Yesika dan Silia saling membuang pandangan ke arah yang berlawanan. Silia menghadap ke jendela kaca mobil di sampingnya, begitu pula dengan Yesika. Tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut mereka.“Tolong berhenti di sini Pak.” Silia tiba-tiba saja meminta Munawar untuk menepikan kendaraan.“Kita belum sampai Sil, kok malah berhenti?” Yesika protes.“Aku mau ngomong sesuatu sama kamu Yesi. Sebentar aja. Lagi pula kampus kita udah dekat. Dari sini aja udah keliatan kan?”Silia membuka pintu mobil dan turun. Dengan sedikit ngedumel Yesika ikut keluar.“Tunggu sebentar ya Pak. Nggak lama kok.” Silia tersenyum pada sopirnya.“Iya Mbak Sil. Saya parkir dulu.” Sahut Munawar.“Mau ngomong apa sih? Pake rahasia segala.” Sungut Yesika.Silia tak menjawab. Dengan pandangan mendelik sebal, ia berbalik badan menuju sebuah warung es di depan mereka.Yesika berdecak namun tetap mengikuti langkah Silia.Setelah memesan minuman, Silia tampak mulai memasang wajah serius.“Apa sih?!”
“Mbak Yesi bilang, kalau Mbak Sil mau pergi kencan. Kita disuruh pulang duluan karena Mbak Sil nanti diantar pulang sama pacarnya.”“Jadi itu yang dibilang Yesi?”“Iya Mbak Sil. Kalau nggak, mana mungkin saya berani ninggalin Mbak Sil sendiri. Apalagi waktu itu Mbak Yesi marah-marah sambil ngancam. Katanya saya bakalan dipecat kalau nggak mau dengar apa kata dia.”“Yesi ngancam kayak gitu?” mata Silia menyipit.“Iya Mbak Sil. Kalau ngancam kayak gitu sih bukan sekali itu aja. Sering pokoknya.” Munawar curhat.Silia geleng-geleng kepala. Tak menyangka kalau Yesika begitu sangat menyebalkan.“Apa selama ini Yesi juga sering memerintah Pak Mun seenaknya dan pakai bahasa yang kasar?” “Ya--- gitulah Mbak Sil. Bukannya saya ini mau mengadu antara Mbak Sil sama temennya. Tapi maaf ya, Mbak Yesi itu lama-lama suka ngelunjak. Bahkan sama orang tua kayak saya gini, Mbak Yesi itu nggak ada hormatnya.” Jelas Munawar.Silia menghela dan membuang nafas dengan kasar. “Pak Mun, mulai sekar
Silia sedikit merasa risih. Kini Roby dan Vatra terlihat seperti sedang saling tatap. Entah apa artinya tatapan kedua cowok itu, hanya Tuhan dan mereka saja yang tahu.“Tante kira kamu ke sini sama Mama kamu.” Amira menyuguhkan teh manis hangat yang baru saja diantarkan Mbok Ida.“Sebenarnya Mama emang mau ke sini, Tante. Tapi mungkin besok atau lusa. Tunggu ada kesempatan. Cuma saya ingin cepat jenguk Silia, soalnya Mama bilang dia lagi sakit. Jadi saya ke sini Cuma mau memberi support buat Silia.” Jawab Vatra.“Ah, bukan sakit sih. Cuma mual-mual sedikit. Biasalah, namanya juga lagi hamil muda.” Amira mengibas kecil tangannya.“Iya, jadi kamu nggak perlu terlalu khawatir. Karena kalau Cuma mengalami mual di trimester pertama kehamilan itu, ada suaminya aja udah cukup. Nggak perlu support atau semangat dari laki-laki lain.” Kali ini, Roby yang bicara.Silia dan Amira bahkan sampai tersentak mendengar kalimat Roby yang begitu dingin. Terutama Silia. Ia bahkan tak menyangka kala
