Roby melihat kegugupan luar biasa dari gadis yang ada di depannya. Tanpa ia sangka, gadis itu benar-benar menunggunya sampai ia pulang kerja.
Sementara Silia salah tingkah dipandangi terus-terusan. Apalagi dengan pakaian kasual seperti sekarang, tanpa ada topi yang menutupi kepala, Roby terlihat jauh lebih tampan. Cukup untuk membuat Silia sesak napas.Roby memandangi Silia dari ujung rambut hingga ke ujung kaki. Sesekali terdengar ia membuang napas dengan kasar. Roby kecewa dengan penampilan Silia. Jauh berbeda sekali dengan Yesika. Bagai langit dan bumi. Padahal menurut Yesika, gadis di depannya ini adalah anak orang kaya. Tapi kenapa penampilannya sama sekali tak sesuai bayangan?Jauh lebih cantik Yesika yang pandai merias diri. Meski tak dipungkiri ada aura manis yang terlihat dari Silia. Mungkin saja gadis di depannya ini akan terlihat cantik kalau berdandan.“Jadi kamu nungguin aku sampai 3 jam Cuma buat ngajak lomba pandang-pandangan?” tanya Roby, membuat Silia kaget.“Eh, anu... Itu... Aku nggak tahu mau mulai dari mana,” jawab Silia gugup.“Katanya tadi ada yang mau diomongin? Mulai dari situ aja.”Silia berdehem, entah sudah keberapa kalinya.“Apa benar kata Yesika kamu orang yang mau bantu aku?” tanya Silia setelah beberapa lama.“Bantu apa? Yang jelas!”Silia berdehem lagi. Badannya panas dingin. Cepat ia ambil es jeruk di depannya dan meneguk sampai habis.“Mau lagi?” tanya Roby.Silia menggeleng. “Eh, boleh deh!” sambungnya cepat.“Pffttt...” Roby hampir saja menghamburkan tawanya, kalau saja tidak ingat ia sekarang sedang mengalami masalah pelik.Sementara Silia jadi keki. Sial! Kenapa malu-maluin sih?! Padahal maksud Silia kalau ada air es di depan, bisa membantunya mengurangi kegugupannya.“Sekarang udah bisa ngomong?” tanya Roby setelah baru saja Silia kembali meminum es jeruk pesanannya yang baru datang, meski tak sampai habis.“Yesika bilang padaku kalau kamu mau membantu aku keluar dari masalah yang sedang aku hadapi. Apa benar kamu bersedia menikahi aku? Berpura-pura kalau kamu yang menghamili aku?” tanya Silia dengan takut.Roby tak langsung menjawab. Silia jadi gelisah. Ingin rasanya ia mengetok kepala cowok di hadapannya ini. “Cuma jawab iya atau nggak aja lama banget!” pikirnya.“Iya, aku mau. Trus apa lagi? Mau memulai dari mana sandiwara kita?” tanya Roby to the point.“Boleh aku tahu alasan kamu mau menerima tawaran untuk menikahiku? Apa karena kompensasinya?”“Sebaiknya itu nggak usah kamu tanyakan. Kamu nggak perlu tahu alasanku setuju menikahimu, sebagaimana aku nggak mau tahu alasanmu yang memintaku menikahi kamu. Kita tetap berada di jalur dan tujuan kita masing-masing,” jawab Roby. Ia memang sengaja berpura-pura tidak tahu kalau Silia adalah korban pemerkosaan, seperti yang diminta Yesika.“Mmm... Boleh aku tahu apa hubunganmu yang sebenarnya dengan Yesika?”“Kami Cuma teman, Cuma kenalan,” jawab Roby pendek. Yesika memang sudah berpesan padanya agar tak memberitahu Silia hubungan mereka yang sebenarnya.Silia tampak mengangguk.