Suasana kantin siang ini tidak seperti biasanya, semua sibuk berbisik-bisik seraya melirik kedatangan dua pria yang tidak pernah sekalipun berada di sini.Adalah Revan dan Arjuna, yang menjadi pusat perhatian. Membuat karyawan yang lain terang-terang menatap heran ke arah mereka, apa kiranya hal yang membawa pewaris keluarga Wijaya beserta sahabatnya makan di kantin?Sementara itu, bukannya tidak menyadari banyak pasang mata yang menatapnya dengan penasaran, tapi Arjuna mencoba tidak peduli meski rasanya dia sangat risih saat ini. Inilah faktor kenapa dia tidak pernah menginjakkan kaki di kantin, bukannya sombong hanya saja menjadi pusat perhatian ini bukan sesuatu yang menyenangkan untuknya.Lantas kenapa siang ini dia berada di kantin? Tentu saja akibat ulah Revan! Sahabatnya itu memaksa, dengan dalih ingin menunjukkan pada Arjuna seorang wanita yang telah berhasil mencuri perhatiannya.Sebenarnya bisa saja Arjuna menolak, tapi dia malas makan sendiri karena Rena sedang meeting di l
Arjuna mengembuskan napas lelah kala mendapati pesan dari Rena.[Ke kamarku!]Menoleh ke samping, dia melihat Ana yang sudah terlelap. Tiba-tiba rasa bersalah menghantui hatinya, dia seolah pria brengsek yang dengan tega berselingkuh di belakang sang istri.Ya, seperti itulah Arjuna. Di depan banyak orang dia berlagak menjadi pria yang angkuh demi menutupi rasa sepi yang selama ini sering dirasakannya.Kehadiran Rena memang sedikit menyamarkan rasa sepi. Namun, itu dulu. Sekarang berhubungan dengan wanita itu terasa mencekik. Setiap gerak-geriknya selalu diawasi. Jika dulu dia merasa itu sebagai bentuk perhatian yang tidak pernah dia rasakan. Kini perasaan ragu mulai menguasainya, benarkah cinta memang seperti ini? Seperti apa sebenarnya cinta yang tulus itu?Seperti kata Revan dia tidak berpengalaman sama sekali tentang cinta. Hanya Rena satu-satunya wanita yang mengisi hidupnya sekian lama. Akan tetapi, kini dia merasa lelah jika terus berhadapan dengan wanita itu.Mengusap kasar w
Ana sudah merasa ada yang tidak beres, sejak semalam Arjuna keluar dari kamar Rena dengan wajah tidak bersahabat. Bahkan menanyakan hal aneh padanya. Dan saat dia balas dengan pertanyaan, suaminya itu pergi begitu saja.Lalu kini suasana meja makan terasa begitu ... Ana sendiri bingung untuk mendeskripsikannya. Menegangkan? Menyeramkan?Karena sejak kedatangannya di sini, Rena langsung memberi tatapan tajam yang lebih parah dari biasanya. Dia sendiri merasa gerakannya selalu diawasi wanita itu. Jika ini adalah salah satu adegan di film kartun pasti sekarang dia sudah terbakar karena tatapan Rena."Arjuna, hari ini Rena bareng kamu, ya? Soalnya mobil Rena mau mama pakai.""Iya," jawab Arjuna singkat tanpa repot mendongak untuk melihat ibu tirinya.Katakanlah dia tidak sopan. Karena memang begitu kenyataannya. Mau bagaimana lagi, wanita itu yang dulu pernah dia harapkan menjadi pengganti ibunya ternyata hanya menjadikannya sebagi alat agar lebih disayang ayahnya.Belum pernah sekalipun
