Arman berkali-kali menghembuskan napasnya dengan kasar. Terlihat sekali kalau dia sedang berusaha menahan amarahnya. Berusaha agar kepalan tangannya tak mendarat di wajah pemuda yang baru saja mengaku menghamili putri kesayangannya. Putri kebanggaan satu-satunya.
Sementara di sebelahnya, Amira sang istri sudah menangis sejak tadi.“Apa yang kurang dari kami, Silia? Kenapa kau melakukan ini pada kami? Kenapa kau tega mengecewakan kami?” tangis Amira. Ia tak menyangka putrinya yang selama ini pendiam dan tak pernah keluyuran, tahu-tahu hamil. Di saat kuliahnya masih belum selesai.Arman hanya bisa menggertakkan gigi. Di depannya, Silia dan Roby terlihat menunduk dengan takut.“Kapan kalian melakukannya? Dan berapa kali?” tanya Arman dengan nada suara berat.“Cuma sekali Om. Saat Silia keluar mentraktir teman-teman di hari ulang tahunnya,” jawab Roby, sesuai dengan arahan Silia. Semua sudah mereka siapkan. Jawaban dari pertanyaan yang mungkin akan muncul saat mereka mulai bersandiwara di depan orang tua Silia.Tanpa mereka ketahui, dua pasang mata mengintip di balik pintu dapur.“Tuh kan bener. Berarti yang kata Yesika malam itu Mbak Sil jalan sama cowoknya, yang ini orangnya,” kata Munawar, sopir di rumah Silia.“Eh iya, kan malam itu kamu nganterin Yesika sama teman-temannya pulang kan? Yang Mbak Sil kamu tinggal?” tanya Mbok Ida, pembantu Silia.“Iya, kata Yesika Mbak Sil mau kencan sama cowoknya. Jadi ya kutinggal, nggak kujemput lagi. Ealah, malah enak-enakan mereka. Bunting dah tuh kan!” kata Munawar lagi.“Kok bisa ya? Padahal Mbak Sil kan punya pacar yang kuliah di luar negeri.” Mbok Ida tak habis pikir.“Ya justru karena pacaran jarak jauh makanya jadi selingkuh.”“Padahal Mas Vatra tuh guanteng loh. Anak orang kaya lagi.” Mbok Ida merasa kesal sendiri.“Yang ini juga ganteng kok kulihat. Tapi emang kayak orang nggak punya.”Dua orang itu kembali diam dan memasang kembali telinga mereka di dinding, lanjut menguping.“Apa pekerjaan kamu?” tanya Arman pada Roby.“Saya kerja jadi pelayan di restoran.” Roby menjawab dengan jujur.Arman menggebrak meja. Hatinya kesal, anak kesayangan hamil oleh seorang yang hanya bekerja sebagai pelayan.Silia terlonjak kaget dan spontan memegang tangan Roby yang ada di sampingnya. Tanpa ia duga, Roby menggenggam tangannya.Sementara dalam hati Roby, ia merasa tersinggung. Ia tahu ayah Silia menggebrak meja setelah mendengar profesinya. Roby merasa direndahkan.“Saya akan tetap bertanggungjawab. Saya akan menikahi Silia.”“Ku rasa memang itu kan tujuan kamu?” tanya Arman dengan tajam.“Maksud Om?”“Aku nggak tahu apa kamu benar tulus mencintai Silia, atau punya maksud tertentu. Dengan wajahmu itu kau bisa mendapatkan seorang wanita yang jauh lebih cantik dari anakku. Silia bukan seorang gadis yang menarik, tapi kamu tahu kalau dia kaya,” kata Arman menusuk.Roby memutar bola matanya. Hatinya panas. Tuduhan itu, meski benar adanya, tapi bukanlah niat Roby. Melainkan karena demi Yesika dan tujuan menolong Silia. Tapi kata-kata ayah Silia membuatnya hampir menyerah dan mengakhiri sandiwara ini. Namun sekuat tenaga ia tahan amarahnya.“Saya benar mencintai Silia Om. Kalau Om takut, saya janji nggak akan mengganggu-gugat harta milik Silia. Kalau Om merestui kami, setelah menikah Silia ikut dengan saya,” jawab Roby dengan berusaha tetap sopan.“Bagaimana kalau aku tak merestui kalian?”