Share

2. Semakin Peduli

Author: Chanie1001
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

        Brian pertama kalinya berkeliaran di sekolah tanpa jaket kebesarannya. Dari kejauhan Brian bisa melihat Biya menunduk sedang di tunjuk - tunjuk Luna, salah satu antek - antek Yuna.

Siswa - siswi kepo terlihat berkerumun di sekitaran mereka. Psikis orang yang terguncang menjadikan hiburan bagi mereka, miris.

Saat melihat Brian datang semua langsung memberi jalan.

“Ngapain?” tanya Brian tak bersahabat. Tatapannya menajam memindai sekitar lalu menatap lurus penuh peringatan pada satu manusia yang menjadi biangnya.

Luna gelagapan lalu mundur beberapa langkah. Menelan ludah kasar, ternyata soal jaket itu benar pikirnya kelabakan.

“I-ini, anu_”

“Lo ga liat tanda yang gue kasih? Jaket ini lo ga kenal?” tanpa menunggu jawaban, Brian menarik Biya untuk meninggalkan kerumunan.

Brian tidak perlu panjang lebar menjelaskan, semua yang ada di sana pasti akan sangat mengerti kalau Biya sudah ada di bawah kuasanya.

Biya berjalan terseok - seok dengan masih terus tertunduk. Mentalnya masih selemah dulu, bahkan mungkin tidak berubah.

Brian melepaskan cekalannya di depan warung kantin.“Bu mau jus jeruk dua sama batagornya dua, di meja ujung ya bu..” pesannya tanpa menunggu jawaban dari ibu kantin.

Brian kembali meraih lengan Biya lalu membawanya ke meja tujuan.

“Nunduk terus! Ada apa sih di bawah!” jengkel Brian.

Biya semakin gelisah tanpa mengangkat kepalanya. Brian menghela nafas jengah lalu memutuskan untuk mengabaikannya walau mendadak sulit.

“Gimana? Ada yang bully lo selain Luna?” tanya Brian dengan masih bernada tak bersahabat. Suara Brian terdengar tegas dan dingin. Rasanya Biya sedang di lantik menjadi anggota paskibra.

Biya menggeleng, memang benar, dia hanya di labrak Luna. Biasanya dia tidak berhenti mendapat kejahilan dari siapapun di kelasnya.

“Lo ga bisa liat wajah orang? Di bawah ada apa sih, penasaran gue!” Brian semakin jengkel.

Biya mengigit bibirnya, masih tidak berani mendongkak.

Brian berdecak.“Lo takut?” tanya Brian seraya mengintip wajah Biya yang semakin menunduk itu.

Biya mengangguk pelan membuat Brian berdecak lagi.

“Gue penolong lo! Ga usah takut! Cepet liat gue!” desaknya dengan raut wajah terlihat frustasi.

Biya semakin gelisah. Brian hendak bersuara lagi namun pesanannya sudah datang.

“Terima kasih, bu” ucap Brian dengan wajah di tekuk masam.

“Sama - sama, Brian..”

Biya melirik batagor itu lewat bulu matanya yang panjang. Brian mengaduk batagornya lalu mengaduk milik Biya sebelum mendorong piring itu ke depan Biya.

“Makan! Ga habis gue biarin lo di bully lagi, mau?” tanya Brian penuh keseriusan, syarat akan ancaman.

Biya meraih sendok itu dengan tangan bergetar. Biya merasa belum aman dan selalu merasa terancam. Takut di jahili juga, dia benar - benar belum bisa percaya pada siapa pun.

Brian menguyah batagornya lalu melirik Biya. Rambut sebahunya masih menutup sebagian wajah gadis itu.

Mulut Brian yang masih ada batagornya menganga tak percaya melihat respon Biya yang gemetar begitu.

“Apa setakut itu?” tanya Brian setelah menelan kunyahannya.

Rasanya Biya tak sanggup makan, tapi jika tidak dia takut ancaman Brian jadi nyata. Biya tidak bisa mengendalikan tubuhnya yang bergetar, seperti sudah melekat alami jika dirinya merasa takut dan terancam.

