Keesokan harinya.
Arunika dan Raynar sudah berada di mobil untuk meninggalkan hotel. Mereka kini sedang dalam perjalanan menuju ke mansion yang ditinggali Raynar.
Arunika memperhatikan jalanan yang mereka lewati. Dia melirik pada Raynar yang hanya diam sejak mereka keluar dari hotel, atau lebih tepatnya sejak mereka masih di kamar.
Arunika tidak tahu kapan Raynar kembali ke kamar. Semalam setelah Raynar pergi, Arunika bergegas beristirahat karena sangat lelah.
Saat bangun di pagi hari, Arunika terkejut melihat Reynar sudah kembali ke kamar itu dan sedang berkemas, pria itu lalu memintanya segera bersiap saat melihat Arunika sudah bangun.
Perjalanan itu lumayan lama bagi Arunika, apalagi tidak ada perbincangan sama sekali di antara Arunika dan Raynar. Semuanya terasa begitu canggung, meski mereka suami-istri, tetapi mereka tak mengenal satu sama lain.
Ya, memang begitu juga kondisinya.
Mereka baru saling mengenal satu hari sebelum pernikahan.
Arunika menghela napas kasar, saat itu dia menyadari jika Raynar menoleh padanya.
“Ternyata perjalanannya lumayan lama, ya.” Arunika langsung tersenyum seraya memberi alasan untuk berinteraksi dengan Raynar meski tidak mendapat respon, lalu sedetik kemudian menoleh pelan ke arah luar dengan rasa canggung.
Raynar menatap sejenak pada Arunika yang baru saja mengalihkan pandangan darinya, lalu dia ikut memandang ke luar jendela.
Akhirnya mobil yang mereka tumpangi memasuki halaman mansion.
Arunika memandang mansion mewah itu, ada beberapa pelayan yang sudah berdiri di depan untuk menyambut kedatangan Raynar dan Arunika.
Ketika mobil sudah berhenti di depan mansion. Raynar melihat Arunika yang malah diam melamun seraya memandangi mansion.
“Turun,” ajak Raynar.
Arunika baru saja tersadar dari kekaguman pada mansion mewah itu. Dia segera melepas sabuk pengaman, lalu buru-buru turun mengikuti Raynar.
Saat berjalan menuju pintu masuk, Arunika melihat para pelayan yang berjajar di sana langsung membungkuk pada Raynar dan dirinya.
Arunika mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan mansion itu, sampai tidak sadar kalau Raynar berhenti melangkah dan membuatnya hampir menabrak punggung Raynar.
“Lakukan apa pun yang mau kamu lakukan di rumah ini.” Raynar menatap Arunika yang tampak terkejut, setelah itu dia memilih kembali melangkah menuju ruang kerjanya.
Arunika mengangguk-angguk pelan, lalu kembali memandangi setiap sudut ruangan di mansion itu. Sekarang dia harus apa? Mungkin membuat sarapan, apalagi dia dan Raynar belum sarapan sejak dari hotel.
Arunika melihat para pelayan berjalan masuk menuju ke arah belakang. Dia menghampiri pelayan paruh baya yang berjalan paling belakang.
“Maaf, Bibi. Dapurnya di mana?” tanya Arunika ke wanita paruh baya itu dengan sopan.
Pelayan paruh baya bernama Sarah itu terkejut. Dia membungkuk sejenak lalu menjawab, “Ada di sebelah kanan ruang makan.”
“Oh ….” Arunika mengangguk-angguk. “Memangnya ruang makan di sebelah mana?”
Wajar jika Arunika bertanya, ‘kan? Dia benar-benar tidak tahu karena ini adalah kali pertamanya dirinya datang ke mansion ini.
Sarah menatap pada Arunika yang berwajah polos.
“Biar saya antar,” kata pelayan itu.
Arunika mengangguk. Dia ingin menjadi istri yang baik dengan membuatkan sarapan, meskipun Raynar sepertinya tidak benar-benar menganggapnya sebagai istri.
