Restoran yang yang menjual segala jenis olahan ikan, menjadi pilihan ketujuh orang yang tadi memakai dua mobil untuk berangkat ke sini. Tadi sempat terjadi perdebatan kecil soal siapa yang membawa mobil, dan siapa saja yang menumpang."Biar saya yang membawa mobil.""Gue juga.""Baiklah." Ana bersuara lebih dulu karena melihat teman-temannya saling sikut. Lebih tepatnya takut pada Arjuna. "Aku sama anak-anak yang lain ikut Mas Yuda. Biar Mas Revan sama Ar—eh, Mas Arjuna."Ana hanya memikirkan rekannya kala memutuskan hal itu. Mengingat semuanya lebih dekat dengan Yuda dan supaya suasananya tak menjadi kaku.Sayangnya, usulan itu tak diterima oleh salah satu pihak."Aku ngga setuju. Biar Mas Yuda sama Revan," ucap Arjuna datar. Sebenarnya dia tak terlalu suka mengendarai mobil sendiri ketika jam makan siang seperti sekarang. Malas macet.Namun, perkataan Ana mengubah pendiriannya. Bisa-bisanya perempuan itu mengusulkan hal aneh tersebut?Walau tak ada yang tahu hubungan mereka, seharus
"Maaf. Tanganku terpeleset." Arjuna menyandarkan punggung di kursi serta menatap satu per satu orang yang berada satu meja dengannya. Namun, satu hal yang perlu dicatat. Tidak ada raut bersalah di wajah tampan pria itu. Sama sekali tidak ada!Dia benar-benar kesal mendengar ucapan asal dari perempuan yang dia lupa namanya. Apa? Menjadikan Ana istri? Istri siapa?Melirik istrinya yang terlihat tenang, dia menjadi semakin dongkol. Kenapa Ana terlihat tak terganggu?Apa jangan-jangan Ana senang dijodoh-jodohkan dengan Yuda?Sementara yang lainnya tersenyum maklum, Ana menggeleng seraya menatap aneh sang suami. Tidak percaya Arjuna menggunakan alasan tak masuk akal itu.Ini kenapa mood Arjuna layaknya wanita PMS? Naik turun seperti roller coaster. Pantas saja sang kakek memberi jawaban Arjuna dari bawah, karena memang suaminya butuh banyak belajar.Menjadi pemimpin tentu butuh kebijaksanaan yang tinggi. Dan dia rasa Arjuna belum memilikinya, suaminya masih mudah terprovokasi oleh hal kec
Ana menatap Revan kesal. "Ayolah Mas, aku naik mobil Mas Revan saja. Boleh 'kan?"Ya, sedari tadi Ana berusaha membujuk Revan agar mengizinkan ikut mobil pria itu. Toh, Yuda tadi pergi terlebih dulu bersama kakak dan keponakannya. Sayangnya, sejak tadi dia belum berhasil mendapatkan jawaban memuaskan dari Revan."Udah balik aja sama Arjuna. Kasihan dia sendirian." Revan menatap sahabatnya yang tengah bersandar di mobil.Tumben? Satu kata menggambarkan tingkah Arjuna saat ini di mata Revan. Bagaimana tidak, sahabatnya itu terang-terangan menunjukkan kedekatan dengan Ana. Lantas setiap kali dia bertanya, si tuan muda itu hanya mengedikkan bahu, tidak mau menjawab apapun.Menyebalkan 'kan? Iya, memang seperti itu sikap Arjuna.Akan tetapi, di sisi lain dia suka perubahan sahabatnya. Karena saat ini Arjuna terlihat lebih manusiawi. Tidak seperti saat bersama Rena, di mana sang sahabat tampak seperti boneka."Kalau begitu Mas bareng Arjuna saja. Biar mobilnya disetir Riki."Kalimat itu men
