari cinta.“Bri, gue merasa dunia yang kita pijak itu beda..” Angga memicingkan matanya, menatap Brian ngeri.Brian tidak terganggu.“Kalian emang engga gini ya? Bawaannya kangen, pengen senyum..” di tatapnya mereka dengan heran.“Gitu sih awalnya, tapi dulu pas SMP__lo sih telat, SMA baru pacaran..” Waldi menyahut.Brian mengangguk paham, dia memang telat. Lebih tepatnya, Tuhan baru mempertemukannya dengan Biya sekarang. Di akhir perjalanan SMA.“Biya mana?” Satria bertanya dengan mulut mengunyah.“Masih di kelas, katanya banyak salin catetan..”“Lo y
Glen terlihat diam, semenjak Biya hamil anak yang kedua memang gelagat Glen berubah. Mungkin karena akan memiliki adik."Sebenernya, Glen kenapa ya bun?" Biya menatap Glen dari kejauhan.Zela menyeruput teh jahe buatannya itu."Mungkin karena mau punya adik, dia murung dan takut perhatian kedua orang tuanya beralih ke sang adik." jawabnya."Mendadak baik, mendadak murung dan mendadak marah - marah atau bahkan rewel dan manja." terang Biya dengan sesekali mengusap perutnya yang kini sudah memasuki bulan ke 5."Itu sih jelas, alasannya karena takut perhatian kamu beralih." tebak Zela yang mungkin bisa saja iyah."Sayang."Zela menoleh, menatap Jayden yang semakin tua malah semakin terlihat segar itu."Kenapa?" tanya Zela seraya mengusap telapak tangan keriput Jayden yang bertengger di pundaknya itu."Kita
"Ga mau!" Glen terus meronta di gendongan Junior."Mama sama papa pergi sebentar kok." Junior mengusap punggung Glen yang bergetar karena menangis itu."Ga mau! No-no!" amuknya dengan suara meninggi bahkan hampir serak.Amora mengusap kepala Glen, menenangkannya dengan penuh kelembutan.Zela dan Jayden menuntun kedua cucu kembarnya yang terlihat memandang Glen dengan bingung harus bagaimana."Kita pulang, bawa masuk ke mobil." kata Jayden yang di angguki Junior dan Amora.Sedangkan Biya dan Brian, keduanya tengah berada di perjalanan udara menuju salah satu pantai yang terkenal bagi para pasangan yang akan honeymoon."Kenapa?" Brian merangkul Biya, mengusap puncak kepalanya dengan sayang."Pertama kali ninggalin Glen, rasanya khawatir. Padahal bunda, ayah sama Amora pasti jagain."Brian paham dengan perasaan Biya, dia pun
"Astaga! Itu buat tanaman, bukan makanan." Biya berlari menuju Glen yang hampir saja memakan tanah."Tapi walnanya kayak coklat, mama." Glen melempar sekepal tanah di tangannya dengan sebal.3 tahun usia Glen sekarang, usia yang membuat Biya hampir kewalahan. Untung Brian sudah memutuskan bekerja di rumah.Mungkin ini juga yang menjadi alasan kenapa Tuhan tidak kunjung memberi adik untuk Glen.Glennya sungguh nakal dan ingin banyak tahu. Biya tidak akan sanggup jika harus memiliki bayi sekarang."Kenapa lagi, ma?" Brian datang dengan tenang."Itu Glen, hampir nyobain tanah yang katanya mirip coklat." Biya mencuci jemari Glen dengan telaten."Penasalan, milip soalnya." Glen terlihat tidak suka di sudutkan."Glen pasti mau coklat?" Brian berjongkok di belakang Glen yang masih menyerahkan jemarinya di cuci oleh sang mama."Iy
Waldi dan Angga sedikit kaget saat melihat Yuna dan Luna datang yang ternyata di undang oleh Brian dan Biya."Ha-hai" Yuna terlihat canggung, sempat ragu juga sebenarnya. Dia hampir saja tidak akan ikut kumpul kalau saja Luna tidak datang."O-oh hai." Angga tersenyum ramah, mereka terlihat berbeda. Mungkin karena zaman dan usia yang berubah."Maaf telat." Luna duduk di samping Yuna yang duduk dekat Waldi.Waldi terlihat gugup di duduknya, pergaulan remaja mereka yang membuatnya jadi ingat saat di mana dia nakal dan bermain dengan Yuna dan Luna."Gimana kabar kalian?" Angga tersenyum ramah, seolah mereka memang baik - baik saja. Melupakan semua tentang kenakalan remaja dulu."Baik." jawab Yuna dan Luna bersamaan."Kabar kalian?" tanya Yuna."aku ga sangka bisa ketemu dan kumpul kayak gini." akunya.
