“Bukan mukamu. Tapi lingkar mata kamu menghitam. Apa kamu semalam nggak bisa tidur?” Silia mengucek mata, berharap bisa menghilangkan mata panda-nya. Meski ia tahu pasti, kalau tak mungkin bisa hilang semudah itu. “Iya, entah jam berapa aku baru bisa tidur.” “Kenapa? Aku kan udah menuruti kemauan kamu dengan tidur sekamar. Masa’ masih takut ada hantu.” “Aku takut kecoa itu datang lagi. Atau ada ular dan binatang yang lain.” “Tapi nggak ada kan? Kamu terlalu banyak pikiran.” “Enak aja ngomong kayak gitu. Kamu sih, nggak tahu gimana rasanya kalau lagi takut. Biarpun ada kamu di kamar, tapi kan kamu tidur di atas, sedangkan aku di bawah.” “Kan kamu sendiri yang mau. Bukan aku yang minta.” “Ya tapi sebagai laki-laki harusnya kamu paham dong, kalau sebaiknya mengalah sama perempuan. Apalagi aku sedang hamil. Ini mentang-mentang aku bilang begitu, kamu juga ngelakuin hal yang sama, nggak pake pertimbangan lagi.” “Jadi sebenarnya kamu itu sebagai perempuan, mau omongannya diturutin a
“Giliran kita masih lama, Ma?” Silia gelisah karena terlalu lama berada di ruang tunggu. Ia agak risih karena beberapa pasien ibu hamil memandangnya. Ya, mungkin saja itu adalah hal biasa, mengingat tak banyak yang bisa dilakukan selama mengantri menunggu nama mereka dipanggil. Namun tetap saja, Silia tak terbiasa dengan hal seperti itu. Ia tak suka dilihat dan diperhatikan oleh orang asing. “Sebentar lagi Sayang. Tunggu aja.” Jawab Amira setengah berbisik. “Nggak mungkin sebentar lagi Ma, antriannya rame kayak gini.” Silia terlihat bimbang. “Udah diem aja. Kita pake jalur VVIP. Jadi paling sebentar lagi udah dipanggil. Kita nanti beda ruangannya. Tunggu ya, sebentar lagi.” Bujuk Amira. Silia hanya mengangguk dan tak lagi mengajukan pertanyaan. Ia kini justru tampak berpikir tentang suatu hal janggal sebelum pergi ke sini. Ia melihat saat Yesika di rumahnya tadi, perilaku Roby seolah mengisyaratkan kalau cowok itu sedang berusaha mendekati Yesika. Anehnya, Yesika tampak menghind
“Pak?? Ngapain ke sini? Bapak tahu tempat ini dari mana?”Lelaki berumur di depan Roby itu terlihat cengengesan. Senyumnya yang dipaksakan terlihat sangat menyebalkan di mata Roby.“Bapak dengar dari Yesi katanya kamu pindah ke kontrakan, nggak nge-kost lagi di tempat yang lama.” Ujar Dandi.“Iya, tapi kenapa Bapak datang ke sini?” Roby berkata dengan setengah berbisik sambil melangkah keluar dan menutup pintu. Ia tak mau Silia tahu tentang kedatangan Dandi.“Ya Bapak Cuma mau jenguk kamu aja, Roby. Kamu udah lama nggak main ke rumah. Apalagi sejak nikah sama temen Yesi. Maksud Bapak, biarpun kamu nggak jadi menantu, ya tetap aja kita harus--- ehm... silaturahmi.” Roby panik saat Dandi mengatakan itu. Kalau sampai Silia dengar, gadis itu bisa tahu kalau dia adalah pacar Yesika.Meski sebenarnya Roby tak peduli, tapi kalau sampai hal ini bocor karena ulah ayah Yesika itu, tetap saja dia yang akan disalahkan.“Pak, tolong --- jangan sembarangan datang ke sini. Kita bisa ketemu d
