Suasana terlihat begitu mewah dan romantis. Dekorasi pelaminan ala hotel bintang 5 yang lengkap dengan bunga-bunga indah membuat siapa pun yang memandang akan merasa takjub.
Para tamu yang hadir merasa kalau Silia adalah gadis yang beruntung, karena bisa mendapatkan pernikahan yang diimpikan banyak gadis di luar sana.Mereka yang datang pun begitu terpesona melihat ketampanan Roby. Meski terdengar desas-desus yang tak mengenakkan, mengingat pernikahan Silia yang begitu mendadak. Pasti menimbulkan berbagai spekulasi di kalangan para undangan yang notabene adalah orang-orang terdekat keluarga Silia.Setelah Roby dengan lancar mengucapkan ijab kabul, disambut teriakan ‘sah’ dari para tamu, Silia tampak di bawa masuk ke dalam ruangan dengan berjalan pelan, diapit oleh dua orang wanita kerabatnya.Silia menjadi pusat perhatian. Gadis itu terlihat cantik, berbanding terbalik dengan penampilannya sehari-hari.“Gimana Roby, cantik kan istrimu?” Nina, yang masih sepupu jauh Silia menggoda Roby.Roby tersenyum. Saat tadi Silia datang mendekat sampai mencium tangannya, mata Roby tak lepas menatap kecantikan Silia. Tapi bagi Roby ada sesuatu yang mengganjal pikirannya.“Iya cantik,” kata Roby membuat pipi Silia memerah. “Tapi... Lipstiknya terlalu merah,” sambungnya.“Ya penganten emang harus gitu, harus menor. Biar manglingi...” jawab bibi Silia yang tadi menggandeng Silia.Roby hanya bisa mengangguk. Tatapannya beradu pandang dengan Silia. Untuk sesaat terlihat mereka tampak saling mengagumi. Namun di detik lain, mereka sama-sama membuang muka.Roby tampak mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan, ia mencari Yesika. Dan akhirnya ia dapat melihat Yesika yang sedang duduk bersama beberapa tamu.Yesika terlihat sangat cantik dengan gaun agak terbuka berwarna pink. Walaupun bukan dari kalangan orang berada, Yesika begitu sangat memperhatikan penampilannya dan pandai memadu-padankan antara pakaian, make up dan perhiasannya yang dipakai.Roby menatap takjub Yesika dari jauh. Meski Silia di sampingnya juga cantik, tapi tetap saja bagi Roby, Yesika adalah gadis yang saat ini dicintainya. Dan dia rela melakukan semua ini demi Yesika.“Selamat ya Silia, semoga pernikahan kamu bahagia. Semoga langgeng sampai kakek nenek. Cepat dapat momongan.”“Eh, iya Tante. Makasih.” Silia tampak terkejut dan terlihat masygul. Tangannya tampak gemetar saat menyalami sepasang suami istri yang saat ini ada di depannya.“Om Cipto sama Tante Hanisa diundang juga?” tanya Silia. Terdengar nada suara yang terlihat keberatan dengan kedatangan kedua orang itu.“Iyalah. Kami kan teman Papamu. Beliau pasti ngundang. Biarpun nggak jadi besanan, iya kan Arman?!” Cipto menggoda Arman yang berdiri tak jauh di samping Silia. Terlihat Arman yang hanya mengangguk sambil tersenyum tawar.Mata Silia mulai memerah. Roby mulai merasa aneh dan jadi penasaran siapa dua orang yang ada di depannya ini.“Gimana kabar Vatra Tante?”“Baik kok. Demi kamu dia bahkan izin kuliah dan pulang. Katanya mau datang ke acara pernikahan kamu dan memberikan selamat secara langsung,” kata Hanisa.Bibir Silia mengatup rapat. Tenggorokannya mendadak terasa kering. Susah payah ia mengumpulkan kekuatannya untuk bicara.“Vatra, pulang? Ada di sini?”“Iya. Tadi diajak berangkat bareng nggak mau. Katanya mau cari kado dulu. Nanti juga ke sini kok.”