“Kami pulang dulu ya. Besok kalau udah mau check out, telfon aja. Biar Pak Mun yang jemput kalian ke sini.” Ujar Amira sambil memeluk Silia.
Silia hanya mengangguk. Sebenarnya, ia tak ingin menginap di hotel tempat mereka mengadakan acara resepsi. Lebih nyaman kalau ia langsung pulang ke rumah.Tapi ibunya bilang, sayang sekali kalau free room yang diberikan pihak hotel tak dipakai. Apalagi mereka adalah pengantin baru, tentu lebih memerlukan privasi di malam pernikahan.Wajah Silia memerah malu saat tadi sang ibu berkata demikian. Spontan pandangannya terarah pada Roby yang memasang wajah dingin.“Jangan lupa makan. Kalian kayaknya belum sempat makan malam kan? Pesan room service aja. Restoran di hotel ini buka 24 jam.” Pesan Amira, lagi-lagi hanya disambut anggukan Silia.“Udah belum? Ayo pulang, ini udah malam.” Ujar Arman sambil menutup mulutnya yang sedang menguap.Amira kembali memeluk anak gadisnya dan berpamitan pulang. Kini, tinggallah Silia dan Roby. Berdua di dalam sebuah kamar Suite hotel.“Mau sampai kapan bengong di situ?”Suara Roby mengagetkan Silia yang tanpa sadar berdiri cukup lama di depan pintu.Silia jadi salah tingkah. Ia berjalan pelan menuju tempat tidur dan duduk dengan kikuk di sana.“Aku mau mandi dulu. Jangan mengintip!” ujar Roby sambil berdiri.Silia hanya bisa mendelik tak suka mendengar perkataan Roby. Memangnya dia orang mesum?Eh tapi--- kenapa Roby sialan itu membuka baju di depannya? Silia jadi berdebar melihat perut Roby yang penuh dengan roti sobek itu.Dan sepertinya, Silia sangat menikmati pemandangan seperti ini. Jadi, apakah dia memang adalah orang mesum?“Ngapain liat-liat?!” sentak Roby, membuat darah Silia seakan menyembur hingga ke seluruh tubuh karena kaget.“Ya kalau nggak mau dilihat jangan buka baju di situ dong! Dasar cari perhatian!” sungut Silia.Tapi ya tentu saja, dia hanya bisa mengatakannya di dalam hati. Sementara di luar, Silia hanya bisa mengangguk sambil meminta maaf berkali-kali.Roby masuk ke dalam kamar mandi sambil membawa sebuah handuk. Setelah ia menutup pintu, Silia seperti anak tantrum yang melayangkan tinju dan tendangan ke segala arah. Seolah dia sedang menghajar Roby yang menyebalkan itu.“Sombong! Sok ganteng! Kalau bukan karena butuh, aku juga nggak mau kenal sama orang kayak dia!” ujar Silia marah dengan nada suara yang sangat kecil. Ia tak berani mencak-mencak secara terang-terangan.Silia memilih untuk berselancar di dunia maya. Semua akun sosial media telah ia jelajahi. Namun bukannya senang, ia malah merasa semakin bosan.Untuk sesaat ia bingung, apa yang mau ia kerjakan? Matanya belum mengantuk padahal jam sudah menunjukkan pukul setengah dua belas malam.Ia ingin mandi, namun Roby belum juga keluar dari dalam sana. Lama sekali makhluk itu mandi? Apa yang dia lakukan? Luluran? Main petak umpet? Atau bikin candi?Belum juga semua pikiran di dalam otaknya keluar, ia mendengar suara menjijikkan dari dalam kamar mandi.“Kkhhhuuukkk--- Cuuuiihh--- Arrkhhhh---Hrrrkkk--- Hueekkk---“Silia bergidik. Tiba-tiba saja ia merasa mual. Silia tahu, Roby pasti sedang menyikat giginya.Silia betul-betul paham, karena ia sebenarnya sering mendengar hal yang seperti itu dari sang ayah. Tapi masa’ semua laki-laki kalau sedang menyikat gigi pasti melakukan hal yang sama?