Wajah pucat yang dipenuhi keringat sebesar biji jagung itu terlihat menegang. Roby panik melihat Silia yang kelojotan sambil memegang dada.“Kamu kenapa? Hei--- dada kamu sakit?” Roby berusaha membantu Silia duduk. Namun gadis itu mengeraskan badan dan kembali berbaring.“Rasanya mau mati, Roby... Biarkan aku berbaring aja kayak gini. Jantungku sakit, dadaku rasanya sempit. Aku nggak bisa bernafas. Seperti ada yang terbakar di dalam sini...” Silia menunjuk dadanya sambil menggenggam tangan Roby dan meremasnya dengan kuat, menahan rasa sakit berdenyut yang teramat sangat.“Kamu sakit jantung? Sejak kapan kayak gini?” Roby mengelap kening basah Silia. Sungguh ia sangat tak tega melihat gadis itu mengerang kesakitan. Untungnya hari ini dia pulang kerja lebih awal. Kalau tidak, entah apa yang akan terjadi pada Silia.Silia menggeleng. “Asam lambung. Kayaknya asam lambungku naik. Roby--- tolong aku, kenapa sakit sekali...” Silia melenguh dan nafasnya terengah-engah.“Tunggu di sini se
Silia turun dari motor begitu Roby mematikan mesin kendaraannya tersebut. Sejenak ia melihat plang nama di depannya, ‘warung sate Pak Mus’. Ini adalah tempat ketiga yang mereka datangi. Sebelumnya mereka sudah ke tempat orang yang berjualan rujak dan bubur ayam. Namun tak ada satu pun bisa dijadikan menu yang ingin disantap wanita hamil itu. “Mau nggak kalau yang ini?” tanya Roby lagi. Ia berharap Silia berliur setelah mencium bau asap daging ayam yang dibakar. Namun lagi-lagi Silia menggeleng, membuat Roby mendesah kecewa. “Pergi sekarang yuk. Aku mual cium bau sate.” Silia menutup hidung dan mulutnya. Mau tak mau Roby kembali menghidupkan mesin motornya. “Jadi mau makan apa nih? Kamu udah tiga hari nggak makan dengan benar. Takut berbahaya buat kandunganmu.” Suara Roby nyaris menghilang tertiup angin. Meski ia tak terlalu laju memacu kendaraannya, tetap saja suaranya nyaris tak terdengar. “Aku makan apa yang ada di rumah aja deh. Dipaksakan juga nggak apa.” Sahut Silia pelan
Vatra membuka pintu mobil dan dengan gayanya yang tengil, ia mempersilahkan Silia turun.Gadis itu hanya bisa tertawa mendesis.“Jadi kamu sama suami kamu tinggal di sini?” Vatra melayangkan pandangannya ke sekeliling.“Iya.” Sahut Silia pendek.“Berani juga kamu,” puji Vatra. “Kalau aku tinggal di sini, mungkin nggak berani ke kamar kecil kalau malam.” Lanjutnya setengah bercanda.Silia tertawa. “Makasih ya, udah mau nganterin aku. Mau masuk dulu?”“Emang boleh?” Vatra terlihat senang.Silia mengangguk sambil tersenyum.“Suami kamu nggak marah, kalau ada laki-laki yang datang ke sini waktu dia nggak ada?”Tangan Silia sempat berhenti memutar kunci rumah saat Vatra bertanya lagi.“Nggak bakal marah dia. Karena kita nggak ngapa-ngapain.” Ujar Silia datar.Bukankah benar? Tak mungkin Roby akan marah, mengingat mereka bukanlah suami istri sungguhan. Hanya dua orang yang terjebak dalam sebuah pernikahan berbayar.***Silia memeluk lututnya karena ketakutan. Sudah hampir jam s
“Aku telfon Mama ya, biar ke sini buat nemenin kamu. Atau kamu mau kuantar ke sana aja? Nanti kalau pulang kerja aku jemput.”Roby terlihat bimbang melihat keadaan Silia yang semakin hari semakin melemah. Gadis itu kini bahkan nyaris Cuma bisa berbaring sambil memegang kantong plastik.Selain muntah-muntah, kini Silia juga suka mengeluarkan air liur tanpa disadari. Mungkin karena bawaan mual berlebih, ia jadi sering meludah dan tak bisa menghentikan air liurnya yang terus keluar.“Apa boleh, Roby?” Terlihat binar di mata Silia.“Kenapa nggak boleh? Kalau kamu mau menginap selama beberapa hari di sana juga nggak apa-apa. Nanti kalau udah merasa agak baikan, kamu boleh telfon aku, biar kujemput.”“Iya, aku ingin menginap aja di sana selama beberapa hari ke depan. Makasih ya Roby.”Roby mengangguk. “Mau kubantu mengemasi pakaian untuk nginap di sana?” tanyanya kemudian.“Nggak usah. Pakaianku masih banyak di rumah Mama.”“Ya udah, kalau gitu aku antar dulu kau ke rumah Mama, baru