"Aku turun di sini saja." Ana membuka percakapan, setelah sedari tadi hanya diam. Pun Arjuna yang melakukan hal sama. Rena? Wanita itu tidak jadi berangkat bersama, karena tiba-tiba Rita mengatakan akan pergi mengantarkannya."Masih tinggal beberapa meter lagi."Mengembuskan napas kasar, Ana sedikit memutar tubuhnya agar bisa melihat sang suami dengan jelas. "Apa sih mau kamu? Mau kita digosipkan? Sudah cukup kemarin kita menjadi pusat perhatian!"Sesungguhnya Ana masih dongkol dengan sikap seenaknya Arjuna. Setelah membuat teman-temannya terus bertanya, tentang apa hubungan yang terjadi antara dia, Arjuna dan Yuda. Sorenya dia harus dihadapkan dengan pandangan menghakimi orang-orang yang melihatnya pulang bersama Arjuna.Semalam, Kia bahkan mengirimkannya pesan, memberitahu dia kalau banyak gosip yang beredar setelah kepulangannya. Seperti dia yang terlibat cinta segitiga, dia yang berusaha menggoda kedua pria itu, juga kabar dia bisa kerja karena koneksi. Oke, untuk poin terakhir me
Restoran yang yang menjual segala jenis olahan ikan, menjadi pilihan ketujuh orang yang tadi memakai dua mobil untuk berangkat ke sini. Tadi sempat terjadi perdebatan kecil soal siapa yang membawa mobil, dan siapa saja yang menumpang."Biar saya yang membawa mobil.""Gue juga.""Baiklah." Ana bersuara lebih dulu karena melihat teman-temannya saling sikut. Lebih tepatnya takut pada Arjuna. "Aku sama anak-anak yang lain ikut Mas Yuda. Biar Mas Revan sama Ar—eh, Mas Arjuna."Ana hanya memikirkan rekannya kala memutuskan hal itu. Mengingat semuanya lebih dekat dengan Yuda dan supaya suasananya tak menjadi kaku.Sayangnya, usulan itu tak diterima oleh salah satu pihak."Aku ngga setuju. Biar Mas Yuda sama Revan," ucap Arjuna datar. Sebenarnya dia tak terlalu suka mengendarai mobil sendiri ketika jam makan siang seperti sekarang. Malas macet.Namun, perkataan Ana mengubah pendiriannya. Bisa-bisanya perempuan itu mengusulkan hal aneh tersebut?Walau tak ada yang tahu hubungan mereka, seharus
"Maaf. Tanganku terpeleset." Arjuna menyandarkan punggung di kursi serta menatap satu per satu orang yang berada satu meja dengannya. Namun, satu hal yang perlu dicatat. Tidak ada raut bersalah di wajah tampan pria itu. Sama sekali tidak ada!Dia benar-benar kesal mendengar ucapan asal dari perempuan yang dia lupa namanya. Apa? Menjadikan Ana istri? Istri siapa?Melirik istrinya yang terlihat tenang, dia menjadi semakin dongkol. Kenapa Ana terlihat tak terganggu?Apa jangan-jangan Ana senang dijodoh-jodohkan dengan Yuda?Sementara yang lainnya tersenyum maklum, Ana menggeleng seraya menatap aneh sang suami. Tidak percaya Arjuna menggunakan alasan tak masuk akal itu.Ini kenapa mood Arjuna layaknya wanita PMS? Naik turun seperti roller coaster. Pantas saja sang kakek memberi jawaban Arjuna dari bawah, karena memang suaminya butuh banyak belajar.Menjadi pemimpin tentu butuh kebijaksanaan yang tinggi. Dan dia rasa Arjuna belum memilikinya, suaminya masih mudah terprovokasi oleh hal kec
Ana menatap Revan kesal. "Ayolah Mas, aku naik mobil Mas Revan saja. Boleh 'kan?"Ya, sedari tadi Ana berusaha membujuk Revan agar mengizinkan ikut mobil pria itu. Toh, Yuda tadi pergi terlebih dulu bersama kakak dan keponakannya. Sayangnya, sejak tadi dia belum berhasil mendapatkan jawaban memuaskan dari Revan."Udah balik aja sama Arjuna. Kasihan dia sendirian." Revan menatap sahabatnya yang tengah bersandar di mobil.Tumben? Satu kata menggambarkan tingkah Arjuna saat ini di mata Revan. Bagaimana tidak, sahabatnya itu terang-terangan menunjukkan kedekatan dengan Ana. Lantas setiap kali dia bertanya, si tuan muda itu hanya mengedikkan bahu, tidak mau menjawab apapun.Menyebalkan 'kan? Iya, memang seperti itu sikap Arjuna.Akan tetapi, di sisi lain dia suka perubahan sahabatnya. Karena saat ini Arjuna terlihat lebih manusiawi. Tidak seperti saat bersama Rena, di mana sang sahabat tampak seperti boneka."Kalau begitu Mas bareng Arjuna saja. Biar mobilnya disetir Riki."Kalimat itu men
