"Aku ingin keponakanmu Alena Geraldine, bisa kau berikan dia pada ku?" tutur seorang pria berparas tampan dengan senyum sinis menatap pria paruh baya dihadapannya.
Sambil menyilangkan tangannya, pria itu menatap dengan senyum sinisnya. Ia sangat yakin jika pria paruh baya dihadapannya itu pasti tidak akan menolak keinginannya."Tuan Azam, maaf Alena hanyalah gadis biasa, bagaiman jika putriku Nara dia—" ucap pria paruh baya itu, mencoba memberi jawaban pada pria bernama Azam namun langsung dipotong."Pak Hendro! Aku tidak butuh putrimu, yang aku inginkan adalah keponakan mu!" bentak pria bernama Azam itu dengan tatapan pembunuhnya.Seketika pria paruh baya bermana Hendro itupun tertunduk takut. Keringat bercucuran membasahi wajahnya. Tubuhnya gemetar seketika ketika melihat sorot kemarahan yang ditampilkan oleh Tuan muda itu."Maaf Tuan saya hanya—" pria paruh baya itu mencoba kembali membuka suara akan tetapi, perkataannya lagi-lagi dihentikan oleh Azam."Aku tidak akan mengulangi lagi perkataan ku! Dan aku berharap Anda paham apa yang aku minta!" tegas Azam kini berkata tepat di depan wajah Hendro dengan tatapan tajamnya yang hanya berjarak beberapa inci dari wajahnya."Ba-baik Tuan Azam," jawab Hendro terbata dengan tubuh yang semakin bergetar hebat."Bagus! Aku tunggu besok sore di rumah ku, jika kau tidak membawa keponakan mu itu. Maka bersiaplah, karena bukan hanya perusahaan mu yang hancur tapi kau juga akan aku hancurkan!" Azam tersenyum miring, seraya kembali keposisi dudunya."Zen, siapkan pernikahan ku besok sore!" ucapnya lagi kini pada sang asisten."Baik Tuan," jawab Zen patuh."Sampai bertemu besok sore Pak Hendro." Azam kembali berkata disertai dengan senyum denvilnya yang hanya dijawab dengan anggukan ketakutan dari pria paruh baya itu.Pria berparas tampan itu pun bangkit dan berlalu. Meninggalkan pria paruh baya yang kini tengah ketakutan."Ya Tuhan bagaimana ini, kenapa dia malah meminta gadis bodoh itu!" tutur Hendro kesal mengapa yang dipilih oleh Azam adalah keponakannya dan bukan putrinya.Sementara, di dalam mobil Azam tersenyum penuh kemenangan. Karena sebentar lagi balas dendamnya akan segera dimulai."Jonatan tunggu saja!" ucapnya dengan sorot mata penuh kebencian saat menyebut nama Jonatan.Hendro pulang dengan wajah lesunya. Angan-angannya mendapatkan menantu kaya raya ternyata hanya mimpi semata.Hendro yang semula begitu bersemangat setelah Zen tiba-tiba menelponya dan mengabarkan jika Azam ingin melamar salah satu gadis yang ada di rumahnya. Hendro sudah begitu percaya diri, jika gadis yang Azam inginkan adalah Nara sang putri.Nyatanya kini pria paruh baya itu menelan kecewa. Karena ternyata gadis yang Azam inginkan adalah keponakannya.Kini, Hendro tengah berkumpul bersama anak istri dan Alena keponakannya. Pria paruh baya itu harus segera memberi tahu Alena, tentang keinginan sang tuan muda. Hendro tak ingin Alena mengecewakannya sebab ia tahu jika Alena sudah memiliki kekasih.Hendro tak ingin mempertaruhkan perusahaannya jika sampai Alena mengacaukan rencana Azam. Ancaman Azam tak pernah main-main dan Hendro tak ingin menyesal nantinya."Alena besok sore kau harus menikah dengan Tuan Azam," ujar Hendro tegas pada sang