“Ngomongin aku ya?” terdengar suara seseorang yang membuat mereka semua kompak menoleh, termasuk Roby.Silia bagai membeku. Sosok tampan yang kini sedang berjalan mendekat membuatnya hampir tak bisa menguasai diri. Di hadapannya kini adalah seorang lelaki yang sudah lama ia cintai, cinta pertamanya, Vatra.Dengan senyum yang terkesan dipaksa, Vatra menyalami kedua orang tua Silia, Roby, dan terakhir baru menyalami Silia. Dapat Vatra rasakan betapa dinginnya tangan gadis itu saat ia menjabat tangannya.“Selamat Silia, semoga bahagia.” Hanya itu yang terucap dari mulut Vatra. Bagaimanapun sungguh sangat sulit baginya melihat gadis yang ia cintai bersanding dengan pria lain.Saat kemarin ia mendapat kabar dari ibunya kalau Silia akan segera menikah, Vatra sempat berdiam diri di kamarnya seharian dan bolos kuliah. Setelah pergulatan batin yang panjang, Vatra memutuskan untuk kembali ke Indonesia.Ia ingin datang langsung ke acara pernikahan gadis yang sudah lama bertahta di hatinya, namun belum sempat ia utarakan secara langsung perasaannya itu pada Silia.Selama ini mereka dekat tanpa status hubungan yang jelas, karena Vatra terlalu pemalu untuk mengungkapkan perasaannya. Baginya yang penting mereka saling memahami perasaan masing-masing sudah cukup.Tapi nyatanya, kini Silia telah bersama orang lain. Vatra pikir, mungkin karena selama ini ia tak pernah memberi kepastian untuk Silia.“Ini untukmu,” Vatra menyerahkan sebuah kado kecil berwarna pink ke tangan Silia. “Aku nggak punya maksud apa-apa. Ini hanya sesuatu yang ingin kuberikan untukmu sejak dulu,” katanya lagi.Silia hanya bisa menerima barang pemberian Vatra tanpa berkata sepatah kata pun. Sejak tadi ia sudah bersusah payah menahan tangisnya. Jangan sampai ia mengeluarkan kalimat yang bisa membuat pertahanannya runtuh. Tak mungkin ia menangis karena Vatra di depan semua orang.Tak banyak yang mereka bicarakan. Vatra langsung menuju ke meja prasmanan, mengambil hidangan dan berusaha berbaur dengan beberapa kenalan yang juga menjadi tamu undangan.“Hai, kamu yang namanya Vatra ya?” Yesika menyapa ramah Vatra yang sedang duduk, membuyarkan pandangan pemuda itu, yang sejak tadi memandangi Silia di pelaminan.“Iya,” Vatra pun berusaha ramah. “Kamu....?” tanyanya tak yakin, sebab ia memang tak mengenal Yesika.“Aku Yesika, teman kuliah Silia.”“Oh...” Vatra menjawab pendek.“Kamu yang kuliah di luar negeri itu kan? Aku pernah lihat foto kamu di HP Tante Amira. Katanya kamu pacar Silia?”“Bukan,” Vatra tersenyum. “ Kalau aku pacarnya, sekarang yang di samping Silia adalah aku,” jawab Vatra getir. “Aku Cuma orang yang pernah dekat dengan Silia,” tambahnya.“Oh gitu. Baguslah.” Gumam Yesika.“Bagus kenapa?” tanya Vatra, heran dengan kalimat Yesika barusan.“Oh, nggak. Karena kita sama-sama dekat dengan Silia, kamu bisa hubungi aku kapan aja kalau butuh teman selama di sini,” kata Yesika. Hatinya senang sekali. Dia merasa akan punya kesempatan untuk mendekati Vatra.Sudah sejak lama Yesika mengagumi Vatra. Selain kaya, Vatra juga tampan. Bahkan ketampanannya bisa disejajarkan dengan Roby. Hanya saja ketampanan Vatra ditunjang penampilannya yang menampakkan kalau dia anak orang kaya.Yesika memandangi Vatra dari atas hingga ke bawah. Visual Vatra benar-benar mengagumkan bagi Yesika. Dan Vatra adalah anak orang kaya, berbeda jauh dengan Roby. Yesika bertekad dalam hati. Ia akan mendapatkan Vatra bagaimanapun caranya.