Silia menyapu pandangan ke sekeliling. Melihat keadaan sekitar ia berpikir, untuk siang hari saja terasa cukup menyeramkan, apalagi kalau malam. “Mari masuk ke dalam Ma.” Lamunan Silia buyar saat mendengar Roby mengajak mereka masuk. “Tetangganya lumayan jauh ya?” Amira beropini. Dan dalam kalimatnya, seakan ada nada khawatir terhadap keselamatan sang putri. “Saya memang sengaja Ma, karena kami nggak mau ada yang mengganggu hidup kami. Mama tahu sendiri, biasanya tetangga suka ikut campur dan berkomentar soal hidup orang lain. Saya nggak suka kalau ada yang membuat Silia kepikiran dengan omongan nggak baik dari orang-orang. Silia sedang mengandung, bisa berbahaya buat bayi kami. Lagi pula, jujur aja. Kemampuan saya hanya bisa menyewa rumah seperti ini.” Jawaban Roby terselip kejujuran dan sedikit kebohongan. Silia agak tersanjung saat mendengar Roby mengatakan ‘bayi kami’. “Kenapa nggak bilang aja biar kami bantu carikan rumah yang lebih layak? Eh--- maksud Mama, mungkin rumah
“Ada kecoa!” Roby mengendurkan badannya yang tadi sempat tegang. “Cuma kecoa? Kamu teriak sampe kayak gitu Cuma karena kecoa?” ucap Roby kesal. “Kecoa bahaya. Kalau terbang, bisa masuk kuping.” “Kata siapaaa?!” “Kali aja....” Silia baru sadar kalau ia baru saja membuat cowok itu marah. Sekarang, malah ia yang jadi cemberut. “Biarpun Cuma kecoa kan, aku takut.” Roby membuang nafas. “Sekarang udah nggak apa-apa kan? Aku mau tidur.” Katanya sambil berbalik badan. “Anu, Roby--- kenapa nggak tidur di dalam sini aja?” tanya Silia ragu. Sebenarnya ia malu menawarkan itu, tapi rasa takut mengalahkan rasa malunya. “Memangnya kenapa kalau aku tidur di luar? Jujur aja aku nggak nyaman kalau harus tidur sekamar dengan kamu, biarpun nggak ngapa-ngapain.” Silia menelan ludah. “Aku takut. Di sini banyak pocong.” “Tahu dari mana di sini banyak pocong?” “Di sekitar rumah ini banyak pohon pisang. Katanya pocong suka duduk di bawah pohon pisang.” Roby nyaris tertawa mendengar jawaban polo
“Bukan mukamu. Tapi lingkar mata kamu menghitam. Apa kamu semalam nggak bisa tidur?” Silia mengucek mata, berharap bisa menghilangkan mata panda-nya. Meski ia tahu pasti, kalau tak mungkin bisa hilang semudah itu. “Iya, entah jam berapa aku baru bisa tidur.” “Kenapa? Aku kan udah menuruti kemauan kamu dengan tidur sekamar. Masa’ masih takut ada hantu.” “Aku takut kecoa itu datang lagi. Atau ada ular dan binatang yang lain.” “Tapi nggak ada kan? Kamu terlalu banyak pikiran.” “Enak aja ngomong kayak gitu. Kamu sih, nggak tahu gimana rasanya kalau lagi takut. Biarpun ada kamu di kamar, tapi kan kamu tidur di atas, sedangkan aku di bawah.” “Kan kamu sendiri yang mau. Bukan aku yang minta.” “Ya tapi sebagai laki-laki harusnya kamu paham dong, kalau sebaiknya mengalah sama perempuan. Apalagi aku sedang hamil. Ini mentang-mentang aku bilang begitu, kamu juga ngelakuin hal yang sama, nggak pake pertimbangan lagi.” “Jadi sebenarnya kamu itu sebagai perempuan, mau omongannya diturutin a
