Olivia mengangkat kedua tangannya menghentikan ucapan Stefan dan berkata, “Kamu jangan seperti ini. Aku cium! Aku cium! Jangan mengeluarkan suara manja seperti itu. Aku benar-benar merinding.”Olivia mengikuti permintaan lelaki itu dan mengecup pipi Stefan dengan lembut sambil bertanya, “Sudah cukup?”Ketika Olivia mengecupnya, Stefan memejamkan kedua matanya dan merasakan kelembutan perempuan itu. Meski Olivia mengenakan masker, dia tetap bisa merasakan hangatnya bibir tersebut dan juga rasa cinta dari Olivia.Stefan merasa sangat puas dan bahagia sekali. Dia merasa kecupan perempuan ini sangat tulus, tidak seperti yang lalu dengan perasaan menggoda dirinya. Olivia mengulurkan tangannya dan mengelus wajah Stefan sambil berkata,“Kamu sudah 30 tahun tapi masih nggak bisa jaga diri sendiri. Kamu buat orang lain khawatir saja! Lihat! Kamu bahkan kurusan jauh. Selama beberapa hari ini kamu makan nggak tepat waktu, kan?”Stefan menggenggam tangan perempuan itu dan menempelkan punggung tang
Melihat Stefan yang menatap dirinya membuat dia meletakkan ponsel dan bangkit berdiri. Olivia mendekati Stefan dan mengecup kening lelaki itu sambil berkata, “Tidurlah.”Setelah itu dia mengusap kening Stefan dan bertanya, “Ada termometer? Aku coba ukur suhu tubuhmu. Kenapa aku merasa kamu masih panas? Sudah pasang infus dan minum obat, tapi masih belum turun.”“Aku nggak tahu di sini ada termometer atau nggak,” jujur Stefan.“Aku minta sama suster dulu,” kata Olivia sambil mengambil ponselnya dan keluar. Saat Olivia baru pergi, ponsel Stefan berdering. Ternyata itu adalah telepon dari Reiki.“Kenapa masih belum tidur?”“Aku terbangun dan terbiasa langsung cari ponsel. Terus aku lihat pesan dari istrimu yang bilang dia sudah tiba. Aku pikir sekalian saja telepon buat tanya keadaanmu. Demam kamu sudah reda?”“Masih belum begitu turun, kata dokter aku harus dirawat beberapa hari. Mereka pasti mau cari uang!” kata Stefan. Setiap pasien akan memiliki pemikiran yang sama karena merasa penya
“Mau minum air?”“Nggak, aku takut bolak balik kamar mandi. Sekarang lagi susah ke kamar mandi.”Olivia tidak berkata apa pun lagi. Stefan tidak ingin tidur, dan Olivia sudah tidak memainkan ponselnya lagi dan mendengarkan Stefan yang tengah berbicara. Dia mendengar Stefan menceritakan keluarganya hingga perlahan-lahan lelaki itu merasa mengantuk dan tertidur.Setelah selesai menghabiskan satu botol cairan infus lagi, Olivia memanggil suster untuk mengganti cairan infus yang baru lagi. Setelah itu Olivia lanjut duduk di ranjang samping Stefan untuk memainkan ponselnya.Mendadak Olivia merasa matanya semakin berat. Khawatir dia akan ketiduran, Olivia tidak berani memainkan ponselnya lagi. Dia melangkah menuju kamar mandi dan mencuci wajahnya dengan air dingin agar lebih segar.Dia menahan rasa kantuknya hingga cairan infus terakhir Stefan sudah habis. Setelah memanggil Stefan bangun untuk minum obat, Olivia baru berbaring di ranjang samping Stefan untuk tidur sebentar.Keesokan harinya