“Kami pulang dulu ya. Besok kalau udah mau check out, telfon aja. Biar Pak Mun yang jemput kalian ke sini.” Ujar Amira sambil memeluk Silia.Silia hanya mengangguk. Sebenarnya, ia tak ingin menginap di hotel tempat mereka mengadakan acara resepsi. Lebih nyaman kalau ia langsung pulang ke rumah.Tapi ibunya bilang, sayang sekali kalau free room yang diberikan pihak hotel tak dipakai. Apalagi mereka adalah pengantin baru, tentu lebih memerlukan privasi di malam pernikahan.Wajah Silia memerah malu saat tadi sang ibu berkata demikian. Spontan pandangannya terarah pada Roby yang memasang wajah dingin.“Jangan lupa makan. Kalian kayaknya belum sempat makan malam kan? Pesan room service aja. Restoran di hotel ini buka 24 jam.” Pesan Amira, lagi-lagi hanya disambut anggukan Silia.“Udah belum? Ayo pulang, ini udah malam.” Ujar Arman sambil menutup mulutnya yang sedang menguap.Amira kembali memeluk anak gadisnya dan berpamitan pulang. Kini, tinggallah Silia dan Roby. Berdua di dalam s
Suara ketukan di pintu kamar mandi membuat Silia terkejut, seolah membuyarkan semua lamunannya.“Hei, ngapain aja sih di dalam dari tadi? Kamu masih hidup kan?”Roby bertanya sambil terus mengetuk pintu. Terdengar sangat jelas rasa khawatir dalam kalimatnya.“Iya. Tunggu dulu sebentar.”Silia cepat meraih handuk yang tergantung. “Aku mau keluar sekarang. Kamu jangan ngeliat ya.” Ujar Silia, setelah membuka sedikit pintu kamar mandi.Roby tak menjawab. Ia hanya memandang Silia dengan tatapan yang sungguh sulit diartikan.“Hadap sana dong! Aku mau keluar!” sentak Silia.“Kamu malu? Aku udah jadi suami kamu.” Ujar Roby.Silia berdecak. “Kalau gitu, apa kita akan melakukan hubungan suami istri malam ini?” tantang Silia.Roby hanya membuang nafas. Tak disangka gadis itu justru berbalik mempermainkannya. Akhirnya ia memilih untuk mengalah dengan mengubah posisi menjadi membelakangi Silia.Silia keluar dengan kaki sedikit berjinjit. Meski tak menimbulkan suara, namun langkahnya m
Silia membuka mata dan menggeliat sebentar. Tangannya menggapai-gapai sesuatu yang semalam ia simpan di bawah bantal, yaitu ponselnya.Setelah dapat, ia menghidupkan benda pipih itu dan melihat jam di layar. Baru jam enam pagi. Perlahan ia duduk dengan mata yang masih sepat. Seketika ia celingukan. Pandangannya menyisir ke seluruh ruangan, dan kembali berakhir di sofa tempat ia meletakkan selimut dan bantal semalam.Kedua benda itu masih tersusun rapi layaknya belum disentuh sama sekali. Dan tentu saja, tak tampak keberadaan Roby di kamar ini.Alis Silia bertaut. “Ke mana dia? Masa’ nggak ada pulang sama sekali?” gumamnya.Silia menuruni ranjang dan berjalan ke arah sofa. Baru saja ia hendak memegang bantal dan selimut itu, terdengar pintu kamarnya terbuka dan Roby masuk.Sesaat mereka saling diam saat tatapan itu bertemu. “Kamu udah bangun?” tanya Roby sambil berjalan masuk menuju kamar mandi.“Kamu dari mana? Nggak pulang dari semalam?” Silia balik bertanya.“Itu urusanku