Saat akan melangkah lebih jauh, Arunika melihat seorang pelayan menatap aneh padanya. Namun, meski begitu Arunika tak acuh dan memilih segera mengikuti langkah pelayan paruh baya tadi.
“Memangnya Anda mau apa di dapur?” tanya pelayan yang mengantar Arunika. “Jika Anda membutuhkan sesuatu, katakan saja pada saya,” ucap Sarah lagi.
Arunika tersenyum kecil.
“Sebenarnya aku mau membuat sarapan untuk Pa … maksudku untuk Ray,” jawab Arunika sempat meralat panggilannya karena tak ingin pelayan itu berpikiran aneh jika mendengar sebutannya pada Raynar.
“Membuat sarapan itu tugas kami, Nyonya. Biar kami saja,” kata Sarah.
“Tapi aku istrinya, jadi biarkan aku yang membuatnya,” balas Arunika tetap ingin memasak.
Pelayan paruh baya itu bingung, tetapi akhirnya dia mengiyakan saja.
Pelayan itu akhirnya meninggalkan Arunika di dapur. Saat dia pergi untuk melakukan pekerjaan lain, wanita paruh baya itu bertemu dengan Sindy, pelayan lain yang lebih muda.
“Mau apa dia, Bi?” tanya Sindy.
“Oh, katanya mau masak sarapan buat Tuan,” jawab Sarah.
“Harusnya jangan diizinkan, Bi. Bagaimana kalau dia memasak sesuatu yang bisa membahayakan Tuan?”
“Itu tidak ….” Belum juga wanita paruh baya itu selesai bicara, tiba-tiba Sindy masuk dapur, lalu menghampiri Arunika.
Arunika sedang mengeluarkan bahan dari lemari pendingin. Dia menutup pintu, tetapi terkejut saat melihat beberapa pelayan berdiri seraya memandangnya.
“Lebih baik kamu jangan memasak apa pun di sini, kami tidak tahu ‘kan kamu ini bisa masak atau tidak,” cegah Sindy.
“Aku biasa masak kok,” balas Arunika.
Namun, balasan Arunika tidak disambut hangat. Sindy langsung mengambil bahan makanan dari tangan Arunika.
Arunika sangat terkejut. Dia menatap pada pelayan di depannya, kenapa pelayan ini sangat tidak sopan?
“Lebih baik kamu tidak usah melakukan apa pun. Jangan sampai kamu tidak paham lalu malah mencelakai Tuan.” Sindy bicara ketus seraya menatap sinis pada Arunika.
“Tuan tidak bisa makan makanan sembarangan, apalagi dari wanita yang ….” Pelayan itu sengaja menjeda ucapannya, lalu menatap remeh.
“Apa?” balas Arunika cepat. Dia melihat tatapan tak suka dari pelayan di depannya.