Setelah dokter datang memeriksa, suster masuk untuk mengganti infus Stefan. Olivia hanya memperhatikan lelaki itu, sedangkan Ferry membantu untuk mengambil obat dan meminta orang dari toko obat untuk memasaknya.Stefan menatap botol infus sambil memikirkan cara untuk kabur dari obat tradisional.“Stefan, kamu kenapa?” tanya Olivia ketika melihat Stefan yang menatap botol infus dengan mata tak berkedip.“Ada yang sakit?” tanya Olivia lagi.“Olivia.”Stefan menggenggam tangan perempuan itu dan dengan wajah memelas berkata, “Aku boleh ganti obatnya jadi obat dokter lagi? Aku nggak suka obat tradisional yang seperti jamu gitu, terlalu pahit.”Olivia menarik tangannya dan mencubit pipi Stefan sambil tertawa dan berkata, “Ternyata ada yang ditakuti oleh Stefan juga.”Stefan menangkap tangan perempuan itu dan menatap Olivia dalam-dalam sambil berkata, “Yang paling aku takuti itu adalah kamu pergi meninggalkanku.”“Sudah, jangan sandiwara lagi dan pura-pura romantis. Nggak perlu pura-pura kasi
Olivia tertawa sambil menyerahkan gelas obat ke tangan Stefan dan berkata, “Kalau gitu minum sendiri. Stefan, kamu itu lelaki 30 tahun. Minum obat pahit begini saja nggak bisa?”Ternyata Stefan takut minum obat tradisional. Kalau sampai lelaki itu membuatnya marah, berdoa saja jangan sampai Stefan sakit. Jika tidak, maka Olivia akan membeli obat tradisional yang luar biasa pahit dan memaksanya minum setiap hari!Melihat wajah tegang lelaki itu, Olivia berbisik di samping telinga Stefan, “Stefan, habiskan obatnya dan cepat sembuh. Biar aku bisa makan kamu sebelum pulang. Anggap saja sebagai bayaran aku datang ke sini.”Mata hitam Stefan berbinar dan bertanya, “Sudah bisa?”Olivia menegakkan tubuhnya dan menjawab, “Tepat setelah kamu keluar rumah sakit.”“Bagaimana? Obat ini masih mau kamu minum atau nggak?”Dengan wajah masam dan terpaksa, Stefan mengambil gelas itu dan menarik napas dalam untuk memantapkan hatinya menghabiskan obat itu. Matanya terpejam erat ketika meneguk obat pahit t
Stefan jatuh cinta pada Olivia lebih dulu. Otomatis cintanya jauh lebih dalam dibandingkan Olivia. Akan tetapi Olivia baru saja melangkahkan kakinya, dia kembali menarik kembali langkahnya.Stefan terdiam mendengar ucapan sang nenek. Mereka berdua memang mudah terpancing emosi dan berantem. Selain karena hubungan mereka kurang dalam, sifat mereka dan kebiasaan keduanya juga berbeda.Tidak begitu memungkinkan mengharapkan Olivia berubah demi dirinya. Perempuan itu bukan merupakan orang yang bersedia mengandalkan lelaki sepenuhnya. Semua masalah yang bisa dia selesaikan sendiri tidak akan memberi tahu Stefan. Oleh karena itu, sekarang hanya bisa Stefan yang berubah demi Olivia.“Kenapa diam? Setiap Nenek mengajarimu cara mengejar istrimu dan membangun hubungan dengan Olivia, kamu selalu diam saja.”“Aku nggak tahu harus ngomong apa,” ujar Stefan dengan jujur.“Kenapa Nenek bisa ada cucu yang kaku seperti kamu? Kalau adik-adikmu sama sepertimu, Nenek rela pergi menyusul kakekmu lebih awal
Odelina terlalu gemuk sehingga dia tidak mengenakan gaun pesta. Sebenarnya dia tidak memiliki gaun yang cocok di tubuhnya. Jika harus dibuat dan dijahit ulang, waktunya sudah tidak mencukupi. Akan tetapi ketika perempuan itu mengenakan baju baru dan sedikit berdandan ditambah mengenakan perhiasan milik Yuna, Odelina terlihat sangat elegan sekali.Russel mengenakan jas anak-anak yang membuatnya tampak tampan. Setiap perempuan yang melihat Russel pasti tidak tahan untuk tidak menggendong bocah itu. Russel mulai menjadi pusat perhatian orang-orang di acara. Asalkan ada yang memujinya tampan, dia akan mengucapkan terima kasih.“Bu, Bu Yanti dan Den Daniel sudah datang.”Orang-orang penting yang hadir pasti akan disambut oleh Yuna dengan membawa putri dan juga keponakannya. Yuna langsung menggandeng Odelina sambil berkata, “Odelina, ikut Tante buat sambut Bu Yanti.”“Beliau adalah ibunya Daniel yang pernah membantu kamu,” jelas Yuna dengan singkat.Odelina tersenyum dan menganggukkan kepala