“Jangan ngaco kamu, Sil. Kalau dia pacar aku, nggak mungkin aku biarkan dia nikah sama kamu!” Sanggah Yesika.“Ya kalau gitu jawab dong pertanyaanku, dari mana kamu tahu kalau Roby keluar malam-malam dan ketemu sama pacarnya. Apa kamu kenal sama pacarnya Roby?”“Ya pokoknya aku tahu! Kamu nggak usah nanya-nanya lagi. Aku tuh pinter dan banyak koneksi. Jadi mudah aja bagi aku buat dapatkan informasi yang kayak gini.” Silia memandang Yesika dengan tatapan tak percaya. Ia tahu, kalau Yesika saat ini sedang berbohong. Namun ia sama sekali tak punya cara untuk membuktikannya.“Sebenarnya maksud kamu apa sih pagi-pagi udah datang ke sini Yesi? Kamu tahu nggak sih, kalau aku cukup merasa terganggu dengan adanya kamu di sini?” Kata Silia pelan, namun tajam.Yesika tertawa kecil. Kalau saja bukan karena mereka sekarang sedang berada di hotel, mungkin Yesika sudah memaki Silia dan mengungkit aibnya. Seperti yang pernah ia lakukan di hari pernikahan gadis itu.Namun Yesika masih berpikir,
Silia sudah terlelap sejak beberapa jam yang lalu, saat ia mendengar bunyi derit di pintu kamarnya.Sesaat, ia beranggapan kalau yang masuk adalah sang ibu. Namun tak lama ia langsung tersadar kalau itu adalah sosok seorang lelaki bertubuh tinggi tegap yang kini sedang berjalan mengendap-endap.Naluri waspadanya spontan membuat Silia bangun dengan sebuah jeritan kecil. Ia pikir, pencuri masuk ke dalam kamar dan akan melakukan perbuatan tak senonoh padanya.“Apaan sih, bikin kaget aja!” sungut Roby sambil menghidupkan lampu kamar.“Roby...?” Silia lega, karena yang berada di hadapannya kini ternyata adalah sang suami bayaran.“Iya, ini aku. Jangan sembarangan teriak dong! Nanti dikira aku mau ngapa-ngapain kamu!” Roby masih mengomel sambil melemparkan waist bag ke atas meja yang ada di sudut ruangan.“Habis aku pikir kamu maling atau orang jahat. Lagi pula ngapain sih kamu pake acara mengendap-endap segala? Hidupkan lampu dong kalau mau masuk kamar.” Kali ini, gantian Silia yang
“Iya, aku ingat.” Jawab Silia pelan.“Bagus. Sekarang aku hanya mau mempertegas lagi ya soal ini. Kita--- akan tetap keluar dari sini. Aku nggak mau tinggal di rumahmu. Aku minta kamu yang akan menolak kemauan kedua orang tua kamu kalau mereka memaksa kita untuk tetap di sini. Karena kalau aku yang bersikeras, kesannya aku adalah menantu kurang ajar. Aku akan menolak, tapi kuharap kamu yang nanti akan berkeras untuk hidup bersamaku. Kalau ternyata kamu nggak bisa membuat kita keluar dari rumah ini, maaf--- aku akan mundur dan mengajukan pembatalan pernikahan. Semua uang kamu akan kukembalikan. Kalau orang tuamu marah, terpaksa aku akan menceritakan semuanya. Aku akan berterus terang pada mereka, kalau aku hanya dibayar untuk menikahimu.”Silia spontan menggeleng. “Jangan! Aku mohon jangan lakukan itu. Baiklah, aku akan meyakinkan Mama agar mereka melepaskan kita untuk hidup di kontrakan yang sudah kamu siapkan.”Roby mengangguk. “Oke, kupegang kata-katamu. Besok aku kerja shift sor
Silia memandang ke arah Roby, berharap cowok itu membantunya bicara. Namun nyatanya, Roby justru balik melihat Silia dengan tatapan seolah-olah mendesak agar ia menyelesaikan sendiri masalah ini.“Ma, izinkan Silia ikut Roby ya. Karena sekarang udah jadi istrinya, jadi memang udah seharusnya seorang istri ikut ke mana pun suaminya pergi.”“Tapi Sil--- kamu nggak pernah jauh dari Mama, nggak pernah jauh dari rumah ini. Apa kamu yakin bisa beradaptasi dengan lingkungan dan kehidupan yang baru nanti?”“Ada saya Ma....” Roby yang menyahut kali ini, membuat Silia spontan mengalihkan pandangan pada pemuda tampan itu.“Roby....? Kamu tetap mau mengajak Silia untuk pindah dari sini?” tanya Amira.“Mama tenang aja. Jangan khawatirkan soal Silia. Saya yang akan menjaganya. Tolong berikan kami izin untuk hidup berdua dan membangun rumah tangga kami sendiri.” Ujar Roby.Amira tampak ragu, namun kemudian ia berkata,” jujur Mama berat kalau membiarkan Silia ikut kamu hidup di luar. Karena Sil