“Aku ingin kamu datang ke rumah dan mengatakan pada orang tuaku kalau kamu telah menghamiliku,” Silia memulai kalimatnya.Roby mendengar dengan saksama agar tak ada satu pun yang luput dari pendengarannya.“Aku ingin kita menikah secepatnya.” Ujar Silia.“Siapa yang membiayai pernikahannya?” tanya Roby dingin.“Ya??” Silia baru sadar kalau menikah tak sesimpel itu.“Siapa yang membiayai pernikahannya? Aku nggak mungkin mengeluarkan uang tabunganku. Dan yang membutuhkan bantuan saat ini adalah kau, bukan aku,” kata Roby lagi.“Kan aku kasi 50 juta.”“Itu untuk bayaranku menikahimu. Untuk upahku mengikuti sandiwaramu.” Tegas Roby.“Kalau gitu aku akan memberi uang tambahannya. Tapi aku akan meminta menikah secara sederhana aja, agar biayanya nggak terlalu besar.”“Terserah!”“Satu lagi, pernikahan kita hanya sampai aku melahirkan. Setelah itu, kita akan mencari alasan untuk bercerai.”Roby tertawa dengan satu embusan napas. “Mudah sekali orang sepertimu mempermainkan pernikahan. Apa kamu nggak merasa bersalah karena mencurangi pernikahan? Atau kamu nggak pernah bermimpi buat menikah?”“Aku juga terpaksa. Aku selalu berharap pernikahanku adalah yang terindah, dengan orang yang sangat aku cintai, yang sangat aku harapkan untuk menjadi suamiku,” mata Silia mulai berkaca-kaca. “Tapi keadaan ini membuat aku terpaksa mengubur harapanku dalam-dalam, selamanya. Nggak akan ada pernikahan bahagia untukku.” Silia mulai menangis.Roby terdiam. Ia benar-benar lupa alasannya yang telah setuju untuk menikah dengan Silia, yaitu karena kasihan dengan tragedi yang menimpa gadis itu. Dan baru saja ia mengeluarkan kata-kata yang telah menyakiti hati dan perasaan Silia.“Maaf. Kalau begitu kita rundingkan apa saja yang harus aku katakan saat nanti aku bertemu orang tuamu.” Roby mengulurkan sapu tangan miliknya untuk Silia. Dan Silia menerimanya, menggunakan sapu tangan itu untuk mengeringkan pipinya yang sudah basah terkena air mata. Setelah itu Silia memberi tahu Roby apa saja yang harus dikatakan pemuda itu saat nanti datang ke rumahnya.“Apa masih ada hal lain yang mau kau katakan?” tanya Roby. Silia menggeleng.“Oke. Kalau gitu sekarang giliran aku yang mengutarakan keinginanku. Aku juga punya syarat yang harus kau penuhi sebelum kita melanjutkan pernikahan ini.”“Kamu juga punya syarat? Kalau gitu apa syaratnya?” tanya Silia.“Pertama, setelah menikah kita nggak tinggal di rumahmu, kau ikut tinggal denganku. Karena sekarang aku masih nge-kost, yang mana nggak mungkin dibolehin Ibu kost buat bawa perempuan, maka aku akan mencari rumah kontrakan untuk kita. Jangan khawatir, untuk rumah kontrakan biar aku yang bayar, kamu nggak perlu keluar uang lagi.”“Kenapa aku harus keluar dari rumahku? Aku nggak pernah jauh dari rumah dan orang tua,” Silia protes.“Satu, kamu udah jadi istri aku meski itu Cuma pura-pura. Dua, aku kerja kadang sampai malam, aku suka bangun siang dan aku nggak enak kalau numpang di rumah orang, apalagi nanti statusnya itu adalah rumah mertuaku. Tiga, Ibu aku kadang datang dari kampung. Kalau di rumah kontrakan sendiri, saat dia datang kau bisa sembunyi atau pergi, asal dia nggak ngeliat kamu. Aku nggak mau Ibuku tahu aku nikah pura-pura dan akan jadi duda. Sampai di sini paham?”