keponakan."Aku tidak mau Paman, aku sudah punya kekasih kami akan—" Alena mendongak terkejut, dengan nada sedikit meninggi. Gadis itu, mencoba menolak keinginan sang paman namun langsung dipotong oleh sang paman."Cukup Alena! Saat ini kamu tidak dalam posisi untuk memilih!" bentak Hendro tak bisa dibantah."Tapi Pah! Nara lebih baik dari Alena mengapa bukan Nara saja yang menikah dengan Tuan muda!" ucap Marta istri Hendro yang juga terkejut akan keinginan sang tuan muda."Iya Pah, kenapa malah gadis kampung ini sih!" ketus Nara yang terlihat begitu kecewa."Mau ku juga seperti itu tapi, Tuan muda itu hanya menginginkan Alena!" Hendro menjabak rambutnya frustasi, karena pria itu juga menginginkan hal yang sama.Pria itu juga sebenarnya ingin sekali putrinya yang dipilih oleh Azam. Namun, apa boleh buat Azam hanya menginginkan Alena."Besok sore Alena harus dibawa kerumah Azam, pria itu sudah mempersiapkan pernikahan mereka akan menikah sore itu juga," ucap Hendro tak terbantahkan.Seketika Alena terduduk lemas, bagaimana bisa ia menikah dengan orang lain. Sementara, ada pria lain yang ia cintai."Untuk mengantisipasi, sekrang aku harus mengurungmu." Hendro kembali berucap seraya menarik tangan Alena pergi menuju kamar gadis itu."Paman lepaskan! Aku tidak mau menikah dengan pria itu!" Alena berteriak histeris seraya menggedor pintu meminta sang paman mengurungkan niatnya.Sungguh gadis itu tidak ingin dinikahkan apalagi dengan pria yang samasekali tidak ia kenal. Impiannya bersama sang kekasih akan segera mereka wujudkan begitu sang kekasih pulang dari luar negeri."Persetan dengan cinta mu itu! Perusahaan ku lebih penting dari apapun!" Hendro berkata seraya menatap tajam Alena kemudian melempar gadis itu masuk kedalam kamarnya. Tak lupa Hendro mengunci kamar Alena agar gadis itu tidak bisa melarikan diri."Paman buka pintunya! Paman tolong buka pintunya!" Alena berteriak seraya menangis histeris. Tak ada lagi yang bisa Alena lakukan, dirinya tak berdaya melawan sang paman.* * * *Keesokan harinya, sore yang begitu ditunggu oleh Azam kini datang juga. Pria itu sudah terlihat begitu rapi dengan setelan jas berwarna putih yang terlihat begitu gagah.Senyumnya tersungging akan tetapi bukan senyum kebahagiaan seperti layaknya pasangan pengantin. Senyum yang Azam tampilkan justru senyum sinis layaknya iblis.Sementara, di kediaman keluarga Hendro. Alena juga sudah terlihat cantik dengan balutan kebaya putih yang terlihat begitu anggun.Berbeda dengan Azam, Alena justru terlihat murung dengan mata juga terlihat sembab. Untungnya penata rias begitu pandai menutupinya sehingga Alena tetap terlihat cantik meski sebenarnya keadaannya sangat kacau."Kau begitu cantik Nona, pengantin pria pasti sangat terpukau melihat kecantikan mu," ujar penata rias memuji kecantikan Alena."Terima kasih." Alena memaksakan senyumnya menjawab perkataan sang penata rias.'Harusnya momen ini menjadi hal yang membahagiakan untuk ku, jika saja mempelai pria itu adalah kamu Kak Jonatan' Alena membatin sesak, saat tersadar jika dirinya sebentar lagi akan menjadi milik pria lain."Bagaiman Zen, mereka sudah siap?" tanya Azam pada sang asisten lewat sambungan telepon. Sang asisten rupanya kini