Hari yang dinanti tiba. Sejak pagi terlihat kesibukan di rumah Silia. Meski acara ijab kabul dan resepsi akan diadakan di hotel, tapi Silia didandani dan dipersiapkan dari rumahnya, baru nanti akan di bawa ke hotel dengan memakai mobil pengantin.
“Gimana? Ideku bagus kan?” tanya Yesika sambil membantu Silia memakai baju dalaman sebelum memakai gaun pengantin untuk acara akad pagi ini.Silia hanya diam. Malas menanggapi omongan Yesika.“Kamu masih ada hutang loh. Kamu baru transfer 38 juta. Masih kurang 12 juta.”“Iya aku tahu. Bisa nggak sih kamu nggak ngomongin hal itu sekarang?! Aku nggak mau ada yang dengar.”“Ya aku kan Cuma ngingetin aja. Nggak usah galak napa? Sensi amat jadi orang!” balas Yesika kesal.Mereka kembali diam saat ada seseorang yang masuk ke kamar mengambil sesuatu.“Jangan terlalu mendalami peran ya. Jangan sampai jatuh cinta sama Roby,” kata Yesika saat kembali hanya tinggal mereka berdua.“Memangnya kenapa? Dia pacar kamu?” tanya Silia asal. Tapi cukup membuat Yesika gugup.“Enak aja. Dia bukan tipeku. Orang kayak dia mana mampu beliin skincare dan make up aku yang mahal,” kata Yesika culas, membuat Silia memutar bola matanya karena muak.“Trus??”“Ya aku kasihan aja sama kamu. Kalau sampai jatuh cinta sama Roby yang ganteng kayak gitu. Sementara maaf aja, kamu bukan tipe cewek yang bakal disukai Roby. Jadi...”“Nggak usah ngajarin aku Yesika! Peran kamu cukup sampai di sini. Setelah semua uang kubayarkan, tolong jangan ganggu kehidupanku lagi!” kata Silia dengan penuh kesal. Bahasa yang disampaikan Yesika seolah sangat merendahkan dirinya.Yesika membanting make up pallete milik MUA yang nantinya akan mendandani Silia. Silia terkejut. Ia melihat barang yang jatuh beserta warna-warna yang berserakan di lantai akibat ulah Yesika barusan.“Kenapa kamu banting? Itu barang milik orang! Harganya pasti mahal,” teriak Silia geram. Hanya ada mereka di kamar Silia saat ini, sementara yang lain mungkin sibuk di dapur dan menata ruang tamu. MUA yang akan mendandani Silia pun belum datang, baru barang saja yang tadi sudah diantarkan.“Aku masih nggak habis pikir Silia. Sepertinya sampai sekarang kamu masih menyalahkan aku atas apa yang terjadi sama kamu, ya? Aku udah bantu kamu sejauh ini, sampai cariin orang buat ngakuin anak haram kamu itu...” tangan Yesika menunjuk perut Silia. “Buat nutupin aib kamu yang udah diperkosa orang. Gini balasan kamu?!”“Yesi!!! Tolong kecilkan suara kamu! Gimana kalau ada yang dengar?!” suara Silia tertahan. Silia sudah hampir menangis.“Bodo!!! Biar pada dengar! Kalau kamu mau aku nutup mulut aku, bayarkan uang kuliahku dua semester ini, dan aku minta uang jajan tiap hari, seperti dulu sebelum kamu menjauh dari aku sejak malam sial itu!”“Apa?? Kamu memeras aku sekarang?” tanya Silia tak percaya.“Terserah gimana kamu mengartikannya! Yang jelas aku Cuma mau kasi tahu, sampai kapan pun hubungan kita nggak akan pernah bisa berhenti. Kamu nyuruh aku untuk nggak ganggu hidup kamu lagi? Jadi selama ini kamu merasa aku ganggu? Aku satu-satunya teman kamu sejak SMA, Silia. Masih ingat kan?”“Kenapa kau lakukan ini padaku Yesi? Padahal kau bilang kalau kau temanku,” kata Silia sedih.