“Giliran kita masih lama, Ma?” Silia gelisah karena terlalu lama berada di ruang tunggu. Ia agak risih karena beberapa pasien ibu hamil memandangnya. Ya, mungkin saja itu adalah hal biasa, mengingat tak banyak yang bisa dilakukan selama mengantri menunggu nama mereka dipanggil. Namun tetap saja, Silia tak terbiasa dengan hal seperti itu. Ia tak suka dilihat dan diperhatikan oleh orang asing. “Sebentar lagi Sayang. Tunggu aja.” Jawab Amira setengah berbisik. “Nggak mungkin sebentar lagi Ma, antriannya rame kayak gini.” Silia terlihat bimbang. “Udah diem aja. Kita pake jalur VVIP. Jadi paling sebentar lagi udah dipanggil. Kita nanti beda ruangannya. Tunggu ya, sebentar lagi.” Bujuk Amira. Silia hanya mengangguk dan tak lagi mengajukan pertanyaan. Ia kini justru tampak berpikir tentang suatu hal janggal sebelum pergi ke sini. Ia melihat saat Yesika di rumahnya tadi, perilaku Roby seolah mengisyaratkan kalau cowok itu sedang berusaha mendekati Yesika. Anehnya, Yesika tampak menghind
“Pak?? Ngapain ke sini? Bapak tahu tempat ini dari mana?”Lelaki berumur di depan Roby itu terlihat cengengesan. Senyumnya yang dipaksakan terlihat sangat menyebalkan di mata Roby.“Bapak dengar dari Yesi katanya kamu pindah ke kontrakan, nggak nge-kost lagi di tempat yang lama.” Ujar Dandi.“Iya, tapi kenapa Bapak datang ke sini?” Roby berkata dengan setengah berbisik sambil melangkah keluar dan menutup pintu. Ia tak mau Silia tahu tentang kedatangan Dandi.“Ya Bapak Cuma mau jenguk kamu aja, Roby. Kamu udah lama nggak main ke rumah. Apalagi sejak nikah sama temen Yesi. Maksud Bapak, biarpun kamu nggak jadi menantu, ya tetap aja kita harus--- ehm... silaturahmi.” Roby panik saat Dandi mengatakan itu. Kalau sampai Silia dengar, gadis itu bisa tahu kalau dia adalah pacar Yesika.Meski sebenarnya Roby tak peduli, tapi kalau sampai hal ini bocor karena ulah ayah Yesika itu, tetap saja dia yang akan disalahkan.“Pak, tolong --- jangan sembarangan datang ke sini. Kita bisa ketemu d
Wajah pucat yang dipenuhi keringat sebesar biji jagung itu terlihat menegang. Roby panik melihat Silia yang kelojotan sambil memegang dada.“Kamu kenapa? Hei--- dada kamu sakit?” Roby berusaha membantu Silia duduk. Namun gadis itu mengeraskan badan dan kembali berbaring.“Rasanya mau mati, Roby... Biarkan aku berbaring aja kayak gini. Jantungku sakit, dadaku rasanya sempit. Aku nggak bisa bernafas. Seperti ada yang terbakar di dalam sini...” Silia menunjuk dadanya sambil menggenggam tangan Roby dan meremasnya dengan kuat, menahan rasa sakit berdenyut yang teramat sangat.“Kamu sakit jantung? Sejak kapan kayak gini?” Roby mengelap kening basah Silia. Sungguh ia sangat tak tega melihat gadis itu mengerang kesakitan. Untungnya hari ini dia pulang kerja lebih awal. Kalau tidak, entah apa yang akan terjadi pada Silia.Silia menggeleng. “Asam lambung. Kayaknya asam lambungku naik. Roby--- tolong aku, kenapa sakit sekali...” Silia melenguh dan nafasnya terengah-engah.“Tunggu di sini se
Silia turun dari motor begitu Roby mematikan mesin kendaraannya tersebut. Sejenak ia melihat plang nama di depannya, ‘warung sate Pak Mus’. Ini adalah tempat ketiga yang mereka datangi. Sebelumnya mereka sudah ke tempat orang yang berjualan rujak dan bubur ayam. Namun tak ada satu pun bisa dijadikan menu yang ingin disantap wanita hamil itu. “Mau nggak kalau yang ini?” tanya Roby lagi. Ia berharap Silia berliur setelah mencium bau asap daging ayam yang dibakar. Namun lagi-lagi Silia menggeleng, membuat Roby mendesah kecewa. “Pergi sekarang yuk. Aku mual cium bau sate.” Silia menutup hidung dan mulutnya. Mau tak mau Roby kembali menghidupkan mesin motornya. “Jadi mau makan apa nih? Kamu udah tiga hari nggak makan dengan benar. Takut berbahaya buat kandunganmu.” Suara Roby nyaris menghilang tertiup angin. Meski ia tak terlalu laju memacu kendaraannya, tetap saja suaranya nyaris tak terdengar. “Aku makan apa yang ada di rumah aja deh. Dipaksakan juga nggak apa.” Sahut Silia pelan