sudah berada dikediaman Hendro guna menjemput Alena."Sudah Tuan, saya akan segera kembali bersama mempelai wanita." Zen menjawab seraya melirik anggota keluarga Hendro yang telah siap."Bagus cepat bawa mereka, jangan buat aku menunggumu terlalu lama Zen." Azam berkata untuk terakhir kalinya memerintahkan Zen untuk segera bergegas."Cepat Tuan muda sudah menunggu," ucap Zen dengan nada dingin memerintahkan Hendro dan keluarganya untuk segera naik ke mobil.Tak ingin membuang waktu Zen, langsung mengemudikan mobilnya. 40 menit kemudian Zen dan keluarga Hendro kini sudah sampai di kediaman Azam.Satu persatu anggota keluarga Hendro keluar dari dalam mobil. Mereka semua menatap takjub pada bangunan megah bak istana itu.Marta dan Nara kemudian menatap sinis penuh kebencian kearah Alena. Kebencian mereka kini telah diliputi rasa iri yang semakin mendarah daging."Lihat Mah, betapa beruntungnya gadis kampung itu. Harunya ini semua menjadi milikku, harusnya aku yang ada diposisi ini bukan dia." Nara berbisik pada sang Mamah seraya terus menatap Alena."Ayo cepat masuk Tuan muda sudah menunggu." Teguran bernada dingin terdengar dari Zen sang asisten. Mengintruksi rombongan keluarga Hendro untuk segera masuk.Alena hanya mengguk kecil seraya mengikuti langkah paman, Bibi dan juga Nara masuk kedalam rumah megah itu. Alena, melangkah perlahan dengan wajah yang terus ia tundukan.Sungguh sedari tadi gadis itu hanya terdiam seakan raganya tak memiliki jiwa. Hari ini dirinya akan benar-benar kehilangan segala mimpi dan cinta yang telah ia bina bersama sang kekasih."Sudah sampai, mari kita langsung mulai prosesi ijab Kabulnya, aku sudah menunggu lama untuk ini," ujar Azam yang sudah duduk disamping penghulu.Pria itu menatap kearah Alena dengan tatapan yang sulit diartikan."Nona Alena silahkan." Zen menarik kursi untuk Alena mempersilahkan gadis itu untuk duduk disamping Azam. Alena berjalan perlahan dengan wajah yang masih ia tundukan. Alena kini duduk disamping Azam namun, gadis itu sama sekali tak berani menatap wajah pria yang sebentar lagi akan menjadi suaminya itu."Bisa kita mulai?" tanya Azam pada penghulu yang diangguki oleh pria paruh baya itu."Mari Tuan Azam, ikuti saya." Pak penghulu kemudian menjabat tangan Azam untuk memulai ijab kabul."Bagaimana para saksi, sah?""Sah!""Sah!"Perkataan Pak penghulu yang disambut kata "sah" dari para saksi menegaskan jika Azam telah selesai mengikrarkan ijab kabul. Artinya Alena kini telah resmi menjadi istri sah dari seorang Azam Dirgantara.Azam menatap Alena yang duduk disampingnya kemudian mengulurkan tangannya kehadapan wanita itu. Alena sempat terdiam kaget mendapati perlakuan Azam.Detik berikutnya gadis itu meraih tangan Azam. Mencium punggung tangan pria yang kini sudah sah menjadi suaminya.Tiba-tiba saja air mata Alena meluncur tak tertahankan. Bayangan wajah sang kekasih begitu nyata dimatanya.Sungguh, Alena tak tahu bagaimana reaksi sang kekasih. Saat dia tahu jika dirinya sudah menikah."Jangan menangis aku tidak suka melihat air mata!" bisik Azam pada Alena seketika membuat wanita berparas cantik itu tersentak kaget."Ma-af" Alena tergagap, kemudian dengan cepat menghapus air matanya."Baik Tuan Azam, Nona Alena, silahkan tanda tangani buku nikahnya," ujar pak peng