“Tapi kalau harus tinggal berdua denganmu....” ucap Silia ragu, tak berani melanjutkan kalimatnya.“Jangan takut. Aku nggak akan ngapa-ngapain kamu. Kamu bukan tipe gadis yang bisa membangkitkan gairahku.”Jleb! Jantung Silia bagai di dilempar ribuan pisau. Silia sempat memindai tubuhnya sendiri sebelum akhirnya melihat ke arah Roby dengan wajah cemberut.“Itu aja?”“Kedua, aku sebenarnya udah punya pacar. Jadi aku minta kamu nggak kepo atau ikut campur urusan percintaanku meski statusku nanti adalah suami kamu, apalagi sampai cemburu. Dan aku harap kamu nggak punya keinginan untuk mengetahui siapa pacar aku.”“Dih, pede banget. Siapa lagi yang mau tahu urusan percintaan dia. Mau punya pacar kek, selingkuhan kek, jadi simpanan tante-tante kek. Bukan urusan aku!” kata Silia dalam hati. Tak berani mengungkapkan langsung di depan Roby, takut cowok itu berubah pikiran dan tak jadi menikahinya.“Paham??”“Iyaaa...”“Yang ketiga, jangan berharap aku akan menjalankan kewajibanku sebagai seorang suami. Kamu urus diri kamu sendiri, aku urus diriku sendiri. Karena secara teori kamu nanti numpang tinggal sama aku, kamu harus rajin beberes rumah. Aku akan tanggung untuk makan kamu, tapi seadanya. Sebaiknya kamu punya uang sendiri, kalau mau makan yang enak sesuai keinginan kamu. Gimana?”Silia diam berpikir. Sungguh syarat yang sebenarnya sederhana, tapi terasa berat baginya. “Oke... Deal!” katanya kemudian.Mereka berjabat tangan. Dan mengakhiri pertemuan mereka sore itu. Besok malam semuanya akan dimulai. Sepanjang jalan pulang Silia tak hentinya membuang napas, mencoba mengurangi beban yang menghimpit dadanya. Malam ini ia tak akan bisa tidur dengan nyenyak.Arman berkali-kali menghembuskan napasnya dengan kasar. Terlihat sekali kalau dia sedang berusaha menahan amarahnya. Berusaha agar kepalan tangannya tak mendarat di wajah pemuda yang baru saja mengaku menghamili putri kesayangannya. Putri kebanggaan satu-satunya. Sementara di sebelahnya, Amira sang istri sudah menangis sejak tadi.“Apa yang kurang dari kami, Silia? Kenapa kau melakukan ini pada kami? Kenapa kau tega mengecewakan kami?” tangis Amira. Ia tak menyangka putrinya yang selama ini pendiam dan tak pernah keluyuran, tahu-tahu hamil. Di saat kuliahnya masih belum selesai.Arman hanya bisa menggertakkan gigi. Di depannya, Silia dan Roby terlihat menunduk dengan takut.“Kapan kalian melakukannya? Dan berapa kali?” tanya Arman dengan nada suara berat.“Cuma sekali Om. Saat Silia keluar mentraktir teman-teman di hari ulang tahunnya,” jawab Roby, sesuai dengan arahan Silia. Semua sudah mereka siapkan. Jawaban dari pertanyaan yang mungkin akan muncul saat mereka mulai bersandiw