“Kamu jual motor kamu? Atau kamu gadaikan?” Amira menatap lekat wajah tampan Roby. “Nggak kok Ma. Motor Roby Cuma lagi di bengkel.” “Silia bilang motor kamu udah nggak ada, dari sejak kamu antar dia pulang ke sini. Memang apanya yang rusak sampai berhari-hari di bengkel?” Roby menggaruk pelan pelipisnya. Ia bingung hendak menjawab apa. “Apa kamu lagi nggak punya uang, buat bayar biaya bengkel, makanya kamu sengaja biarkan motor kamu masih di sana? Bilang aja, biar Mama bantu. Berapa biaya betulin motor kamu?” “Nggak usah Ma. Beneran. Besok atau lusa, paling udah Roby ambil kok, motornya.” Amira membuang nafas. “Beneran? Bukan karena digadai atau nggak ada uang buat bayar bengkel kan?” tanyanya memastikan. Roby menggeleng sambil tersenyum. “Iya Ma. Makasih karena udah peduli sama Roby.” “Ya kan kamu anak Mama juga.” Amira menepuk pundak Roby. “Eh iya, ini untuk kamu ya. Kali aja Silia nanti kepengen makan ini itu, pakai ini aja. Uang kamu disimpan, ditabung.” Amira memberikan b
“Kamu udah mulai mendingan?” Roby yang baru saja masuk ke rumah menyapa Silia yang tampak duduk termenung di sofa ruang tamu.Kalau gadis itu sudah bisa duduk tanpa terlihat lemah, itu berarti keadaannya lebih baik.Namun Silia tak menjawab. Ia hanya melirik sekilas pada Roby yang tampak menenteng plastik berisi barang belanjaan.Roby tak ambil pusing meski pertanyaannya diabaikan. Ia lebih memilih untuk langsung ke dapur, menyimpan stok makanan yang ia beli dari pasar.Saat kembali ke depan dan melewati ruang tamu, Silia masih diam tanpa mengucapkan sepatah kata pun.“Mau bantu aku masak? Kamu bilang mau belajar.” “Duduk dulu sebentar, Roby. Ada yang mau aku bicarakan.” Silia menatap tajam Roby. Merasa ada sesuatu yang janggal, Roby memilih untuk menuruti kemauan gadis itu.“Kenapa? Ada masalah?” Roby mengambil posisi duduk yang berseberangan. Silia menghela dan membuang nafas sejenak. Tampak ia ingin mengatakan sesuatu, tapi bingung menyusun kata.“Kalau memang ada yang
“Lupakan saja Roby. Itu bukanlah hal yang penting buatmu.” Silia menolak untuk menjelaskan. Bagaimanapun, ia tak mau Roby tahu kalau hal yang sangat ia takutkan adalah, apabila Vatra sampai mendengar tentang apa yang telah terjadi padanya. Roby hanya bisa membuang nafas. Sebenarnya ada rasa bersalah dalam hati karena telah membuat hati Silia bersedih. “Apa aku boleh tidur? Aku tak bisa membantumu masak hari ini. Biar aku beli di luar untuk makan nanti. Kau buat saja makanan untuk kau makan sendiri.” Didengar dari nada suara Silia yang bergetar, Roby tahu kalau gadis itu sedang menahan tangis. Pemuda itu hanya bisa menelan saliva. “Istirahatlah. Aku akan masak, dan kau tak perlu beli makanan di luar. Makanlah dari apa yang sudah disediakan. Aku masak untuk kita makan berdua.” Silia tak menjawab. Hatinya sangat sedih dan kacau. Ia hanya mengangguk kecil dan langsung beranjak dari tempat duduknya. “Hei--- maafkan aku.” Roby berkata saat Silia hampir masuk ke dalam kamar. “Kalau k
“Vatra... Tunggu sebentar...” Yesika berlari kecil mengejar Vatra yang hampir masuk ke dalam mobilnya. “Kamu....?” Vatra berusaha mengingat siapa gadis yang kini berdiri terengah-engah di hadapannya. “Kamu masih ingat aku?” Vatra mengangguk. “Kamu temannya Silia kan?” Tanyanya kemudian. “Iya. Kita berkenalan di acara pernikahannya. Masih ingat namaku?” Wajah Yesika yang tadinya full senyum mendadak datar saat melihat Vatra menggeleng. Tak disangka, Vatra bahkan tak mengingat namanya sama sekali. Itu artinya, pertemuan pertama mereka kemarin tidak mengesankan pemuda tampan itu. “Aku Yesika, teman Silia dari SMA.” Yesika mengulurkan tangan, memperkenalkan dirinya kembali. Mau tak mau, Vatra menyambutnya. “Kalau begitu, aku pergi dulu.” Vatra pamit sambil menundukkan kepalanya sekali. “Eh, kamu ke arah mana? Boleh aku menumpang?” pertanyaan Yesika membuat Vatra kembali urung masuk ke dalam mobilnya. “Memangnya kamu mau ke mana?” Vatra