“Pak Dandi bilang, katanya anak yang kamu kandung itu belum tentu anaknya Roby. Dia bilang kenal sama Roby udah lama, dan Roby tuh udah punya pacar. Nggak mungkin kalau dia menghamili perempuan lain.” Silia geram mendengar cerita ibunya. Bagaimana bisa ayah Yesika begitu kurang ajar? “Jangan percaya Ma. Itu orang sok tahu. Kalau memang ini bukan anaknya Roby, ngapain juga dia mau tanggung jawab.” Ujar Silia jengkel. “Ya makanya itu, Mama nggak mungkin percaya. Omongan orang stres kayak gitu nggak ada yang bener. Dia bilang Roby itu matre. Tapi nggak kok kalau kata Mama. Jangankan minta uang, dikasih aja tadi dia sempat nolak.” “Dia bilang Roby punya pacar. Dia ada ngomong nggak siapa pacarnya Roby?” tanya Silia. “Nggak ada sih. Mama juga nggak kepikiran buat nanya. Ya udahlah, nggak usah diambil hati omongan ngaco kayak gitu. Buat sakit kepala aja. Lagian Mama juga nggak menanggapi.” Silia hendak menjawab lagi, namun terdengar pintu kamarnya diketuk. “Kenapa Mbok?” tanya Amira
Silia tak menjawab. Tapi tubuhnya tak menolak saat Roby menunduk dan mencium bibirnya lagi. Lebih dalam. Lebih hangat. Kedua tangannya membelai wajah Silia, kemudian menelusup ke belakang leher, menariknya lebih dekat.Dan kali ini, tanpa keraguan. Roby melumat bibir itu dalam keheningan yang mendesis. Nafas Silia tercekat, tapi tubuhnya ikut tenggelam, menuruti setiap tarikan, setiap tekanan lembut yang Roby beri.Silia hampir kehilangan napas, tapi tidak ingin melepaskan. Ia tak tahu, ciuman bisa terasa selembut ini... seintim ini. Roby mencium dengan kesabaran, menciptakan jeda di antara desahan mereka untuk menyisipkan napas dan rasa.Ciuman itu berkembang—dari malu-malu jadi lebih dalam, lebih panas. Roby memandu, seolah menari, seolah ingin menunjukkan bahwa ini bukan sekadar rasa penasaran.Tak ada yang tergesa. Tak ada yang dipaksa.Tangan Roby bergerak ke pinggang Silia, menarik tubuhnya lebih dekat. Mereka nyaris tak bisa bernafas, tapi tak satu pun ingin berhenti.Ciuman it
Minggu siang itu, rumah Amira tampak ramai. Suasana arisan dipenuhi gelak tawa ibu-ibu sosialita yang saling bertukar kabar, sambil mencicipi camilan yang tersaji rapi di meja panjang. Tapi hari itu, perhatian mereka tak bisa lepas dari satu sosok yang duduk anggun di sisi kanan ruang tamu.Silia.Wajahnya berseri, makeup-nya halus tanpa cela, dan rambutnya ditata sanggul simpel dengan sedikit hiasan pearl clip di sisi kanan. Bahkan gaun polos yang dikenakannya tampak elegan berkat aura percaya diri yang ia pancarkan.Amira tersenyum penuh kebanggaan. “Anakku cantik, ya?”Salah satu teman arisan, Nyonya Kamil, mendekat sambil membungkuk sedikit, mengamati wajah Silia dengan takjub.“Amira… siapa yang dandanin Silia? Beneran deh, flawless banget. Nggak menor, tapi elegan. Look ini tuh susah banget dicapai, lho.”Amira melirik ke arah dapur, lalu tersenyum. “Yang dandanin? Roby.”“Roby?” alis Nyonya Kamil terangkat. “Suaminya?”“Iya, suaminya. Dia tuh ternyata jago makeup, bisa ngebentu