Vatra membuka pintu mobil dan dengan gayanya yang tengil, ia mempersilahkan Silia turun.Gadis itu hanya bisa tertawa mendesis.“Jadi kamu sama suami kamu tinggal di sini?” Vatra melayangkan pandangannya ke sekeliling.“Iya.” Sahut Silia pendek.“Berani juga kamu,” puji Vatra. “Kalau aku tinggal di sini, mungkin nggak berani ke kamar kecil kalau malam.” Lanjutnya setengah bercanda.Silia tertawa. “Makasih ya, udah mau nganterin aku. Mau masuk dulu?”“Emang boleh?” Vatra terlihat senang.Silia mengangguk sambil tersenyum.“Suami kamu nggak marah, kalau ada laki-laki yang datang ke sini waktu dia nggak ada?”Tangan Silia sempat berhenti memutar kunci rumah saat Vatra bertanya lagi.“Nggak bakal marah dia. Karena kita nggak ngapa-ngapain.” Ujar Silia datar.Bukankah benar? Tak mungkin Roby akan marah, mengingat mereka bukanlah suami istri sungguhan. Hanya dua orang yang terjebak dalam sebuah pernikahan berbayar.***Silia memeluk lututnya karena ketakutan. Sudah hampir jam s
“Buat apa Roby? Bukankah ini terlalu banyak?” Silia heran melihat keranjang belanja Roby yang nyaris penuh dengan alat make-up. Sebagai perempuan pun, Silia bahkan tak tahu kalau alat tempur wanita bisa sebanyak itu.“Untuk mendandanimu. Kau harus terlihat berbeda malam ini,” ujar Roby sambil memasukkan beberapa jenis peralatan dandan ke dalam keranjangnya.“Aku kan sudah didandani Mama. Dan kau bisa lihat sendiri tadi, Yesika justru mengolok-olokku,” ucap Silia, tiba-tiba merasa kesal.“Maaf, tapi menurutku dandanan itu memang tak cocok untukmu. Mungkin akan terlihat cantik buat wanita yang sudah berumur seperti Mama. Tapi untuk kamu, tak bisa diaplikasikan seperti itu.” Roby singgah di tempat barisan lipstik.“Mbak, lipstik yang ini ada testernya?” tanya Roby pada seorang Beauty Advisor yang berjaga sambil menunjuk salah satu merk lipstik terlaris dan terkenal dengan kualitasnya yang bagus.“Ada Pak. Silakan dicoba dulu.”Roby mengambil beberapa warna untuk uji coba kecocokan. Ia m
“Teman lamaku Derick, yang lama tinggal di Amerika baru pulang ke Indonesia beberapa hari lalu. Besok malam dia akan mengadakan pesta kecil-kecilan di rumahnya. Saat tahu kalau Silia sudah menikah, dia sangat terkejut dan memintaku untuk mengajak kalian besok malam. Bisa kan?”Silia dan Roby berpandangan. Dua-duanya, sama merasa ragu untuk mengiyakan.“Kalau tak mau juga tidak apa-apa. Sejak dulu kan memang aku paling susah membawa keluarga setiap kali ada acara besar dengan teman-teman bisnisku,” Arman terlihat kesal sendiri. Ia sebenarnya sangat berharap ajakannya disambut baik, namun tentu saja ia merasa gengsi untuk memaksa.“Kalian ikut ya. Kasihan Papa kalau pergi sendiri atau hanya berdua dengan Mama. Jadi seperti tak punya anak,” Amira membujuk, takut sang suami mengambek.“Tapi Ma, kenapa acaranya mendadak sekali? Kami tak sempat menyiapkan pakaian yang tepat.” Silia beralasan. Padahal sebagai pribadi yang introvert, ia tak begitu menyukai acara-acara ya