“Sebaiknya Om pikirkan lagi. Apa Om mau Silia hamil dan melahirkan tanpa punya suami?”“Aku tak peduli. Anggap saja itu hukuman untuk dia. Biar dia yang menanggung malu. Kalau perlu dia akan kuusir dari rumah ini. Dan kamu... Kamu akan berurusan dengan polisi, karena aku akan membawa masalah ini ke jalur hukum.”Hati Roby menciut. Ini di luar rencana dan prediksinya. Apa yang harus ia lakukan sekarang?“Maafkan Silia Pa...” Silia menghambur memeluk lutut ayahnya. “Silia memang salah. Tapi tolong berikan kami kesempatan. Jangan penjarakan Roby. Jangan usir Silia. Kalau Papa lakukan itu lebih baik Silia mati!” tangisnya.Arman hampir tak bergeming. Tatapannya yang masih terlihat marah seolah tak peduli dengan tangis Silia. Hatinya sudah benar-benar terlanjur kecewa. Kata-kata Silia hampir tak terdengar olehnya. Sebuah sentuhan lembut memegang tangannya. Arman menoleh.“Silia satu-satunya anak kita, Pa. Apa yang terjadi mungkin juga karena kesalahan kita, yang nggak bisa menjaganya dengan baik. Sekarang biarlah kita turuti sekali lagi keinginannya. Kalau Papa marah pada Silia, lakukan ini demi Mama. Mama nggak mau terjadi apa-apa dengan Silia.” Amira menangis memohon pada Arman.Arman memandang Silia yang masih menangis di lututnya. Kemudian pandangannya beralih kepada Roby. Pemuda itu sudah beritikad baik datang menghadap padanya dengan sopan. Mengakui perbuatannya dan bersedia bertanggungjawab. Meski Roby tak sesuai harapannya, setidaknya dia sudah berniat baik. Tak seharusnya niat baik itu dibalas dengan penghinaan dan ancaman.Arman mendesah pelan, mencoba membuang semua ego yang sejak tadi menguasai diri.“Kalian tentukan saja harinya. Kita tetap akan membuat pesta pernikahan kecil setelah ijab kabul. Bagaimanapun, sejak dulu aku ingin sekali melihat anakku bersanding dengan bahagia. Menjadi Raja dan Ratu sehari. Meski keadaannya sekarang seperti ini.”Silia merasakan hatinya pedih mendengar kalimat dari ayahnya. Baginya lebih baik sang ayah menamparnya, daripada Silia harus mendengarkan kata-kata yang begitu menyayat hati.“Saya hanya punya uang 10 juta untuk acara pernikahannya, Om,” nada suara Roby terdengar khawatir. Silia kemarin bilang hanya menginginkan pernikahan sederhana, jadi Silia hanya berjanji akan memberinya 10 juta. Dan kalau ayah Silia ingin ada pesta, maka pastilah biayanya akan bertambah. Dan Roby takut itu akan dibebankan padanya.“Kamu jangan khawatir. Aku tahu sampai di mana kemampuanmu. Simpan saja uangmu, untuk nantinya membahagiakan Silia. Biar acara pernikahan ini aku tanggung semua,” sahut Arman dingin. Roby lega mendengarnya, begitu juga Silia.Arman berdiri. Dan tanpa ada sepatah kata pun ia pergi meninggalkan ruang keluarga tempat mereka baru saja berdebat. Masuk ke kamarnya dengan sekali hentakan pintu dan langsung menguncinya dari dalam.Tinggallah Amira, Roby dan Silia yang saling berpandangan. Silia mendekati Amira dengan pandangan mata berkaca-kaca.“Maafkan Silia Ma. Maaf...” hanya itu yang bisa keluar dari mulutnya.Amira memeluk putrinya dan mengusap rambut Silia dengan lembut.