“Habis kamu itu nggak tahu terima kasih. Aku tadi ngomong bagus-bagus, tapi jawaban kamu kasar banget. Tahu rasa kan sekarang? Makanya jangan berani-berani marahin aku. Udah tahu semua rahasia kamu tuh aku yang pegang,” ucap Yesika kesal.Silia baru saja hendak membuka mulutnya kembali, akan menjawab kalimat Yesika. Tapi sebuah teriakan kecil membuat kata-katanya tertahan.“Ya ampuunn... Ini kenapa kok berhamburan kayak gini? Gimana mau dandanin penganten?!” ujar MUA berjilbab ungu itu terlihat panik sambil berusaha membersihkan alat make up pallete miliknya yang sudah hancur di lantai.“Tadi kesenggol Silia. Minta ganti aja sama dia!” kata Yesika judes sambil berlalu pergi dan keluar dari kamar. Silia hanya bisa berusaha menghapus air matanya diam-diam.“Maaf ya Mbak. Nggak sengaja. Biar saya ganti,” kata Silia tidak enak hati.“Iya udah, nggak apa. Nanti saya tambahkan ke tagihan aja ya Mbak. Maaf, soalnya itu harganya lumayan mahal.”“Iya nggak apa. Tagihkan aja. Tapi gimana mau dandan Mbak, alat make-up nya hancur.”“Saya ada bawa cadangannya kok Mbak, meski nggak sebagus yang tadi kualitasnya. Nggak apa ya? Mau beli yang baru takut keburu nggak sempat.”Silia hanya mengangguk sambil tersenyum paksa.Sementara saat Yesika tadi keluar kamar, ia dikejutkan dengan sosok ayahnya yang berdiri tepat di belakang pintu kamar Silia. Entah sejak kapan ayahnya itu ada di sana.“Bapak ngapain ada di sini?!”“Eh anu, Ibu nyuruh Bapak nyariin kamu.” Dandi menjawab dengan terbata.“Ngapain sih sembarangan keliling rumah orang? Nggak sopan tahu! Nanti ada barang orang rumah ini hilang, Yesi yang nggak enak. Tunggu aja di bawah, ngapain mesti nyariin sampe ke kamar pengantin?”“Ibu di bawah lagi bantu-bantu di dapur. Nyuruh Bapak nyariin kamu buat bantu nyuci piring.”“Dih, ogah! Kita ke sini sebagai tamu Pak. Bukan pembantu. Lagian kenapa Ibu mau-mau aja sih repot ngurusin nikahan Silia? Anak juga bukan. Siapa yang nyuruh Ibu bantu-bantu di dapur? Bu Amira?”“Nggak. Ibu mau sendiri.” Dandi mendekatkan mulutnya ke telinga Yesika, berbisik pelan,” Kata Ibu biar nanti pulangnya dibawain lauk.”“Ya ampun, jadi orang kok celamitan amat! Di sini Cuma masak-masak dikit. Acaranya di hotel kok.”Yesika baru saja hendak pergi, tapi tiba-tiba ia berhenti dan berbalik menghadap Dandi.“Eh, tapi... Sejak kapan Bapak ada di balik pintu tadi? Bapak nguping ya?”Dandi terlihat gugup. “Eh, ngapain Bapak nguping. Bapak baru datang kok.”“Apa Bapak denger apa yang kami omongkan tadi?” tanya Yesika galak. Ia tahu setiap kali ayahnya itu berbohong, dilihat dari sikap Dandi yang selalu terlihat ketakutan. Dan sekarang Yesika yakin kalau ayahnya pun sedang berbohong.“Nggak ada kok. Sumpah!” Dandi berusaha meyakinkan anaknya. Tapi Yesika terlalu pintar untuk dibodohi.“Denger ya Pak. Kalau Bapak berani membocorkan rahasia Silia ke orang lain, aku sendiri yang akan bikin perhitungan sama Bapak. Kalau Bapak masih mau uang jangan coba-coba berani bermulut ember!” ancam Yesika.Dandi hanya bisa mengangguk. Yesika tidak mau ayahnya membocorkan rahasia Silia sebelum ia mendapatkan semua uang yang dijanjikan.Suasana terlihat begitu mewah dan romantis. Dekorasi pelaminan ala hotel bintang 5 yang lengkap dengan bunga-bunga indah membuat siapa pun yang memandang akan merasa takjub. Para tamu yang hadir merasa kalau Silia adalah gadis yang beruntung, karena bisa mendapatkan pernikahan yang diimpikan banyak gadis di luar sana. Mereka yang