“Sayang, kalian datang?”Amira menyambut kedatangan Silia dan Roby dengan antusias.“Iya Ma, kebetulan Roby hari ini dan besok dapat off kerja. Jadi mungkin kami akan menginap satu malam di sini,” Silia berkata sambil melepaskan pelukan ibunya.“Benarkah? Mama senang sekali. Kalau bisa jangan satu malam saja, tapi dua malam. Mumpung libur,” ujar Amira.“Lihat nanti saja Ma. Kalau memang tak ada hal mendadak, kami akan menginap dua malam,” sahut Roby.“Nah, begitu memang seharusnya.” Amira senang bukan kepalang. “Eh, tapi kenapa kalian tidak menelepon dulu kalau mau ke sini? Biar Pak Mun yang jemput pakai mobil. Mama masih trauma kalau ingat Silia naik motor. Apalagi kamu kan baru empat hari yang lalu keluar dari rumah sakit,” Amira berkata sambil membetulkan poni samping Silia yang menutupi mata. Rambut ekor kudanya pun tak luput ia benahi juga.“Nggak apa-apa Ma. Roby bilang tak mau merepotkan Pak Mun. Lagi pula, Roby bawa motor pelan-pelan.” Silia berusaha agar ibunya tak
“Silia tidak apa-apa, Tante. Hanya sedikit lecet dan sempat kram perut. Tapi tak ada masalah berarti karena Dokter bergerak cepat menangani,” ujar Silia pada Hanisa.“Syukurlah kalau begitu. Tante benar-benar terkejut dan khawatir waktu tadi dengar kabar, kamu masuk rumah sakit. Sampai bela-belain datang menjenguk sepagi ini.”“Tak ada yang perlu dikhawatirkan, Tante. Ada saya di sini yang akan menjaga Silia,” Roby berkata sambil memandang tajam ke arah Vatra.Kedua pemuda itu saling menatap bagai dua ayam jago yang akan berlaga.Hanisa yang sebenarnya menyadari kalau keadaan menjadi tak nyaman, hanya bisa saling berpandangan dengan Silia.“Eh, tapi bagaimana bisa kalian kecelakaan? Apa kalian ditabrak?” Hanisa berusaha mencairkan suasana dengan mengalihkan pembicaraan.“Kami yang menabrak, Tante. Ada orang yang tiba-tiba saja keluar dari dalam gang. Roby tak sempat menghindar,” jawab Silia.“Pasti terlalu mengebut bawa motor. Seharusnya kalau membawa istri yang sedang hamil, t
Silia membiarkan Roby yang masih menangis di pelukannya. Untung saja mereka berada di ruangan VIP, jadi tak ada pasien selain mereka. Roby seolah menumpahkan semua air matanya. Tanpa ada rasa malu. Bagi pemuda itu, Silia adalah satu-satunya orang yang bisa menjaga rahasia. “Maaf. Seharusnya aku tak begini. Kau sedang sakit, tapi aku malah membebani pikiranmu dengan bertingkah seperti ini.” Roby melepas pelukan dan menghapus air matanya. “Tidak apa-apa, Roby. Aku tak mempermasalahkannya. Kemarin di saat aku sedih, kau yang menghiburku.” Silia tersenyum. “Apa aku terlihat menyedihkan?” tanya Roby. “Tidak sama sekali. Kau justru tampak lebih membaik setelah menangis,” puji Silia. Mereka berdua sama-sama terdiam. “Jadi, apa satu hal yang mau kau minta padaku?” Silia menatap Roby yang duduk di samping ranjang. Roby diam sejenak sebelum akhirnya menjawab meski terlihat sangat ragu. “Aku ingin tahu, apakah kau bisa membantuku? Kau tahu sendiri, kalau harga diriku telah diinjak-injak
“Mama, maafkan Roby...” Hanya itu kata yang bisa terucap dari mulut Roby saat Amira datang dengan wajah panik bersama Arman. “Apa yang terjadi Roby? Bagaimana bisa kalian kecelakaan? Apa kau tidak apa-apa?” Amira memindai tubuh Roby dari atas hingga ke bawah, khawatir menantunya itu terluka. “Roby baik-baik saja Ma. Cuma tergores sedikit. Tapi Silia...” Roby tak berani melanjutkan kalimat, matanya melirik ke arah Arman yang tampak menatapnya dengan bola mata yang menyala bagai api. “Bagaimana kau ini, malam-malam membawa Silia berkeliaran! Tidak hati-hati pula!” Arman mengomel, kesal karena anak perempuan semata wayangnya mengalami musibah. “Maaf Pa. Memang salah Roby.” Roby hanya bisa menunduk karena merasa bersalah. “Bagaimana keadaan Silia? Apa dia parah? Kandungannya tidak apa-apa?” tanya Amira, berusaha untuk tetap tenang meski hatinya luar biasa kalut. “Silia dan kandungannya tidak apa-apa. Dokter di dalam sedang melakukan pemeriksaan ulang,”