“Yang sudah terjadi, biarlah. Berjanjilah pada Mama, kalian akan baik-baik saja. Yang rukun, dan langgeng. Jangan sampai keputusan kalian hari ini tidak bisa kalian pertanggungjawabkan di kemudian hari. Mama minta kalian selamanya bersama. Mama hanya bisa mendoakan. Tolong jangan sampai kalian mengecewakan kami dua kali,” pinta Amira.Kalimat Amira membuat Roby menelan saliva. Ibu Silia itu ingin agar dia dan Silia bersama selamanya. Waduh!Hari yang dinanti tiba. Sejak pagi terlihat kesibukan di rumah Silia. Meski acara ijab kabul dan resepsi akan diadakan di hotel, tapi Silia didandani dan dipersiapkan dari rumahnya, baru nanti akan di bawa ke hotel dengan memakai mobil pengantin. “Gimana? Ideku bagus kan?” tanya Yesika sambil membantu Silia memakai baju dalaman sebelum memakai gaun pengantin untuk acara akad pagi ini.Silia hanya diam. Malas menanggapi omongan Yesika.“Kamu masih ada hutang loh. Kamu baru transfer 38 juta. Masih kurang 12 juta.”“Iya aku tahu. Bisa nggak sih kamu nggak ngomongin hal itu sekarang?! Aku nggak mau ada yang dengar.”“Ya aku kan Cuma ngingetin aja. Nggak usah galak napa? Sensi amat jadi orang!” balas Yesika kesal.Mereka kembali diam saat ada seseorang yang masuk ke kamar mengambil sesuatu.“Jangan terlalu mendalami peran ya. Jangan sampai jatuh cinta sama Roby,” kata Yesika saat kembali hanya tinggal mereka berdua.“Memangnya kenapa? Dia pacar kamu?” tanya Silia asal. Tapi cukup
Suasana terlihat begitu mewah dan romantis. Dekorasi pelaminan ala hotel bintang 5 yang lengkap dengan bunga-bunga indah membuat siapa pun yang memandang akan merasa takjub. Para tamu yang hadir merasa kalau Silia adalah gadis yang beruntung, karena bisa mendapatkan pernikahan yang diimpikan banyak gadis di luar sana. Mereka yang datang pun begitu terpesona melihat ketampanan Roby. Meski terdengar desas-desus yang tak mengenakkan, mengingat pernikahan Silia yang begitu mendadak. Pasti menimbulkan berbagai spekulasi di kalangan para undangan yang notabene adalah orang-orang terdekat keluarga Silia.Setelah Roby dengan lancar mengucapkan ijab kabul, disambut teriakan ‘sah’ dari para tamu, Silia tampak di bawa masuk ke dalam ruangan dengan berjalan pelan, diapit oleh dua orang wanita kerabatnya. Silia menjadi pusat perhatian. Gadis itu terlihat cantik, berbanding terbalik dengan penampilannya sehari-hari. “Gimana Roby, cantik kan istrimu?” Nina, yang masih sepupu jauh Silia meng
“Kami pulang dulu ya. Besok kalau udah mau check out, telfon aja. Biar Pak Mun yang jemput kalian ke sini.” Ujar Amira sambil memeluk Silia.Silia hanya mengangguk. Sebenarnya, ia tak ingin menginap di hotel tempat mereka mengadakan acara resepsi. Lebih nyaman kalau ia langsung pulang ke rumah.Tapi ibunya bilang, sayang sekali kalau free room yang diberikan pihak hotel tak dipakai. Apalagi mereka adalah pengantin baru, tentu lebih memerlukan privasi di malam pernikahan.Wajah Silia memerah malu saat tadi sang ibu berkata demikian. Spontan pandangannya terarah pada Roby yang memasang wajah dingin.“Jangan lupa makan. Kalian kayaknya belum sempat makan malam kan? Pesan room service aja. Restoran di hotel ini buka 24 jam.” Pesan Amira, lagi-lagi hanya disambut anggukan Silia.“Udah belum? Ayo pulang, ini udah malam.” Ujar Arman sambil menutup mulutnya yang sedang menguap.Amira kembali memeluk anak gadisnya dan berpamitan pulang. Kini, tinggallah Silia dan Roby. Berdua di dalam s