Yesika masuk dengan seringai di bibir saat melihat Silia dan Roby yang duduk bersama di meja makan. Dia sendiri sudah terbiasa di rumah Silia, karena hampir setiap hari ia datang. “Sarapan dulu, Yesi,” Amira berkata padanya dengan ramah. “Tante tinggal dulu ya, mau nyiram bunga di depan.” Ujarnya lagi.“Iya Tante. Makasih.” Yesika langsung duduk. “Wah pengantin baru lagi sarapan bareng ya? Aku jadi nggak enak nih.” Ujarnya kemudian.Silia benci sekali mendengar nada suara Yesika yang seolah sedang mengejeknya. Gadis itu seperti hendak menertawakannya sekarang.Sementara Roby tampak diam dan tak berani memandang Yesika, membuat Silia semakin heran. Bukannya mereka saling mengenal? Mengapa tak bertegur sapa sama sekali?Saat Silia sedang sibuk menerka, Mbok Ida datang untuk mengemasi bekas sarapan Arman.“Mbak Sil mau jus atau susu?” tanya Mbok Ida dengan sopan, menawarkan jasanya.“Nggak usah, Bi. Saya minum air putih aja,” jawab Silia. Ia tidak mau merepotkan pembantunya itu.
Silia tak menjawab. Tapi tubuhnya tak menolak saat Roby menunduk dan mencium bibirnya lagi. Lebih dalam. Lebih hangat. Kedua tangannya membelai wajah Silia, kemudian menelusup ke belakang leher, menariknya lebih dekat.Dan kali ini, tanpa keraguan. Roby melumat bibir itu dalam keheningan yang mendesis. Nafas Silia tercekat, tapi tubuhnya ikut tenggelam, menuruti setiap tarikan, setiap tekanan lembut yang Roby beri.Silia hampir kehilangan napas, tapi tidak ingin melepaskan. Ia tak tahu, ciuman bisa terasa selembut ini... seintim ini. Roby mencium dengan kesabaran, menciptakan jeda di antara desahan mereka untuk menyisipkan napas dan rasa.Ciuman itu berkembang—dari malu-malu jadi lebih dalam, lebih panas. Roby memandu, seolah menari, seolah ingin menunjukkan bahwa ini bukan sekadar rasa penasaran.Tak ada yang tergesa. Tak ada yang dipaksa.Tangan Roby bergerak ke pinggang Silia, menarik tubuhnya lebih dekat. Mereka nyaris tak bisa bernafas, tapi tak satu pun ingin berhenti.Ciuman it
Minggu siang itu, rumah Amira tampak ramai. Suasana arisan dipenuhi gelak tawa ibu-ibu sosialita yang saling bertukar kabar, sambil mencicipi camilan yang tersaji rapi di meja panjang. Tapi hari itu, perhatian mereka tak bisa lepas dari satu sosok yang duduk anggun di sisi kanan ruang tamu.Silia.Wajahnya berseri, makeup-nya halus tanpa cela, dan rambutnya ditata sanggul simpel dengan sedikit hiasan pearl clip di sisi kanan. Bahkan gaun polos yang dikenakannya tampak elegan berkat aura percaya diri yang ia pancarkan.Amira tersenyum penuh kebanggaan. “Anakku cantik, ya?”Salah satu teman arisan, Nyonya Kamil, mendekat sambil membungkuk sedikit, mengamati wajah Silia dengan takjub.“Amira… siapa yang dandanin Silia? Beneran deh, flawless banget. Nggak menor, tapi elegan. Look ini tuh susah banget dicapai, lho.”Amira melirik ke arah dapur, lalu tersenyum. “Yang dandanin? Roby.”“Roby?” alis Nyonya Kamil terangkat. “Suaminya?”“Iya, suaminya. Dia tuh ternyata jago makeup, bisa ngebentu