“Mau kuantar ke mana?” Vatra membuyarkan lamunan Silia. “Terserah kamu saja. Aku sedang tak tahu mau ke mana.” Silia masih menatap keluar kaca mobil dengan pandangan kosong.“Kau sudah makan?”“Aku tak berselera makan.”“Kalau mau, kita pergi ke restoran kenalanku yang baru buka.”“Tidak usah. Aku tak mau mengganggu selera makan orang-orang saat mendengar aku muntah.”Vatra bisa melihat kesedihan dari raut wajah Silia. Sebagai orang yang pengertian, ia memilih untuk tak bertanya apa-apa lagi. Vatra sengaja membiarkan Silia hanyut dalam pikirannya sendiri.“Kamu mau lihat pantai atau ke taman kota?” Vatra menawarkan salah satu dari dua tempat favorit Silia.Wanita yang sedang hamil muda itu hanya memandanginya dengan tatapan seolah meminta pendapat. “Atau mau main ke rumahku?” Vatra menggoda Silia.“Ketiga tempat itu juga boleh.” Silia akhirnya tersenyum. Ia tahu kalau Vatra hanya sedang berusaha untuk menghiburnya.“Benarkah?” Vatra senang melihat Silia mengiyakan. “Jadi,
“Buat apa Roby? Bukankah ini terlalu banyak?” Silia heran melihat keranjang belanja Roby yang nyaris penuh dengan alat make-up. Sebagai perempuan pun, Silia bahkan tak tahu kalau alat tempur wanita bisa sebanyak itu.“Untuk mendandanimu. Kau harus terlihat berbeda malam ini,” ujar Roby sambil memasukkan beberapa jenis peralatan dandan ke dalam keranjangnya.“Aku kan sudah didandani Mama. Dan kau bisa lihat sendiri tadi, Yesika justru mengolok-olokku,” ucap Silia, tiba-tiba merasa kesal.“Maaf, tapi menurutku dandanan itu memang tak cocok untukmu. Mungkin akan terlihat cantik buat wanita yang sudah berumur seperti Mama. Tapi untuk kamu, tak bisa diaplikasikan seperti itu.” Roby singgah di tempat barisan lipstik.“Mbak, lipstik yang ini ada testernya?” tanya Roby pada seorang Beauty Advisor yang berjaga sambil menunjuk salah satu merk lipstik terlaris dan terkenal dengan kualitasnya yang bagus.“Ada Pak. Silakan dicoba dulu.”Roby mengambil beberapa warna untuk uji coba kecocokan. Ia m
“Teman lamaku Derick, yang lama tinggal di Amerika baru pulang ke Indonesia beberapa hari lalu. Besok malam dia akan mengadakan pesta kecil-kecilan di rumahnya. Saat tahu kalau Silia sudah menikah, dia sangat terkejut dan memintaku untuk mengajak kalian besok malam. Bisa kan?”Silia dan Roby berpandangan. Dua-duanya, sama merasa ragu untuk mengiyakan.“Kalau tak mau juga tidak apa-apa. Sejak dulu kan memang aku paling susah membawa keluarga setiap kali ada acara besar dengan teman-teman bisnisku,” Arman terlihat kesal sendiri. Ia sebenarnya sangat berharap ajakannya disambut baik, namun tentu saja ia merasa gengsi untuk memaksa.“Kalian ikut ya. Kasihan Papa kalau pergi sendiri atau hanya berdua dengan Mama. Jadi seperti tak punya anak,” Amira membujuk, takut sang suami mengambek.“Tapi Ma, kenapa acaranya mendadak sekali? Kami tak sempat menyiapkan pakaian yang tepat.” Silia beralasan. Padahal sebagai pribadi yang introvert, ia tak begitu menyukai acara-acara ya