26.Berdiam diri di dapur sudah Ana lakukan sejak beberapa menit lalu. Pikirannya masih berkutat pada pernyataan Arjuna siang tadi. Oke, katakan saja dia memang plin-plan. Kemarin seperti penuh semangat mencari gara-gara dengan Rena, tapi begitu mendapat tantangan dia jadi bingung sendiri.Ya, setelah dipikir-pikir kalau dia benar-benar membuat kedua pasangan itu putus, bukankah itu berarti dia harus siap dengan hubungan pernikahan sesungguhnya.Nah, yang jadi pertanyaan, siapkah dia? Mampukah dia menjadi istri yang baik bagi Arjuna? Mengingat sampai saat ini benih-benih cinta sepertinya tidak dia rasakan.Ralat! Ada yang salah dengan pemikiran Ana, bukannya tidak tapi belum. Sepertinya wanita itu lupa wejangan dari Mirna, jika mudah bagi Sang Pencipta untuk menjadikan Ana mencintai suaminya.Mungkin cinta itu belum, tapi rasa peduli jelas ada. Buktinya, Ana mau repot-repot menyiapkan keperluan suaminya dan juga mengurus dengan sepenuh hati kala Arjuna sakit. Apa mungkib hal itu bisa
Ada pertemuan, ada perpisahan. Bukankah itu siklus kehidupan?Dan sekarang Arjuna berada dalam fase tersebut. Setelah satu bulan lalu mereka bertemu dengan putra yang selama sembilan bulan berada di kandungan Ana, saat ini mereka harus mengalami perpisahan dengan sosok tercinta.Ya, tepat pukul enam pagi tadi Barata yang kemarin penuh suka cita menyambut sang cicit, kini lebih dulu meninggalkan dunia. Laki-laki tua yang yang diberi kepercayaan Arjuna untuk memberi nama pada keturunan Wijaya tersebut, mengembuskan napas terakhir setelah dirawat di rumah sakit selama tiga hari akibat sakit jantung yang dideritanya.Tak ada yang meyangka, laki-laki yang tampak sehat hingga setiap hari menyempatkan waktu menggendong sang cicit telah pergi untuk selamanya. Meninggalkan banyak kenangan bagi orang-orang yang mengenalnya, terutama Arjuna."Hubungan kami bahkan baru membaik."Ana mengusap punggung sang suami yang belum mau beranjak sejak tadi. Setia berjongkok di samping makam salah satu orang
"Udah, jangan nangis." Ana meringis karena bukannya mereda, tangis sang suami malah semakin keras. Pelukan di tubuhnya pun semakin erat. Dia merasa sesak, tapi sebaik mungkin menahannya agar sang suami tak bertambah sedih.Setengah jam berlalu, Arjuna masih terus mendekapnya sambil menggumamkan kata maaf yang tak terhitung jumlahnya. Padahal Ana merasa dirinya baik-baik saja. Entah kenapa setelah bayinya lahir, ketenangannya pun kembali. Dia jadi bisa berpikir lebih jernih, tak lagi menggunakan emosi berlebih.Ya, tepat dua jam lalu dia berhasil melahirkan putranya dalam keadaan sehat dan tanpa kurang satu apapun. Dia bersyukur untuk itu. Sangat.Masalahnya, laki-laki dalam pelukannya itu tak henti mengutuk dirinya sendiri karena tidak menemaninya kala berjuang di antara hidup dan mati. Suaminya yang kemarin pergi ke Surabaya, datang setelah anak mereka lahir ke dunia. Arjuna tidak mendapatkan penerbangan tercepat, sementara dia yang merasakan kontraksi dini hari tadi mengalami proses