Hari yang dinanti tiba. Sejak pagi terlihat kesibukan di rumah Silia. Meski acara ijab kabul dan resepsi akan diadakan di hotel, tapi Silia didandani dan dipersiapkan dari rumahnya, baru nanti akan di bawa ke hotel dengan memakai mobil pengantin. “Gimana? Ideku bagus kan?” tanya Yesika sambil membantu Silia memakai baju dalaman sebelum memakai gaun pengantin untuk acara akad pagi ini.Silia hanya diam. Malas menanggapi omongan Yesika.“Kamu masih ada hutang loh. Kamu baru transfer 38 juta. Masih kurang 12 juta.”“Iya aku tahu. Bisa nggak sih kamu nggak ngomongin hal itu sekarang?! Aku nggak mau ada yang dengar.”“Ya aku kan Cuma ngingetin aja. Nggak usah galak napa? Sensi amat jadi orang!” balas Yesika kesal.Mereka kembali diam saat ada seseorang yang masuk ke kamar mengambil sesuatu.“Jangan terlalu mendalami peran ya. Jangan sampai jatuh cinta sama Roby,” kata Yesika saat kembali hanya tinggal mereka berdua.“Memangnya kenapa? Dia pacar kamu?” tanya Silia asal. Tapi cukup
Suasana terlihat begitu mewah dan romantis. Dekorasi pelaminan ala hotel bintang 5 yang lengkap dengan bunga-bunga indah membuat siapa pun yang memandang akan merasa takjub. Para tamu yang hadir merasa kalau Silia adalah gadis yang beruntung, karena bisa mendapatkan pernikahan yang diimpikan banyak gadis di luar sana. Mereka yang datang pun begitu terpesona melihat ketampanan Roby. Meski terdengar desas-desus yang tak mengenakkan, mengingat pernikahan Silia yang begitu mendadak. Pasti menimbulkan berbagai spekulasi di kalangan para undangan yang notabene adalah orang-orang terdekat keluarga Silia.Setelah Roby dengan lancar mengucapkan ijab kabul, disambut teriakan ‘sah’ dari para tamu, Silia tampak di bawa masuk ke dalam ruangan dengan berjalan pelan, diapit oleh dua orang wanita kerabatnya. Silia menjadi pusat perhatian. Gadis itu terlihat cantik, berbanding terbalik dengan penampilannya sehari-hari. “Gimana Roby, cantik kan istrimu?” Nina, yang masih sepupu jauh Silia meng
“Kami pulang dulu ya. Besok kalau udah mau check out, telfon aja. Biar Pak Mun yang jemput kalian ke sini.” Ujar Amira sambil memeluk Silia.Silia hanya mengangguk. Sebenarnya, ia tak ingin menginap di hotel tempat mereka mengadakan acara resepsi. Lebih nyaman kalau ia langsung pulang ke rumah.Tapi ibunya bilang, sayang sekali kalau free room yang diberikan pihak hotel tak dipakai. Apalagi mereka adalah pengantin baru, tentu lebih memerlukan privasi di malam pernikahan.Wajah Silia memerah malu saat tadi sang ibu berkata demikian. Spontan pandangannya terarah pada Roby yang memasang wajah dingin.“Jangan lupa makan. Kalian kayaknya belum sempat makan malam kan? Pesan room service aja. Restoran di hotel ini buka 24 jam.” Pesan Amira, lagi-lagi hanya disambut anggukan Silia.“Udah belum? Ayo pulang, ini udah malam.” Ujar Arman sambil menutup mulutnya yang sedang menguap.Amira kembali memeluk anak gadisnya dan berpamitan pulang. Kini, tinggallah Silia dan Roby. Berdua di dalam s
Suara ketukan di pintu kamar mandi membuat Silia terkejut, seolah membuyarkan semua lamunannya.“Hei, ngapain aja sih di dalam dari tadi? Kamu masih hidup kan?”Roby bertanya sambil terus mengetuk pintu. Terdengar sangat jelas rasa khawatir dalam kalimatnya.“Iya. Tunggu dulu sebentar.”Silia cepat meraih handuk yang tergantung. “Aku mau keluar sekarang. Kamu jangan ngeliat ya.” Ujar Silia, setelah membuka sedikit pintu kamar mandi.Roby tak menjawab. Ia hanya memandang Silia dengan tatapan yang sungguh sulit diartikan.