Brian melempar sendoknya pelan hingga bunyi nyaring antara piring dan sendok terdengar.

“Woah! Ternyata lo sepenakut ini?” tanya Brian tak percaya.

Brian meraih tangan Biya lalu di genggamnya kuat.“lo liat gue! Gue yang tolong lo kemarin, sekarang dan seterusnya! Ga usah setakut ini! Gue bukan hantu!” jengkel Brian.

***

Brian menatap kantong plastik hitam di tangannya yang berisikan batagor. Biya sama sekali tidak menyentuhnya.

“Nih! Terserah mau lo buang juga gue ga peduli!” jengah Brian setelah Biya sampai di depan kelasnya.

“Ma-makasih..” cicit Biya masih dengan menunduk takut, tangannya yang mengambil kantong plastik di tangan Brian pun masih bergetar.

Brian berlalu dengan wajah di tekuk masam, entah kenapa Brian merasa terganggu dengan reaksi gadis itu.

Padahal dia tidak pernah berurusan dengannya, Brian hanya tahu kalau Biya memang sering jadi bahan bullyan Yuna CS.

Dulu sempat ingin menolong tapi dia terlalu malas bersinggungan dengan para perempuan, apalagi Yuna CS yang masih dirinya butuhkan untuk bermain - main.

Brian membawa langkahnya menuju kelasnya yang terlihat sepi, sepertinya sudah ada guru.

Brian tersenyum sinis, tumben sekali guru datangnya secepat ini.

Brian masuk begitu saja mengabaikan pandangan teman - temannya maupun guru di depannya.

“Brian! Kemari kamu! Tidak sopan!” tegur Bu Eni, guru bahasa indonesia.

Brian memutar langkahnya lalu berdiri beberapa langkah di depan Bu Eni.

“Maaf bu” acuh Brian agar lebih cepat selesai, dia sedang tidak dalam mood bagus saat ini.

Bu Eni menautkan alisnya bingung, merasa tumben Brian tidak melawan.“Ya-yaudah, cepet duduk! Lain kali jangan di ulangi..”

Brian mengangguk lalu berlalu dengan acuhnya, tatapan heran yang di lemparkan pada Brian pun dirinya abaikan.

“Kenapa bos?” bisik Angga, teman sebangku Brian hari ini.

“Ga papa..” singkatnya dengan tatapan lurus ke depan.

***

Brian melempar tas nya ke arah Waldi.“Simpen di tempat tongkrongan, gue titip..” acuhnya lalu meninggalkan para anggota gengnya itu.

“Mau kemana sih si bos? Mulai aneh lagi deh..” heran Angga acuh tak acuh.

“Lagi ada inceran kali..” sahut Satria cuek.

Di tempat lain, Biya tengah melamun. Kelas sudah sepi, memang sengaja Biya menunggu sepi, dia takut dengan gosip yang tengah hangat saat ini.

Gosip tentang Brian yang mendekatinya.

Biya merapihkan semua catatan di atas meja lalu memasukannya ke dalam tas gandongnya yang sudah lusuh. Sepertinya dia harus kembali menabung agar bisa membeli tas baru.

“Sesuai dugaan!”

Biya tersentak kaget hingga sebagian bukunya jatuh berceceran di lantai.

Brian berdecak kesal, merasa di anggap hantu yang menakutkan. Reaksi Biya entah kenapa membuatnya tak nyaman, dia tak suka.

Biya buru - buru merapihkan bukunya lalu memasukannya ke tas hingga semuanya masuk.

Brian yang melihat raut takut di wajah Biya membuatnya mengerang kesal.

Biya mematung mendengarnya, Biya berpikir apa Brian terganggu olehnya? Apa dia marah dan akan membiarkannya di bully lagi?

Brian meraih kasar tas gandong Biya, membawa tas itu keluar kelas. Biya sontak ketar - ketir lalu berlari kecil menyusul Brian.