“Sekotor apa sih giginya sampai nyikat aja kayak gitu?” sungut Silia. “Mana lama lagi dia keluar. Pengen pipis....” katanya lagi sambil memegangi area bawahnya. Seakan ada sebuah tekanan yang memaksanya untuk mengeluarkan sesuatu.Akhirnya karena sudah tak tahan, Silia berjalan mendekati pintu kamar mandi dan mengetuknya beberapa kali.“Apa?!”“Masih lama nggak? Aku juga perlu ke kamar kecil nih.”“Sebentar lagi!”Silia manyun, namun memilih untuk menunggu di depan pintu karena sudah kebelet.Benar saja, tak lama knop pintu diputar dan Roby yang Cuma berhanduk keluar dengan rambut basah dan... wangi.Silia kagum, harum semerbak menyeruak masuk ke dalam hidungnya. Seolah kamar mandi yang dipakai Roby baru saja dicuci dengan sebotol besar sabun cair yang super wangi.Dan lebih mengagetkan, lagi-lagi Silia terpana melihat wajah tampan Roby yang terlihat sangat segar setelah mandi. Rambut basahnya seolah membuat bibir merah cowok itu terlihat makin menggiurkan. Silia sampai menelan ludahnya sendiri.“Katanya mau pakai kamar kecil?! Ngapain malah bengong? Emang udah jadi hobi ya, bengong terus?!” ujar Roby dingin.Silia malas menanggapi. Percuma saja. Lebih baik dia langsung mengeluarkan hajat air seninya yang tadi sempat keluar sedikit.Namun belum sempat ia menutup pintu, terdengar suara Roby memanggilnya lagi.“Hei... Langsung mandi sana! Badan kamu pasti keringetan! Aku nggak suka sama cewek yang bau asem!” ujar Roby sambil melempar handuk kering yang langsung mendarat mulus di atas kepala Silia.Silia ingin protes, tapi tak berani. Kenapa sih cowok itu selalu mengeluarkan perkataan nyelekit padanya? Padahal Silia merasa tak punya salah secara langsung. Apa ini memang sengaja dilakukan Roby agar ia terus menjaga jarak?“Iya. Jangan ngomel terus dong. Ngomongin aja baik-baik, apa susahnya?” ujar Silia dengan nada lemah. Ia tak berani marah-marah.Silia menutup pintu kamar mandi. Setelah buang air kecil, ia membuka seluruh pakaiannya dan menghidupkan shower.Air yang dingin terasa begitu menyegarkan. Membuat hatinya sedikit sejuk. Silia sengaja membiarkan wajahnya tersiram air. Meski tak mungkin ada yang tahu, sebenarnya ia sedang menangis.Ia ingat saat malam naas itu pulang ke rumah, hal yang pertama kali dilakukannya adalah mandi di bawah siraman shower. Ia berusaha membersihkan jejak para bajingan yang telah menodainya. Ia jijik dengan badannya sendiri.Perlahan Silia memegang perutnya. Meski belum membesar, ia tahu ada sebuah kehidupan kecil di dalam sana. Meski tak diinginkan, tapi Silia bertekad akan membiarkan nyawa itu terus hidup.Suara ketukan di pintu kamar mandi membuat Silia terkejut, seolah membuyarkan semua lamunannya.“Hei, ngapain aja sih di dalam dari tadi? Kamu masih hidup kan?”Roby bertanya sambil terus mengetuk pintu. Terdengar sangat jelas rasa khawatir dalam kalimatnya.“Iya. Tunggu dulu sebentar.”Silia cepat meraih handuk yang tergantung. “Aku mau keluar sekarang. Kamu jangan ngeliat ya.” Ujar Silia, setelah membuka sedikit pintu kamar mandi.Roby tak menjawab. Ia hanya memandang Silia dengan tatapan yang sungguh sulit diartikan.“Hadap sana dong! Aku mau keluar!” sentak Silia.“Kamu malu? Aku udah jadi suami kamu.” Ujar Roby.Silia berdecak. “Kalau gitu, apa kita akan melakukan hubungan suami istri malam ini?” tantang Silia.Roby hanya membuang nafas. Tak disangka gadis itu justru berbalik mempermainkannya. Akhirnya ia memilih untuk mengalah dengan mengubah posisi menjadi membelakangi Silia.Silia keluar dengan kaki sedikit berjinjit. Meski tak menimbulkan suara, namun langkahnya m
