Vatra masih menatap Silia dengan intens."Katakan, Silia. Apa aku salah? Apa kau benar-benar mencintai pria itu? Kau tak bahagia dengannya, bukan?"Silia menahan napas."Aku bisa melihatnya, Silia. Matamu tidak pernah berbohong padaku."Silia mencoba mengatur napasnya. Ia ingin membantah, tapi... kata-katanya tak keluar.Dari kejauhan, Roby melihat semua. Tangannya mengepal, rahangnya mengeras. Detik itu, sesuatu berderak dalam hati Roby. Ini bukan sekadar dansa biasa. Ini adalah pertarungan. Dan saat Vatra menyentuh pipi Silia dengan lembut, Roby melangkah cepat.Dengan satu tarikan, Roby menarik Silia menjauh dari Vatra."Aku sudah memperingatkanmu," katanya datar, tapi tajam, dengan telunjuk mengarah tepat ke wajah Vatra.Vatra tersenyum."Tentu. Tapi aku tidak melihat Silia menolakku tadi."Kata-kata itu seperti tamparan keras. Roby menatap Silia. Wanita itu menunduk, tak sanggup berkata apa-apa.Roby menarik tangan Silia dengan kasar, membuat wanita itu nyaris terhuyung. “Kita p
Roby tertawa pelan. "Karena aku sudah capek diam. Capek menahan semuanya seolah-olah aku baik-baik saja. Kau tahu, Silia? Aku tahu sejak awal ini semua cuma kesepakatan. Tapi kau juga tahu... tidak ada satu pun dari kita yang benar-benar sanggup bersikap netral soal perasaan."Silia tak langsung membalas. Matanya mulai menyesuaikan diri dengan gelap. Ia bisa melihat bayangan Roby yang menunduk, punggungnya sedikit membungkuk seolah menanggung beban yang tak pernah sempat dibagi."Aku nggak pernah ingin bikin semua ini rumit," katanya pelan. "Aku cuma... kadang kehilangan arah. Dulu aku pikir aku sudah selesai dengan Vatra, tapi nyatanya aku belum benar-benar sembuh. Dan kamu... kamu terlalu diam. Terlalu datar. Sampai aku bingung harus bagaimana menghadapi kamu."Roby mendongak, menatapnya dalam gelap. "Lalu sekarang? Kau masih ingin kita terus berpura-pura?"Silia menarik napas dalam. Ia ingin menjawab, tapi kata-katanya terhenti di tenggorokan."Aku nggak tahu, Roby," jawabnya akhir
Amira mendekat, matanya membesar. "Ya ampun, kamu cantik banget, Sayang. Astaga... ini make up tipis atau kamu habis perawatan mahal?"Silia nyengir kecil. "Make up-nya Roby, Ma. Baju juga dia yang belikan."Amira menatap Roby. "Kamu beneran dandanin Silia? Belajar dari mana?"Roby tertawa pendek. "Nggak belajar dari mana-mana, Ma. Cuma ngikutin feeling dan ngeliat sekilas di sosial media.""Wah, ternyata kamu punya bakat alam yang nggak semua orang bisa," puji Amira penuh rasa takjub.Arman tampak mengangguk pelan, lalu berdiri dan menepuk bahu menantunya. "Kalau gini terus, bukan cuma Silia yang makin cantik, kamu juga makin dapat respek dari Papa, Roby."Roby hanya mengangguk. Senang sekali, karena pada akhirnya sikap Arman mulai melunak padanya."Tapi kalian mau ke mana sekarang?" tanya Amira."Kami pamit, Pa. Ma. Hari ini kami pulang ke kontrakan. Nanti sore Roby udah harus masuk kerja lagi."Meski agak kecewa, tapi Amira dan Arman terpaksa melepaskan kepulangan anak dan menantu