26.Berdiam diri di dapur sudah Ana lakukan sejak beberapa menit lalu. Pikirannya masih berkutat pada pernyataan Arjuna siang tadi. Oke, katakan saja dia memang plin-plan. Kemarin seperti penuh semangat mencari gara-gara dengan Rena, tapi begitu mendapat tantangan dia jadi bingung sendiri.Ya, setelah dipikir-pikir kalau dia benar-benar membuat kedua pasangan itu putus, bukankah itu berarti dia harus siap dengan hubungan pernikahan sesungguhnya.Nah, yang jadi pertanyaan, siapkah dia? Mampukah dia menjadi istri yang baik bagi Arjuna? Mengingat sampai saat ini benih-benih cinta sepertinya tidak dia rasakan.Ralat! Ada yang salah dengan pemikiran Ana, bukannya tidak tapi belum. Sepertinya wanita itu lupa wejangan dari Mirna, jika mudah bagi Sang Pencipta untuk menjadikan Ana mencintai suaminya.Mungkin cinta itu belum, tapi rasa peduli jelas ada. Buktinya, Ana mau repot-repot menyiapkan keperluan suaminya dan juga mengurus dengan sepenuh hati kala Arjuna sakit. Apa mungkib hal itu bisa
Umpatan Rena yang sudah ada di ujung lidah tertahan begitu suara dari arah belakang berhasil membuatnya terkejut.Memutar kepala dengan cepat, dia mendapati Arjuna tengah menatap ke arah Ana. Seketika hatinya bertambah panas. Pria itu bahkan tidak melirik ke arahnya!"Aku sedang minum teh, kalau Mbak Rena aku ngga tau," jawab Ana seraya dalam hati berdoa semoga Arjuna tidak mendengar kalimat terakhirnya. Karena jika sampai pria itu mendengar bisa dipastikan si tuan muda angkuh itu akan langsung besar kepala!"Balik ke kamar!"Ana mencoba menyabarkan diri mendengar nada perintah itu. Sejak tadi suaminya memang seperti ingin memakannya. Apalagi jika bukan karena dia yang menghindar terus dari siang. Bahkan tadi dia lebih memilih pulang bersama Yuda. Hal yang menyulut kemarahan sang suami."Iya." Ana turun dari kursi, lalu berjalan mendekati suaminya. "Duluan, Mbak."Baru saja pasangan suami istri itu akan melangkah. Genggaman Rena di tangan Arjuna kompak menghentikan langkah keduanya."
Dalam 28 tahun hidupnya, cinta yang pernah dia terima dan rasakan adalah cinta orang tua. Bukan, dia bukannya anti pada hubungan asmara. Ketika remaja tentu saja dia pernah tertarik pada lawan jenis, tetapi tidak sampai pada tahap jatuh cinta.Apalagi semenjak keluarganya dihadapkan pada masalah bertubi-tubi, Ana seakan lupa eksistensi makhluk berjenis kelamin laki-laki tersebut. Pikirannya sibuk memutar otak untuk mencari cara tercepat mendapat uang agar bisa segera melunasi hutang sang ayah.Akan tetapi, hari ini hati yang telah lama menolak terbawa perasaan ketika ada pria mendekat, mulai berulah. Sudah sejak beberapa jam lalu, Ana yang berbaring dengan posisi miring masih tidak bisa pergi ke alam mimpi.Padahal segala cara telah dia lakukan, memejamkan mata erat-erat selama beberapa menit, menghitung jumlah kambing, mengingat sesuatu yang indah, tapi semuanya belum membuahkan hasil.Sungguh sebenarnya dia ingin pindah posisi, tapi tidak siap jika harus melihat Arjuna karena kejadi
Ana melirik suaminya yang baru saja masuk kamar. Ingin rasanya dia bertanya semalam pria itu tidur di mana. Karena sampai dia tertidur Arjuna tidak kembali, begitu pun saat pagi tidak didapatinya sang suami yang biasanya tidur di sisi kiri tempat tidur.Menimbang-nimbang sebentar, Ana menggerakkan telapak kaki yang menapak di karpet super tebal. Sementara matanya masih mengawasi Arjuna yang berdiri di depan lemari. Baru saja keberaniannya muncul, langsung luntur begitu saja saat melihat raut tidak bersahabat sang suami.Pria itu bahkan membanting pintu sebelum menghilang di balik pintu kamar mandi. Dia merasa hubungan mereka kembali ke set awal. Dingin dan kaku.Merasa bahwa niat mengajak Arjuna bicara merupakan kegiatan sia-sia, Ana memutuskan untuk keluar kamar. Biarlah kalau Arjuna marah. Toh, setelah semalaman berpikir, menurutnya memang tidak ada yang sama dengan kalimatnya kemarin.Dan soal perasaannya? Lebih baik disingkirkan sejenak. Belum waktunya dia memupuk perasaan itu, m