Silia membuka mata dan menggeliat sebentar. Tangannya menggapai-gapai sesuatu yang semalam ia simpan di bawah bantal, yaitu ponselnya.Setelah dapat, ia menghidupkan benda pipih itu dan melihat jam di layar. Baru jam enam pagi. Perlahan ia duduk dengan mata yang masih sepat. Seketika ia celingukan. Pandangannya menyisir ke seluruh ruangan, dan kembali berakhir di sofa tempat ia meletakkan selimut dan bantal semalam.Kedua benda itu masih tersusun rapi layaknya belum disentuh sama sekali. Dan tentu saja, tak tampak keberadaan Roby di kamar ini.Alis Silia bertaut. “Ke mana dia? Masa’ nggak ada pulang sama sekali?” gumamnya.Silia menuruni ranjang dan berjalan ke arah sofa. Baru saja ia hendak memegang bantal dan selimut itu, terdengar pintu kamarnya terbuka dan Roby masuk.Sesaat mereka saling diam saat tatapan itu bertemu. “Kamu udah bangun?” tanya Roby sambil berjalan masuk menuju kamar mandi.“Kamu dari mana? Nggak pulang dari semalam?” Silia balik bertanya.“Itu urusanku
“Jangan ngaco kamu, Sil. Kalau dia pacar aku, nggak mungkin aku biarkan dia nikah sama kamu!” Sanggah Yesika.“Ya kalau gitu jawab dong pertanyaanku, dari mana kamu tahu kalau Roby keluar malam-malam dan ketemu sama pacarnya. Apa kamu kenal sama pacarnya Roby?”“Ya pokoknya aku tahu! Kamu nggak usah nanya-nanya lagi. Aku tuh pinter dan banyak koneksi. Jadi mudah aja bagi aku buat dapatkan informasi yang kayak gini.” Silia memandang Yesika dengan tatapan tak percaya. Ia tahu, kalau Yesika saat ini sedang berbohong. Namun ia sama sekali tak punya cara untuk membuktikannya.“Sebenarnya maksud kamu apa sih pagi-pagi udah datang ke sini Yesi? Kamu tahu nggak sih, kalau aku cukup merasa terganggu dengan adanya kamu di sini?” Kata Silia pelan, namun tajam.Yesika tertawa kecil. Kalau saja bukan karena mereka sekarang sedang berada di hotel, mungkin Yesika sudah memaki Silia dan mengungkit aibnya. Seperti yang pernah ia lakukan di hari pernikahan gadis itu.Namun Yesika masih berpikir,
Silia sudah terlelap sejak beberapa jam yang lalu, saat ia mendengar bunyi derit di pintu kamarnya.Sesaat, ia beranggapan kalau yang masuk adalah sang ibu. Namun tak lama ia langsung tersadar kalau itu adalah sosok seorang lelaki bertubuh tinggi tegap yang kini sedang berjalan mengendap-endap.Naluri waspadanya spontan membuat Silia bangun dengan sebuah jeritan kecil. Ia pikir, pencuri masuk ke dalam kamar dan akan melakukan perbuatan tak senonoh padanya.“Apaan sih, bikin kaget aja!” sungut Roby sambil menghidupkan lampu kamar.“Roby...?” Silia lega, karena yang berada di hadapannya kini ternyata adalah sang suami bayaran.“Iya, ini aku. Jangan sembarangan teriak dong! Nanti dikira aku mau ngapa-ngapain kamu!” Roby masih mengomel sambil melemparkan waist bag ke atas meja yang ada di sudut ruangan.“Habis aku pikir kamu maling atau orang jahat. Lagi pula ngapain sih kamu pake acara mengendap-endap segala? Hidupkan lampu dong kalau mau masuk kamar.” Kali ini, gantian Silia yang