Minggu siang itu, rumah Amira tampak ramai. Suasana arisan dipenuhi gelak tawa ibu-ibu sosialita yang saling bertukar kabar, sambil mencicipi camilan yang tersaji rapi di meja panjang. Tapi hari itu, perhatian mereka tak bisa lepas dari satu sosok yang duduk anggun di sisi kanan ruang tamu.Silia.Wajahnya berseri, makeup-nya halus tanpa cela, dan rambutnya ditata sanggul simpel dengan sedikit hiasan pearl clip di sisi kanan. Bahkan gaun polos yang dikenakannya tampak elegan berkat aura percaya diri yang ia pancarkan.Amira tersenyum penuh kebanggaan. “Anakku cantik, ya?”Salah satu teman arisan, Nyonya Kamil, mendekat sambil membungkuk sedikit, mengamati wajah Silia dengan takjub.“Amira… siapa yang dandanin Silia? Beneran deh, flawless banget. Nggak menor, tapi elegan. Look ini tuh susah banget dicapai, lho.”Amira melirik ke arah dapur, lalu tersenyum. “Yang dandanin? Roby.”“Roby?” alis Nyonya Kamil terangkat. “Suaminya?”“Iya, suaminya. Dia tuh ternyata jago makeup, bisa ngebentu
Silia tak menjawab. Tapi tubuhnya tak menolak saat Roby menunduk dan mencium bibirnya lagi. Lebih dalam. Lebih hangat. Kedua tangannya membelai wajah Silia, kemudian menelusup ke belakang leher, menariknya lebih dekat.Dan kali ini, tanpa keraguan. Roby melumat bibir itu dalam keheningan yang mendesis. Nafas Silia tercekat, tapi tubuhnya ikut tenggelam, menuruti setiap tarikan, setiap tekanan lembut yang Roby beri.Silia hampir kehilangan napas, tapi tidak ingin melepaskan. Ia tak tahu, ciuman bisa terasa selembut ini... seintim ini. Roby mencium dengan kesabaran, menciptakan jeda di antara desahan mereka untuk menyisipkan napas dan rasa.Ciuman itu berkembang—dari malu-malu jadi lebih dalam, lebih panas. Roby memandu, seolah menari, seolah ingin menunjukkan bahwa ini bukan sekadar rasa penasaran.Tak ada yang tergesa. Tak ada yang dipaksa.Tangan Roby bergerak ke pinggang Silia, menarik tubuhnya lebih dekat. Mereka nyaris tak bisa bernafas, tapi tak satu pun ingin berhenti.Ciuman it
Silia menatap ke bawah, menggeleng lirih. “Dulu kupikir... itu yang terbaik. Aku merasa itu satu-satunya cara untuk menebus aibku. Aku sudah bersumpah tak akan menikah lagi seumur hidup. Aku hanya ingin jadi ibu... yang cukup bagi anakku.”Ia mengangkat wajahnya perlahan, matanya mulai berkaca.“Tapi sekarang… setelah semalam… setelah kau memperlakukanku seperti aku layak dicintai…” suaranya pecah, “aku mulai takut. Takut... berharap.”Roby bergeser, meraih tangannya lagi. Tapi Silia menarik diri. Bukan karena marah. Tapi karena takut.“Aku nggak yakin kau akan bahagia bersamaku, Roby,” ucapnya lirih. “Aku... bukan perempuan yang utuh. Aku bukan gadis yang bersih. Aku—”“Berhenti.” Suara Roby memotongnya, lembut namun tegas.Ia bangkit dan berdiri di hadapannya, kemudian berlutut satu kaki. Ia mendongak, menatap Silia dengan penuh keteguhan. “Kau korban, bukan pelaku. Kau perempuan paling kuat yang pernah kukenal. Dan semalam... adalah malam paling hangat yang pernah aku alami. Aku t
Dengan tergesa, Roby mulai meraih pakaian dari kursi, sementara Silia juga ikut panik, berusaha bangkit dan berpakaian semampunya meski perutnya makin besar.“Kamu harus pergi dulu. Sekarang,” ujar Roby cepat. “Kita ke rumahmu. Aku antar.”“Tapi kita belum sarapan. Kamu belum...” Silia menunduk, wajahnya merah padam.Roby menatapnya sejenak, lalu mendekat, mencium kening Silia dengan dalam.“Nanti. Malam ini. Atau besok. Yang jelas... ini belum selesai, oke?”Silia tak bisa menahan senyum walau gugup. Ia mengangguk pelan, lalu menyambar jaket tipisnya. Roby masih mendesis pelan karena harus menahan hasratnya sendiri, tapi waktu tak memberi pilihan.Dalam waktu sepuluh menit, mereka sudah di atas motor, menembus kabut pagi yang masih menggantung tipis. Silia memeluk Roby dari belakang, tak tahu kenapa, hatinya mendadak berat saat mereka berhenti di depan gerbang rumah mewah milik orangtuanya.“Jangan lupa bilang kamu lagi jomblo parah,” kata Silia, mencoba bercanda meski suaranya sedik