Amira mendekat, matanya membesar. "Ya ampun, kamu cantik banget, Sayang. Astaga... ini make up tipis atau kamu habis perawatan mahal?"Silia nyengir kecil. "Make up-nya Roby, Ma. Baju juga dia yang belikan."Amira menatap Roby. "Kamu beneran dandanin Silia? Belajar dari mana?"Roby tertawa pendek. "Nggak belajar dari mana-mana, Ma. Cuma ngikutin feeling dan ngeliat sekilas di sosial media.""Wah, ternyata kamu punya bakat alam yang nggak semua orang bisa," puji Amira penuh rasa takjub.Arman tampak mengangguk pelan, lalu berdiri dan menepuk bahu menantunya. "Kalau gini terus, bukan cuma Silia yang makin cantik, kamu juga makin dapat respek dari Papa, Roby."Roby hanya mengangguk. Senang sekali, karena pada akhirnya sikap Arman mulai melunak padanya."Tapi kalian mau ke mana sekarang?" tanya Amira."Kami pamit, Pa. Ma. Hari ini kami pulang ke kontrakan. Nanti sore Roby udah harus masuk kerja lagi."Meski agak kecewa, tapi Amira dan Arman terpaksa melepaskan kepulangan anak dan menantu
Roby tertawa pelan. "Karena aku sudah capek diam. Capek menahan semuanya seolah-olah aku baik-baik saja. Kau tahu, Silia? Aku tahu sejak awal ini semua cuma kesepakatan. Tapi kau juga tahu... tidak ada satu pun dari kita yang benar-benar sanggup bersikap netral soal perasaan."Silia tak langsung membalas. Matanya mulai menyesuaikan diri dengan gelap. Ia bisa melihat bayangan Roby yang menunduk, punggungnya sedikit membungkuk seolah menanggung beban yang tak pernah sempat dibagi."Aku nggak pernah ingin bikin semua ini rumit," katanya pelan. "Aku cuma... kadang kehilangan arah. Dulu aku pikir aku sudah selesai dengan Vatra, tapi nyatanya aku belum benar-benar sembuh. Dan kamu... kamu terlalu diam. Terlalu datar. Sampai aku bingung harus bagaimana menghadapi kamu."Roby mendongak, menatapnya dalam gelap. "Lalu sekarang? Kau masih ingin kita terus berpura-pura?"Silia menarik napas dalam. Ia ingin menjawab, tapi kata-katanya terhenti di tenggorokan."Aku nggak tahu, Roby," jawabnya akhir
Vatra masih menatap Silia dengan intens."Katakan, Silia. Apa aku salah? Apa kau benar-benar mencintai pria itu? Kau tak bahagia dengannya, bukan?"Silia menahan napas."Aku bisa melihatnya, Silia. Matamu tidak pernah berbohong padaku."Silia mencoba mengatur napasnya. Ia ingin membantah, tapi... kata-katanya tak keluar.Dari kejauhan, Roby melihat semua. Tangannya mengepal, rahangnya mengeras. Detik itu, sesuatu berderak dalam hati Roby. Ini bukan sekadar dansa biasa. Ini adalah pertarungan. Dan saat Vatra menyentuh pipi Silia dengan lembut, Roby melangkah cepat.Dengan satu tarikan, Roby menarik Silia menjauh dari Vatra."Aku sudah memperingatkanmu," katanya datar, tapi tajam, dengan telunjuk mengarah tepat ke wajah Vatra.Vatra tersenyum."Tentu. Tapi aku tidak melihat Silia menolakku tadi."Kata-kata itu seperti tamparan keras. Roby menatap Silia. Wanita itu menunduk, tak sanggup berkata apa-apa.Roby menarik tangan Silia dengan kasar, membuat wanita itu nyaris terhuyung. “Kita p
Pesta malam itu berlangsung meriah, tetapi Roby tak bisa menikmati apapun. Dentuman musik, gelak tawa para tamu, bahkan senyuman Silia—semuanya terasa hambar karena satu hal: Vatra.Vatra duduk tak jauh dari mereka, mengenakan jas biru tua yang membuatnya terlihat lebih dewasa dari terakhir kali Roby melihat wajah pria itu. Tatapannya tak pernah lepas dari Silia. Bahkan saat orang-orang menyapanya, Vatra hanya tersenyum sekilas, lalu kembali mengamati Silia dengan pandangan yang terlalu intens.Roby menggenggam jemari Silia yang berada di dekatnya. Lebih erat dari biasa. Silia sempat menoleh, mengangkat alis seolah bertanya, tapi Roby hanya tersenyum kaku. Ia tidak akan mengatakan apapun—tidak sekarang.Ketika Roby beranjak sejenak untuk berbicara dengan salah satu kolega Silia, Vatra melihat kesempatan. Ia berdiri dan berjalan menghampiri Silia dengan langkah santai."Masih seperti dulu," ucap Vatra, berdiri di hadapan Silia. Suaranya dalam dan tenang, nyaris menghipnotis.Silia