“Meski aku tidak tahu, tapi makanan buatanku tidak akan mencelakainya.” Arunika mencoba membela diri. Dia tidak seperti yang para pelayan itu pikirkan.Lagi pula siapa yang mau mencelakai seseorang yang akan menolong ibunya. Arunika juga tidak bodoh.Pelayan yang ada di depan Arunika tersenyum miring, mengejek.“Siapa yang tahu. Lagi pula siapa yang pernah makan masakanmu? Tidak ada yang akan percaya kalau masakanmu itu aman.”Arunika terkesiap seraya menatap tak percaya. Mengapa pelayan ini benar-benar sangat tak sopan padanya?Bukannya Arunika ingin dihormati karena sudah menikah dengan Raynar, tetapi sebagai sesama manusia bukannya bisa saling menghargai dan menghormati?“Apa yang sedang kalian lakukan?”Suara berat dan dingin menginterupsi mereka, membuat Arunika dan semua pelayan menoleh bersamaan ke arah sumber suara.Raynar menatap tajam satu persatu para pelayan yang kini menunduk saat melihatnya datang. Tatapannya lalu tertuju pada Arunika yang ekspresi wajahnya terlihat jela
Setelah mendapat izin dari Raynar, Arunika siap-siap untuk kembali bekerja sebagai pelayan kerja paruh waktu di sebuah kafe.Arunika lega karena ternyata Raynar tidak menghalanginya untuk tetap bekerja. Sebelum menikah dengan Raynar, Arunika telah melakukan banyak pekerjaan paruh waktu untuk membiayai pengobatan ibunya.Dia belum bisa memiliki pekerjaan tetap karena dirinya baru lulus kuliah, dia tidak memiliki pengalaman kerja yang sesuai dengan jurusannya. Lagi pula keinginannya sebagai pengacara juga sulit untuk ditempuh.Sekarang, meskipun ia telah menikah dengan Raynar dan biaya pengobatan ibunya telah ditanggung Raynar, tetapi masa depan tidak ada yang tahu. Memikirkan itu, Arunika tahu bahwa dia harus tetap memiliki penghasilan sendiri.Selain itu, Arunika juga menyukai pekerjaan paruh waktu di sini karena dia menyukai kopi.Teman-teman Arunika di kafe tidak ada yang tahu kalau dia baru saja menikah, sehingga Arunika tetap bekerja seperti biasa dengan tenang. “Ini untuk meja
Raynar memandang keluar saat mobil yang ditumpanginya berhenti di bahu jalan.“Ini tempatnya, Tuan.” Sopir menoleh pada Raynar yang duduk di kursi belakang.Pandangan Raynar masih tertuju pada tempat yang dikatakan sopirnya. Tadi pagi, saat Arunika meminta izin untuk pergi bekerja, dia penasaran, apa yang Arunika kerjakan sebelum wanita itu menikah dengannya? Karena itulah membuat Raynar berada di sini.Raynar turun dari mobil. Dia berjalan masuk kafe untuk mencari Arunika. Saat baru saja menginjakkan kaki di dalam, pandangan pria itu langsung tertuju pada sosok Arunika yang sedang duduk dengan seorang pria.Satu sudut alis Raynar tertarik ke atas. Tak lama kemudian, ia melihat Arunika yang terkejut saat melihatnya, bahkan istrinya itu langsung berdiri dengan cepat.Tetapi, yang menarik perhatiannya adalah sosok pria yang bersama Arunika. Pria itu ikut berdiri menatap dirinya dan Arunika secara bergantian.Siapa pria ini? Jika pelanggan, untuk apa Arunika duduk berdua dengannya?Ray