Rumah itu akhirnya sepi lagi. Suara sandal emak-emak yang berisik seperti ledakan kecil setiap langkahnya sudah tak terdengar. Nasiha telah kembali ke kampung dengan koper, tas jinjing, dan keranjang yang kini berisi oleh-oleh dari anak tercinta: detergen cair, daster baru, dan entah kenapa—satu pouch lipstik.Roby mengunci pintu, lalu membalikkan badan sambil berseru lirih, “Merdeka…”Seketika itu juga, ia melompat ke ranjang, di mana Silia yang baru saja ia jemput menunggu dengan senyum malu-malu. Mereka beneran kayak pengantin baru yang lagi ketagihan malam pertama.Mereka tidak banyak bicara. Hanya ada tatapan, tarikan napas, dan tubuh yang saling menemukan dalam keheningan malam. Roby mencium keningnya pelan, lalu turun ke pipi, lalu ke leher. Silia mengerang pelan, “Tunggu dulu... aku mandi dulu ya. Aku pengap.”Roby tertawa pelan. “Kamar mandi Cuma satu. Kalau kamu kelamaan, aku nyusul.”“Terserah. Asal jangan rekam-rekam. Aku belum pakai lipstick waterproof.”“Bisa dihapus. T
“Ibu jangan suka ngomong asal-asalan. Mama nggak suka orang yang kayak gitu,” kata Roby cepat, mencoba menutupi rasa malu.“Ah masa? Nggak kok,” kata Amira sambil mengusap sudut matanya. “Mama malah suka sama Bu Besan yang apa adanya kayak gini.”Roby menatap mama mertuanya, tak percaya.“Justru Mama senang. Sikap dan omongan Bu Besan benar-benar apa adanya, nggak dibuat-buat... asli banget.”Dan seperti ada tombol yang dipencet, suasana langsung mencair. Nasiha mulai tertawa, begitu pula Amira. Mereka mulai bicara santai, dari masalah kehamilan, resep jamu pelancar lahiran, sampai kebiasaan Roby kecil yang suka ngupil.Di sudut sofa, Roby dan Silia hanya bisa duduk diam, seperti dua remaja yang menyaksikan emak-emaknya bonding di atas level mereka.“Aduh, saya baru tahu, ternyata besan saya lucu banget,” kata Amira sambil mengambil sepotong kue lagi.“Saya juga baru tahu, ternyata ibu mertua anak saya ini kayak permaisuri. Cantik, pinter, kaya... aduh, kalah saya,” timpal Nasiha samb
Silia keluar dari kamar dengan langkah pelan. Kaos oversize Roby yang ia kenakan nyaris mencapai lutut, tapi tetap tak mampu menutupi bagian depan tubuhnya yang menonjol jelas.Nasiha yang sedang duduk di sofa dengan posisi tangan menyilang langsung berdiri.“Bentar…! Berhenti di situ!”Silia refleks berhenti, tubuhnya menegang.Nasiha berjalan cepat, berhenti di depan Silia. Matanya menyipit, lalu tanpa izin langsung meletakkan telapak tangannya ke perut Silia yang bulat itu.“Ini… ini hamil?!”Roby melongok dari pintu kamar. “Lho, kok ibu bisa langsung tahu?”Nasiha melotot ke arah putranya. “Ya jelas taulah! Perutnya gede kayak gitu! Apalagi namanya kalau bukan hamil?!”“Cacingan,” jawab Roby polos.“CACINGAN PALALU!” teriak Nasiha sambil langsung menyambar sandal dan melempar ke arah Roby.Roby nyaris kena di jidat kalau saja dia tidak cepat menunduk.“Ibu sabar dulu, sabar,” katanya sambil mengangkat tangan setengah pasrah. “Silia ini bukan cewek sembarangan, Bu. Dia… dia suka ba