Azam malangkah tegap menuju lantai dua kamarnya. Pria itu tersenyum devil membayangkan penampilan Alena yang mengenakan lingerie yang telah ia kirimkan beberapa jam lalu. Pria itu rupanya telah memiliki rencana untuk bersenang-senang dengan wanita yang sangat dicintai oleh adik tirinya itu. Azam bahkan sudah tak sabar membayangkan bagaimana reaksi Jonatan.Saat adik tirinya itu melihat wanita yang ia cintai kini telah resmi menjadi kakak iparnya. Membayangkan wajah Jonatan yang patah hati dan hancur adalah pemandangan terindah bagi Azam. Sementara di dalam kamar, Alena sedari tadi hanya duduk terdiam. Sorot mata tajamnya terus tertuju pada lingerie tipis berwarna hitam yang ada di pangkuannya dengan hati yang begitu dongkol. Wanita itu benar-benar tak sudi menuruti keinginan Azam untuk memakai pakaian itu. Alena meremas lingerie itu dengan tatapan penuh kekesalan. "Jangan harap aku mau memakai pakaian sampah ini!" geram Alena seraya melempar lingerie ditangannya. Azam membuka pin
Azam benar-benar sudah kehilangan kendali. Teriakan serta jeritan Alena tak ia dengarkan sama sekali. Pria itu seakan menulikan telinganya, yang ada di otaknya hanyalah kebencian dan dendam. Dalam sekali tarik lingerie tipis itupun telah lepas dari tubuh Alena. Azam melempar lingerie yang sudah tak berbentuk itu kesembarang arah. Tatapannya seketika berubah saat melihat pemandangan indah yang tersaji di hadapannya. Amarah bercampur nafsu kini telah menyelimuti diri pria itu."Aku mohon jangan lakukan ini Tuan Azam!" Alena terisak memohon seraya menyilangkan tangannya menutupi dua area sensitifnya."Heh, aku suamimu kita sudah menikah dan aku berhak melakukannya," jawab Azam mencibir perkataan Alena.Memang yang Azam lakukan saat ini bukanlah sesuatu yang melanggar hukum. Mereka sudah sah menjadi suami istri. Tentu saja apa yang Azam lakukan pada Alena saat ini, justru adalah suatu kewajiban."Iya kau memang berhak atas diriku! Tapi itu jika pernikahan kita didasari atas cinta! Dan d
Malam yang panjang kini telah berganti dengan pagi yang begitu cerah. Alena membuka perlahan kelopak matanya. Sinar matahari rupanya sudah mulai muncul menembus celah jendela kamar Azam. "Eummm ...." leguh Alena mencoba mengumpulkan kesadarannya. Namun, matanya seketika melotot saat mendapati sosok pria yang tidur disampingnya. Pria yang tidur dengan bertelanjang dada itupun seketika membuat ia melihat keadaannya sendiri. Alena begitu shock, wanita itu seakan tersadar. Ingatannya kembali pada kejadian semalam. Dimana Azam telah berhasil merenggut kesuciannya yang telah ia jaga selama 19 tahun. Kesucian yang hanya akan ia persembahkan untuk Jonatan sang kekasih kini telah hilang. Air mata Alena kini jatuh tak tertahankan, kala mengingat apa yang terjadi semalam adalah kenyataan. Statusnya kini sebagai Nyonya Azam jelas bukanlah mimpi. "Tidak! Akhh!" Elena meringis terjatuh ketika wanita itu bangkit dan hendak pergi dari kamar Azam. "Kau! Mau kemana, hah!" ujar Azam terbangun ketik