Russel segera mundur ke belakang ibunya.Odelina berbalik badan, memeluk putranya dan berkata kepada, “Russel, ini Om Daniel. Kamu pernah bertemu dengan Om ini sebelumnya.”Russel memandang Daniel. Dia, yang biasa sangat sopan, tetap tidak menyapa Daniel.“Anak ini lucu sekali,” puji Yanti.Dia berpikir, keponakan perempuan Nenek Yuna terlalu gemuk, tapi putranya sangat lucu.“Daniel, wajahmu terlalu menyeramkan, jadi anak ini takut. Dia nggak mau kamu sentuh,” Yanti menjahili putra bungsunya.Dulu waktu Daniel mengalami kecelakaan dan wajahnya terluka, Yanti sudah mencoba untuk membujuk putranya itu untuk menjalani operasi plastik untuk menghilangkan bekas luka di wajah, supaya ketampanannya bisa kembali.Namun, putranya ini tidak mau mendengar. Dia tidak tahu dia menangis berapa kali waktu itu. Jantungnya seolah mau copot ketika mengetahui putranya ini mengalami kecelakaan. Namun, putranya masih tidak mau mendengar nasihatnya dan tidak bersedia melakukan operasi plastik.Bertahun-tah
Ternyata Yohanna mau keluar kota. Ronny pun menjawab dengan hormat, “Baik, Bu.”Saat ini, Jaka tiba-tiba bertanya, “Bu Yohanna mau keluar kota, nggak bawa Ronny?”Yohanna begitu pilih-pilih makanan. Saat berada di luar kota, sulit baginya untuk menemukan makanan yang bisa dia makan. Lebih baik kalau dia membawa koki pribadinya. Dulu, Yohanna jarang dinas ke luar kota.Yohanna terdiam. Sementara itu, Ronny membersihkan meja tanpa bersuara. Dalam hati justru berkata, “Dia begitu pemilih. Kalau bepergian jauh, dia pasti kelaparan terus.”Setelah berpikir selama beberapa menit dan mempertimbangkan perutnya, Yohanna baru berkata dengan suara pelan, “Kalau begitu, Ronny, kamu pulang dan siap-siap. Jam lima sore kamu datang ke sini lagi. Ikut aku ke luar kota. Pak Jaka, jangan beritahu siapa pun selain keluargaku soal Ronny ikut aku keluar kota.”Yohanna takut kalau orang lain tahu dia ke luar kota dengan membawa koki pribadi muda, mereka akan bicara ini-itu dan membuat segala macam rumor. Se
Dulu Fendi sering menindas Dira, sehingga Dira sering berkelahi dengannya. Setelah dewasa, meskipun tidak berkelahi lagi, Dira sebisa mungkin menghindar jika seseorang membahas Fendi.Dira benar-benar membenci mata Fendi. Pria itu selalu menatap Dira sambil tersenyum. Bagi yang tidak tahu akan mengira Fendi menyukainya.“Baiklah,” kata Dira dengan enggan.“Balik ke kantormu sana. Istirahat dulu, nanti sore ada rapat.”Yohanna mengambil kotak dessert dan menjejalkannya ke tangan Dira, lalu berkata, “Kalau Fendi berani ganggu kamu, tunggu aku pulang, aku akan bantu kamu balas dia.”“Sekarang dia nggak akan kelahi denganku. Sekalipun dia main tangan, aku juga nggak takut. Aku nggak pernah kalah saat kelahi dengannya.”Begitu teringat Dira yang dulu suka menggila, Yohanna sengaja memasang raut wajah cemas. “Kamu tangguh begitu, gimana mau nikah? Bikin orang cemas saja.”Dira spontan memasang wajah cemberut. “Aku hanya tangguh di depan Fendi. Di depan orang lain, aku tetap perempuan yang ba