Suara ketukan di pintu kamar mandi membuat Silia terkejut, seolah membuyarkan semua lamunannya.“Hei, ngapain aja sih di dalam dari tadi? Kamu masih hidup kan?”Roby bertanya sambil terus mengetuk pintu. Terdengar sangat jelas rasa khawatir dalam kalimatnya.“Iya. Tunggu dulu sebentar.”Silia cepat meraih handuk yang tergantung. “Aku mau keluar sekarang. Kamu jangan ngeliat ya.” Ujar Silia, setelah membuka sedikit pintu kamar mandi.Roby tak menjawab. Ia hanya memandang Silia dengan tatapan yang sungguh sulit diartikan.“Hadap sana dong! Aku mau keluar!” sentak Silia.“Kamu malu? Aku udah jadi suami kamu.” Ujar Roby.Silia berdecak. “Kalau gitu, apa kita akan melakukan hubungan suami istri malam ini?” tantang Silia.Roby hanya membuang nafas. Tak disangka gadis itu justru berbalik mempermainkannya. Akhirnya ia memilih untuk mengalah dengan mengubah posisi menjadi membelakangi Silia.Silia keluar dengan kaki sedikit berjinjit. Meski tak menimbulkan suara, namun langkahnya m
Silia membuka mata dan menggeliat sebentar. Tangannya menggapai-gapai sesuatu yang semalam ia simpan di bawah bantal, yaitu ponselnya.Setelah dapat, ia menghidupkan benda pipih itu dan melihat jam di layar. Baru jam enam pagi. Perlahan ia duduk dengan mata yang masih sepat. Seketika ia celingukan. Pandangannya menyisir ke seluruh ruangan, dan kembali berakhir di sofa tempat ia meletakkan selimut dan bantal semalam.Kedua benda itu masih tersusun rapi layaknya belum disentuh sama sekali. Dan tentu saja, tak tampak keberadaan Roby di kamar ini.Alis Silia bertaut. “Ke mana dia? Masa’ nggak ada pulang sama sekali?” gumamnya.Silia menuruni ranjang dan berjalan ke arah sofa. Baru saja ia hendak memegang bantal dan selimut itu, terdengar pintu kamarnya terbuka dan Roby masuk.Sesaat mereka saling diam saat tatapan itu bertemu. “Kamu udah bangun?” tanya Roby sambil berjalan masuk menuju kamar mandi.“Kamu dari mana? Nggak pulang dari semalam?” Silia balik bertanya.“Itu urusanku
“Jangan ngaco kamu, Sil. Kalau dia pacar aku, nggak mungkin aku biarkan dia nikah sama kamu!” Sanggah Yesika.“Ya kalau gitu jawab dong pertanyaanku, dari mana kamu tahu kalau Roby keluar malam-malam dan ketemu sama pacarnya. Apa kamu kenal sama pacarnya Roby?”“Ya pokoknya aku tahu! Kamu nggak usah nanya-nanya lagi. Aku tuh pinter dan banyak koneksi. Jadi mudah aja bagi aku buat dapatkan informasi yang kayak gini.” Silia memandang Yesika dengan tatapan tak percaya. Ia tahu, kalau Yesika saat ini sedang berbohong. Namun ia sama sekali tak punya cara untuk membuktikannya.“Sebenarnya maksud kamu apa sih pagi-pagi udah datang ke sini Yesi? Kamu tahu nggak sih, kalau aku cukup merasa terganggu dengan adanya kamu di sini?” Kata Silia pelan, namun tajam.Yesika tertawa kecil. Kalau saja bukan karena mereka sekarang sedang berada di hotel, mungkin Yesika sudah memaki Silia dan mengungkit aibnya. Seperti yang pernah ia lakukan di hari pernikahan gadis itu.Namun Yesika masih berpikir,
Silia sudah terlelap sejak beberapa jam yang lalu, saat ia mendengar bunyi derit di pintu kamarnya.Sesaat, ia beranggapan kalau yang masuk adalah sang ibu. Namun tak lama ia langsung tersadar kalau itu adalah sosok seorang lelaki bertubuh tinggi tegap yang kini sedang berjalan mengendap-endap.Naluri waspadanya spontan membuat Silia bangun dengan sebuah jeritan kecil. Ia pikir, pencuri masuk ke dalam kamar dan akan melakukan perbuatan tak senonoh padanya.“Apaan sih, bikin kaget aja!” sungut Roby sambil menghidupkan lampu kamar.“Roby...?” Silia lega, karena yang berada di hadapannya kini ternyata adalah sang suami bayaran.“Iya, ini aku. Jangan sembarangan teriak dong! Nanti dikira aku mau ngapa-ngapain kamu!” Roby masih mengomel sambil melemparkan waist bag ke atas meja yang ada di sudut ruangan.“Habis aku pikir kamu maling atau orang jahat. Lagi pula ngapain sih kamu pake acara mengendap-endap segala? Hidupkan lampu dong kalau mau masuk kamar.” Kali ini, gantian Silia yang