“Ta-tas aku..” lirih Biya dengan berusaha mengimbangi langkah Brian yang lebar.

Brian bahkan masih ingat keketusan dan keberanian Biya saat di tepi sungai. Dia ingin gadis itu seperti saat itu, begitu berani menyuarakan kekesalan dan kesedihannya, bukan seperti sekarang yang selalu ketakutan.

Brian melempar tas Biya ke dalam mobilnya lalu membukakan pintu samping kemudi untuk Biya.

“Cepet masuk! Mau di bully lagi?” tanya Brian penuh paksaan yang sontak membuat Biya bergegas masuk.“pake sabuk pengamannya!” ketus Brian setelahnya menutup pintu mobil.

Biya mengenggam sabuk pengamannya kuat - kuat, sesekali matanya melirik Brian yang terlihat tidak seemosi tadi.

“Satu semester lebih lagi, lo harus tahan..” kata Brian.

Biya terhenyak lalu terdiam dan merenungkan semuanya.

Biya menatap jalanan yang di lewatinya dengan tatapan menerawang, andai saja Brian datang di saat dirinya masuk sekolah terkutuk itu, mungkin masa putih abu - abunya akan sedikit indah tanpa bullyan.

Biya meremas seragamnya yang berada di sebelah kiri, seolah di sanalah yang sakit.

Bayangkan saja bagaimana hancurnya dia karena terus mendapat bullyan fisik maupun non fisik.

Biya memejamkan matanya sekilas guna meredam semua rasa kecewa pada kehidupan. Mungkin benar, dirinya hanya harus bertahan sebentar lagi.

Biya membolakan matanya saat melihat ayahnya tengah di pukuli beberapa preman dipinggir jalan.

“STOP! Tolong BERHENTI!” pekik Biya membuat Brian menepikan mobilnya dengan sekali sentak. Untung jalanan lenggang.

“APA - APAAN SIH LO MA_” bentakan Brian terhenti saat Biya turun dari mobil lalu berlari menghampiri preman yang tengah memukuli ayahnya.

Brian turun tergesa, menatap heran dan cemas dengan keberanian Biya yang kini memeluk pria paruh baya berlumuran darah itu.

“Ck! Apaan sih!” geram sang preman seraya menendang punggung Biya.

Brian sontak berlari guna menghentikan kedua preman itu agar berhenti.“Stop! Kalian ngapain pukul cewek itu!” bentak Brian dengan geram.

“Bri! Ngapain lo di sini! Lo kenal mereka?” tanya salah satu preman itu.

Kedua preman itu salah satunya anggota di balapan liar, sebagai tameng agar tidak ada keributan atau pun jika ada maka merekalah yang maju.

“Cewek gue! Jadi lepas! Kita urus nanti!” tegas Brian dengan ekspresi tak bersahabat.

“Oke - oke, cabut Yo!” ajak Preman itu pada temannya.

Brian membantu Biya berdiri, gadis itu terus terisak, tersedu - sedu.“Ayah kenapa bisa berurusan lagi?” lirihnya sesegukan.

Rudy mendorong pelan Brian yang hendak membantunya lalu menatap nyalang Biya yang ketakutan dalam tangisannya.

“Bukan urusan kamu! Pergi sana!” bentak Rudy dengan mendorong keras Biya hingga terpental jatuh.

Brian terkejut melihat itu, dengan cepat Brian mendekati Biya yang meringis lalu tak sadarkan diri. Brian mengangkat Biya tergesa dengan tatapan sekilas menatap tajam pria paruh baya yang tertatih - tatih itu.

***

“6 jahitan di belakang kepala!” geram Brian dengan tangan terkepal. Entah kenapa Brian terganggu oleh semuanya.

Biya perlahan selalu menguasai fokusnya. Brian tak menyangka ternyata hidup Biya sesulit itu.

Informasi dari Roni, salah satu preman tadi cukup membuatnya terganggu sehebat ini.