“Iya, aku ingat.” Jawab Silia pelan.“Bagus. Sekarang aku hanya mau mempertegas lagi ya soal ini. Kita--- akan tetap keluar dari sini. Aku nggak mau tinggal di rumahmu. Aku minta kamu yang akan menolak kemauan kedua orang tua kamu kalau mereka memaksa kita untuk tetap di sini. Karena kalau aku yang bersikeras, kesannya aku adalah menantu kurang ajar. Aku akan menolak, tapi kuharap kamu yang nanti akan berkeras untuk hidup bersamaku. Kalau ternyata kamu nggak bisa membuat kita keluar dari rumah ini, maaf--- aku akan mundur dan mengajukan pembatalan pernikahan. Semua uang kamu akan kukembalikan. Kalau orang tuamu marah, terpaksa aku akan menceritakan semuanya. Aku akan berterus terang pada mereka, kalau aku hanya dibayar untuk menikahimu.”Silia spontan menggeleng. “Jangan! Aku mohon jangan lakukan itu. Baiklah, aku akan meyakinkan Mama agar mereka melepaskan kita untuk hidup di kontrakan yang sudah kamu siapkan.”Roby mengangguk. “Oke, kupegang kata-katamu. Besok aku kerja shift sor
Silia memandang ke arah Roby, berharap cowok itu membantunya bicara. Namun nyatanya, Roby justru balik melihat Silia dengan tatapan seolah-olah mendesak agar ia menyelesaikan sendiri masalah ini.“Ma, izinkan Silia ikut Roby ya. Karena sekarang udah jadi istrinya, jadi memang udah seharusnya seorang istri ikut ke mana pun suaminya pergi.”“Tapi Sil--- kamu nggak pernah jauh dari Mama, nggak pernah jauh dari rumah ini. Apa kamu yakin bisa beradaptasi dengan lingkungan dan kehidupan yang baru nanti?”“Ada saya Ma....” Roby yang menyahut kali ini, membuat Silia spontan mengalihkan pandangan pada pemuda tampan itu.“Roby....? Kamu tetap mau mengajak Silia untuk pindah dari sini?” tanya Amira.“Mama tenang aja. Jangan khawatirkan soal Silia. Saya yang akan menjaganya. Tolong berikan kami izin untuk hidup berdua dan membangun rumah tangga kami sendiri.” Ujar Roby.Amira tampak ragu, namun kemudian ia berkata,” jujur Mama berat kalau membiarkan Silia ikut kamu hidup di luar. Karena Sil
Yesika masuk dengan seringai di bibir saat melihat Silia dan Roby yang duduk bersama di meja makan. Dia sendiri sudah terbiasa di rumah Silia, karena hampir setiap hari ia datang. “Sarapan dulu, Yesi,” Amira berkata padanya dengan ramah. “Tante tinggal dulu ya, mau nyiram bunga di depan.” Ujarnya lagi.“Iya Tante. Makasih.” Yesika langsung duduk. “Wah pengantin baru lagi sarapan bareng ya? Aku jadi nggak enak nih.” Ujarnya kemudian.Silia benci sekali mendengar nada suara Yesika yang seolah sedang mengejeknya. Gadis itu seperti hendak menertawakannya sekarang.Sementara Roby tampak diam dan tak berani memandang Yesika, membuat Silia semakin heran. Bukannya mereka saling mengenal? Mengapa tak bertegur sapa sama sekali?Saat Silia sedang sibuk menerka, Mbok Ida datang untuk mengemasi bekas sarapan Arman.“Mbak Sil mau jus atau susu?” tanya Mbok Ida dengan sopan, menawarkan jasanya.“Nggak usah, Bi. Saya minum air putih aja,” jawab Silia. Ia tidak mau merepotkan pembantunya itu.