datang pun begitu terpesona melihat ketampanan Roby. Meski terdengar desas-desus yang tak mengenakkan, mengingat pernikahan Silia yang begitu mendadak. Pasti menimbulkan berbagai spekulasi di kalangan para undangan yang notabene adalah orang-orang terdekat keluarga Silia.Setelah Roby dengan lancar mengucapkan ijab kabul, disambut teriakan ‘sah’ dari para tamu, Silia tampak di bawa masuk ke dalam ruangan dengan berjalan pelan, diapit oleh dua orang wanita kerabatnya. Silia menjadi pusat perhatian. Gadis itu terlihat cantik, berbanding terbalik dengan penampilannya sehari-hari. “Gimana Roby, cantik kan istrimu?” Nina, yang masih sepupu jauh Silia meng
“Kami pulang dulu ya. Besok kalau udah mau check out, telfon aja. Biar Pak Mun yang jemput kalian ke sini.” Ujar Amira sambil memeluk Silia.Silia hanya mengangguk. Sebenarnya, ia tak ingin menginap di hotel tempat mereka mengadakan acara resepsi. Lebih nyaman kalau ia langsung pulang ke rumah.Tapi ibunya bilang, sayang sekali kalau free room yang diberikan pihak hotel tak dipakai. Apalagi mereka adalah pengantin baru, tentu lebih memerlukan privasi di malam pernikahan.Wajah Silia memerah malu saat tadi sang ibu berkata demikian. Spontan pandangannya terarah pada Roby yang memasang wajah dingin.“Jangan lupa makan. Kalian kayaknya belum sempat makan malam kan? Pesan room service aja. Restoran di hotel ini buka 24 jam.” Pesan Amira, lagi-lagi hanya disambut anggukan Silia.“Udah belum? Ayo pulang, ini udah malam.” Ujar Arman sambil menutup mulutnya yang sedang menguap.Amira kembali memeluk anak gadisnya dan berpamitan pulang. Kini, tinggallah Silia dan Roby. Berdua di dalam s
Suara ketukan di pintu kamar mandi membuat Silia terkejut, seolah membuyarkan semua lamunannya.“Hei, ngapain aja sih di dalam dari tadi? Kamu masih hidup kan?”Roby bertanya sambil terus mengetuk pintu. Terdengar sangat jelas rasa khawatir dalam kalimatnya.“Iya. Tunggu dulu sebentar.”Silia cepat meraih handuk yang tergantung. “Aku mau keluar sekarang. Kamu jangan ngeliat ya.” Ujar Silia, setelah membuka sedikit pintu kamar mandi.Roby tak menjawab. Ia hanya memandang Silia dengan tatapan yang sungguh sulit diartikan.“Hadap sana dong! Aku mau keluar!” sentak Silia.“Kamu malu? Aku udah jadi suami kamu.” Ujar Roby.Silia berdecak. “Kalau gitu, apa kita akan melakukan hubungan suami istri malam ini?” tantang Silia.Roby hanya membuang nafas. Tak disangka gadis itu justru berbalik mempermainkannya. Akhirnya ia memilih untuk mengalah dengan mengubah posisi menjadi membelakangi Silia.Silia keluar dengan kaki sedikit berjinjit. Meski tak menimbulkan suara, namun langkahnya m
Silia membuka mata dan menggeliat sebentar. Tangannya menggapai-gapai sesuatu yang semalam ia simpan di bawah bantal, yaitu ponselnya.Setelah dapat, ia menghidupkan benda pipih itu dan melihat jam di layar. Baru jam enam pagi. Perlahan ia duduk dengan mata yang masih sepat. Seketika ia celingukan. Pandangannya menyisir ke seluruh ruangan, dan kembali berakhir di sofa tempat ia meletakkan selimut dan bantal semalam.Kedua benda itu masih tersusun rapi layaknya belum disentuh sama sekali. Dan tentu saja, tak tampak keberadaan Roby di kamar ini.Alis Silia bertaut. “Ke mana dia? Masa’ nggak ada pulang sama sekali?” gumamnya.Silia menuruni ranjang dan berjalan ke arah sofa. Baru saja ia hendak memegang bantal dan selimut itu, terdengar pintu kamarnya terbuka dan Roby masuk.Sesaat mereka saling diam saat tatapan itu bertemu. “Kamu udah bangun?” tanya Roby sambil berjalan masuk menuju kamar mandi.“Kamu dari mana? Nggak pulang dari semalam?” Silia balik bertanya.“Itu urusanku