Rumah itu akhirnya sepi lagi. Suara sandal emak-emak yang berisik seperti ledakan kecil setiap langkahnya sudah tak terdengar. Nasiha telah kembali ke kampung dengan koper, tas jinjing, dan keranjang yang kini berisi oleh-oleh dari anak tercinta: detergen cair, daster baru, dan entah kenapa—satu pouch lipstik.Roby mengunci pintu, lalu membalikkan badan sambil berseru lirih, “Merdeka…”Seketika itu juga, ia melompat ke ranjang, di mana Silia yang baru saja ia jemput menunggu dengan senyum malu-malu. Mereka beneran kayak pengantin baru yang lagi ketagihan malam pertama.Mereka tidak banyak bicara. Hanya ada tatapan, tarikan napas, dan tubuh yang saling menemukan dalam keheningan malam. Roby mencium keningnya pelan, lalu turun ke pipi, lalu ke leher. Silia mengerang pelan, “Tunggu dulu... aku mandi dulu ya. Aku pengap.”Roby tertawa pelan. “Kamar mandi Cuma satu. Kalau kamu kelamaan, aku nyusul.”“Terserah. Asal jangan rekam-rekam. Aku belum pakai lipstick waterproof.”“Bisa dihapus. T
Dengan tergesa, Roby mulai meraih pakaian dari kursi, sementara Silia juga ikut panik, berusaha bangkit dan berpakaian semampunya meski perutnya makin besar.“Kamu harus pergi dulu. Sekarang,” ujar Roby cepat. “Kita ke rumahmu. Aku antar.”“Tapi kita belum sarapan. Kamu belum...” Silia menunduk, wajahnya merah padam.Roby menatapnya sejenak, lalu mendekat, mencium kening Silia dengan dalam.“Nanti. Malam ini. Atau besok. Yang jelas... ini belum selesai, oke?”Silia tak bisa menahan senyum walau gugup. Ia mengangguk pelan, lalu menyambar jaket tipisnya. Roby masih mendesis pelan karena harus menahan hasratnya sendiri, tapi waktu tak memberi pilihan.Dalam waktu sepuluh menit, mereka sudah di atas motor, menembus kabut pagi yang masih menggantung tipis. Silia memeluk Roby dari belakang, tak tahu kenapa, hatinya mendadak berat saat mereka berhenti di depan gerbang rumah mewah milik orangtuanya.“Jangan lupa bilang kamu lagi jomblo parah,” kata Silia, mencoba bercanda meski suaranya sedik
Silia menatap ke bawah, menggeleng lirih. “Dulu kupikir... itu yang terbaik. Aku merasa itu satu-satunya cara untuk menebus aibku. Aku sudah bersumpah tak akan menikah lagi seumur hidup. Aku hanya ingin jadi ibu... yang cukup bagi anakku.”Ia mengangkat wajahnya perlahan, matanya mulai berkaca.“Tapi sekarang… setelah semalam… setelah kau memperlakukanku seperti aku layak dicintai…” suaranya pecah, “aku mulai takut. Takut... berharap.”Roby bergeser, meraih tangannya lagi. Tapi Silia menarik diri. Bukan karena marah. Tapi karena takut.“Aku nggak yakin kau akan bahagia bersamaku, Roby,” ucapnya lirih. “Aku... bukan perempuan yang utuh. Aku bukan gadis yang bersih. Aku—”“Berhenti.” Suara Roby memotongnya, lembut namun tegas.Ia bangkit dan berdiri di hadapannya, kemudian berlutut satu kaki. Ia mendongak, menatap Silia dengan penuh keteguhan. “Kau korban, bukan pelaku. Kau perempuan paling kuat yang pernah kukenal. Dan semalam... adalah malam paling hangat yang pernah aku alami. Aku t
Silia tak menjawab. Tapi tubuhnya tak menolak saat Roby menunduk dan mencium bibirnya lagi. Lebih dalam. Lebih hangat. Kedua tangannya membelai wajah Silia, kemudian menelusup ke belakang leher, menariknya lebih dekat.Dan kali ini, tanpa keraguan. Roby melumat bibir itu dalam keheningan yang mendesis. Nafas Silia tercekat, tapi tubuhnya ikut tenggelam, menuruti setiap tarikan, setiap tekanan lembut yang Roby beri.Silia hampir kehilangan napas, tapi tidak ingin melepaskan. Ia tak tahu, ciuman bisa terasa selembut ini... seintim ini. Roby mencium dengan kesabaran, menciptakan jeda di antara desahan mereka untuk menyisipkan napas dan rasa.Ciuman itu berkembang—dari malu-malu jadi lebih dalam, lebih panas. Roby memandu, seolah menari, seolah ingin menunjukkan bahwa ini bukan sekadar rasa penasaran.Tak ada yang tergesa. Tak ada yang dipaksa.Tangan Roby bergerak ke pinggang Silia, menarik tubuhnya lebih dekat. Mereka nyaris tak bisa bernafas, tapi tak satu pun ingin berhenti.Ciuman it