“Apa sih maksud kamu Roby? Kenapa jadi membawa Silia untuk hidup berdua sama kamu di kontrakan? Kamu nggak ada bilang apa pun soal ini.” Omel Yesika, begitu mereka keluar dari ruang makan dan memilih tempat yang agak jauh dari jangkauan mata maupun pendengaran Silia.“Maaf Yesi, aku nggak bilang karena kupikir kamu juga pasti akan setuju. Bagaimanapun ini juga demi keamanan rahasia kita kan? Kalau aku menikah namun tetap tinggal di rumah Silia, orang tuanya pasti curiga kalau pernikahan kami Cuma pura-pura, karena aku nggak mungkin bersikap mesra dengan dia.”“Ya jangan sampai curiga dong! Jalankan aja tugas sebagaimana suami selayaknya. Akting Roby--- akting!”“Nggak bisa Yesi. Kamu tahu kan kalau cinta aku hanya untuk kamu....”Kalimat Roby terpotong saat Yesika memukul lengannya.“Jangan ngomong keras-keras, nanti kedengaran orang!” omel Yesika dengan nada suara tertahan.Roby berdecak. “Karena itu aku minta tolong jangan marah, Yesi. Aku bawa dia keluar dari sini itu, nggak
“Ibu jangan suka ngomong asal-asalan. Mama nggak suka orang yang kayak gitu,” kata Roby cepat, mencoba menutupi rasa malu.“Ah masa? Nggak kok,” kata Amira sambil mengusap sudut matanya. “Mama malah suka sama Bu Besan yang apa adanya kayak gini.”Roby menatap mama mertuanya, tak percaya.“Justru Mama senang. Sikap dan omongan Bu Besan benar-benar apa adanya, nggak dibuat-buat... asli banget.”Dan seperti ada tombol yang dipencet, suasana langsung mencair. Nasiha mulai tertawa, begitu pula Amira. Mereka mulai bicara santai, dari masalah kehamilan, resep jamu pelancar lahiran, sampai kebiasaan Roby kecil yang suka ngupil.Di sudut sofa, Roby dan Silia hanya bisa duduk diam, seperti dua remaja yang menyaksikan emak-emaknya bonding di atas level mereka.“Aduh, saya baru tahu, ternyata besan saya lucu banget,” kata Amira sambil mengambil sepotong kue lagi.“Saya juga baru tahu, ternyata ibu mertua anak saya ini kayak permaisuri. Cantik, pinter, kaya... aduh, kalah saya,” timpal Nasiha samb
Silia keluar dari kamar dengan langkah pelan. Kaos oversize Roby yang ia kenakan nyaris mencapai lutut, tapi tetap tak mampu menutupi bagian depan tubuhnya yang menonjol jelas.Nasiha yang sedang duduk di sofa dengan posisi tangan menyilang langsung berdiri.“Bentar…! Berhenti di situ!”Silia refleks berhenti, tubuhnya menegang.Nasiha berjalan cepat, berhenti di depan Silia. Matanya menyipit, lalu tanpa izin langsung meletakkan telapak tangannya ke perut Silia yang bulat itu.“Ini… ini hamil?!”Roby melongok dari pintu kamar. “Lho, kok ibu bisa langsung tahu?”Nasiha melotot ke arah putranya. “Ya jelas taulah! Perutnya gede kayak gitu! Apalagi namanya kalau bukan hamil?!”“Cacingan,” jawab Roby polos.“CACINGAN PALALU!” teriak Nasiha sambil langsung menyambar sandal dan melempar ke arah Roby.Roby nyaris kena di jidat kalau saja dia tidak cepat menunduk.“Ibu sabar dulu, sabar,” katanya sambil mengangkat tangan setengah pasrah. “Silia ini bukan cewek sembarangan, Bu. Dia… dia suka ba