“Iya, aku ingat.” Jawab Silia pelan.“Bagus. Sekarang aku hanya mau mempertegas lagi ya soal ini. Kita--- akan tetap keluar dari sini. Aku nggak mau tinggal di rumahmu. Aku minta kamu yang akan menolak kemauan kedua orang tua kamu kalau mereka memaksa kita untuk tetap di sini. Karena kalau aku yang bersikeras, kesannya aku adalah menantu kurang ajar. Aku akan menolak, tapi kuharap kamu yang nanti akan berkeras untuk hidup bersamaku. Kalau ternyata kamu nggak bisa membuat kita keluar dari rumah ini, maaf--- aku akan mundur dan mengajukan pembatalan pernikahan. Semua uang kamu akan kukembalikan. Kalau orang tuamu marah, terpaksa aku akan menceritakan semuanya. Aku akan berterus terang pada mereka, kalau aku hanya dibayar untuk menikahimu.”Silia spontan menggeleng. “Jangan! Aku mohon jangan lakukan itu. Baiklah, aku akan meyakinkan Mama agar mereka melepaskan kita untuk hidup di kontrakan yang sudah kamu siapkan.”Roby mengangguk. “Oke, kupegang kata-katamu. Besok aku kerja shift sor
“Buat apa Roby? Bukankah ini terlalu banyak?” Silia heran melihat keranjang belanja Roby yang nyaris penuh dengan alat make-up. Sebagai perempuan pun, Silia bahkan tak tahu kalau alat tempur wanita bisa sebanyak itu.“Untuk mendandanimu. Kau harus terlihat berbeda malam ini,” ujar Roby sambil memasukkan beberapa jenis peralatan dandan ke dalam keranjangnya.“Aku kan sudah didandani Mama. Dan kau bisa lihat sendiri tadi, Yesika justru mengolok-olokku,” ucap Silia, tiba-tiba merasa kesal.“Maaf, tapi menurutku dandanan itu memang tak cocok untukmu. Mungkin akan terlihat cantik buat wanita yang sudah berumur seperti Mama. Tapi untuk kamu, tak bisa diaplikasikan seperti itu.” Roby singgah di tempat barisan lipstik.“Mbak, lipstik yang ini ada testernya?” tanya Roby pada seorang Beauty Advisor yang berjaga sambil menunjuk salah satu merk lipstik terlaris dan terkenal dengan kualitasnya yang bagus.“Ada Pak. Silakan dicoba dulu.”Roby mengambil beberapa warna untuk uji coba kecocokan. Ia m
“Teman lamaku Derick, yang lama tinggal di Amerika baru pulang ke Indonesia beberapa hari lalu. Besok malam dia akan mengadakan pesta kecil-kecilan di rumahnya. Saat tahu kalau Silia sudah menikah, dia sangat terkejut dan memintaku untuk mengajak kalian besok malam. Bisa kan?”Silia dan Roby berpandangan. Dua-duanya, sama merasa ragu untuk mengiyakan.“Kalau tak mau juga tidak apa-apa. Sejak dulu kan memang aku paling susah membawa keluarga setiap kali ada acara besar dengan teman-teman bisnisku,” Arman terlihat kesal sendiri. Ia sebenarnya sangat berharap ajakannya disambut baik, namun tentu saja ia merasa gengsi untuk memaksa.“Kalian ikut ya. Kasihan Papa kalau pergi sendiri atau hanya berdua dengan Mama. Jadi seperti tak punya anak,” Amira membujuk, takut sang suami mengambek.“Tapi Ma, kenapa acaranya mendadak sekali? Kami tak sempat menyiapkan pakaian yang tepat.” Silia beralasan. Padahal sebagai pribadi yang introvert, ia tak begitu menyukai acara-acara ya