Brian menatap Biya yang masih terlelap, mata bengkak gadis itu membuatnya semakin menggeram kesal. Tidak sepantasnya pria tua bangka itu di tangisi, bahkan Biya melindunginya tadi.

Benar - benar gadis bodoh!

“Siapa dia Brian?” tanya Zela--bunda Brian dengan serius, tidak menyangka anaknya akan membawa perempuan ke dalam apartementnya.

Brian melunakan ekspresinya.“Temen Brian bun, kena kekerasan sama ayahnya” terang Brian lesu.“kenapa bunda di sini? Brian udah bilangkan, Brian mau sendiri dulu..” lanjutnya tak bertenaga.

“Astaga! Anak secantik ini bagaimana bisa di sia - siain, orang tua macam apa yang membuat anaknya seperti ini!” Zela mengabaikan ucapan terakhir anaknya itu.

Brian menyetujui ucapan Zela, orang tua Biya mungkin gila!

Ternyata ada bagusnya sang bunda datang.“Titip ya bun, jangan di suruh dulu pulang, Brian mau keluar dulu..” pamit Brian.

Zela mengangguk lalu mengusap kepala Biya dengan hangat. “Iyah, jangan malam - malam pulangnya..”

Related chapters

  • Pernikahan Dini : Brittle    3. Kemarahan Brian

    Brian memakai jaket berlogo gengnya, sedari di pakai bau Biya selalu menyeruak di hidungnya. Nyaman rasanya.“Bri! Lo punya ade?” tanya Susilo, teman tongkrongan yang lebih tua dua tahun dari Brian.“setahu gue, kembaran lo udah gede..” lanjutnya dengan berusaha berpikir keras.“Engga, bang.” singkat Brian.“Bau lo bau bayi, tumben ga kayak biasanya, bau jalang lo ga kayak gini..” terang Susilo yang di angguki beberapa anggota lain.Brian mengabaikan tanpa menjelaskan, jelas bau bayi, kan jaketnya di pakai Biya yang memang selalu beraroma bayi.Selalu? Haha Brian merasa gila dengan kelakuannya, ternyata bau gadis yang sering di bully itu sudah dia hafal sejak lama. Mungkin sejak dia berpapasan di gerbang sekolah saat pertama masuk sekolah dulu? Entahlah, rumit.Mengingat bau bayi, membuat Brian tidak tega menyakiti Biya. Brian berjanji, mulai sekarang tidak

  • Pernikahan Dini : Brittle    4. Putri Tidur

    Brian menggeram gemas, pinggulnya terus bergerak membuat perempuan di bawahnya mendesah kelimpungan tak bisa diam.“Ah Bi!” desah Brian tertahan, matanya terpejam. Mencoba membayangkan sosok yang beberapa hari ini mengganggu pikirannya.Luna terdiam sejenak saat mendengar panggilan Brian dalam desahannya, namun detik berikutnya kembali mengerang kenikmatan.Luna hendak memeluk leher Brian namun Brian tahan.“Lo lupa? Jangan sentuh gue! Biarin gue gerak sendiri!” kesal Brian seraya menghentikan gerakan di bawahnya.“Maaf, yaudah lanjut lagi..” Luna menggerakkan pinggulnya membuat Brian kembali menggerakannya juga.Brian berjanji, ini yang terakhir kalinya dia menyentuh Luna. Brian mempercepat gerakannya, membuat Luna mendesah semakin kencang.Di sebelah kamar mereka Biya tampak syok, tak menyangka Luna dan Brian sudah sejauh itu.Setelah keperg