Rumah itu akhirnya sepi lagi. Suara sandal emak-emak yang berisik seperti ledakan kecil setiap langkahnya sudah tak terdengar. Nasiha telah kembali ke kampung dengan koper, tas jinjing, dan keranjang yang kini berisi oleh-oleh dari anak tercinta: detergen cair, daster baru, dan entah kenapa—satu pouch lipstik.Roby mengunci pintu, lalu membalikkan badan sambil berseru lirih, “Merdeka…”Seketika itu juga, ia melompat ke ranjang, di mana Silia yang baru saja ia jemput menunggu dengan senyum malu-malu. Mereka beneran kayak pengantin baru yang lagi ketagihan malam pertama.Mereka tidak banyak bicara. Hanya ada tatapan, tarikan napas, dan tubuh yang saling menemukan dalam keheningan malam. Roby mencium keningnya pelan, lalu turun ke pipi, lalu ke leher. Silia mengerang pelan, “Tunggu dulu... aku mandi dulu ya. Aku pengap.”Roby tertawa pelan. “Kamar mandi Cuma satu. Kalau kamu kelamaan, aku nyusul.”“Terserah. Asal jangan rekam-rekam. Aku belum pakai lipstick waterproof.”“Bisa dihapus. T
Dengan tergesa, Roby mulai meraih pakaian dari kursi, sementara Silia juga ikut panik, berusaha bangkit dan berpakaian semampunya meski perutnya makin besar.“Kamu harus pergi dulu. Sekarang,” ujar Roby cepat. “Kita ke rumahmu. Aku antar.”“Tapi kita belum sarapan. Kamu belum...” Silia menunduk, wajahnya merah padam.Roby menatapnya sejenak, lalu mendekat, mencium kening Silia dengan dalam.“Nanti. Malam ini. Atau besok. Yang jelas... ini belum selesai, oke?”Silia tak bisa menahan senyum walau gugup. Ia mengangguk pelan, lalu menyambar jaket tipisnya. Roby masih mendesis pelan karena harus menahan hasratnya sendiri, tapi waktu tak memberi pilihan.Dalam waktu sepuluh menit, mereka sudah di atas motor, menembus kabut pagi yang masih menggantung tipis. Silia memeluk Roby dari belakang, tak tahu kenapa, hatinya mendadak berat saat mereka berhenti di depan gerbang rumah mewah milik orangtuanya.“Jangan lupa bilang kamu lagi jomblo parah,” kata Silia, mencoba bercanda meski suaranya sedik
Silia menatap ke bawah, menggeleng lirih. “Dulu kupikir... itu yang terbaik. Aku merasa itu satu-satunya cara untuk menebus aibku. Aku sudah bersumpah tak akan menikah lagi seumur hidup. Aku hanya ingin jadi ibu... yang cukup bagi anakku.”Ia mengangkat wajahnya perlahan, matanya mulai berkaca.“Tapi sekarang… setelah semalam… setelah kau memperlakukanku seperti aku layak dicintai…” suaranya pecah, “aku mulai takut. Takut... berharap.”Roby bergeser, meraih tangannya lagi. Tapi Silia menarik diri. Bukan karena marah. Tapi karena takut.“Aku nggak yakin kau akan bahagia bersamaku, Roby,” ucapnya lirih. “Aku... bukan perempuan yang utuh. Aku bukan gadis yang bersih. Aku—”“Berhenti.” Suara Roby memotongnya, lembut namun tegas.Ia bangkit dan berdiri di hadapannya, kemudian berlutut satu kaki. Ia mendongak, menatap Silia dengan penuh keteguhan. “Kau korban, bukan pelaku. Kau perempuan paling kuat yang pernah kukenal. Dan semalam... adalah malam paling hangat yang pernah aku alami. Aku t
Silia tak menjawab. Tapi tubuhnya tak menolak saat Roby menunduk dan mencium bibirnya lagi. Lebih dalam. Lebih hangat. Kedua tangannya membelai wajah Silia, kemudian menelusup ke belakang leher, menariknya lebih dekat.Dan kali ini, tanpa keraguan. Roby melumat bibir itu dalam keheningan yang mendesis. Nafas Silia tercekat, tapi tubuhnya ikut tenggelam, menuruti setiap tarikan, setiap tekanan lembut yang Roby beri.Silia hampir kehilangan napas, tapi tidak ingin melepaskan. Ia tak tahu, ciuman bisa terasa selembut ini... seintim ini. Roby mencium dengan kesabaran, menciptakan jeda di antara desahan mereka untuk menyisipkan napas dan rasa.Ciuman itu berkembang—dari malu-malu jadi lebih dalam, lebih panas. Roby memandu, seolah menari, seolah ingin menunjukkan bahwa ini bukan sekadar rasa penasaran.Tak ada yang tergesa. Tak ada yang dipaksa.Tangan Roby bergerak ke pinggang Silia, menarik tubuhnya lebih dekat. Mereka nyaris tak bisa bernafas, tapi tak satu pun ingin berhenti.Ciuman it