“Jangan ngaco kamu, Sil. Kalau dia pacar aku, nggak mungkin aku biarkan dia nikah sama kamu!” Sanggah Yesika.“Ya kalau gitu jawab dong pertanyaanku, dari mana kamu tahu kalau Roby keluar malam-malam dan ketemu sama pacarnya. Apa kamu kenal sama pacarnya Roby?”“Ya pokoknya aku tahu! Kamu nggak usah nanya-nanya lagi. Aku tuh pinter dan banyak koneksi. Jadi mudah aja bagi aku buat dapatkan informasi yang kayak gini.” Silia memandang Yesika dengan tatapan tak percaya. Ia tahu, kalau Yesika saat ini sedang berbohong. Namun ia sama sekali tak punya cara untuk membuktikannya.“Sebenarnya maksud kamu apa sih pagi-pagi udah datang ke sini Yesi? Kamu tahu nggak sih, kalau aku cukup merasa terganggu dengan adanya kamu di sini?” Kata Silia pelan, namun tajam.Yesika tertawa kecil. Kalau saja bukan karena mereka sekarang sedang berada di hotel, mungkin Yesika sudah memaki Silia dan mengungkit aibnya. Seperti yang pernah ia lakukan di hari pernikahan gadis itu.Namun Yesika masih berpikir,
Silia sudah terlelap sejak beberapa jam yang lalu, saat ia mendengar bunyi derit di pintu kamarnya.Sesaat, ia beranggapan kalau yang masuk adalah sang ibu. Namun tak lama ia langsung tersadar kalau itu adalah sosok seorang lelaki bertubuh tinggi tegap yang kini sedang berjalan mengendap-endap.Naluri waspadanya spontan membuat Silia bangun dengan sebuah jeritan kecil. Ia pikir, pencuri masuk ke dalam kamar dan akan melakukan perbuatan tak senonoh padanya.“Apaan sih, bikin kaget aja!” sungut Roby sambil menghidupkan lampu kamar.“Roby...?” Silia lega, karena yang berada di hadapannya kini ternyata adalah sang suami bayaran.“Iya, ini aku. Jangan sembarangan teriak dong! Nanti dikira aku mau ngapa-ngapain kamu!” Roby masih mengomel sambil melemparkan waist bag ke atas meja yang ada di sudut ruangan.“Habis aku pikir kamu maling atau orang jahat. Lagi pula ngapain sih kamu pake acara mengendap-endap segala? Hidupkan lampu dong kalau mau masuk kamar.” Kali ini, gantian Silia yang
“Iya, aku ingat.” Jawab Silia pelan.“Bagus. Sekarang aku hanya mau mempertegas lagi ya soal ini. Kita--- akan tetap keluar dari sini. Aku nggak mau tinggal di rumahmu. Aku minta kamu yang akan menolak kemauan kedua orang tua kamu kalau mereka memaksa kita untuk tetap di sini. Karena kalau aku yang bersikeras, kesannya aku adalah menantu kurang ajar. Aku akan menolak, tapi kuharap kamu yang nanti akan berkeras untuk hidup bersamaku. Kalau ternyata kamu nggak bisa membuat kita keluar dari rumah ini, maaf--- aku akan mundur dan mengajukan pembatalan pernikahan. Semua uang kamu akan kukembalikan. Kalau orang tuamu marah, terpaksa aku akan menceritakan semuanya. Aku akan berterus terang pada mereka, kalau aku hanya dibayar untuk menikahimu.”Silia spontan menggeleng. “Jangan! Aku mohon jangan lakukan itu. Baiklah, aku akan meyakinkan Mama agar mereka melepaskan kita untuk hidup di kontrakan yang sudah kamu siapkan.”Roby mengangguk. “Oke, kupegang kata-katamu. Besok aku kerja shift sor