Apalagi Ronny sudah bilang kalau dia memiliki bisnisnya sendiri. Ronny punya beberapa perusahaan. Ditambah lagi auranya, penampilannya, tutur katanya membuat orang langsung tahu kalau Ronny bukan dari keluarga biasa. Wajar saja kalau orang tua Yohanna berpikir macam-macam.Orang tua Yohanna tidak ingin Yohanna menikah dengan pria dari kota lain dan pindah ke tempat yang jauh dari rumah. Yohanna sendiri juga tidak mau. Namun dalam kondisi terdesak, bisa saja orang tua Yohanna akan meminta Ronny untuk pindah ke Kota Aldimo.“Nggak. Mana mungkin Om dan Tante suruh aku ngomong begini? Ronny baru kerja dua hari. Semua orang belum terlalu kenal dia,” jawab Dira sambil tertawa pelan. “Malam hari kalau lagi nggak bisa tidur, biasanya aku baca novel. Makanya aku jadi lebih sensitif. Aku sering bayangkan diri sendiri masuk ke dalam alur novel.”“Kamu nggak bisa tidur? Itu artinya kamu kurang sibuk. Kamu follow up proyek dengan Banjaya saja,” kata Yohanna.“Kak, aku nggak mau proyek itu. Penanggu
“Kak Yohanna bahkan nggak perlu olahraga. Bentuk badanmu tetap standar model, karena kurang makan.”Kalau Yohanna merasa makanan itu tidak enak, dia lebih memilih kelaparan. Dia sering tidak makan, tekanan pekerjaan juga besar. Tidak heran kalau dia tidak bisa gemuk.“Ronny buat Kakak makan dengan nyaman. Bukankah itu perhatian? Aku nggak bisa bilang dessert yang dia siapkan adalah dessert kesukaan Kakak. Itu karena Kakak nggak ada dessert favorit. Tapi yang dia siapkan adalah makanan yang bisa Kakak makan.”“Aku sudah bandingkan. Dessert untuk aku ini kesannya lebih asal-asalan. Tentu saja, makanan yang dia buat sangat cantik dan rasanya juga enak. Tapi tetap saja bisa dilihat mana yang benar-benar dia siapkan dengan sepenuh hati. Selama dua hari ini, kita jadi punya lebih banyak waktu untuk istirahat. Sore Kakak jadi nggak perlu minum terlalu banyak kopi.”“Dira, aku benar-benar curiga kamu sudah disuap Ronny. Apa motifnya dengan suruh kamu ngomong hal-hal baik tentangnya di depanku?
“Bu Dira.”Ronny dan Jaka berdiri di depan pintu kantor. Begitu pintu terbuka, kedua orang itu menyapa Dira dengan hormat. Saat ini, baru waktunya pulang kerja. Sekretaris juga siap-siap turun untuk makan malam.Ronni meminjam dapur perusahaan untuk menyiapkan makan siang untuk Yohanna. Ronny juga mengontrol waktunya dengan baik. Beberapa menit sebelum jam pulang kerja, dia sudah mengantar makanan buatannya ke lantai atas. Dengan begitu, dia bisa menghindari karyawan lainnya dengan sempurna. Selain itu, dia juga tidak akan menyita waktu kerja Yohanna.Butuh beberapa menit bagi Ronny dan Jaka untuk pergi dari kantin perusahaan ke gedung kantor, lalu naik lift menuju lantai paling atas.“Pak Jaka, Ronny, kalian sudah datang.”Dira minggir ke samping agar kedua pria itu bisa masuk. “Kami baru saja pulang kerja,” kata Dira.Jaka dan Ronny masuk ke kantor. “Bu Yohanna.”Keduanya menyapa Yohanna dengan sopan, lalu berjalan ke sofa dan meletakkan kotak bekal di atas meja. Kemudian, mereka mem
Melihat sang kakak tersenyum seperti itu, Dira pun tahu kalau Yohanna salah paham padanya lagi. Dira bahkan sudah malas mau menjelaskan. Dira sudah bilang kalau dia hanya menyukai makanan yang dibuat Ronny, baik itu makanan berat maupun makanan ringan seperti dessert. Semuanya sangat sesuai dengan selera Dira.Tidak hanya Dira yang merasa enak. Yohanna juga tidak pernah mengomentari makanan buatan Ronny. Pokoknya selama dua hari sejak Ronny yang memasak, Yohanna tidak menemukan kekurangan apa pun pada masakan Ronny.“Masakan yang dibuat Ronny nggak berubah, tapi rasa masakannya begitu sempurna, buat orang nggak bisa cari kekurangannya. Dia seumuran aku, tapi dia punya pencapaian luar biasa dalam memasak. Harus kuakui, dia memang berbakat. Selain itu, dia juga sangat niat mempelajari resep.”Yohanna yang jarang memberikan pujian kini memuji Ronny dan mengakui keterampilan memasak pria itu.“Pak Jaka bilang koper yang dibawa Ronny hanya isi sedikit pakaian. Sisanya buku resep berbagai ma