Minggu siang itu, rumah Amira tampak ramai. Suasana arisan dipenuhi gelak tawa ibu-ibu sosialita yang saling bertukar kabar, sambil mencicipi camilan yang tersaji rapi di meja panjang. Tapi hari itu, perhatian mereka tak bisa lepas dari satu sosok yang duduk anggun di sisi kanan ruang tamu.Silia.Wajahnya berseri, makeup-nya halus tanpa cela, dan rambutnya ditata sanggul simpel dengan sedikit hiasan pearl clip di sisi kanan. Bahkan gaun polos yang dikenakannya tampak elegan berkat aura percaya diri yang ia pancarkan.Amira tersenyum penuh kebanggaan. “Anakku cantik, ya?”Salah satu teman arisan, Nyonya Kamil, mendekat sambil membungkuk sedikit, mengamati wajah Silia dengan takjub.“Amira… siapa yang dandanin Silia? Beneran deh, flawless banget. Nggak menor, tapi elegan. Look ini tuh susah banget dicapai, lho.”Amira melirik ke arah dapur, lalu tersenyum. “Yang dandanin? Roby.”“Roby?” alis Nyonya Kamil terangkat. “Suaminya?”“Iya, suaminya. Dia tuh ternyata jago makeup, bisa ngebentu
Amira mendekat, matanya membesar. "Ya ampun, kamu cantik banget, Sayang. Astaga... ini make up tipis atau kamu habis perawatan mahal?"Silia nyengir kecil. "Make up-nya Roby, Ma. Baju juga dia yang belikan."Amira menatap Roby. "Kamu beneran dandanin Silia? Belajar dari mana?"Roby tertawa pendek. "Nggak belajar dari mana-mana, Ma. Cuma ngikutin feeling dan ngeliat sekilas di sosial media.""Wah, ternyata kamu punya bakat alam yang nggak semua orang bisa," puji Amira penuh rasa takjub.Arman tampak mengangguk pelan, lalu berdiri dan menepuk bahu menantunya. "Kalau gini terus, bukan cuma Silia yang makin cantik, kamu juga makin dapat respek dari Papa, Roby."Roby hanya mengangguk. Senang sekali, karena pada akhirnya sikap Arman mulai melunak padanya."Tapi kalian mau ke mana sekarang?" tanya Amira."Kami pamit, Pa. Ma. Hari ini kami pulang ke kontrakan. Nanti sore Roby udah harus masuk kerja lagi."Meski agak kecewa, tapi Amira dan Arman terpaksa melepaskan kepulangan anak dan menantu
Roby tertawa pelan. "Karena aku sudah capek diam. Capek menahan semuanya seolah-olah aku baik-baik saja. Kau tahu, Silia? Aku tahu sejak awal ini semua cuma kesepakatan. Tapi kau juga tahu... tidak ada satu pun dari kita yang benar-benar sanggup bersikap netral soal perasaan."Silia tak langsung membalas. Matanya mulai menyesuaikan diri dengan gelap. Ia bisa melihat bayangan Roby yang menunduk, punggungnya sedikit membungkuk seolah menanggung beban yang tak pernah sempat dibagi."Aku nggak pernah ingin bikin semua ini rumit," katanya pelan. "Aku cuma... kadang kehilangan arah. Dulu aku pikir aku sudah selesai dengan Vatra, tapi nyatanya aku belum benar-benar sembuh. Dan kamu... kamu terlalu diam. Terlalu datar. Sampai aku bingung harus bagaimana menghadapi kamu."Roby mendongak, menatapnya dalam gelap. "Lalu sekarang? Kau masih ingin kita terus berpura-pura?"Silia menarik napas dalam. Ia ingin menjawab, tapi kata-katanya terhenti di tenggorokan."Aku nggak tahu, Roby," jawabnya akhir