Brian terlihat mesem - mesem, melirik dan sesekali mencolek Biya yang tengah mengamati Glen dan satu gadis cantik yang kebetulan sama, tengah berlibur dengan keluarganya."No! Danan (jangan)!" Glen berseru tidak suka, bahkan menepis tangan gadis seusianya itu yang hendak mengambil mainan Glen.Gadis kecil itu hanya cemberut.Biya melirik Brian yang tidak bisa diam itu, terus saja menggodanya."Apa, Brian?" tanyanya dengan lembut, pura - pura tidak paham."Abis dari sini ya, kita program." Brian gelayutan di lengan Biya yang pendeknya jelas lebih pendek darinya."Program apa sih, Bri." kekehnya geli, mengusap pipi sang suami sekilas."Kamu suka pura - pura, aku udah kasih kamu kode tadi, bahkan kamu bales, sayang."Biya mengulum senyum."Iyah, asal kamu bisa atur waktu. Baru aku mau." balasnya."Bisa - bisa, aku usahain pa
Ana menggendong bayi cantik yang bernama Alana Pashania. Bayi yang kini baru berusia 2 bulan itu. Bayi miliknya dan Aldi."Mana Aldi, Na?" tanya Brian."Ada, lagi di belakang, kak." jawab Ana dengan masih menimang Alana yang belum kunjung tidur itu."Al!" panggil Brian seraya celingukan mencari Aldi."Apa?" Aldi berjalan santai melewati Brian."Pinjem tenda dong, lo kan kadang naik gunung." kata Brian seraya mengekori Aldi."Ada, di gudang. Bentar gue ambilin." kata Aldi."mau kemana?" tanyanya.Brian memutuskan untuk mengekor Aldi."Piknik, udah lama ga liburan sama keluarga." jawabnya."Nah gitu dong, jangan telantarin anak istri lo."Brian memukul pundak Aldi."Enak aja! Gue ga pernah nelantarin mereka." semprotnya tidak terima."Terserah.""Nyebelin lo masih aja
Brian terlihat menatap langit - langit kamar, menunggu Biya yang sepertinya baru selesai mandi. Suara pintu terbuka pun menyadarkan Brian."Kenapa? Kamu kayak lagi ada pikiran." kata Biya seraya berjalan menuju meja rias.Brian menghela nafas panjang."Banyak." jawabnya singkat namun penuh beban."Banyak? Salah satunya? Ceritain biar enak. Siapa tahu aku bisa bantu." Biya memakai cream malam lalu lipbam.Biya melangkah menghampiri Brian yang menyambutnya dengan memeluknya."Kenapa, hm?" Biya mengusap kepala Brian seperti anak kecil, tapi Brian tidak terganggu, malah dia suka."Kamu liat Glen? Dia sering marah, di ajak main ga mau. Apa dia marah karena selama ini aku ga ada saat siang?"Biya tersenyum tipis."Kamu sadar ternyata soal itu, Glen emng sering ngeluh, dia ingin main tapi papa kerja." terangnya.
1 tahun kemudian... Yuna datang berdua dengan Luna. Hari ini mereka ingin berdamai dengan masa lalu. Belum ada kata maaf yang terucap, maka saat inilah waktunya. Setahun mereka urung terus dengan niat baik itu, rasanya mereka tidak bisa menundanya lagi."Om, saya teman Biya dan Brian." kata Yuna pada Rudy.Rudy tersenyum ramah."Silahkan masuk." sambutnya."Makasih, om."Rudy hanya tersenyum, membawa langkahnya ke dapur. Kebetulan Biya sedang di dapur bersama Zela."Biya, ada teman di depan." kata Rudy yang membuat Biya bingung sesaat, siapa?"Iyah, ayah." Biya melepas celemeknya, bergegas ke ruang tamu.Brian yang tengah turun tangga kini mengikuti Biya."Kemana?" tanyanya."Katanya ada temen di depan." Biya terus melangkah di ikuti Brian."Oh mungkin—" Brian tidak melanjutkan lan
Ana terdiam di dalam mobil, pikirannya masih berputar pada pertemuannya bersama Anita."Sayang, bukannya mau beli makanan?" Aldi melirik Ana sekilas.Aldi merasa ada yang aneh, apa karena pertemuan dengan Anita? Aldi sih yakin, pasti soal itu."Anita emang mantan terakhir aku, alasan aku pulang ke sini." Aldi akan mencoba terbuka, toh mereka sudah menikah."Tapi asal kamu tahu, soal perasaan aku ke kamu itu bukan main - main, aku serius jatuh cinta sama kamu." lanjut Aldi dengan masih fokus mengemudi."Hubungan kakak sama kak Anita berapa lama?" tanya Ana dengan masih tidak menatap Aldi."3 tahun.""Lama ya, kok cepet move onnya." Ana terlihat seperti ingin menangis, entah kenapa dia jadi mudah menangis. Mungkin karena kehamilannya."Sayang, bahkan dalam semenit bisa jatuh cinta. Jangan berpikir yang aneh - a