“Kenapa kau memandangku seperti itu?” tanya Silia, merasa Vatra hanya menatapnya tanpa bicara sepatah kata pun. Ia baru berani bertanya saat baru saja Hanisa beranjak pergi untuk menanyakan pesanan mereka yang belum diantarkan pelayan.“Memangnya aku memandang seperti apa?” Vatra balik bertanya.“Entahlah, tatapanmu lain. Tak seperti biasanya. Sejak tadi juga kau hanya diam. Padahal setiap kali bertemu denganku, kau selalu bertanya ini itu. Kau seperti orang yang berbeda, Vatra.”Vatra tersenyum, namun terlihat hambar. “Aku tak pernah berubah, Silia. Apalagi denganmu. Sejak dulu sampai sekarang, aku selalu sama buatmu. Hanya saja, kalau memang kau merasa aku berbeda, aku rasa bukan karena aku yang berubah, tapi kau.”“Aku tak mengerti apa maksudmu,” ujar Silia sambil menggeleng kecil.“Sudahlah, tak perlu dibahas lagi.” Suara Vatra terdengar lemah.Lagi-lagi, keheningan menyergap mereka berdua.“Vatra, ada yang mau aku katakan soal kalung yang kemarin kau titipkan pada Mama.” S
Dua pasangan muda itu kini saling bertatapan. Roby berpandangan dengan Yesika, sementara Silia melihat Vatra dengan dada berdebar yang sulit untuk diartikan.“Kalian memang sangat serasi. Makan malam berdua dengan pasangan sangat menyenangkan ‘kan?” Yesika mencibir.Satu kalimat ia tujukan untuk tiga orang sekaligus, dengan arti dan maksud berbeda.Yesika menyindir Roby yang kepergok membawa Silia makan malam bersama. Bagaimanapun, ada rasa cemburu dalam hatinya saat melihat sang kekasih bersama wanita lain.Kalimat itu juga seakan menunjukkan bahwa Roby yang bagi Yesika adalah laki-laki miskin, serasi dengan Silia yang culun dan berpenampilan seadanya.Adapun bagi Vatra, Yesika sengaja berkata demikian agar hati pemuda itu semakin patah dan menyadari bahwa wanita yang ia cintai telah menjadi milik orang lain.“Kau sendiri, apa yang kau lakukan di sini bersama Vatra? Apa kalian juga pasangan yang sedang makan malam?” Silia balik menyindir dengan nada yang kentara sekali kalau ia
“Ini memang kalung yang kau berikan pada Silia. Tapi aku tidak mengambilnya.”Jawaban Yesika membuat kening Vatra berkerut heran.“Lantas, bagaimana bisa ada denganmu?” tanyanya.“Silia memberikannya padaku. Dia bilang, kalung ini tak boleh berada di tangannya. Dia sudah punya suami, tak pantas menerima hadiah dari laki-laki lain dalam bentuk apa pun dan dengan alasan apa pun. Roby bisa marah kalau sampai tahu. Dan dia tak mungkin akan berbohong selamanya. Karena itu, dia memberikan kalung ini padaku.”Vatra menurunkan pandangan, seakan masih sangsi akan pengakuan Yesika. Haruskah ia percaya? “Kalau memang dia tak bisa menerimanya, kenapa tak dikembalikan saja padaku?” Vatra bertanya dengan lesu.“Tentu saja karena dia tak enak hati. Dia tak mau terlihat menolak apalagi membuang barang pemberianmu. Karena itu dia memberikan ini padaku. Lagi pula, memangnya kau berharap kalung ini dikembalikan kalau Silia tak menginginkannya? Apa kau merasa sayang karena harganya sangat mahal? K