Arjuna merenggangkan otot-ototnya yang terasa kaku, lalu memijat tengkuk hingga bahunya sendiri. Satu bulan sudah dia menjadi pemimpin hotel atas amanah sang kakek. Baru saja dia bersiap pulang dengan merapikan meja serta memilih apa-apa saja yang akan dibawa pulang. Pintu ruangannya tiba-tiba terbuka, tanpa diketuk dulu.Protes yang akan Arjuna layangkan terpaksa ditelan kembali sebab perasaannya langsung tak enak. Wajah panik dan khawatir Yuda lah yang menjadi alasan. "Ana masuk rumah sakit, dia terpleset di kamar mandi."Satu kalimat yang menyebabkan tubuh Arjuna menegang. Wajahnya pucat seakan tidak ada darah yang mengalir di sana, bahkan bibirnya tak bisa diajak bekerja sama untuk menanggapi Yuda. "Ayo kita ke rumah sakit, Mas."Entah mendapat kekuatan dari mana, Arjuna berdiri dan berjalan cepat keluar dari ruangannya. Sampai-sampai Yuda pun tampak kesulitan mensejajarkan langkah. Hampir saja tangan Arjuna menyentuh pintu mobil, tapi sebuah tangan lebih dulu menahannya."Biar
"Belum tidur?""Kebangun. Mas belum tidur?"Ana merapikan rambut sang suami yang mulai memanjang, tangannya terulur bermaksud menghilangkan kerutan di kening Arjuna. Saat-saat seperti inilah yang dia rindukan. Saling tatap tanpa ada suara apapun. Tenang dan menyenangkan.Dulu awal-awal hubungan mereka membaik, hal seperti itu terjadi setiap hari. Bahkan melakukan pillow talk bisa sampai satu jam lebih. Namun, sekarang? Boro-boro membicarakan keseharian, Arjuna menanggapi ceritanya tanpa tertidur itu saja sudah bagus.Dia tahu beban sang suami semakin besar, tapi entah kenapa justru dirinya yang belum siap. Kedekatan mereka baru terjalin, tak rela rasanya harus kembali berjarak.Memang benar cinta ada di antara mereka, tapi jika tidak dipupuk bukankah akan pudar?Dan baginya komunikasi dan pertemuan adalah salah satu cara menjaga cinta. Sepertinya dia bukan orang yang betah menjalin hubungan jarak jauh. Apalagi ditambah moodnya yang belakangan naik turun, menyebabkan kekesalannya gampa
Ana menjatuhkan tubuhnya pada tempat tidur, lalu menutupnya dengan selimut hingga kepala. Mengabaikan gerah yang melanda, dia tetap menutup mulut meski berulang kali sang suami mengajak bicara."Maaf, An."Masih tidak ada tanggapan dari Ana menyebabkan Arjuna mengacak kasar rambutnya. Siapa yang menyangka acara perpisahan dengan Rena justru membuat sang istri salah paham.Apalagi sikap Ana yang menjadi aneh. Jika biasanya sang istri menghadapi Rena dengan tenang, tadi justru tak malu menunjukkan amarah secara langsung. Bahkan sampai meninggalkannya lebih dahulu tanpa peduli hal ini menimbulkan pertanyaan para pekerja."Sayang, aku bisa jelasin.""Kalau buat salah baru manggil sayang," gerutu Ana."Jadi kamu maunya dipanggil sayang terus?" tanya Arjuna yang menganggap sikap sang istri sangat menggemaskan. Telunjuknya pun mulai mengetuk-ngetuk punggung sang istri. "Kamu bisa jatuh kalau bergerak terus.""Makanya jangan sentuh!""Ngga bisa, aku kangen."Kalimat itu berhasil memancing Ana
"Baru pulang?""Hmm," jawab Arjuna singkat."Bisa kita bicara? Sebentar saja, tolong."Mudah bagi Arjuna menolak ajakan itu, toh dia tak lagi peduli dengan Rena. Sayangnya sudut hatinya tergerak saat melihat wajah sendu perempuan itu.Bukan, dia bukan luluh hanya saja keputusasaan yang tergambar di raut itu menjadikannya memenuhi keinginan Rena. Tanpa banyak berpikir pun dia tahu jika mantan kekasihnya seolah tengah menanggung beban yang sangat berat. "Di belakang."Setelah mengucapkan itu, Arjuna melangkah lebih dulu. Mencoba tak menghiraukan tatapan penasaran para pekerja, dia terus berjalan ke arah taman belakang. Setidaknya di tempat itu lebih aman sebab di dapur masih banyak pelayan yang tengah bersantai."Kalian tetap di tempat!" perintah Arjuna begitu orang-orang yang dilihatnya berdiri, tampak akan meninggalkan meja bundar yang terdapat di dapur."Ba–baik, Tuan," jawab Eka sembari menunduk. Namun, sesudah majikannya pergi langsung berkasak-kusuk dengan yang lain. "Kira-kira me