“Hadap sana dong! Aku mau keluar!” sentak Silia.“Kamu malu? Aku udah jadi suami kamu.” Ujar Roby.Silia berdecak. “Kalau gitu, apa kita akan melakukan hubungan suami istri malam ini?” tantang Silia.Roby hanya membuang nafas. Tak disangka gadis itu justru berbalik mempermainkannya. Akhirnya ia memilih untuk mengalah dengan mengubah posisi menjadi membelakangi Silia.Silia keluar dengan kaki sedikit berjinjit. Meski tak menimbulkan suara, namun langkahnya m
Silia membuka mata dan menggeliat sebentar. Tangannya menggapai-gapai sesuatu yang semalam ia simpan di bawah bantal, yaitu ponselnya.Setelah dapat, ia menghidupkan benda pipih itu dan melihat jam di layar. Baru jam enam pagi. Perlahan ia duduk dengan mata yang masih sepat. Seketika ia celingukan. Pandangannya menyisir ke seluruh ruangan, dan kembali berakhir di sofa tempat ia meletakkan selimut dan bantal semalam.Kedua benda itu masih tersusun rapi layaknya belum disentuh sama sekali. Dan tentu saja, tak tampak keberadaan Roby di kamar ini.Alis Silia bertaut. “Ke mana dia? Masa’ nggak ada pulang sama sekali?” gumamnya.Silia menuruni ranjang dan berjalan ke arah sofa. Baru saja ia hendak memegang bantal dan selimut itu, terdengar pintu kamarnya terbuka dan Roby masuk.Sesaat mereka saling diam saat tatapan itu bertemu. “Kamu udah bangun?” tanya Roby sambil berjalan masuk menuju kamar mandi.“Kamu dari mana? Nggak pulang dari semalam?” Silia balik bertanya.“Itu urusanku
“Jangan ngaco kamu, Sil. Kalau dia pacar aku, nggak mungkin aku biarkan dia nikah sama kamu!” Sanggah Yesika.“Ya kalau gitu jawab dong pertanyaanku, dari mana kamu tahu kalau Roby keluar malam-malam dan ketemu sama pacarnya. Apa kamu kenal sama pacarnya Roby?”“Ya pokoknya aku tahu! Kamu nggak usah nanya-nanya lagi. Aku tuh pinter dan banyak koneksi. Jadi mudah aja bagi aku buat dapatkan informasi yang kayak gini.” Silia memandang Yesika dengan tatapan tak percaya. Ia tahu, kalau Yesika saat ini sedang berbohong. Namun ia sama sekali tak punya cara untuk membuktikannya.“Sebenarnya maksud kamu apa sih pagi-pagi udah datang ke sini Yesi? Kamu tahu nggak sih, kalau aku cukup merasa terganggu dengan adanya kamu di sini?” Kata Silia pelan, namun tajam.Yesika tertawa kecil. Kalau saja bukan karena mereka sekarang sedang berada di hotel, mungkin Yesika sudah memaki Silia dan mengungkit aibnya. Seperti yang pernah ia lakukan di hari pernikahan gadis itu.Namun Yesika masih berpikir,
Silia sudah terlelap sejak beberapa jam yang lalu, saat ia mendengar bunyi derit di pintu kamarnya.Sesaat, ia beranggapan kalau yang masuk adalah sang ibu. Namun tak lama ia langsung tersadar kalau itu adalah sosok seorang lelaki bertubuh tinggi tegap yang kini sedang berjalan mengendap-endap.Naluri waspadanya spontan membuat Silia bangun dengan sebuah jeritan kecil. Ia pikir, pencuri masuk ke dalam kamar dan akan melakukan perbuatan tak senonoh padanya.“Apaan sih, bikin kaget aja!” sungut Roby sambil menghidupkan lampu kamar.“Roby...?” Silia lega, karena yang berada di hadapannya kini ternyata adalah sang suami bayaran.“Iya, ini aku. Jangan sembarangan teriak dong! Nanti dikira aku mau ngapa-ngapain kamu!” Roby masih mengomel sambil melemparkan waist bag ke atas meja yang ada di sudut ruangan.“Habis aku pikir kamu maling atau orang jahat. Lagi pula ngapain sih kamu pake acara mengendap-endap segala? Hidupkan lampu dong kalau mau masuk kamar.” Kali ini, gantian Silia yang