Benar saja, bakat dan hobi itu sangat penting. Ronny terjun ke industri kuliner, penjualannya pasti sangat bagus. Untungnya, bisnis Ronny berada di Kota Mambera, sangat jauh dari mereka sehingga tidak memengaruhi bisnis keluarga mereka.Jika tidak, dengan pesaing kuat seperti Ronny, keluarga Pangestu yang juga berkecimpung di industri kuliner pasti akan gagal. “Mau turunkan badan susah, kalau mau gemuk sangat gampang.”Yohanna melihat jam. Memang sudah waktunya pulang kerja. Dia pun mematikan komputer dan berkata kepada Dira, “Semakin lama kamu semakin jadi seperti tukang makan.”“Yang penting bisa makan makanan terenak di dunia setiap hari. Mau sebut aku tukang makan juga nggak apa-apa. Setiap orang perlu makan. Manusia mana yang nggak makan? Orang yang nggak makan dan nggak minum baru bukan tukang makan.”Dira bicara sambil melihat jam. “Pak Jaka dan Ronny sebentar lagi sampai.”Yohanna tidak pulang saat makan siang, karena waktu terlalu mepet. Kadang-kadang dia pergi hotel keluarga
“Kamu nggak beritahu aku kalau kamu pulang lebih awal. Kalau aku nggak datang ke sin, aku bahkan nggak tahu kamu sudah pergi,” ujar Olivia.Katarina tertawa pelan. “Aku yang salah. Aku pikir kamu pasti sangat sibuk. Hari ini suhu Kota Mambera turun drastis. Ditambah hujan pula. Aku nggak mau buat kamu bolak-balik ke sana-sini.”Katarina melihat perut Olivia. Olivia memakai mantel tebal, tidak terlihat perutnya yang sudah membuncit.“Apalagi kamu lagi hamil.”“Tunggu aku sudah melahirkan, aku akan pergi ke Kota Harsa cari kamu.”“Oke, nanti aku akan traktir kamu semua makanan khas Kota Harsa. Nggak kalah dari makanan khas Kota Mambera, loh.”“Janji, ya. Kamu lagi buru-buru? Aku bawa sedikit barang untuk kamu. Sebenarnya bukan dari aku. Samuel yang minta aku antar ke sini. Dia siapkan banyak barang khas Kota Mambera untuk kamu. Katanya sebagai permintaan maaf padamu,” kata Olivia.Katarina terdiam sejenak. “Barangnya banyak?”“Lumayan banyak. Kamu mungkin nggak sanggup bawa sendiri. Kala
Olivia makan seadanya. Setelah itu dia pergi dengan mobil menuju ke perusahaan. Sampai di perusahaan dan masuk ke kantornya, Olivia pun melihat banyak hadiah.“Pak Samuel bilang dia belikan semuanya untuk Bu Katarina dan minta Bu Olivia bantu serahkan ke Bu Katarina. Anggap saja ini permintaan maaf darinya kepada Bu Katarina,” kata Devina.Devina sangat penasaran, ingin tahu gosip tentang Samuel. Namun, kalau Olivia tidak beritahu, dia juga tidak akan bertanya.“Kenapa dia nggak kasih sendiri?”Olivia melihat sekilas tumpukan hadiah di depannya. Banyak di antaranya merupakan produk khas Kota mambera. Semua barang yang ingin Olivia belikan untuk Katarina sudah dibelikan Samuel. Dengan begitu, Olivia pun tidak perlu repot-repot lagi.“Pak Samuel nggak bilang.”“Oke, aku mengerti. Kamu lanjut kerja saja.”Olivia berjalan ke mejanya, lalu mengeluarkan ponsel dari tasnya untuk menelepon Samuel. Samuel mengangkat telepon dengan cepat. Di telepon, pria itu kembali meminta tolong pada kakak ip