  • Pernikahan Dini : Brittle    5. Kumpul Keluarga Bersama Biya

    Pagi adalah masa - masa di mana miliknya kadang tegang, apa lagi dengan Biya yang tertidur di atasnya. Beberapa kali bahkan Biya menggeliat membuat Brian mengerang tertahan.“Sial! Setelah main sama Yuna semalem pun masih aja kurang!” desisnya tertahan.“apalagi kalau bunda nginep di sini, bisa gawat..” dumelnya.Brian menahan nafas saat Biya menggerakkan wajahnya untuk menukar posisi, Brian bahkan merasakan sentuhan sekilas itu. Sentuhan di mana bibir Biya menyentuh bibir Brian.Brian berdebar lagi, padahal itu bukan ciuman yang pertama tapi kenapa jantungnya begitu histeris.“Fuck!” umpat Brian seraya pelan - pelan memindahkan Biya ke tempat kosong di sampingnya.“Dia bahaya! Bikin gue gila kayak gini!” gerutu Brian seraya membawa langkahnya menuju kamar mandi.Brian melirik celananya yang mengembung.“Dan lo! Kenapa

  • Pernikahan Dini : Brittle    6. Kemarahan Brian

    Jayden memijat pelipisnya sekilas, Jayden di buat geleng - geleng kepala dengan kelakuan Brian.Banyak pelanggaran, ikut tawuran hingga di bawa polisi dan ada yang lebih parah. Seks bebas.Demi apapun, Jayden sudah merasakan karmanya. Ternyata perbuatannya dulu sama sekali tidak di benarkan dan membuat orang tuanya pusing.Jayden jadi rindu sang ayah--Jefri. Dia harus banyak meminta maaf pada ayahnya yang sering di buat pusing olehnya dulu.“Kapan baikan?”Jayden menoleh, mengusap pipi Zela yang kini bersandar di bahunya.“Bukan salah aku, sayang..” Jayden menyandarkan kepalanya pada kepala Zela.“__tunggu anak itu sadar sendiri, dia yang salah di sini..” lanjutnya dengan tidak ingin di bantah.“Aku kangen Brian ada di rumah, kita kumpul setiap hari, setiap pulang dari luar kita bisa ketemu mereka..”“Brian laki

  • Pernikahan Dini : Brittle    7. Si Bayi Butuh Pakaian

    Biya menjilat bibirnya gugup, tidak ada siapa - siapa di kamar ini. Bukan karena takut, dia bahkan sudah biasa sendirian. Biya hanya malu sendiri dengan apa yang di lakukan Brian pada bibirnya.Demi apapun, ciuman pertamanya di ambil Brian saat itu dan yang kedua lalu ketiga, rasanya Biya bisa gila di peluk malu dan sedih. Sedihnya karena Biya merasa tidak ada bedanya dengan Yuna CS. Apakah setelah bibir lalu turun ke_Biya menggelengkan kepalanya cepat, mencoba menepis semua pemikiran anehnya. Biya kembali gelisah, banyak sekali yang memberatkan pikirannya.“Kenapa belum siap - siap?”Biya tersentak kaget di duduknya. Nafasnya terasa tersedot tiba - tiba. Biya kembali menundukan kepalanya.“Kenapa?” Brian berdiri menjulang tinggi di depan Biya yang terduduk itu, di usapnya kepala mungil yang sering berpikir

  • Pernikahan Dini : Brittle    8. Brian Emosi

    Biya merasa tangan yang di genggam Brian kini berkeringat, karena hanya tinggal beberapa langkah lagi kakinya akan sampai di ruangan yang di tempati ayahnya.“Bri-Brian_” Biya menatap canggung wajah Brian yang tampan bak dewa itu.“a-aku em sebentar_” di tarik tangannya yang berada di tangan Brian itu.Keduanya tengah berdiri di samping pintu yang menjadi ruangan Rudy di rawat. Biya membiarkan kedua tangannya saling meremas gelisah.“Tarik nafas_buang” Brian mengusap bahu Biya, mencoba membuatnya tenang.“_ada aku bayi, tenang_ semua pasti baik - baik aja..” yakinnya.Biya menelan ludah, menatap wajah maskulin Brian dengan gugup. Suara dan wajahnya sungguh berbeda.Tidak akan ada yang percaya kalau wajah tampan namun menakutkan itu memiliki suara yang lembut. Bahkan membuat Biya nyaman.