Nyonya Reina tersentak tak percaya dengan kata-kata Azam, yang terdengar seakan tanpa dosa. Lagi pula mana mungkin wanita paruh baya itu mau memberi restu pada hubungan yang akan membuat hati putranya hancur. Terlebih lagi, saat melihat mereka berdua terlihat mesra seakan Alena dengan suka rela menikah dengan Azam. "Apakah selama ini kau hanya mempermainkan putraku!" teriak Nyonya Reina melupakan amarahnya, seraya bangkit dari duduknya dengan tangan yang menunjuk kearah Alena. Sungguh wanita paruh baya itu benar-benar tak percaya. Jika ternyata selama ini gadis yang begitu dicintai oleh sang putra ternyata hanyalah seorang pengkhianat. Padahal Jonatan sudah merencanakan akan melamar Alena saat ia libur semester. Bahkan Jonatan juga sudah berencana akan langsung menikahi Alena begitu ia selesai dengan pendidikannya beberapa bulan lagi. "A-aku—" Alena tak tinggal diam wanita itu mencoba menjawab akan tetapi perkataannya langsung terhenti. Azam rupanya dengan cepat menggenggam tanga
Azam menatap lekat wajah Alena yang tengah tertidur. Pria itu baru saja keluar dari kamar mandi dan kini, dirinya sudah bersiap pergi menemui Zen sang asisten. Beberapa saat lalu Azam kemabli memalukan penyatuan bersama Alena.Azam benar-benar tak memiliki hati, ia benar-benar menganggap Alena sebagai budaknya di atas ranjang. Azam melakukannya tanpa cinta apalagi kelembutan sama sekali. Hanya kebencian yang ada dalam dirinya, apalagi saat mengingat Alena begitu mencintai Jonatan. Darahnya mendidih, bukan karena ia mencintai Alena. Melainkan ia begitu membenci orang-orang yang memiliki cinta dan kasih sayang pada Jonatan.Kring!Dering ponsel Azam terdengar seketika memutus tatapannya pada Alena. Pria itu meraih ponselnya kemudian menerima panggilan yang ternyata itu dari sistemnya Zen."Kau sudah bersamanya?" ucap Azam pada sang asisten tanpa basa-basi."Sudah Tuan,""Ada perkembangan?""Iya Tuan dan ini seperti dugaan Tuan,""Aku segera kesana."Azam menutup telponnya sepihak, denga
"Azam! Azam!" teriak Jonatan dengan penuh emosi memanggil nama Azam seraya melangkah kedalam rumah Azam. Sebelumnya pria itu tidak diperbolehkan masuk oleh satpam. Namun, Nyonya Reina yang ngotot dan mengancam pada sang satpam dengan membawa nama Tuan Abraham. Membuat satpam tersebut dengan terpaksa membuka pintu gerbang dan membiarkannya masuk.Jonatan yang terbang dari London kemarin malam langsung bertolak ke kediaman Azam. Untung saja hanya Nyonya Reina yang mengetahui kepulangan sang putra. Karena, jika Tuan Abraham sampai tahu, mungkin pria paruh baya itu pun tak mengijinkan Jonatan pergi ke rumah Azam. "Maaf Tuan Jonatan, Nyonya besar, Tuan Azam sedang pergi dan—" Mbok Nani menyahut, dengan berlari terponggoh-ponggoh menghampiri Jonatan dan Nyonya Reina."Alena! Alena!" teriak Nyonya Reina memotong perkataan Mbok Nani. Nyonya besar itu memanggil nama Alena tanpa menghiraukan perkataan sang asisten rumah tangga yang sedang menjelaskan keberadaan majikannya. "Alena!" Mendengar