Kelopak mata Arunika berkedip beberapa kali. Haruskah Arunika tenang begitu saja setelah mendapat jawaban dari Raynar?“Semoga saja itu benar,” gumam Arunika.Saat Arunika kembali menoleh, dia terkesiap melihat Raynar masih menatapnya. Apa pria itu mendengar apa yang dia gumamkan?Namun, kali ini Arunika bisa merasakan pandangan Raynar yang hangat kepadanya. Lantas, Arunika tersenyum kecil, lalu mengalihkan pandangan dengan pelan ke arah jalanan. Raynar masih menatap Arunika, sekali lagi senyum kecil bertahta di bibirnya.Setelah beberapa saat, mereka sampai di rumah keluarga Raynar. Arunika memandang rumah besar itu saat mereka sudah turun dari mobil. Jantungnya mendadak berdegup cepat, tampak jelas kegugupan tersirat di wajahnya. Seperti apakah sikap keluarga Raynar?“Ayo!”Tiba-tiba Arunika merasakan tangannya digenggam oleh sebuah tangan besar yang hangat. Arunika langsung menoleh. Dia menatap tangan yang digenggam Raynar lalu beralih menatap Raynar yang hanya menatap lurus ke
Raynar melihat sikap paman dan bibinya terhadap Arunika. Ekspresi wajah pria itu menggelap. Dia lantas menggandeng tangan Arunika dan mengajak istrinya itu duduk. Memberi isyarat agar Arunika mengabaikan paman dan bibi yang memang sejak dulu tidak menyukai Raynar.Melihat sikap Raynar. Stella–sepupu Raynar, menatap tak senang pada Arunika.Bukankah Raynar tidak menyukai wanita, lalu kenapa pria itu menikah dan malah terlihat perhatian pada wanita yang dibawanya itu? Stella menggenggam erat sendok yang dipegangnya.Perasaan marah bercokol di hatinya.“Karena kalian sudah datang, kita bisa mulai makan siangnya,” ucap Nenek Galuh.Saat para pelayan selesai menyiapkan makan siang dan semua orang siap untuk menyantap makanan. Mendadak, sebuah suara merdu terdengar di sana, “Kukira kamu tidak pernah akan menikah.”Suara Stella membuat tatapan semua orang tertuju pada wanita itu.Arunika langsung bisa menangkap maksud Stella. Sejak awal, Arunika menyadari tatapan mata wanita muda yang mungk
Raynar sedang menengadah dan memejam ketika sinar matahari senja menyinari wajahnya. Sinar matahari membuat wajah tampan Raynar terlihat semakin bersinar. Raynar sedang berada di samping rumah, berdiri di tepi kolam renang dengan kedua tangan dia masukkan ke dalam saku celana. Beberapa menit yang lalu, dia baru selesai menerima panggilan dari asisten pribadinya, tetapi dia tidak langsung kembali ke dalam rumah. Raynar ingin menenangkan dirinya lebih dulu sebelum kembali ke dalam rumah. Namun, perhatiannya tertarik ketika dia sayup-sayup mendengar suara sepupunya. Dengan perlahan Raynar mendekat ke arah dapur. Kedua alis Raynar terangkat melihat istrinya berani membalas ucapan Stella. Senyum tipis terukir di wajahnya. Dia akui Arunika sangat pemberani, bahkan sejak pertama kali mereka bertemu, wanita itu tak memperlihatkan rasa takut sama sekali. “Wanita miskin sepertimu tidak layak masuk ke keluarga kami! Sudah bisa ditebak tujuanmu mau menikah dengan Raynar yang jelas-jelas tidak
Arunika terus mengayunkan langkah mengikuti Raynar. Dia terkesan pada pria itu yang mau membelanya padahal Stella adalah saudara Raynar. Pasti itu karena Stella tadi bicara hal tidak mengenakkan, sehingga Raynar lebih memilih melindunginya, ‘kan? Ya, pasti begitu. Lagi pula Raynar juga selalu begini. Tampak begitu baik saat ada orang di sekitar mereka, tetapi begitu dingin ketika hanya berdua. Arunika harus bersabar dengan sikap suaminya ini. “Apa kita langsung pulang?” tanya Arunika. “Kita temui Nenek,” jawab Raynar tanpa menoleh pada Arunika yang berjalan di sampingnya. Tangan mereka saling bergandengan. Arunika memandang tangannya yang digenggam Raynar. Dia tidak berniat melepas genggaman itu. Meskipun tidak tahu apa maksud Raynar menggenggamnya, tetapi mungkin Raynar hanya ingin menunjukkan pada semua orang di rumah itu kalau mereka pasangan serasi. Mereka sampai di depan pintu kamar Nenek Galuh. Raynar mengetuk lebih dulu sebelum mengajak Arunika masuk. “Kemarilah!” Nenek