30.Katanya tidak tertarik, tapi kenapa ketika mendengar wanita itu bilang jujur tentang perasaannya, rasa nyeri mendadak muncul di hati?Katanya tidak peduli, tapi kenapa ketika wanita itu menyuruh melupakan kejadian yang sama sekali tidak terduga malam itu, dia merasa tidak terima?Ah, ini mungkin efek egonya yang tersakiti. Seharusnya dia yang bilang melupakan. Semestinya dia yang lebih dulu berkata agar wanita itu tidak menyukainya. Bukan malah bertanya dulu tentang pernyataan wanita itu ketika di dapur.Benar semua perasaan tidak nyamannya ini, memang karena hal itu. Bukan sakit hati akibat merasa telah ditolak.Akan tetapi, jika hanya tentang ego kenapa sampai dua hari dia masih menghindari wanita itu? Kenapa sampai saat ini rasanya masih kesal saja setiap kali melihat wanita itu?"Sial!" umpat Arjuna entah untuk keberapa kali dalam dua hari ini. Semenjak aksinya mendiamkan wanita yang sudah membuat dia merasa ditolak.Mengeluarkan ponsel dalam saku, Arjuna segera berselancar di
Ada pertemuan, ada perpisahan. Bukankah itu siklus kehidupan?Dan sekarang Arjuna berada dalam fase tersebut. Setelah satu bulan lalu mereka bertemu dengan putra yang selama sembilan bulan berada di kandungan Ana, saat ini mereka harus mengalami perpisahan dengan sosok tercinta.Ya, tepat pukul enam pagi tadi Barata yang kemarin penuh suka cita menyambut sang cicit, kini lebih dulu meninggalkan dunia. Laki-laki tua yang yang diberi kepercayaan Arjuna untuk memberi nama pada keturunan Wijaya tersebut, mengembuskan napas terakhir setelah dirawat di rumah sakit selama tiga hari akibat sakit jantung yang dideritanya.Tak ada yang meyangka, laki-laki yang tampak sehat hingga setiap hari menyempatkan waktu menggendong sang cicit telah pergi untuk selamanya. Meninggalkan banyak kenangan bagi orang-orang yang mengenalnya, terutama Arjuna."Hubungan kami bahkan baru membaik."Ana mengusap punggung sang suami yang belum mau beranjak sejak tadi. Setia berjongkok di samping makam salah satu orang
"Udah, jangan nangis." Ana meringis karena bukannya mereda, tangis sang suami malah semakin keras. Pelukan di tubuhnya pun semakin erat. Dia merasa sesak, tapi sebaik mungkin menahannya agar sang suami tak bertambah sedih.Setengah jam berlalu, Arjuna masih terus mendekapnya sambil menggumamkan kata maaf yang tak terhitung jumlahnya. Padahal Ana merasa dirinya baik-baik saja. Entah kenapa setelah bayinya lahir, ketenangannya pun kembali. Dia jadi bisa berpikir lebih jernih, tak lagi menggunakan emosi berlebih.Ya, tepat dua jam lalu dia berhasil melahirkan putranya dalam keadaan sehat dan tanpa kurang satu apapun. Dia bersyukur untuk itu. Sangat.Masalahnya, laki-laki dalam pelukannya itu tak henti mengutuk dirinya sendiri karena tidak menemaninya kala berjuang di antara hidup dan mati. Suaminya yang kemarin pergi ke Surabaya, datang setelah anak mereka lahir ke dunia. Arjuna tidak mendapatkan penerbangan tercepat, sementara dia yang merasakan kontraksi dini hari tadi mengalami proses