Silia memandang ke arah Roby, berharap cowok itu membantunya bicara. Namun nyatanya, Roby justru balik melihat Silia dengan tatapan seolah-olah mendesak agar ia menyelesaikan sendiri masalah ini.“Ma, izinkan Silia ikut Roby ya. Karena sekarang udah jadi istrinya, jadi memang udah seharusnya seorang istri ikut ke mana pun suaminya pergi.”“Tapi Sil--- kamu nggak pernah jauh dari Mama, nggak pernah jauh dari rumah ini. Apa kamu yakin bisa beradaptasi dengan lingkungan dan kehidupan yang baru nanti?”“Ada saya Ma....” Roby yang menyahut kali ini, membuat Silia spontan mengalihkan pandangan pada pemuda tampan itu.“Roby....? Kamu tetap mau mengajak Silia untuk pindah dari sini?” tanya Amira.“Mama tenang aja. Jangan khawatirkan soal Silia. Saya yang akan menjaganya. Tolong berikan kami izin untuk hidup berdua dan membangun rumah tangga kami sendiri.” Ujar Roby.Amira tampak ragu, namun kemudian ia berkata,” jujur Mama berat kalau membiarkan Silia ikut kamu hidup di luar. Karena Sil
Silia tak menjawab. Tapi tubuhnya tak menolak saat Roby menunduk dan mencium bibirnya lagi. Lebih dalam. Lebih hangat. Kedua tangannya membelai wajah Silia, kemudian menelusup ke belakang leher, menariknya lebih dekat.Dan kali ini, tanpa keraguan. Roby melumat bibir itu dalam keheningan yang mendesis. Nafas Silia tercekat, tapi tubuhnya ikut tenggelam, menuruti setiap tarikan, setiap tekanan lembut yang Roby beri.Silia hampir kehilangan napas, tapi tidak ingin melepaskan. Ia tak tahu, ciuman bisa terasa selembut ini... seintim ini. Roby mencium dengan kesabaran, menciptakan jeda di antara desahan mereka untuk menyisipkan napas dan rasa.Ciuman itu berkembang—dari malu-malu jadi lebih dalam, lebih panas. Roby memandu, seolah menari, seolah ingin menunjukkan bahwa ini bukan sekadar rasa penasaran.Tak ada yang tergesa. Tak ada yang dipaksa.Tangan Roby bergerak ke pinggang Silia, menarik tubuhnya lebih dekat. Mereka nyaris tak bisa bernafas, tapi tak satu pun ingin berhenti.Ciuman it
Minggu siang itu, rumah Amira tampak ramai. Suasana arisan dipenuhi gelak tawa ibu-ibu sosialita yang saling bertukar kabar, sambil mencicipi camilan yang tersaji rapi di meja panjang. Tapi hari itu, perhatian mereka tak bisa lepas dari satu sosok yang duduk anggun di sisi kanan ruang tamu.Silia.Wajahnya berseri, makeup-nya halus tanpa cela, dan rambutnya ditata sanggul simpel dengan sedikit hiasan pearl clip di sisi kanan. Bahkan gaun polos yang dikenakannya tampak elegan berkat aura percaya diri yang ia pancarkan.Amira tersenyum penuh kebanggaan. “Anakku cantik, ya?”Salah satu teman arisan, Nyonya Kamil, mendekat sambil membungkuk sedikit, mengamati wajah Silia dengan takjub.“Amira… siapa yang dandanin Silia? Beneran deh, flawless banget. Nggak menor, tapi elegan. Look ini tuh susah banget dicapai, lho.”Amira melirik ke arah dapur, lalu tersenyum. “Yang dandanin? Roby.”“Roby?” alis Nyonya Kamil terangkat. “Suaminya?”“Iya, suaminya. Dia tuh ternyata jago makeup, bisa ngebentu