Jonatan menatap sengit perlakuan Azam pada Alena. Tatapan Jonatan begitu penuh emosi seakan ingin menerkam Azam yang ada dihadapannya ini. Jonatan yang sebelumnya selalu menaruh sikap segan pada sang kakak tiri, kini seolah berubah tak bersahabat. Hanya ada kebencian yang mendalam pada sosok Azam yang begitu tega melakukan ini padanya. Padahal Jonatan selama ini selalu bersikap hormat dan menyayangi sang kakak. Namun, apa yang ia dapati, justru perlakuan yang begitu menyakitkan dari sang kakak. Pengkhianatan yang tak pernah disangka, karena selama ini Jonatan melihat sosok Azam yang begitu pendiam. Pria itu tak menyangka jika ternyata sang kakak tiri memiliki dendam padanya. Azam benar-benar menyembunyikan rapi kebenciannya pada Jonatan dan sang mamah. Andai Jonatan tahu rencana Azam mungkin, pria itu sudah lebih dulu menikahi Alena. "Jadi ini maksudmu tentang balas dendam itu?" ucap Jonatan seraya berdiri memegangi perutnya yang masih terasa nyeri akibat pukulan Azam. "Heh kau
Hari berganti hari, kini sudah dua bulan Alena bekerja di perusahaan sang suami. Banyak karyawan yang menyukai Alena disana. Bagiamana tidak, wanita ramah dengan paras cantik serta penuh sopan santun. Jelas membuat banyak karyawan suka pada sosok Alena. Apalagi Alena juga termasuk karyawan yang cerdas. Terbukti saat ia diminta membuat rancangan untuk prodak terbaru Galaxy grup. Alena mampu mempersembahkan maha karya yang begitu apik. Dan itu jelas semakin membuat para karyawan terpesona pada sosok Alena. Namun, tak sedikit pula yang membenci Alena. Itu karena mereka sudah terhasut oleh kata-kata Mery. Iya Mery dan Nara semakin kesal ketika Nara yang rencananya akan kembali ke Galaxy grup dengan bantuan Nyonya Reina. Nyatanya gagal total, karena Azam menolak mentah-mentah usulan itu. Alhasil kini, Zen lah yang merangkap sebagai sekertaris Azam.Hal itu membuat Mery dan Nara mengubah rencana mereka. Mereka berdua kini justru memanfaatkan interaksi Alena dengan Azam yang kini semakin
Alena melangkah mantap menuju ruangan Azam. Bumil itu sebenarnya masih malas berhadapan dengan Azam, sang suami. Namun, apa boleh buat. Ia harus profesional karena ini adalah panggilan kerja. Alena langsung mengetuk pintu ruangan Azam. Akan tetapi, pintu tak kunjung dibuka. Alena menghembuskan nafas beratnya, mulai merasakan kekesalan di hatinya. "Dasar kekanak-kanakan!" gerutu Alena langsung membuka pintu ruangan Azam. "Akhhh!" Alena sontak berteriak ketika tiba-tiba saja, tangannya ditarik dari belakang. Rupanya Azam sengaja tidak membuka pintu dan membiarkan Alena membukanya sendiri. Sementara, pria itu bersembunyi di balik pintu. "Pak tolong lepaskan say—eummm!" protes Alena langsung dibungkam dengan ciuman oleh Azam. Pria itu mencium begitu bringas namun, masih dengan kelembutan. Ciuman Azam begitu panas, seolah pria itu tengah menegaskan sesuatu. Merasakan ada sesuatu yang lain dari suaminya. Alena yang tadinya berontak kini mulai mengalungkan tanganya. Membalas ciuman Azam
Nara langsung mengadu pada Nyonya Reina. Gadis licik itu tak mau begitu saja pergi dari Galaxy group. Rencananya bahkan belum sepenuhnya ia jalankan. "Kamu tenang saja, aku akan membuat Azam menerimamu kemabli. Tapi, ingat jangan pernah berbuat gegabah lagi! Dan mulai sekarang aku yang akan mengendalikan dan menyusun rencana. Jangan pernah berbuat diluar perintahku mengerti!" ucap Nyonya Reina geram. Wanita paruh baya itu begitu kesal dengan sikap Nara yang terlalu gegabah. "Baik Nyonya kali ini aku berjanji tidak akan bertindak gegabah lagi." Nara berkata seraya tertunduk menyesali tindakannya yang terlalu cepat. Nara begitu Pedenya berpikir jika Azam pasti akan tergoda padanya. Karena bagaimana pun, Nara sedang berperan sebagai wanita masa lalunya. Sementara, dilain tempat, Azam tengah gelisah. Pria itu terus menatap jam dinding yang terpampang di ruangannya. Azam begitu menantikan saat-saat jam pulang kantor. Pria itu ingin secepatnya bertemu dan berbicara menjelaskan kesalahpah