“Sayang, kalian datang?”Amira menyambut kedatangan Silia dan Roby dengan antusias.“Iya Ma, kebetulan Roby hari ini dan besok dapat off kerja. Jadi mungkin kami akan menginap satu malam di sini,” Silia berkata sambil melepaskan pelukan ibunya.“Benarkah? Mama senang sekali. Kalau bisa jangan satu malam saja, tapi dua malam. Mumpung libur,” ujar Amira.“Lihat nanti saja Ma. Kalau memang tak ada hal mendadak, kami akan menginap dua malam,” sahut Roby.“Nah, begitu memang seharusnya.” Amira senang bukan kepalang. “Eh, tapi kenapa kalian tidak menelepon dulu kalau mau ke sini? Biar Pak Mun yang jemput pakai mobil. Mama masih trauma kalau ingat Silia naik motor. Apalagi kamu kan baru empat hari yang lalu keluar dari rumah sakit,” Amira berkata sambil membetulkan poni samping Silia yang menutupi mata. Rambut ekor kudanya pun tak luput ia benahi juga.“Nggak apa-apa Ma. Roby bilang tak mau merepotkan Pak Mun. Lagi pula, Roby bawa motor pelan-pelan.” Silia berusaha agar ibunya tak
“Silia tidak apa-apa, Tante. Hanya sedikit lecet dan sempat kram perut. Tapi tak ada masalah berarti karena Dokter bergerak cepat menangani,” ujar Silia pada Hanisa.“Syukurlah kalau begitu. Tante benar-benar terkejut dan khawatir waktu tadi dengar kabar, kamu masuk rumah sakit. Sampai bela-belain datang menjenguk sepagi ini.”“Tak ada yang perlu dikhawatirkan, Tante. Ada saya di sini yang akan menjaga Silia,” Roby berkata sambil memandang tajam ke arah Vatra.Kedua pemuda itu saling menatap bagai dua ayam jago yang akan berlaga.Hanisa yang sebenarnya menyadari kalau keadaan menjadi tak nyaman, hanya bisa saling berpandangan dengan Silia.“Eh, tapi bagaimana bisa kalian kecelakaan? Apa kalian ditabrak?” Hanisa berusaha mencairkan suasana dengan mengalihkan pembicaraan.“Kami yang menabrak, Tante. Ada orang yang tiba-tiba saja keluar dari dalam gang. Roby tak sempat menghindar,” jawab Silia.“Pasti terlalu mengebut bawa motor. Seharusnya kalau membawa istri yang sedang hamil, t
Silia membiarkan Roby yang masih menangis di pelukannya. Untung saja mereka berada di ruangan VIP, jadi tak ada pasien selain mereka. Roby seolah menumpahkan semua air matanya. Tanpa ada rasa malu. Bagi pemuda itu, Silia adalah satu-satunya orang yang bisa menjaga rahasia. “Maaf. Seharusnya aku tak begini. Kau sedang sakit, tapi aku malah membebani pikiranmu dengan bertingkah seperti ini.” Roby melepas pelukan dan menghapus air matanya. “Tidak apa-apa, Roby. Aku tak mempermasalahkannya. Kemarin di saat aku sedih, kau yang menghiburku.” Silia tersenyum. “Apa aku terlihat menyedihkan?” tanya Roby. “Tidak sama sekali. Kau justru tampak lebih membaik setelah menangis,” puji Silia. Mereka berdua sama-sama terdiam. “Jadi, apa satu hal yang mau kau minta padaku?” Silia menatap Roby yang duduk di samping ranjang. Roby diam sejenak sebelum akhirnya menjawab meski terlihat sangat ragu. “Aku ingin tahu, apakah kau bisa membantuku? Kau tahu sendiri, kalau harga diriku telah diinjak-injak
“Mama, maafkan Roby...” Hanya itu kata yang bisa terucap dari mulut Roby saat Amira datang dengan wajah panik bersama Arman. “Apa yang terjadi Roby? Bagaimana bisa kalian kecelakaan? Apa kau tidak apa-apa?” Amira memindai tubuh Roby dari atas hingga ke bawah, khawatir menantunya itu terluka. “Roby baik-baik saja Ma. Cuma tergores sedikit. Tapi Silia...” Roby tak berani melanjutkan kalimat, matanya melirik ke arah Arman yang tampak menatapnya dengan bola mata yang menyala bagai api. “Bagaimana kau ini, malam-malam membawa Silia berkeliaran! Tidak hati-hati pula!” Arman mengomel, kesal karena anak perempuan semata wayangnya mengalami musibah. “Maaf Pa. Memang salah Roby.” Roby hanya bisa menunduk karena merasa bersalah. “Bagaimana keadaan Silia? Apa dia parah? Kandungannya tidak apa-apa?” tanya Amira, berusaha untuk tetap tenang meski hatinya luar biasa kalut. “Silia dan kandungannya tidak apa-apa. Dokter di dalam sedang melakukan pemeriksaan ulang,”