Raynar dan Arunika meninggalkan kamar Nenek Galuh, tetapi baru beberapa melangkah saat Laras memblokir jalan mereka di Lorong.Tatapan Laras tidak menyenangkan, merendahkan Raynar dan Arunika. "Kalian mau pulang?" tanyanya dengan nada tidak bersahabat."Ya," jawab Raynar, suaranya datar, namun genggamannya pada tangan Arunika menguat."Kita perlu bicara." Laras berbalik, langkahnya terayun menuju ruang keluarga, mengisyaratkan bahwa ini bukan sekadar percakapan biasa.Raynar dan Arunika mengikuti dalam diam.Di ruang keluarga, Hendry dan Laras telah menunggu, duduk dengan postur yang menegaskan kekuasaan, sorot mata mereka dingin dan angkuh."Apa yang ingin kalian bicarakan?" tanya Raynar, nada suaranya tanpa basa-basi.Raynar mungkin terdengar tidak sopan, tetapi itulah cara dia bersikap pada keluarga yang tak pernah menghargainya."Kami tidak tahu soal pernikahanmu," kata Hendry, nada suaranya menyiratkan ketidaksenangan. "Seolah kami bukan bagian dari keluarga ini."Hendry tidak pe
Arunika baru saja sampai di perusahaan Raynar. Dia berdiri memandang bangunan tinggi itu dengan seulas senyum di wajahnya.“Semangat, Aru!” Arunika mengepalkan tangan di udara, menyemangati dirinya demi masa depannya.Arunika pergi melapor ke HRD. Setelah mendapat briefing, Arunika diantar melapor ke departemen hukum.“Pak Nichole tidak suka pekerja yang lamban atau suka datang terlambat, jadi usahakan kamu datang tepat waktu. Paling tidak sebelum beliau datang,” ucap kepala HRD saat berjalan di koridor bersama Arunika.“Baik, Bu.” Arunika mengangguk seraya terus mengikuti langkah kepala HRD.Mereka sampai di depan ruang salah satu pengacara di perusahaan itu. Arunika melihat beberapa staff yang bekerja di departemen itu memperhatikan dirinya.Seolah kedatangannya ke sana membuat aneh, sampai semua pandangan tertuju padanya.“Ayo!” ajak kepala HRD setelah membuka pintu ruang pengacara.Arunika mengangguk. Dia masuk bersama kepala HRD.“Pak Nichole.” Kepala HRD itu menyapa seraya berja
Arunika kepayahan memapah Raynar sampai akhirnya mereka sampai di kamar.Dengan hati-hati Arunika berusaha membaringkan Raynar dengan tidak membangunkan pria itu lalu membenarkan posisi tidurnya. Kelopak mata Raynar sudah terpejam, napasnya teratur, tetapi Raynar tidak benar-benar terlelap.Saat akan melepas tangan Raynar yang merangkul lehernya, Arunika terhuyung karena kedua kakinya tidak berpijak dengan benar.Akibatnya, Arunika ikut terjatuh ke ranjang dengan posisi Raynar yang ada di bawahnya.Wajah mereka sangat dekat. Tanpa sadar, Arunika menyentuh dada pria itu untuk menahan dirinya agar tubuh bagian atasnya tak bersentuhan dengan Raynar.Sejenak Arunika terpaku mengamati wajah tampan Raynar yang tenang dalam lelapnya. Bulu mata yang lentik, alis tebal yang tegas. Suaminya memang begitu tampan.Dengan perlahan, satu jari Arunika terangkat untuk menyentuh hidung bangir Raynar.Namun, lenguhan pelan terdengar dari bibir Raynar.Arunika tersentak, buru-buru menegakkan tubuhnya.‘