  • Pernikahan Dini : Brittle    9. Biya Sakit

    Brian meraih helm di tangan Biya, menyimpannya lalu bercermin sesaat sebelum menggandeng Biya menuju ke dalam gedung sekolah.“Brian_” Biya melirik Brian dengan ragu dan canggung.“ki-kita pisah aja sekarang..” dengan pelan Biya berusaha menarik tangannya dari genggaman Brian.“Kenapa? Kelas kamu masih cukup jauh..” Brian berujar acuh.“Itu_” Biya mengedarkan pandangannya dengan tidak nyaman.“aku engga nyaman, lebih baik_”“Diem, ngikut aja jangan banyak berpikir, bayi..” Brian berujar santai tanpa menatap Biya, melainkan menatap sekitar dengan memindai tajam.Tak lama, keduanya sampai di depan kelas Biya. Brian melepaskan genggamannya, membuka jaketnya lalu di pakaikan pada Biya.Brian ingin menegaskan kalau Biya itu miliknya, jangan ada yang berani mengusiknya.“Jaketnya kenap_”“Pake aja, sayang..” Bria

  • Pernikahan Dini : Brittle    10. Perhatian Brian

    Angga, Waldi, Satria sudah berada di ruang inap Biya yang baru di pindahkan pada ruang VVIP itu. Brian terlihat lahap memakan nasi padangnya. Angga memang tahu sekali selera Brian.“Lo gimana sih, masa anak bayi di kasih saos_” setelahnya Angga cekikikan.Waldi mengangguk.“Orang tua macam apa yang nyumpel mulut bayinya pake saos..” sindirnya.Brian mencoba abai.Satria mengamati Biya yang terlelap tanpa terganggu, bahkan tawa menggelegar Waldi tidak membuatnya terusik.Satria menepuk bahu Brian.“Bri, dia masih nafaskan?” tunjuknya pada Biya yang terlelap di atas kasur pasien.Brian mengunyah santai nasinya lalu mengangguk.“Nafaslah bego! Anjing banget pikiran lo!” semprot Brian dengan mulut penuh.

Latest chapter

  • Pernikahan Dini : Brittle    Extra Part

    Glen terlihat diam, semenjak Biya hamil anak yang kedua memang gelagat Glen berubah. Mungkin karena akan memiliki adik."Sebenernya, Glen kenapa ya bun?" Biya menatap Glen dari kejauhan.Zela menyeruput teh jahe buatannya itu."Mungkin karena mau punya adik, dia murung dan takut perhatian kedua orang tuanya beralih ke sang adik." jawabnya."Mendadak baik, mendadak murung dan mendadak marah - marah atau bahkan rewel dan manja." terang Biya dengan sesekali mengusap perutnya yang kini sudah memasuki bulan ke 5."Itu sih jelas, alasannya karena takut perhatian kamu beralih." tebak Zela yang mungkin bisa saja iyah."Sayang."Zela menoleh, menatap Jayden yang semakin tua malah semakin terlihat segar itu."Kenapa?" tanya Zela seraya mengusap telapak tangan keriput Jayden yang bertengger di pundaknya itu."Kita

  • Pernikahan Dini : Brittle    Extra Part

    "Ga mau!" Glen terus meronta di gendongan Junior."Mama sama papa pergi sebentar kok." Junior mengusap punggung Glen yang bergetar karena menangis itu."Ga mau! No-no!" amuknya dengan suara meninggi bahkan hampir serak.Amora mengusap kepala Glen, menenangkannya dengan penuh kelembutan.Zela dan Jayden menuntun kedua cucu kembarnya yang terlihat memandang Glen dengan bingung harus bagaimana."Kita pulang, bawa masuk ke mobil." kata Jayden yang di angguki Junior dan Amora.Sedangkan Biya dan Brian, keduanya tengah berada di perjalanan udara menuju salah satu pantai yang terkenal bagi para pasangan yang akan honeymoon."Kenapa?" Brian merangkul Biya, mengusap puncak kepalanya dengan sayang."Pertama kali ninggalin Glen, rasanya khawatir. Padahal bunda, ayah sama Amora pasti jagain."Brian paham dengan perasaan Biya, dia pun