Minggu siang itu, rumah Amira tampak ramai. Suasana arisan dipenuhi gelak tawa ibu-ibu sosialita yang saling bertukar kabar, sambil mencicipi camilan yang tersaji rapi di meja panjang. Tapi hari itu, perhatian mereka tak bisa lepas dari satu sosok yang duduk anggun di sisi kanan ruang tamu.Silia.Wajahnya berseri, makeup-nya halus tanpa cela, dan rambutnya ditata sanggul simpel dengan sedikit hiasan pearl clip di sisi kanan. Bahkan gaun polos yang dikenakannya tampak elegan berkat aura percaya diri yang ia pancarkan.Amira tersenyum penuh kebanggaan. “Anakku cantik, ya?”Salah satu teman arisan, Nyonya Kamil, mendekat sambil membungkuk sedikit, mengamati wajah Silia dengan takjub.“Amira… siapa yang dandanin Silia? Beneran deh, flawless banget. Nggak menor, tapi elegan. Look ini tuh susah banget dicapai, lho.”Amira melirik ke arah dapur, lalu tersenyum. “Yang dandanin? Roby.”“Roby?” alis Nyonya Kamil terangkat. “Suaminya?”“Iya, suaminya. Dia tuh ternyata jago makeup, bisa ngebentu
Amira mendekat, matanya membesar. "Ya ampun, kamu cantik banget, Sayang. Astaga... ini make up tipis atau kamu habis perawatan mahal?"Silia nyengir kecil. "Make up-nya Roby, Ma. Baju juga dia yang belikan."Amira menatap Roby. "Kamu beneran dandanin Silia? Belajar dari mana?"Roby tertawa pendek. "Nggak belajar dari mana-mana, Ma. Cuma ngikutin feeling dan ngeliat sekilas di sosial media.""Wah, ternyata kamu punya bakat alam yang nggak semua orang bisa," puji Amira penuh rasa takjub.Arman tampak mengangguk pelan, lalu berdiri dan menepuk bahu menantunya. "Kalau gini terus, bukan cuma Silia yang makin cantik, kamu juga makin dapat respek dari Papa, Roby."Roby hanya mengangguk. Senang sekali, karena pada akhirnya sikap Arman mulai melunak padanya."Tapi kalian mau ke mana sekarang?" tanya Amira."Kami pamit, Pa. Ma. Hari ini kami pulang ke kontrakan. Nanti sore Roby udah harus masuk kerja lagi."Meski agak kecewa, tapi Amira dan Arman terpaksa melepaskan kepulangan anak dan menantu
Roby tertawa pelan. "Karena aku sudah capek diam. Capek menahan semuanya seolah-olah aku baik-baik saja. Kau tahu, Silia? Aku tahu sejak awal ini semua cuma kesepakatan. Tapi kau juga tahu... tidak ada satu pun dari kita yang benar-benar sanggup bersikap netral soal perasaan."Silia tak langsung membalas. Matanya mulai menyesuaikan diri dengan gelap. Ia bisa melihat bayangan Roby yang menunduk, punggungnya sedikit membungkuk seolah menanggung beban yang tak pernah sempat dibagi."Aku nggak pernah ingin bikin semua ini rumit," katanya pelan. "Aku cuma... kadang kehilangan arah. Dulu aku pikir aku sudah selesai dengan Vatra, tapi nyatanya aku belum benar-benar sembuh. Dan kamu... kamu terlalu diam. Terlalu datar. Sampai aku bingung harus bagaimana menghadapi kamu."Roby mendongak, menatapnya dalam gelap. "Lalu sekarang? Kau masih ingin kita terus berpura-pura?"Silia menarik napas dalam. Ia ingin menjawab, tapi kata-katanya terhenti di tenggorokan."Aku nggak tahu, Roby," jawabnya akhir