“Buat apa Roby? Bukankah ini terlalu banyak?” Silia heran melihat keranjang belanja Roby yang nyaris penuh dengan alat make-up. Sebagai perempuan pun, Silia bahkan tak tahu kalau alat tempur wanita bisa sebanyak itu.“Untuk mendandanimu. Kau harus terlihat berbeda malam ini,” ujar Roby sambil memasukkan beberapa jenis peralatan dandan ke dalam keranjangnya.“Aku kan sudah didandani Mama. Dan kau bisa lihat sendiri tadi, Yesika justru mengolok-olokku,” ucap Silia, tiba-tiba merasa kesal.“Maaf, tapi menurutku dandanan itu memang tak cocok untukmu. Mungkin akan terlihat cantik buat wanita yang sudah berumur seperti Mama. Tapi untuk kamu, tak bisa diaplikasikan seperti itu.” Roby singgah di tempat barisan lipstik.“Mbak, lipstik yang ini ada testernya?” tanya Roby pada seorang Beauty Advisor yang berjaga sambil menunjuk salah satu merk lipstik terlaris dan terkenal dengan kualitasnya yang bagus.“Ada Pak. Silakan dicoba dulu.”Roby mengambil beberapa warna untuk uji coba kecocokan. Ia m
“Teman lamaku Derick, yang lama tinggal di Amerika baru pulang ke Indonesia beberapa hari lalu. Besok malam dia akan mengadakan pesta kecil-kecilan di rumahnya. Saat tahu kalau Silia sudah menikah, dia sangat terkejut dan memintaku untuk mengajak kalian besok malam. Bisa kan?”Silia dan Roby berpandangan. Dua-duanya, sama merasa ragu untuk mengiyakan.“Kalau tak mau juga tidak apa-apa. Sejak dulu kan memang aku paling susah membawa keluarga setiap kali ada acara besar dengan teman-teman bisnisku,” Arman terlihat kesal sendiri. Ia sebenarnya sangat berharap ajakannya disambut baik, namun tentu saja ia merasa gengsi untuk memaksa.“Kalian ikut ya. Kasihan Papa kalau pergi sendiri atau hanya berdua dengan Mama. Jadi seperti tak punya anak,” Amira membujuk, takut sang suami mengambek.“Tapi Ma, kenapa acaranya mendadak sekali? Kami tak sempat menyiapkan pakaian yang tepat.” Silia beralasan. Padahal sebagai pribadi yang introvert, ia tak begitu menyukai acara-acara ya
“Sayang, kalian datang?”Amira menyambut kedatangan Silia dan Roby dengan antusias.“Iya Ma, kebetulan Roby hari ini dan besok dapat off kerja. Jadi mungkin kami akan menginap satu malam di sini,” Silia berkata sambil melepaskan pelukan ibunya.“Benarkah? Mama senang sekali. Kalau bisa jangan satu malam saja, tapi dua malam. Mumpung libur,” ujar Amira.“Lihat nanti saja Ma. Kalau memang tak ada hal mendadak, kami akan menginap dua malam,” sahut Roby.“Nah, begitu memang seharusnya.” Amira senang bukan kepalang. “Eh, tapi kenapa kalian tidak menelepon dulu kalau mau ke sini? Biar Pak Mun yang jemput pakai mobil. Mama masih trauma kalau ingat Silia naik motor. Apalagi kamu kan baru empat hari yang lalu keluar dari rumah sakit,” Amira berkata sambil membetulkan poni samping Silia yang menutupi mata. Rambut ekor kudanya pun tak luput ia benahi juga.“Nggak apa-apa Ma. Roby bilang tak mau merepotkan Pak Mun. Lagi pula, Roby bawa motor pelan-pelan.” Silia berusaha agar ibunya tak