  • Pernikahan Dini : Brittle    Extra Part

    "Astaga! Itu buat tanaman, bukan makanan." Biya berlari menuju Glen yang hampir saja memakan tanah."Tapi walnanya kayak coklat, mama." Glen melempar sekepal tanah di tangannya dengan sebal.3 tahun usia Glen sekarang, usia yang membuat Biya hampir kewalahan. Untung Brian sudah memutuskan bekerja di rumah.Mungkin ini juga yang menjadi alasan kenapa Tuhan tidak kunjung memberi adik untuk Glen.Glennya sungguh nakal dan ingin banyak tahu. Biya tidak akan sanggup jika harus memiliki bayi sekarang."Kenapa lagi, ma?" Brian datang dengan tenang."Itu Glen, hampir nyobain tanah yang katanya mirip coklat." Biya mencuci jemari Glen dengan telaten."Penasalan, milip soalnya." Glen terlihat tidak suka di sudutkan."Glen pasti mau coklat?" Brian berjongkok di belakang Glen yang masih menyerahkan jemarinya di cuci oleh sang mama."Iy

  • Pernikahan Dini : Brittle    Season II : Akhir Cerita

    Waldi dan Angga sedikit kaget saat melihat Yuna dan Luna datang yang ternyata di undang oleh Brian dan Biya."Ha-hai" Yuna terlihat canggung, sempat ragu juga sebenarnya. Dia hampir saja tidak akan ikut kumpul kalau saja Luna tidak datang."O-oh hai." Angga tersenyum ramah, mereka terlihat berbeda. Mungkin karena zaman dan usia yang berubah."Maaf telat." Luna duduk di samping Yuna yang duduk dekat Waldi.Waldi terlihat gugup di duduknya, pergaulan remaja mereka yang membuatnya jadi ingat saat di mana dia nakal dan bermain dengan Yuna dan Luna."Gimana kabar kalian?" Angga tersenyum ramah, seolah mereka memang baik - baik saja. Melupakan semua tentang kenakalan remaja dulu."Baik." jawab Yuna dan Luna bersamaan."Kabar kalian?" tanya Yuna."aku ga sangka bisa ketemu dan kumpul kayak gini." akunya.

  • Pernikahan Dini : Brittle    Season II : Bertemu sahabat

    Brian terlihat mesem - mesem, melirik dan sesekali mencolek Biya yang tengah mengamati Glen dan satu gadis cantik yang kebetulan sama, tengah berlibur dengan keluarganya."No! Danan (jangan)!" Glen berseru tidak suka, bahkan menepis tangan gadis seusianya itu yang hendak mengambil mainan Glen.Gadis kecil itu hanya cemberut.Biya melirik Brian yang tidak bisa diam itu, terus saja menggodanya."Apa, Brian?" tanyanya dengan lembut, pura - pura tidak paham."Abis dari sini ya, kita program." Brian gelayutan di lengan Biya yang pendeknya jelas lebih pendek darinya."Program apa sih, Bri." kekehnya geli, mengusap pipi sang suami sekilas."Kamu suka pura - pura, aku udah kasih kamu kode tadi, bahkan kamu bales, sayang."Biya mengulum senyum."Iyah, asal kamu bisa atur waktu. Baru aku mau." balasnya."Bisa - bisa, aku usahain pa