Amira mendekat, matanya membesar. "Ya ampun, kamu cantik banget, Sayang. Astaga... ini make up tipis atau kamu habis perawatan mahal?"Silia nyengir kecil. "Make up-nya Roby, Ma. Baju juga dia yang belikan."Amira menatap Roby. "Kamu beneran dandanin Silia? Belajar dari mana?"Roby tertawa pendek. "Nggak belajar dari mana-mana, Ma. Cuma ngikutin feeling dan ngeliat sekilas di sosial media.""Wah, ternyata kamu punya bakat alam yang nggak semua orang bisa," puji Amira penuh rasa takjub.Arman tampak mengangguk pelan, lalu berdiri dan menepuk bahu menantunya. "Kalau gini terus, bukan cuma Silia yang makin cantik, kamu juga makin dapat respek dari Papa, Roby."Roby hanya mengangguk. Senang sekali, karena pada akhirnya sikap Arman mulai melunak padanya."Tapi kalian mau ke mana sekarang?" tanya Amira."Kami pamit, Pa. Ma. Hari ini kami pulang ke kontrakan. Nanti sore Roby udah harus masuk kerja lagi."Meski agak kecewa, tapi Amira dan Arman terpaksa melepaskan kepulangan anak dan menantu
Roby tertawa pelan. "Karena aku sudah capek diam. Capek menahan semuanya seolah-olah aku baik-baik saja. Kau tahu, Silia? Aku tahu sejak awal ini semua cuma kesepakatan. Tapi kau juga tahu... tidak ada satu pun dari kita yang benar-benar sanggup bersikap netral soal perasaan."Silia tak langsung membalas. Matanya mulai menyesuaikan diri dengan gelap. Ia bisa melihat bayangan Roby yang menunduk, punggungnya sedikit membungkuk seolah menanggung beban yang tak pernah sempat dibagi."Aku nggak pernah ingin bikin semua ini rumit," katanya pelan. "Aku cuma... kadang kehilangan arah. Dulu aku pikir aku sudah selesai dengan Vatra, tapi nyatanya aku belum benar-benar sembuh. Dan kamu... kamu terlalu diam. Terlalu datar. Sampai aku bingung harus bagaimana menghadapi kamu."Roby mendongak, menatapnya dalam gelap. "Lalu sekarang? Kau masih ingin kita terus berpura-pura?"Silia menarik napas dalam. Ia ingin menjawab, tapi kata-katanya terhenti di tenggorokan."Aku nggak tahu, Roby," jawabnya akhir
Vatra masih menatap Silia dengan intens."Katakan, Silia. Apa aku salah? Apa kau benar-benar mencintai pria itu? Kau tak bahagia dengannya, bukan?"Silia menahan napas."Aku bisa melihatnya, Silia. Matamu tidak pernah berbohong padaku."Silia mencoba mengatur napasnya. Ia ingin membantah, tapi... kata-katanya tak keluar.Dari kejauhan, Roby melihat semua. Tangannya mengepal, rahangnya mengeras. Detik itu, sesuatu berderak dalam hati Roby. Ini bukan sekadar dansa biasa. Ini adalah pertarungan. Dan saat Vatra menyentuh pipi Silia dengan lembut, Roby melangkah cepat.Dengan satu tarikan, Roby menarik Silia menjauh dari Vatra."Aku sudah memperingatkanmu," katanya datar, tapi tajam, dengan telunjuk mengarah tepat ke wajah Vatra.Vatra tersenyum."Tentu. Tapi aku tidak melihat Silia menolakku tadi."Kata-kata itu seperti tamparan keras. Roby menatap Silia. Wanita itu menunduk, tak sanggup berkata apa-apa.Roby menarik tangan Silia dengan kasar, membuat wanita itu nyaris terhuyung. “Kita p
Pesta malam itu berlangsung meriah, tetapi Roby tak bisa menikmati apapun. Dentuman musik, gelak tawa para tamu, bahkan senyuman Silia—semuanya terasa hambar karena satu hal: Vatra.Vatra duduk tak jauh dari mereka, mengenakan jas biru tua yang membuatnya terlihat lebih dewasa dari terakhir kali Roby melihat wajah pria itu. Tatapannya tak pernah lepas dari Silia. Bahkan saat orang-orang menyapanya, Vatra hanya tersenyum sekilas, lalu kembali mengamati Silia dengan pandangan yang terlalu intens.Roby menggenggam jemari Silia yang berada di dekatnya. Lebih erat dari biasa. Silia sempat menoleh, mengangkat alis seolah bertanya, tapi Roby hanya tersenyum kaku. Ia tidak akan mengatakan apapun—tidak sekarang.Ketika Roby beranjak sejenak untuk berbicara dengan salah satu kolega Silia, Vatra melihat kesempatan. Ia berdiri dan berjalan menghampiri Silia dengan langkah santai."Masih seperti dulu," ucap Vatra, berdiri di hadapan Silia. Suaranya dalam dan tenang, nyaris menghipnotis.Silia