Keesokan harinya Alena Kembali masuk ke kantor. Insiden kemarin yang mengakibatkan Mery sang manajer dihukum akibat ulahnya pada Alena. Ternyata membuat Mery justru tambah membenci Alena. Apalagi kemarin sore setelah pulang dari kantor. Nara yang sempat menggantikan tugas Alena karena suruhan Zen. Memutuskan untuk bertemu dengan Mery. Dalam pertemuan itu, Nara rupanya langsung mengajak Mery bekerja sama. Nara nyalin betul jika Mery pasti membenci Alena. Apalagi ketika Zen juga ikut memarahinya. Mery rupanya adalah salah satu karyawan yang mengagumi bahkan menaruh rasa pada Zen. Wanita itu begitu sakit hati ketika Zen, dengan terang-terangan memarahinya hanya karena seorang Alena. Dan karena itulah Mery semakin membenci Alena.Hingga wanita itu langsung mengiyakan begitu Nara mengajaknya bekerjasama. Sedangkan Nara, wanita itu tersenyum penuh kemenangan. Mendengar Mery yang mau bekerjasama dengannya. Karena itu artinya Nara tidak perlu menggunakan tangannya untuk mengerjai Alena."Z
Azam berjalan cepat menuju departemen design produksi. Pria berparas tampan. itu benar-benar emosi. Pagi ini moodnya dibuat kacau tidak karuan. Mendapati Nara, wanita masa kecilnya yang mati-matian ia hindari demi Alena. Kini justru berada dekat dengannya. Niat hati ingin melihat sang istri dari kejauhan untuk meredakan kekesalan hatinya. Azam justru dibuat begitu emosi. Ketika melihat sang istri harus repot-repot membuat belasan minuman untuk karyawannya. "Mery!" teriak Azam langsung masuk ke dalam ruangan Mery manager design produksi. "Tuan Azam." Mery begitu terkejut melihat kedatangan Azam yang begitu tiba-tiba. "Apa di Galaxy group kekurangan OB! Apa aku perlu menambah OB untuk membuat minuman untuk para karyawan!" bentak Azam seraya menggebrak meja kerja Mery membuat wanita berusia 35 tahun itu tersentak kaget. "Ma-maaf Tuan Azam apa maksud Anda?" Mery bertanya dengan gagap, maksud kemarahan Azam sesungguhnya. "Maksud ku? Kau tanya maksudku! Kau menyuruh anak magang untuk
Nara masuk ke ruangan Azam dengan langkah gemulainya. Wanita itu begitu percaya diri menatap Azam yang terlihat terkejut. Iya, Nara rupanya dipersiapkan oleh Nyonya Reina untuk menjadi sekertaris Azam. Sementara, sekertaris Azam sendiri, sudah disuap dengan sejumlah uang untuk mengundurkan diri. Nyonya Reina benar-benar tak segan menghabiskan uang untuk memuluskan jalannya. Wanita paruh baya itu benar-benar ingin menghancurkan Azam dan Alena. "Selamat pagi Pak Azam, perkenalkan saya Anara Hendropriyono. Saya adalah mahasiswi magang, tapi saya ditempatkan untuk menjadi sekertaris Bapak," ujar Nara memperkenalkan diri. Azam terdiam menatap Nara apalagi ternyata wanita itu tegah memakai kalung berliontin separuh hati. Tentu saja pria itu terpaku, pasalnya ia tahu betul makna dari liontin itu sendiri. Meski detektif suruhnya sudah memberitahu siapa wanita masa kecilnya sekaligus pemilik liontin itu. Namun, entah mengapa hari pria itu sama sekali tak tersentuh. Azam ingin melupakan ten