“Kenapa kau memandangku seperti itu?” tanya Silia, merasa Vatra hanya menatapnya tanpa bicara sepatah kata pun. Ia baru berani bertanya saat baru saja Hanisa beranjak pergi untuk menanyakan pesanan mereka yang belum diantarkan pelayan.“Memangnya aku memandang seperti apa?” Vatra balik bertanya.“Entahlah, tatapanmu lain. Tak seperti biasanya. Sejak tadi juga kau hanya diam. Padahal setiap kali bertemu denganku, kau selalu bertanya ini itu. Kau seperti orang yang berbeda, Vatra.”Vatra tersenyum, namun terlihat hambar. “Aku tak pernah berubah, Silia. Apalagi denganmu. Sejak dulu sampai sekarang, aku selalu sama buatmu. Hanya saja, kalau memang kau merasa aku berbeda, aku rasa bukan karena aku yang berubah, tapi kau.”“Aku tak mengerti apa maksudmu,” ujar Silia sambil menggeleng kecil.“Sudahlah, tak perlu dibahas lagi.” Suara Vatra terdengar lemah.Lagi-lagi, keheningan menyergap mereka berdua.“Vatra, ada yang mau aku katakan soal kalung yang kemarin kau titipkan pada Mama.” S
Dua pasangan muda itu kini saling bertatapan. Roby berpandangan dengan Yesika, sementara Silia melihat Vatra dengan dada berdebar yang sulit untuk diartikan.“Kalian memang sangat serasi. Makan malam berdua dengan pasangan sangat menyenangkan ‘kan?” Yesika mencibir.Satu kalimat ia tujukan untuk tiga orang sekaligus, dengan arti dan maksud berbeda.Yesika menyindir Roby yang kepergok membawa Silia makan malam bersama. Bagaimanapun, ada rasa cemburu dalam hatinya saat melihat sang kekasih bersama wanita lain.Kalimat itu juga seakan menunjukkan bahwa Roby yang bagi Yesika adalah laki-laki miskin, serasi dengan Silia yang culun dan berpenampilan seadanya.Adapun bagi Vatra, Yesika sengaja berkata demikian agar hati pemuda itu semakin patah dan menyadari bahwa wanita yang ia cintai telah menjadi milik orang lain.“Kau sendiri, apa yang kau lakukan di sini bersama Vatra? Apa kalian juga pasangan yang sedang makan malam?” Silia balik menyindir dengan nada yang kentara sekali kalau ia
“Ini memang kalung yang kau berikan pada Silia. Tapi aku tidak mengambilnya.”Jawaban Yesika membuat kening Vatra berkerut heran.“Lantas, bagaimana bisa ada denganmu?” tanyanya.“Silia memberikannya padaku. Dia bilang, kalung ini tak boleh berada di tangannya. Dia sudah punya suami, tak pantas menerima hadiah dari laki-laki lain dalam bentuk apa pun dan dengan alasan apa pun. Roby bisa marah kalau sampai tahu. Dan dia tak mungkin akan berbohong selamanya. Karena itu, dia memberikan kalung ini padaku.”Vatra menurunkan pandangan, seakan masih sangsi akan pengakuan Yesika. Haruskah ia percaya? “Kalau memang dia tak bisa menerimanya, kenapa tak dikembalikan saja padaku?” Vatra bertanya dengan lesu.“Tentu saja karena dia tak enak hati. Dia tak mau terlihat menolak apalagi membuang barang pemberianmu. Karena itu dia memberikan ini padaku. Lagi pula, memangnya kau berharap kalung ini dikembalikan kalau Silia tak menginginkannya? Apa kau merasa sayang karena harganya sangat mahal? K