Amira mendekat, matanya membesar. "Ya ampun, kamu cantik banget, Sayang. Astaga... ini make up tipis atau kamu habis perawatan mahal?"Silia nyengir kecil. "Make up-nya Roby, Ma. Baju juga dia yang belikan."Amira menatap Roby. "Kamu beneran dandanin Silia? Belajar dari mana?"Roby tertawa pendek. "Nggak belajar dari mana-mana, Ma. Cuma ngikutin feeling dan ngeliat sekilas di sosial media.""Wah, ternyata kamu punya bakat alam yang nggak semua orang bisa," puji Amira penuh rasa takjub.Arman tampak mengangguk pelan, lalu berdiri dan menepuk bahu menantunya. "Kalau gini terus, bukan cuma Silia yang makin cantik, kamu juga makin dapat respek dari Papa, Roby."Roby hanya mengangguk. Senang sekali, karena pada akhirnya sikap Arman mulai melunak padanya."Tapi kalian mau ke mana sekarang?" tanya Amira."Kami pamit, Pa. Ma. Hari ini kami pulang ke kontrakan. Nanti sore Roby udah harus masuk kerja lagi."Meski agak kecewa, tapi Amira dan Arman terpaksa melepaskan kepulangan anak dan menantu
Roby tertawa pelan. "Karena aku sudah capek diam. Capek menahan semuanya seolah-olah aku baik-baik saja. Kau tahu, Silia? Aku tahu sejak awal ini semua cuma kesepakatan. Tapi kau juga tahu... tidak ada satu pun dari kita yang benar-benar sanggup bersikap netral soal perasaan."Silia tak langsung membalas. Matanya mulai menyesuaikan diri dengan gelap. Ia bisa melihat bayangan Roby yang menunduk, punggungnya sedikit membungkuk seolah menanggung beban yang tak pernah sempat dibagi."Aku nggak pernah ingin bikin semua ini rumit," katanya pelan. "Aku cuma... kadang kehilangan arah. Dulu aku pikir aku sudah selesai dengan Vatra, tapi nyatanya aku belum benar-benar sembuh. Dan kamu... kamu terlalu diam. Terlalu datar. Sampai aku bingung harus bagaimana menghadapi kamu."Roby mendongak, menatapnya dalam gelap. "Lalu sekarang? Kau masih ingin kita terus berpura-pura?"Silia menarik napas dalam. Ia ingin menjawab, tapi kata-katanya terhenti di tenggorokan."Aku nggak tahu, Roby," jawabnya akhir
Vatra masih menatap Silia dengan intens."Katakan, Silia. Apa aku salah? Apa kau benar-benar mencintai pria itu? Kau tak bahagia dengannya, bukan?"Silia menahan napas."Aku bisa melihatnya, Silia. Matamu tidak pernah berbohong padaku."Silia mencoba mengatur napasnya. Ia ingin membantah, tapi... kata-katanya tak keluar.Dari kejauhan, Roby melihat semua. Tangannya mengepal, rahangnya mengeras. Detik itu, sesuatu berderak dalam hati Roby. Ini bukan sekadar dansa biasa. Ini adalah pertarungan. Dan saat Vatra menyentuh pipi Silia dengan lembut, Roby melangkah cepat.Dengan satu tarikan, Roby menarik Silia menjauh dari Vatra."Aku sudah memperingatkanmu," katanya datar, tapi tajam, dengan telunjuk mengarah tepat ke wajah Vatra.Vatra tersenyum."Tentu. Tapi aku tidak melihat Silia menolakku tadi."Kata-kata itu seperti tamparan keras. Roby menatap Silia. Wanita itu menunduk, tak sanggup berkata apa-apa.Roby menarik tangan Silia dengan kasar, membuat wanita itu nyaris terhuyung. “Kita p
Pesta malam itu berlangsung meriah, tetapi Roby tak bisa menikmati apapun. Dentuman musik, gelak tawa para tamu, bahkan senyuman Silia—semuanya terasa hambar karena satu hal: Vatra.Vatra duduk tak jauh dari mereka, mengenakan jas biru tua yang membuatnya terlihat lebih dewasa dari terakhir kali Roby melihat wajah pria itu. Tatapannya tak pernah lepas dari Silia. Bahkan saat orang-orang menyapanya, Vatra hanya tersenyum sekilas, lalu kembali mengamati Silia dengan pandangan yang terlalu intens.Roby menggenggam jemari Silia yang berada di dekatnya. Lebih erat dari biasa. Silia sempat menoleh, mengangkat alis seolah bertanya, tapi Roby hanya tersenyum kaku. Ia tidak akan mengatakan apapun—tidak sekarang.Ketika Roby beranjak sejenak untuk berbicara dengan salah satu kolega Silia, Vatra melihat kesempatan. Ia berdiri dan berjalan menghampiri Silia dengan langkah santai."Masih seperti dulu," ucap Vatra, berdiri di hadapan Silia. Suaranya dalam dan tenang, nyaris menghipnotis.Silia