  • Pernikahan Dini : Brittle    Season II : Piknik

    Ana menggendong bayi cantik yang bernama Alana Pashania. Bayi yang kini baru berusia 2 bulan itu. Bayi miliknya dan Aldi."Mana Aldi, Na?" tanya Brian."Ada, lagi di belakang, kak." jawab Ana dengan masih menimang Alana yang belum kunjung tidur itu."Al!" panggil Brian seraya celingukan mencari Aldi."Apa?" Aldi berjalan santai melewati Brian."Pinjem tenda dong, lo kan kadang naik gunung." kata Brian seraya mengekori Aldi."Ada, di gudang. Bentar gue ambilin." kata Aldi."mau kemana?" tanyanya.Brian memutuskan untuk mengekor Aldi."Piknik, udah lama ga liburan sama keluarga." jawabnya."Nah gitu dong, jangan telantarin anak istri lo."Brian memukul pundak Aldi."Enak aja! Gue ga pernah nelantarin mereka." semprotnya tidak terima."Terserah.""Nyebelin lo masih aja

  • Pernikahan Dini : Brittle    Season II : Kembali ke semula

    Brian terlihat menatap langit - langit kamar, menunggu Biya yang sepertinya baru selesai mandi. Suara pintu terbuka pun menyadarkan Brian."Kenapa? Kamu kayak lagi ada pikiran." kata Biya seraya berjalan menuju meja rias.Brian menghela nafas panjang."Banyak." jawabnya singkat namun penuh beban."Banyak? Salah satunya? Ceritain biar enak. Siapa tahu aku bisa bantu." Biya memakai cream malam lalu lipbam.Biya melangkah menghampiri Brian yang menyambutnya dengan memeluknya."Kenapa, hm?" Biya mengusap kepala Brian seperti anak kecil, tapi Brian tidak terganggu, malah dia suka."Kamu liat Glen? Dia sering marah, di ajak main ga mau. Apa dia marah karena selama ini aku ga ada saat siang?"Biya tersenyum tipis."Kamu sadar ternyata soal itu, Glen emng sering ngeluh, dia ingin main tapi papa kerja." terangnya.

  • Pernikahan Dini : Brittle    Season II : Brian bimbang

    1 tahun kemudian... Yuna datang berdua dengan Luna. Hari ini mereka ingin berdamai dengan masa lalu. Belum ada kata maaf yang terucap, maka saat inilah waktunya. Setahun mereka urung terus dengan niat baik itu, rasanya mereka tidak bisa menundanya lagi."Om, saya teman Biya dan Brian." kata Yuna pada Rudy.Rudy tersenyum ramah."Silahkan masuk." sambutnya."Makasih, om."Rudy hanya tersenyum, membawa langkahnya ke dapur. Kebetulan Biya sedang di dapur bersama Zela."Biya, ada teman di depan." kata Rudy yang membuat Biya bingung sesaat, siapa?"Iyah, ayah." Biya melepas celemeknya, bergegas ke ruang tamu.Brian yang tengah turun tangga kini mengikuti Biya."Kemana?" tanyanya."Katanya ada temen di depan." Biya terus melangkah di ikuti Brian."Oh mungkin—" Brian tidak melanjutkan lan

  • Pernikahan Dini : Brittle    Season II : Cobaan sesaat.

    Ana terdiam di dalam mobil, pikirannya masih berputar pada pertemuannya bersama Anita."Sayang, bukannya mau beli makanan?" Aldi melirik Ana sekilas.Aldi merasa ada yang aneh, apa karena pertemuan dengan Anita? Aldi sih yakin, pasti soal itu."Anita emang mantan terakhir aku, alasan aku pulang ke sini." Aldi akan mencoba terbuka, toh mereka sudah menikah."Tapi asal kamu tahu, soal perasaan aku ke kamu itu bukan main - main, aku serius jatuh cinta sama kamu." lanjut Aldi dengan masih fokus mengemudi."Hubungan kakak sama kak Anita berapa lama?" tanya Ana dengan masih tidak menatap Aldi."3 tahun.""Lama ya, kok cepet move onnya." Ana terlihat seperti ingin menangis, entah kenapa dia jadi mudah menangis. Mungkin karena kehamilannya."Sayang, bahkan dalam semenit bisa jatuh cinta. Jangan berpikir yang aneh - a

DMCA.com Protection Status