Pandu menggeleng. "Tentu saja tidak, tapi Pak Ari terus saja datang sampai akhirnya ayah luluh dan memaafkannya.""Lalu kenapa ayah tidak meminta dibebaskan? Meminta nama baik ayah diperbaiki.""Entah lah." Pandu mengedikkan bahu. "Ketika mendengar cerita Pak Ari tentang bagaimana dia tertekan karena menjadi menantu Pak Barata, dan juga bagaimana istri pria itu menuntutnya macam-macam, ayah jadi tidak tega."Ana mendengkus kencang. "Ayah suka ngga tegaan!""Dan maaf sudah menurunkan sifat itu pada kamu." Pandu tertawa melihat anaknya cemberut.Dia masih ingat bagaimana Ana bercerita tentang sifatnya yang mudah tidak tega itu begitu menyulitkannya. Namun, meski begitu Ana tidak segan menolong orang lain. Hingga terkadang kepentingannya sendiri terabaikan."Sekarang kamu sudah dengar semuanya, jadi pulang, ya?""Ayah ngusir aku?""Iya, ayah ngusir. Kamu itu udah jadi istri, apapun yang kamu lakukan harus seizin suamimu. Mengerti 'kan?"Ana mengangguk. "Tapi Ana masih marah. Dan satu lag
Bukankah manusia itu kadang bersikap begitu aneh? Seperti penuh keyakinan ketika mengambil keputusan, tapi hanya selang beberapa waktu merasa menyesal. Itulah yang dirasakan Ana saat ini.Sudah beberapa menit berlalu, tapi Ana baru berhasil memasukan sarapannya sebanyak tiga sendok. Rasa bersalah yang sejak semalam dia rasakan membuatnya malas untuk melakukan sesuatu. Bahkan makanan kali ini, sang ayah yang memasak.Sebenarnya bisa saja wanita itu menghubungi suaminya, dan menceritakan kegundahan hatinya. Tentang rasa marah, kecewa dan juga perasaan bersalah karena bertindak semena-mena terhadap sang suami. Namun, tidak seperti biasanya yang mengalah terasa mudah. Kini entah mengapa dia sulit melakukan itu.Memang benar apa yang dikatakan sang suami. Ibunya telah berhasil mendidiknya dengan baik, terbukti saat ini dia menjadi gelisah setelah menyebabkan suaminya sakit hati.Kesal dengan pikiran dan hatinya yang semrawut, tanpa sadar Ana meletakkan sendoknya sedikit keras."Makan yang
Arjuna kembali memutar kepala ke samping, kala mendengarkan isakan lirih di sebelahnya. Dia menghela napas saat melihat bahu istrinya bergetar. Wanita itu menangis. Hal yang selalu dia dapati beberapa hari ini.Kalau kemarin dia hanya diam saja, tapi tidak untuk kali ini. Lagipula sampai kapan mereka akan seperti ini? Saling menghindar satu sama lain.Mereka harus mulai menyelesaikan masalah ini! Agar tak sampai berlarut-larut.Maka dari itu, Arjuna membuang segala keraguannya. Dengan pelan dia memegang bahu sang istri, senyum kecut tersungging di bibirnya kala Ana menghindari sentuhannya."Mari bicara," ucap Arjuna yang sudah beralih posisi menjadi duduk bersila di atas tempat tidur. Tangannya masih berusaha membalikkan tubuh istrinya."Ana!" panggilnya sekali lagi. Sesungguhnya bukan hanya wanita itu yang frustasi, dia pun merasakan hal yang sama!Arjuna menghela napas lega, ketika melihat pergerakan sang istri. Lagi-lagi hatinya merasa nyeri, begitu mendapati wajah istrinya yang su