Raynar kembali meletakkan cangkir setelah menyesap sedikit cairan hitam buatan Sindy, lalu kembali fokus pada berkas-berkas di hadapannya.Namun, baru beberapa menit, dia mulai menguap berulang kali. Raynar menggelengkan kepala, berusaha mengusir rasa kantuk yang tiba-tiba menyerang.Raynar melirik jam di atas meja kerjanya. Malam memang sudah larut jadi wajar dirinya sudah mengantuk.Dia menutup berkas-berkasnya dan memutuskan untuk melanjutkan pekerjaannya besok. Dia bangkit dari kursi dan menguap lagi. Namun, saat berdiri, tubuhnya terasa lemas. Dia terhuyung, dan harus berpegangan pada meja agar tak jatuh.Dari celah pintu ruang kerja yang tak tertutup rapat, Sindy masih ada di sana dan mengintip. Senyum licik mengembang di wajahnya. Dia senang karena rencananya berhasil.Dia bersiap melangkah masuk untuk melancarkan aksi keduanya."Sedang apa kamu di situ?!"Suara keras itu membuat Sindy tersentak. Dia menoleh dan wajahnya langsung memucat.Itu Arunika!"Apa yang kamu lakukan di
Sindy duduk di tepi ranjang kamarnya, menatap lekat-lekat pil kecil di tangannya.Dia mendapatkan obat itu dari apotek siang tadi, setelah pertemuannya dengan Stella.Pikirannya bekerja keras menyusun rencana untuk menyingkirkan Arunika.Kesepakatan dengan Stella terngiang di telinganya. Sindy akan mendapatkan jaminan hidup layak jika dia berhasil membuat Arunika pergi dari kehidupan Raynar.“Wanita itu memang gila,” gumam Sindy menyeringai sambil masih memerhatikan obat di tangannya, “tapi, apa boleh buat? Aku yang menawarkan kerjasama dan dia telah sepakat.”Sindy sadar, Raynar tak akan pernah memandangnya, tak peduli seberapa besar pun perasaannya terhadap Raynar.Karena itu, dia rela Raynar bersama Stella, daripada bersama Arunika. Setidaknya, Stella sepadan dengan Raynar.“Kalau rencanaku berhasil, setidaknya aku tidak perlu lagi melihat wanita miskin itu menjadi nyonya di rumah ini.” Senyum sinis masih terukir di wajahnya. Ia segera menyembunyikan pil itu di saku kemejanya, dan
“Apa yang akan saya sampaikan pasti bermanfaat untuk Anda. Jadi, silakan duduk.”Stella mendengus, merasa direndahkan. Berani-beraninya pelayan ini menyuruh Stella menemuinya!Namun, rasa penasarannya mengalahkan harga dirinya. Sindy menyinggung soal Raynar, dan itu membuatnya tertarik.“Tidak usah berbasa-basi. Apa yang ingin kau katakan?” tanya Stella setelah menjatuhkan diri di kursi hadapan Sindy, melipat tangan di depan dada dan menatap Sindy tajam.“Saya tahu Anda pasti tidak suka Tuan Raynar menikah, ‘kan? Saya ke sini untuk membantu Anda,” jawab Sindy seraya mengamati reaksi Stella.Mata Stella menyipit curiga. Apa maksudnya ini? Namun, Stella menunggu Sindy melanjutkan ucapannya.“Apa yang ingin saya bahas ini juga demi keuntungan Anda. Memangnya Anda sudi Tuan Raynar dimiliki wanita kampung itu?”“Katakan saja langsung!” perintah Stella tak sabar.Sindy mulai menceritakan semua yang ia ketahui tentang Arunika, nyonya baru di mansion Raynar. Ia melebih-lebihkan cerita tentang
Raynar dan Erik memasuki lift, hanya mereka berdua di sana.Para staf lain memilih menunggu, tak berani berbagi lift dengan sang CEO yang terkenal dingin.“Anda jadi menyampaikan soal lowongan itu pada Nona Arunika?” tanya Erik, memecah keheningan. Ia melirik Raynar yang berdiri satu langkah di depannya.“Hm.” Hanya gumaman singkat yang keluar dari bibir Raynar.Erik mengangguk-angguk, mencoba menutupi rasa penasarannya. Kenapa Raynar tiba-tiba peduli soal pekerjaan Arunika?“Sebenarnya apa yang membuat Anda ingin Nona Arunika masuk perusahaan?” tanya Erik penasaran.Sebagai asisten pribadi dan orang kepercayaan Raynar, Erik tahu banyak tentang kehidupan atasannya, termasuk pernikahan atasannya dengan Arunika. Ia juga tahu sedikit banyak tentang latar belakang Arunika.Erik mengamati Raynar menunggu jawaban. Namun, Raynar tetap diam, membuat Erik jadi semakin penasaran.Arunika berdiri di depan gedung pencakar langit. MH Group. Bangunan itu menjulang tinggi, jauh lebih tinggi dari ban