Arjuna merenggangkan otot-ototnya yang terasa kaku, lalu memijat tengkuk hingga bahunya sendiri. Satu bulan sudah dia menjadi pemimpin hotel atas amanah sang kakek. Baru saja dia bersiap pulang dengan merapikan meja serta memilih apa-apa saja yang akan dibawa pulang. Pintu ruangannya tiba-tiba terbuka, tanpa diketuk dulu.Protes yang akan Arjuna layangkan terpaksa ditelan kembali sebab perasaannya langsung tak enak. Wajah panik dan khawatir Yuda lah yang menjadi alasan. "Ana masuk rumah sakit, dia terpleset di kamar mandi."Satu kalimat yang menyebabkan tubuh Arjuna menegang. Wajahnya pucat seakan tidak ada darah yang mengalir di sana, bahkan bibirnya tak bisa diajak bekerja sama untuk menanggapi Yuda. "Ayo kita ke rumah sakit, Mas."Entah mendapat kekuatan dari mana, Arjuna berdiri dan berjalan cepat keluar dari ruangannya. Sampai-sampai Yuda pun tampak kesulitan mensejajarkan langkah. Hampir saja tangan Arjuna menyentuh pintu mobil, tapi sebuah tangan lebih dulu menahannya."Biar
"Belum tidur?""Kebangun. Mas belum tidur?"Ana merapikan rambut sang suami yang mulai memanjang, tangannya terulur bermaksud menghilangkan kerutan di kening Arjuna. Saat-saat seperti inilah yang dia rindukan. Saling tatap tanpa ada suara apapun. Tenang dan menyenangkan.Dulu awal-awal hubungan mereka membaik, hal seperti itu terjadi setiap hari. Bahkan melakukan pillow talk bisa sampai satu jam lebih. Namun, sekarang? Boro-boro membicarakan keseharian, Arjuna menanggapi ceritanya tanpa tertidur itu saja sudah bagus.Dia tahu beban sang suami semakin besar, tapi entah kenapa justru dirinya yang belum siap. Kedekatan mereka baru terjalin, tak rela rasanya harus kembali berjarak.Memang benar cinta ada di antara mereka, tapi jika tidak dipupuk bukankah akan pudar?Dan baginya komunikasi dan pertemuan adalah salah satu cara menjaga cinta. Sepertinya dia bukan orang yang betah menjalin hubungan jarak jauh. Apalagi ditambah moodnya yang belakangan naik turun, menyebabkan kekesalannya gampa
Ana menjatuhkan tubuhnya pada tempat tidur, lalu menutupnya dengan selimut hingga kepala. Mengabaikan gerah yang melanda, dia tetap menutup mulut meski berulang kali sang suami mengajak bicara."Maaf, An."Masih tidak ada tanggapan dari Ana menyebabkan Arjuna mengacak kasar rambutnya. Siapa yang menyangka acara perpisahan dengan Rena justru membuat sang istri salah paham.Apalagi sikap Ana yang menjadi aneh. Jika biasanya sang istri menghadapi Rena dengan tenang, tadi justru tak malu menunjukkan amarah secara langsung. Bahkan sampai meninggalkannya lebih dahulu tanpa peduli hal ini menimbulkan pertanyaan para pekerja."Sayang, aku bisa jelasin.""Kalau buat salah baru manggil sayang," gerutu Ana."Jadi kamu maunya dipanggil sayang terus?" tanya Arjuna yang menganggap sikap sang istri sangat menggemaskan. Telunjuknya pun mulai mengetuk-ngetuk punggung sang istri. "Kamu bisa jatuh kalau bergerak terus.""Makanya jangan sentuh!""Ngga bisa, aku kangen."Kalimat itu berhasil memancing Ana
"Baru pulang?""Hmm," jawab Arjuna singkat."Bisa kita bicara? Sebentar saja, tolong."Mudah bagi Arjuna menolak ajakan itu, toh dia tak lagi peduli dengan Rena. Sayangnya sudut hatinya tergerak saat melihat wajah sendu perempuan itu.Bukan, dia bukan luluh hanya saja keputusasaan yang tergambar di raut itu menjadikannya memenuhi keinginan Rena. Tanpa banyak berpikir pun dia tahu jika mantan kekasihnya seolah tengah menanggung beban yang sangat berat. "Di belakang."Setelah mengucapkan itu, Arjuna melangkah lebih dulu. Mencoba tak menghiraukan tatapan penasaran para pekerja, dia terus berjalan ke arah taman belakang. Setidaknya di tempat itu lebih aman sebab di dapur masih banyak pelayan yang tengah bersantai."Kalian tetap di tempat!" perintah Arjuna begitu orang-orang yang dilihatnya berdiri, tampak akan meninggalkan meja bundar yang terdapat di dapur."Ba–baik, Tuan," jawab Eka sembari menunduk. Namun, sesudah majikannya pergi langsung berkasak-kusuk dengan yang lain. "Kira-kira me