“Silia tidak apa-apa, Tante. Hanya sedikit lecet dan sempat kram perut. Tapi tak ada masalah berarti karena Dokter bergerak cepat menangani,” ujar Silia pada Hanisa.“Syukurlah kalau begitu. Tante benar-benar terkejut dan khawatir waktu tadi dengar kabar, kamu masuk rumah sakit. Sampai bela-belain datang menjenguk sepagi ini.”“Tak ada yang perlu dikhawatirkan, Tante. Ada saya di sini yang akan menjaga Silia,” Roby berkata sambil memandang tajam ke arah Vatra.Kedua pemuda itu saling menatap bagai dua ayam jago yang akan berlaga.Hanisa yang sebenarnya menyadari kalau keadaan menjadi tak nyaman, hanya bisa saling berpandangan dengan Silia.“Eh, tapi bagaimana bisa kalian kecelakaan? Apa kalian ditabrak?” Hanisa berusaha mencairkan suasana dengan mengalihkan pembicaraan.“Kami yang menabrak, Tante. Ada orang yang tiba-tiba saja keluar dari dalam gang. Roby tak sempat menghindar,” jawab Silia.“Pasti terlalu mengebut bawa motor. Seharusnya kalau membawa istri yang sedang hamil, t
Silia membiarkan Roby yang masih menangis di pelukannya. Untung saja mereka berada di ruangan VIP, jadi tak ada pasien selain mereka. Roby seolah menumpahkan semua air matanya. Tanpa ada rasa malu. Bagi pemuda itu, Silia adalah satu-satunya orang yang bisa menjaga rahasia. “Maaf. Seharusnya aku tak begini. Kau sedang sakit, tapi aku malah membebani pikiranmu dengan bertingkah seperti ini.” Roby melepas pelukan dan menghapus air matanya. “Tidak apa-apa, Roby. Aku tak mempermasalahkannya. Kemarin di saat aku sedih, kau yang menghiburku.” Silia tersenyum. “Apa aku terlihat menyedihkan?” tanya Roby. “Tidak sama sekali. Kau justru tampak lebih membaik setelah menangis,” puji Silia. Mereka berdua sama-sama terdiam. “Jadi, apa satu hal yang mau kau minta padaku?” Silia menatap Roby yang duduk di samping ranjang. Roby diam sejenak sebelum akhirnya menjawab meski terlihat sangat ragu. “Aku ingin tahu, apakah kau bisa membantuku? Kau tahu sendiri, kalau harga diriku telah diinjak-injak
“Mama, maafkan Roby...” Hanya itu kata yang bisa terucap dari mulut Roby saat Amira datang dengan wajah panik bersama Arman. “Apa yang terjadi Roby? Bagaimana bisa kalian kecelakaan? Apa kau tidak apa-apa?” Amira memindai tubuh Roby dari atas hingga ke bawah, khawatir menantunya itu terluka. “Roby baik-baik saja Ma. Cuma tergores sedikit. Tapi Silia...” Roby tak berani melanjutkan kalimat, matanya melirik ke arah Arman yang tampak menatapnya dengan bola mata yang menyala bagai api. “Bagaimana kau ini, malam-malam membawa Silia berkeliaran! Tidak hati-hati pula!” Arman mengomel, kesal karena anak perempuan semata wayangnya mengalami musibah. “Maaf Pa. Memang salah Roby.” Roby hanya bisa menunduk karena merasa bersalah. “Bagaimana keadaan Silia? Apa dia parah? Kandungannya tidak apa-apa?” tanya Amira, berusaha untuk tetap tenang meski hatinya luar biasa kalut. “Silia dan kandungannya tidak apa-apa. Dokter di dalam sedang melakukan pemeriksaan ulang,”