Arunika menatap Raynar. Kelopak matanya berkedip-kedip cepat, seolah memastikan pendengarannya berfungsi dengan baik. "Masuk ke perusahaanmu?" tanyanya memastikan."Ya," jawab Raynar datar dan tanpa menoleh. "Gunakan kesempatan itu."Arunika terdiam. Apa bisa dia terjun ke pekerjaan profesional?Arunika tidak pernah punya pengalaman bekerja kantoran."Kamu serius?" Arunika bertanya lagi, mencari kepastian di wajah Raynar, tetapi pria itu tetap memandang lurus ke depan, fokus pada jalanan di hadapan mereka."Kamu lulusan hukum. Ijazahmu hanya akan jadi pajangan kalau kamu bekerja di kafe," jawab Raynar masih tanpa menoleh pada Arunika. Nada suaranya tetap dingin, tetapi ada sedikit sesuatu yang tertangkap di telinga Arunika.Apa suaminya itu kini mulai perhatian padanya? Atau tadi itu adalah sindiran darinya?Namun, meskipun begitu, apa yang dikatakan Raynar ada benarnya juga.Lagi pula ini bisa jadi pengalaman yang bagus untuknya. Selain mungkin bekerja di perusahaan Raynar dia jadi
Sore itu, Raynar pulang terlambat. Pertemuan dengan klien menyeretnya hingga lewat waktu kerja. Dia langsung menuju kamar. Dia kira akan menemukan Arunika di sana, tetapi ruangan itu kosong.Raynar melirik arloji di pergelangan tangannya. Saat ini sudah pukul tujuh malam dan istrinya belum ada di rumah.Tanpa mengganti pakaian, Raynar bergegas menuruni tangga dengan cepat.Para pelayan yang berpapasan dengannya menatap heran.Sindy, salah satunya, memandang Raynar tetap dengan rasa hormat, namun melihat tuannya langsung pergi lagi padahal baru kembali ke rumah dan mengingat Arunika belum ada di rumah, hati Sindy langsung tidak senang.Akan tetapi, sejurus kemudian sebuah ide terlintas di benaknya. Seringai jahat muncul di bibir Sindy.Raynar mengemudikan mobilnya sendiri, melaju kencang menuju kafe tempat Arunika bekerja.Begitu tiba, dia langsung masuk dan matanya menemukan Arunika yang masih sibuk melayani pelanggan."Selamat datang," sapa Arunika refleks saat mendengar suara loncen
Nathan masih berada di kafe. Dia menghabiskan makanan yang dipesannya, seraya sesekali memperhatikan Arunika yang sedang melayani tamu.Tidak ada yang tahu apa yang dia pikirkan, tetapi tatapan matanya intens pada juniornya saat di kampus dulu.Nathan mengingat, dulu Arunika selalu tersenyum malu ketika bertemu dengannya. Saat ini, Arunika tetap masih sama, tetapi Nathan merasa sedikit berbeda. Bagaimana pun mereka sudah tidak berhubungan dan putus kontak sejak ia lulus dari universitas.Saat Nathan masih memperhatikan Arunika. Ada senyum tipis di bibirnya, namun raut wajahnya menunjukkan ketertarikan ketika melihat wanita itu memandang telepon lalu menempelkan di telinga dan pergi menuju pintu samping kafe.Tidak ingin kentara mengamati, Nathan menyesap minumannya. Namun, detik berikutnya Nathan berdiri dan berjalan ke arah Arunika pergi.“Bagaimana kabar Mama?” tanya Arunika setelah sang bibi di seberang panggilan membalas sapaannya.Sejak menikah Arunika belum bisa menghubungi bib