“Sayang, kalian datang?”Amira menyambut kedatangan Silia dan Roby dengan antusias.“Iya Ma, kebetulan Roby hari ini dan besok dapat off kerja. Jadi mungkin kami akan menginap satu malam di sini,” Silia berkata sambil melepaskan pelukan ibunya.“Benarkah? Mama senang sekali. Kalau bisa jangan satu malam saja, tapi dua malam. Mumpung libur,” ujar Amira.“Lihat nanti saja Ma. Kalau memang tak ada hal mendadak, kami akan menginap dua malam,” sahut Roby.“Nah, begitu memang seharusnya.” Amira senang bukan kepalang. “Eh, tapi kenapa kalian tidak menelepon dulu kalau mau ke sini? Biar Pak Mun yang jemput pakai mobil. Mama masih trauma kalau ingat Silia naik motor. Apalagi kamu kan baru empat hari yang lalu keluar dari rumah sakit,” Amira berkata sambil membetulkan poni samping Silia yang menutupi mata. Rambut ekor kudanya pun tak luput ia benahi juga.“Nggak apa-apa Ma. Roby bilang tak mau merepotkan Pak Mun. Lagi pula, Roby bawa motor pelan-pelan.” Silia berusaha agar ibunya tak
“Silia tidak apa-apa, Tante. Hanya sedikit lecet dan sempat kram perut. Tapi tak ada masalah berarti karena Dokter bergerak cepat menangani,” ujar Silia pada Hanisa.“Syukurlah kalau begitu. Tante benar-benar terkejut dan khawatir waktu tadi dengar kabar, kamu masuk rumah sakit. Sampai bela-belain datang menjenguk sepagi ini.”“Tak ada yang perlu dikhawatirkan, Tante. Ada saya di sini yang akan menjaga Silia,” Roby berkata sambil memandang tajam ke arah Vatra.Kedua pemuda itu saling menatap bagai dua ayam jago yang akan berlaga.Hanisa yang sebenarnya menyadari kalau keadaan menjadi tak nyaman, hanya bisa saling berpandangan dengan Silia.“Eh, tapi bagaimana bisa kalian kecelakaan? Apa kalian ditabrak?” Hanisa berusaha mencairkan suasana dengan mengalihkan pembicaraan.“Kami yang menabrak, Tante. Ada orang yang tiba-tiba saja keluar dari dalam gang. Roby tak sempat menghindar,” jawab Silia.“Pasti terlalu mengebut bawa motor. Seharusnya kalau membawa istri yang sedang hamil, t
Silia membiarkan Roby yang masih menangis di pelukannya. Untung saja mereka berada di ruangan VIP, jadi tak ada pasien selain mereka. Roby seolah menumpahkan semua air matanya. Tanpa ada rasa malu. Bagi pemuda itu, Silia adalah satu-satunya orang yang bisa menjaga rahasia. “Maaf. Seharusnya aku tak begini. Kau sedang sakit, tapi aku malah membebani pikiranmu dengan bertingkah seperti ini.” Roby melepas pelukan dan menghapus air matanya. “Tidak apa-apa, Roby. Aku tak mempermasalahkannya. Kemarin di saat aku sedih, kau yang menghiburku.” Silia tersenyum. “Apa aku terlihat menyedihkan?” tanya Roby. “Tidak sama sekali. Kau justru tampak lebih membaik setelah menangis,” puji Silia. Mereka berdua sama-sama terdiam. “Jadi, apa satu hal yang mau kau minta padaku?” Silia menatap Roby yang duduk di samping ranjang. Roby diam sejenak sebelum akhirnya menjawab meski terlihat sangat ragu. “Aku ingin tahu, apakah kau bisa membantuku? Kau tahu sendiri, kalau harga diriku telah diinjak-injak
“Mama, maafkan Roby...” Hanya itu kata yang bisa terucap dari mulut Roby saat Amira datang dengan wajah panik bersama Arman. “Apa yang terjadi Roby? Bagaimana bisa kalian kecelakaan? Apa kau tidak apa-apa?” Amira memindai tubuh Roby dari atas hingga ke bawah, khawatir menantunya itu terluka. “Roby baik-baik saja Ma. Cuma tergores sedikit. Tapi Silia...” Roby tak berani melanjutkan kalimat, matanya melirik ke arah Arman yang tampak menatapnya dengan bola mata yang menyala bagai api. “Bagaimana kau ini, malam-malam membawa Silia berkeliaran! Tidak hati-hati pula!” Arman mengomel, kesal karena anak perempuan semata wayangnya mengalami musibah. “Maaf Pa. Memang salah Roby.” Roby hanya bisa menunduk karena merasa bersalah. “Bagaimana keadaan Silia? Apa dia parah? Kandungannya tidak apa-apa?” tanya Amira, berusaha untuk tetap tenang meski hatinya luar biasa kalut. “Silia dan kandungannya tidak apa-apa. Dokter di dalam sedang melakukan pemeriksaan ulang,”