“Kenapa kau memandangku seperti itu?” tanya Silia, merasa Vatra hanya menatapnya tanpa bicara sepatah kata pun. Ia baru berani bertanya saat baru saja Hanisa beranjak pergi untuk menanyakan pesanan mereka yang belum diantarkan pelayan.“Memangnya aku memandang seperti apa?” Vatra balik bertanya.“Entahlah, tatapanmu lain. Tak seperti biasanya. Sejak tadi juga kau hanya diam. Padahal setiap kali bertemu denganku, kau selalu bertanya ini itu. Kau seperti orang yang berbeda, Vatra.”Vatra tersenyum, namun terlihat hambar. “Aku tak pernah berubah, Silia. Apalagi denganmu. Sejak dulu sampai sekarang, aku selalu sama buatmu. Hanya saja, kalau memang kau merasa aku berbeda, aku rasa bukan karena aku yang berubah, tapi kau.”“Aku tak mengerti apa maksudmu,” ujar Silia sambil menggeleng kecil.“Sudahlah, tak perlu dibahas lagi.” Suara Vatra terdengar lemah.Lagi-lagi, keheningan menyergap mereka berdua.“Vatra, ada yang mau aku katakan soal kalung yang kemarin kau titipkan pada Mama.” S
Dua pasangan muda itu kini saling bertatapan. Roby berpandangan dengan Yesika, sementara Silia melihat Vatra dengan dada berdebar yang sulit untuk diartikan.“Kalian memang sangat serasi. Makan malam berdua dengan pasangan sangat menyenangkan ‘kan?” Yesika mencibir.Satu kalimat ia tujukan untuk tiga orang sekaligus, dengan arti dan maksud berbeda.Yesika menyindir Roby yang kepergok membawa Silia makan malam bersama. Bagaimanapun, ada rasa cemburu dalam hatinya saat melihat sang kekasih bersama wanita lain.Kalimat itu juga seakan menunjukkan bahwa Roby yang bagi Yesika adalah laki-laki miskin, serasi dengan Silia yang culun dan berpenampilan seadanya.Adapun bagi Vatra, Yesika sengaja berkata demikian agar hati pemuda itu semakin patah dan menyadari bahwa wanita yang ia cintai telah menjadi milik orang lain.“Kau sendiri, apa yang kau lakukan di sini bersama Vatra? Apa kalian juga pasangan yang sedang makan malam?” Silia balik menyindir dengan nada yang kentara sekali kalau ia
“Ini memang kalung yang kau berikan pada Silia. Tapi aku tidak mengambilnya.”Jawaban Yesika membuat kening Vatra berkerut heran.“Lantas, bagaimana bisa ada denganmu?” tanyanya.“Silia memberikannya padaku. Dia bilang, kalung ini tak boleh berada di tangannya. Dia sudah punya suami, tak pantas menerima hadiah dari laki-laki lain dalam bentuk apa pun dan dengan alasan apa pun. Roby bisa marah kalau sampai tahu. Dan dia tak mungkin akan berbohong selamanya. Karena itu, dia memberikan kalung ini padaku.”Vatra menurunkan pandangan, seakan masih sangsi akan pengakuan Yesika. Haruskah ia percaya? “Kalau memang dia tak bisa menerimanya, kenapa tak dikembalikan saja padaku?” Vatra bertanya dengan lesu.“Tentu saja karena dia tak enak hati. Dia tak mau terlihat menolak apalagi membuang barang pemberianmu. Karena itu dia memberikan ini padaku. Lagi pula, memangnya kau berharap kalung ini dikembalikan kalau Silia tak menginginkannya? Apa kau merasa sayang karena harganya sangat mahal? K