Pandu menggeleng. "Tentu saja tidak, tapi Pak Ari terus saja datang sampai akhirnya ayah luluh dan memaafkannya.""Lalu kenapa ayah tidak meminta dibebaskan? Meminta nama baik ayah diperbaiki.""Entah lah." Pandu mengedikkan bahu. "Ketika mendengar cerita Pak Ari tentang bagaimana dia tertekan karena menjadi menantu Pak Barata, dan juga bagaimana istri pria itu menuntutnya macam-macam, ayah jadi tidak tega."Ana mendengkus kencang. "Ayah suka ngga tegaan!""Dan maaf sudah menurunkan sifat itu pada kamu." Pandu tertawa melihat anaknya cemberut.Dia masih ingat bagaimana Ana bercerita tentang sifatnya yang mudah tidak tega itu begitu menyulitkannya. Namun, meski begitu Ana tidak segan menolong orang lain. Hingga terkadang kepentingannya sendiri terabaikan."Sekarang kamu sudah dengar semuanya, jadi pulang, ya?""Ayah ngusir aku?""Iya, ayah ngusir. Kamu itu udah jadi istri, apapun yang kamu lakukan harus seizin suamimu. Mengerti 'kan?"Ana mengangguk. "Tapi Ana masih marah. Dan satu lag
Bukankah manusia itu kadang bersikap begitu aneh? Seperti penuh keyakinan ketika mengambil keputusan, tapi hanya selang beberapa waktu merasa menyesal. Itulah yang dirasakan Ana saat ini.Sudah beberapa menit berlalu, tapi Ana baru berhasil memasukan sarapannya sebanyak tiga sendok. Rasa bersalah yang sejak semalam dia rasakan membuatnya malas untuk melakukan sesuatu. Bahkan makanan kali ini, sang ayah yang memasak.Sebenarnya bisa saja wanita itu menghubungi suaminya, dan menceritakan kegundahan hatinya. Tentang rasa marah, kecewa dan juga perasaan bersalah karena bertindak semena-mena terhadap sang suami. Namun, tidak seperti biasanya yang mengalah terasa mudah. Kini entah mengapa dia sulit melakukan itu.Memang benar apa yang dikatakan sang suami. Ibunya telah berhasil mendidiknya dengan baik, terbukti saat ini dia menjadi gelisah setelah menyebabkan suaminya sakit hati.Kesal dengan pikiran dan hatinya yang semrawut, tanpa sadar Ana meletakkan sendoknya sedikit keras."Makan yang
Arjuna kembali memutar kepala ke samping, kala mendengarkan isakan lirih di sebelahnya. Dia menghela napas saat melihat bahu istrinya bergetar. Wanita itu menangis. Hal yang selalu dia dapati beberapa hari ini.Kalau kemarin dia hanya diam saja, tapi tidak untuk kali ini. Lagipula sampai kapan mereka akan seperti ini? Saling menghindar satu sama lain.Mereka harus mulai menyelesaikan masalah ini! Agar tak sampai berlarut-larut.Maka dari itu, Arjuna membuang segala keraguannya. Dengan pelan dia memegang bahu sang istri, senyum kecut tersungging di bibirnya kala Ana menghindari sentuhannya."Mari bicara," ucap Arjuna yang sudah beralih posisi menjadi duduk bersila di atas tempat tidur. Tangannya masih berusaha membalikkan tubuh istrinya."Ana!" panggilnya sekali lagi. Sesungguhnya bukan hanya wanita itu yang frustasi, dia pun merasakan hal yang sama!Arjuna menghela napas lega, ketika melihat pergerakan sang istri. Lagi-lagi hatinya merasa nyeri, begitu mendapati wajah istrinya yang su