“Kenapa kau memandangku seperti itu?” tanya Silia, merasa Vatra hanya menatapnya tanpa bicara sepatah kata pun. Ia baru berani bertanya saat baru saja Hanisa beranjak pergi untuk menanyakan pesanan mereka yang belum diantarkan pelayan.“Memangnya aku memandang seperti apa?” Vatra balik bertanya.“Entahlah, tatapanmu lain. Tak seperti biasanya. Sejak tadi juga kau hanya diam. Padahal setiap kali bertemu denganku, kau selalu bertanya ini itu. Kau seperti orang yang berbeda, Vatra.”Vatra tersenyum, namun terlihat hambar. “Aku tak pernah berubah, Silia. Apalagi denganmu. Sejak dulu sampai sekarang, aku selalu sama buatmu. Hanya saja, kalau memang kau merasa aku berbeda, aku rasa bukan karena aku yang berubah, tapi kau.”“Aku tak mengerti apa maksudmu,” ujar Silia sambil menggeleng kecil.“Sudahlah, tak perlu dibahas lagi.” Suara Vatra terdengar lemah.Lagi-lagi, keheningan menyergap mereka berdua.“Vatra, ada yang mau aku katakan soal kalung yang kemarin kau titipkan pada Mama.” S
Dua pasangan muda itu kini saling bertatapan. Roby berpandangan dengan Yesika, sementara Silia melihat Vatra dengan dada berdebar yang sulit untuk diartikan.“Kalian memang sangat serasi. Makan malam berdua dengan pasangan sangat menyenangkan ‘kan?” Yesika mencibir.Satu kalimat ia tujukan untuk tiga orang sekaligus, dengan arti dan maksud berbeda.Yesika menyindir Roby yang kepergok membawa Silia makan malam bersama. Bagaimanapun, ada rasa cemburu dalam hatinya saat melihat sang kekasih bersama wanita lain.Kalimat itu juga seakan menunjukkan bahwa Roby yang bagi Yesika adalah laki-laki miskin, serasi dengan Silia yang culun dan berpenampilan seadanya.Adapun bagi Vatra, Yesika sengaja berkata demikian agar hati pemuda itu semakin patah dan menyadari bahwa wanita yang ia cintai telah menjadi milik orang lain.“Kau sendiri, apa yang kau lakukan di sini bersama Vatra? Apa kalian juga pasangan yang sedang makan malam?” Silia balik menyindir dengan nada yang kentara sekali kalau ia
“Ini memang kalung yang kau berikan pada Silia. Tapi aku tidak mengambilnya.”Jawaban Yesika membuat kening Vatra berkerut heran.“Lantas, bagaimana bisa ada denganmu?” tanyanya.“Silia memberikannya padaku. Dia bilang, kalung ini tak boleh berada di tangannya. Dia sudah punya suami, tak pantas menerima hadiah dari laki-laki lain dalam bentuk apa pun dan dengan alasan apa pun. Roby bisa marah kalau sampai tahu. Dan dia tak mungkin akan berbohong selamanya. Karena itu, dia memberikan kalung ini padaku.”Vatra menurunkan pandangan, seakan masih sangsi akan pengakuan Yesika. Haruskah ia percaya? “Kalau memang dia tak bisa menerimanya, kenapa tak dikembalikan saja padaku?” Vatra bertanya dengan lesu.“Tentu saja karena dia tak enak hati. Dia tak mau terlihat menolak apalagi membuang barang pemberianmu. Karena itu dia memberikan ini padaku. Lagi pula, memangnya kau berharap kalung ini dikembalikan kalau Silia tak menginginkannya? Apa kau merasa sayang karena harganya sangat mahal? K