“Ke mana anak itu?! Bikin jengkel saja!” Arman mengintai jalanan di depan rumah Derick sambil berkacak pinggang.Hatinya kesal bukan main, karena Silia dan Roby yang akan ia pertemukan dengan sahabatnya justru kabur dan menghilang entah ke mana.“Seharusnya tadi tak kubiarkan mereka berjalan belakangan. Awas saja, anak-anak itu. Buat malu orang tua saja.” Arman masih belum puas bersungut-sungut.“Pa, sudahlah. Mungkin mereka hanya tersesat,” ujar Amira, berusaha menenangkan suaminya. Namun, meskipun suaranya lembut, ia sendiri tak bisa menyembunyikan kekhawatiran.Di dalam rumah, para tamu sudah mulai menikmati pesta yang diselenggarakan Derick dan istrinya. Beberapa orang tua tengah berbincang hangat, sementara anak-anak muda sibuk di sudut ruangan, berdansa diiringi musik lembut yang diputar oleh seorang DJ profesional.Di antara mereka, Yesika berdiri dengan angkuh, mengenakan gaun yang ketat membentuk tubuhnya. Ia yang sekarang merasa sedang dikelilingi oleh orang-orang kaya,
“Buat apa Roby? Bukankah ini terlalu banyak?” Silia heran melihat keranjang belanja Roby yang nyaris penuh dengan alat make-up. Sebagai perempuan pun, Silia bahkan tak tahu kalau alat tempur wanita bisa sebanyak itu.“Untuk mendandanimu. Kau harus terlihat berbeda malam ini,” ujar Roby sambil memasukkan beberapa jenis peralatan dandan ke dalam keranjangnya.“Aku kan sudah didandani Mama. Dan kau bisa lihat sendiri tadi, Yesika justru mengolok-olokku,” ucap Silia, tiba-tiba merasa kesal.“Maaf, tapi menurutku dandanan itu memang tak cocok untukmu. Mungkin akan terlihat cantik buat wanita yang sudah berumur seperti Mama. Tapi untuk kamu, tak bisa diaplikasikan seperti itu.” Roby singgah di tempat barisan lipstik.“Mbak, lipstik yang ini ada testernya?” tanya Roby pada seorang Beauty Advisor yang berjaga sambil menunjuk salah satu merk lipstik terlaris dan terkenal dengan kualitasnya yang bagus.“Ada Pak. Silakan dicoba dulu.”Roby mengambil beberapa warna untuk uji coba kecocokan. Ia m
“Teman lamaku Derick, yang lama tinggal di Amerika baru pulang ke Indonesia beberapa hari lalu. Besok malam dia akan mengadakan pesta kecil-kecilan di rumahnya. Saat tahu kalau Silia sudah menikah, dia sangat terkejut dan memintaku untuk mengajak kalian besok malam. Bisa kan?”Silia dan Roby berpandangan. Dua-duanya, sama merasa ragu untuk mengiyakan.“Kalau tak mau juga tidak apa-apa. Sejak dulu kan memang aku paling susah membawa keluarga setiap kali ada acara besar dengan teman-teman bisnisku,” Arman terlihat kesal sendiri. Ia sebenarnya sangat berharap ajakannya disambut baik, namun tentu saja ia merasa gengsi untuk memaksa.“Kalian ikut ya. Kasihan Papa kalau pergi sendiri atau hanya berdua dengan Mama. Jadi seperti tak punya anak,” Amira membujuk, takut sang suami mengambek.“Tapi Ma, kenapa acaranya mendadak sekali? Kami tak sempat menyiapkan pakaian yang tepat.” Silia beralasan. Padahal sebagai pribadi yang introvert, ia tak begitu menyukai acara-acara ya