Hari yang ditunggu-tunggu oleh Alena pun akhirnya tiba. Dimana hari ini adalah hari pertamanya sebagai mahasiswa magang. Alena berdandan begitu cantik dengan setelan formalnya. Meski kandungannya sudah menginjak usia 5 bulan. Namun, Alena masih terlihat begitu cantik. Perutnya yang sedikit membuncit tak mengurangi keindahan tubuh Alena. Justru wanita itu semakin terlihat seksi. "Sayang, kau yakin akan ke kantor?" tanya Azam seraya memeluk Alena dari belakang. Alena tersenyum, wanita yang tengah mematut dirinya di depan cermin, akhirnya membalikan tubunya menghadap ke arah sang suami. "Iya Mas, bukankah sudah dari satu minggu lalu aku melamar dan kau juga kan yang menyetujuinya." Alena menangkap wajah sang suami yang terlihat sendu. Entah kenapa satu minggu ini Azam menjadi pria yang begitu maja. Bak anak kecil, Azam kadang tak segan merengek minta dimanja. "Tapi kalau kamu cantik begini, apa aku bisa rela. Lagi pula kenapa status harus disembunyikan si sayang," rengek Azam lagi-la
Tiga hari setelah pertemuannya dengan ayah dan mamah tirinya. Azam terlihat semakin posesif. Tentu saja kejadian beberapa bulan lalu, ketika Alena diculik oleh Nyonya Reina dan Karen. Membuat Azam begitu posesif kali ini. Bagaimana pun pria itu tahu betul bagaimana sikap Karen dan mamah tirinya itu. Azam tentu tidak ingin ambil resiko. Apalagi saat ini Alena tengah mengandung buah cintanya. "Mas, bukankah magangku empat hari lagi, tapi kenapa sekarang aku sudah harus itu kamu ke kantor?" tanya Alena pada Azam. Kini mereka tengah berada dalam mobil yang hendak ke kantor Galaxy group. "Sayang, bukankah kau harus mengenal lebih dekat perusahaan yang akan kau singgahi." Azam menjawab pertanyaan Alena tanpa mengalihkan pandangannya ke layar laptop. "Baiklah, bararti aku langsung ke kampus setelah makan siang ya Mas," ujar Alena seraya memakan sandwich sisa sarapannya yang ia bawa. "Siapa yang menyuruhmu pergi ke kampus?" "Maksud Mas?" "Kau akan di kantor menemani ku sampai jam pulang
Pernyataan Tuan Abraham sontak membuat Azam dan Alena terkejut. Bagiamana tidak, sang ayah begitu entengnya meminta dirinya untuk menikahi wanita lain. Padahal saat ini jelas-jelas Alena ada di sampinya. Ditambah lagi, istrinya itu kini tengah mengandung. Namun, Tuan Abraham seolah tak perduli dan tak menganggap Alena sama sekali. Alena benar-benar tak ada harganya di mata kedua orang tua itu. "Apa Ayah sadar dengan permintaan Ayah barusan? Tidak kah Ayah lihat aku sedang bersama siapa? Bahkan istriku sedang hamil Yah, dan Ayah dengan entengnya memintaku untuk menikahi wanita itu!" Azam benar-benar geram, sambil menunjuk Karen. Pria itu meluapkan emosinya yang membuncah. "Persetan dengan pernihakan mu! Aku tidak merestuinya Azam! Pokoknya kau harus menikahi Keren secepatnya!" hardik Tuan Abraham tak berperasaan. "Heh, persetan dengan pernikahan ku? Kalau begitu aku pun sama, persetan dengan permintaan mu Ayah! Sampai kapanpun aku tidak akan menikahi wanita itu!" Azam membantah den