“Ke mana anak itu?! Bikin jengkel saja!” Arman mengintai jalanan di depan rumah Derick sambil berkacak pinggang.Hatinya kesal bukan main, karena Silia dan Roby yang akan ia pertemukan dengan sahabatnya justru kabur dan menghilang entah ke mana.“Seharusnya tadi tak kubiarkan mereka berjalan belakangan. Awas saja, anak-anak itu. Buat malu orang tua saja.” Arman masih belum puas bersungut-sungut.“Pa, sudahlah. Mungkin mereka hanya tersesat,” ujar Amira, berusaha menenangkan suaminya. Namun, meskipun suaranya lembut, ia sendiri tak bisa menyembunyikan kekhawatiran.Di dalam rumah, para tamu sudah mulai menikmati pesta yang diselenggarakan Derick dan istrinya. Beberapa orang tua tengah berbincang hangat, sementara anak-anak muda sibuk di sudut ruangan, berdansa diiringi musik lembut yang diputar oleh seorang DJ profesional.Di antara mereka, Yesika berdiri dengan angkuh, mengenakan gaun yang ketat membentuk tubuhnya. Ia yang sekarang merasa sedang dikelilingi oleh orang-orang kaya,
“Buat apa Roby? Bukankah ini terlalu banyak?” Silia heran melihat keranjang belanja Roby yang nyaris penuh dengan alat make-up. Sebagai perempuan pun, Silia bahkan tak tahu kalau alat tempur wanita bisa sebanyak itu.“Untuk mendandanimu. Kau harus terlihat berbeda malam ini,” ujar Roby sambil memasukkan beberapa jenis peralatan dandan ke dalam keranjangnya.“Aku kan sudah didandani Mama. Dan kau bisa lihat sendiri tadi, Yesika justru mengolok-olokku,” ucap Silia, tiba-tiba merasa kesal.“Maaf, tapi menurutku dandanan itu memang tak cocok untukmu. Mungkin akan terlihat cantik buat wanita yang sudah berumur seperti Mama. Tapi untuk kamu, tak bisa diaplikasikan seperti itu.” Roby singgah di tempat barisan lipstik.“Mbak, lipstik yang ini ada testernya?” tanya Roby pada seorang Beauty Advisor yang berjaga sambil menunjuk salah satu merk lipstik terlaris dan terkenal dengan kualitasnya yang bagus.“Ada Pak. Silakan dicoba dulu.”Roby mengambil beberapa warna untuk uji coba kecocokan. Ia m
“Teman lamaku Derick, yang lama tinggal di Amerika baru pulang ke Indonesia beberapa hari lalu. Besok malam dia akan mengadakan pesta kecil-kecilan di rumahnya. Saat tahu kalau Silia sudah menikah, dia sangat terkejut dan memintaku untuk mengajak kalian besok malam. Bisa kan?”Silia dan Roby berpandangan. Dua-duanya, sama merasa ragu untuk mengiyakan.“Kalau tak mau juga tidak apa-apa. Sejak dulu kan memang aku paling susah membawa keluarga setiap kali ada acara besar dengan teman-teman bisnisku,” Arman terlihat kesal sendiri. Ia sebenarnya sangat berharap ajakannya disambut baik, namun tentu saja ia merasa gengsi untuk memaksa.“Kalian ikut ya. Kasihan Papa kalau pergi sendiri atau hanya berdua dengan Mama. Jadi seperti tak punya anak,” Amira membujuk, takut sang suami mengambek.“Tapi Ma, kenapa acaranya mendadak sekali? Kami tak sempat menyiapkan pakaian yang tepat.” Silia beralasan. Padahal sebagai pribadi yang introvert, ia tak begitu menyukai acara-acara ya