“Ke mana anak itu?! Bikin jengkel saja!” Arman mengintai jalanan di depan rumah Derick sambil berkacak pinggang.Hatinya kesal bukan main, karena Silia dan Roby yang akan ia pertemukan dengan sahabatnya justru kabur dan menghilang entah ke mana.“Seharusnya tadi tak kubiarkan mereka berjalan belakangan. Awas saja, anak-anak itu. Buat malu orang tua saja.” Arman masih belum puas bersungut-sungut.“Pa, sudahlah. Mungkin mereka hanya tersesat,” ujar Amira, berusaha menenangkan suaminya. Namun, meskipun suaranya lembut, ia sendiri tak bisa menyembunyikan kekhawatiran.Di dalam rumah, para tamu sudah mulai menikmati pesta yang diselenggarakan Derick dan istrinya. Beberapa orang tua tengah berbincang hangat, sementara anak-anak muda sibuk di sudut ruangan, berdansa diiringi musik lembut yang diputar oleh seorang DJ profesional.Di antara mereka, Yesika berdiri dengan angkuh, mengenakan gaun yang ketat membentuk tubuhnya. Ia yang sekarang merasa sedang dikelilingi oleh orang-orang kaya,
“Buat apa Roby? Bukankah ini terlalu banyak?” Silia heran melihat keranjang belanja Roby yang nyaris penuh dengan alat make-up. Sebagai perempuan pun, Silia bahkan tak tahu kalau alat tempur wanita bisa sebanyak itu.“Untuk mendandanimu. Kau harus terlihat berbeda malam ini,” ujar Roby sambil memasukkan beberapa jenis peralatan dandan ke dalam keranjangnya.“Aku kan sudah didandani Mama. Dan kau bisa lihat sendiri tadi, Yesika justru mengolok-olokku,” ucap Silia, tiba-tiba merasa kesal.“Maaf, tapi menurutku dandanan itu memang tak cocok untukmu. Mungkin akan terlihat cantik buat wanita yang sudah berumur seperti Mama. Tapi untuk kamu, tak bisa diaplikasikan seperti itu.” Roby singgah di tempat barisan lipstik.“Mbak, lipstik yang ini ada testernya?” tanya Roby pada seorang Beauty Advisor yang berjaga sambil menunjuk salah satu merk lipstik terlaris dan terkenal dengan kualitasnya yang bagus.“Ada Pak. Silakan dicoba dulu.”Roby mengambil beberapa warna untuk uji coba kecocokan. Ia m
“Teman lamaku Derick, yang lama tinggal di Amerika baru pulang ke Indonesia beberapa hari lalu. Besok malam dia akan mengadakan pesta kecil-kecilan di rumahnya. Saat tahu kalau Silia sudah menikah, dia sangat terkejut dan memintaku untuk mengajak kalian besok malam. Bisa kan?”Silia dan Roby berpandangan. Dua-duanya, sama merasa ragu untuk mengiyakan.“Kalau tak mau juga tidak apa-apa. Sejak dulu kan memang aku paling susah membawa keluarga setiap kali ada acara besar dengan teman-teman bisnisku,” Arman terlihat kesal sendiri. Ia sebenarnya sangat berharap ajakannya disambut baik, namun tentu saja ia merasa gengsi untuk memaksa.“Kalian ikut ya. Kasihan Papa kalau pergi sendiri atau hanya berdua dengan Mama. Jadi seperti tak punya anak,” Amira membujuk, takut sang suami mengambek.“Tapi Ma, kenapa acaranya mendadak sekali? Kami tak sempat menyiapkan pakaian yang tepat.” Silia beralasan. Padahal sebagai pribadi yang introvert, ia tak begitu menyukai acara-acara ya