" Bu Nendah terus-terus manggil nama Ibu." Naura langsung melirik suaminya dengan perasaan haru."Bisa, Bu, sebentar ya saya langsung ke sana."Perempuan berhijab itu memeluk suaminya sangat erat. "Mas, Ibu nyarin aku, kita ke sana sekarang ya." Naura menatap wajah suaminya sambil menengadah.Tanpa pikir panjang mereka segera meluncur menggunakan motor, kebetulan rumah baru mereka tak jauh dari yayasan tempat ibunya diobati.Mata Naura sayu menatap ibunya di sebuah ruangan sambil terus menyebut namanya."Perubahan Bu Nendah bisa dibilang sangat cepat, Bu, dia juga sudah mau tersenyum sama perawat, bahkan kemarin sempat bertanya katanya ini di mana." Dokter perempuan itu menjelaskan.Setitik air jatuh dari pelupuk mata Naura, ia sudah tak sabar memeluk sang ibu setelah sekian lama menahan rindu."Boleh saya masuk?"Dokter itu mengangguk. "Silakan, tapi jangan buat ia terlalu berpikir keras ya, Bu, karena itu juga ga baik."Naura segera memasuki ruangan seluas tiga kali tiga meter ini,
Dua Minggu kemudian Naura bisa bernapas lega, pasalnya pendekatan dengan sang ibu berjalan lancar, wanita yang sejak lama mengalami gangguan jiwa itu mulai akrab dengan dirinya."Tahu ga, Neng, Ibu tuh benci sama Si Endang, anak Ibu dibawa kabur sama istri barunya, kalau Ibu ketemu dia Ibu mau bunuh saja lelaki itu."Naura tersenyum walau dibalik itu ia menyimpan sakit yang teramat dalam, tak terbayang bagaimana sang ibu melewati malam-malam panjang penuh kerinduan pada dirinya.Naura menengadah menahan cairan yang berdesakan hendak luruh dari matanya. Akan tetapi, ia tak ingin dilihat oleh ibunya sedang bersedih.Naura harus selalu ceria di hadapan ibunya, ia harus menjadi pendengar segala keluh kesah atas derita yang sudah dikecapnya bertahun-tahun."Ibu sayang banget ya sama anak Ibu itu?" Dalam keadaan suara serak Naura bertanya."Sayang banget atuh, Neng, sayaaang banget." Mata wanita tua itu terpejam mengekspresikan rasa sayangnya pada sang putri."Dia pasti cantik ya, Bu." Naur
Feri mengusap-usap rambut tebal nan hitam istrinya. "Kasihan banget sih kamu, Yang, sabar ya insya Allah ada jalan.""Aku pengen banget pas kita ngadain resepsi nanti Ibu udah sembuh dan duduk sama kita di altar pelaminan.""Gini aja, gimana kalau kita datangkan Bi Nani ke sini, suruh dia jelasin ke Ibu kalau kamu itu anaknya yang udah besar."Seketika Naura menengadah menatap suaminya, ide yang cemerlang dan bisa ia coba."Pinter kamu, Mas, ya udah besok aku pinjem motor kamu ya buat jemput Bu Nani." Mata Naura langsung berbinar."Pinjam mobil Papa aja, nanti Mas telpon.""Ga enak, Mas, kalau minjem mobil Papa entar Kak Jeni nyindir aku lagi di status." Naura cemberut."Udahlah biarin aja kamu jangan lihat-lihat status dia, bisukan aja, dia mah iri pasti.""Ya udah deh terserah kamu, tapi yang bawa mobilnya siapa, Mas?" Naura kembali bingung.Feri langsung garuk-garuk kepala, ia sudah malas meminta bantuan Pak Anwar, kini lelaki yang selama ini mengabdi sebagai sopir pada dirinya itu
Bu Nendah telah tidur akibat reaksi obat, Naura menatap wajah bersih nan pucat yang sedang terlelap itu dengan hati yang pilu.Bu, kapankah kita bisa mengobrol berdua dan tertawa lepas bahagia?Aku sangat rindu, cepatlah sembuh, Bu.Tanpa sadar setitik air jatuh dari matanya."Sabar ya, Bu Naura, Bu Nendah sedang dalam tahap penyembuhan, sejauh ini perubahannya sangat jauh meningkat, terus dekati dia, ajak Bu Nendah untuk dekat pada Allah, misal dengarkan murotal atau dengarkan ceramah yang menyentuh hatinya."Saran dari Dokter Tika masih terngiang saat ia pulang, kali ini Naura membiarkan Feri mengantarkan Bi Nani sendiri setelah barusan membeli banyak oleh-oleh untuknya."Maaf ya, Bi, aku ga ikut nganterin, kapan-kapan main ke sini, langsung telpon aja nanti suamiku jemput," ujar Naura mengantar sampai teras rumahnya."Ga apa-apa, Neng, istirahat aja. Rumahnya bagus nanti Bibi ajak pamanmu tapi harus naik motor.""Gampang nanti aku bawa pasukan Genk motor buat jemput Bibi." Naura te
"Ya kalau udah jelas sering lihat mereka bersama berarti mereka emang bener ada hubungan, masa Ibu salah kalau ngelaporin ke Bapak, waktu itu Ibu kasihan bukan ngebet mau balikan!"Bu Rita masuk ke dalam rumah demi tak ingin terlihat cemas oleh suaminya, bagaimana pun ia takut Pak Endang akan kembali pada mantan istrinya.Gegas ia masuk ke kamar Dara dengan tergesa, putri bungsunya itu sedang fokus membuat surat lamaran kerja meski fisiknya belum pulih sempurna."Dara, coba kamu cari tahu tentang ibu kandungnya si Naura, Ibu penasaran banget dia sekarang kaya gimana."Dara gadis pemalas itu berdecak merasa terganggu dengan kehadiran sang ibu."Mau ngapain sih ah, ga penting banget," jawab Dara tanpa menoleh"Ini penting buat Ibu, bapakmu udah ketemuan sama ibunya si Naura itu, kamu mau bapakmu selingkuh sama ibunya si Naura."Dara merenung sejenak, lalu menoleh"Iya juga sih, tapi gimana cara cari tahunya, Bu?" Dara kembali fokus pada lembaran kertas di hadapannya."Ya kamu mikir lah,
"Duh capeknya," lirih Feri sambil membaringkan tubuh di sofa putih tulang itu, satu Minggu yang lalu mereka baru membelinya.Naura tersenyum hangat sambil memijat kening sang suami, pijatan itu membuat mata Feri terpejam merasakan kenikmatan yang istrinya ciptakan."Duh, Sayang, kamu cocok deh jadi tukang pijat," gumam Feri masih dengan mata terpejam."Selain jago masak istri Mas ini ternyata jago mijat sebentar lagi pasti jago goyang." Feri terkekeh.Naura langsung sebel jika Feri ngomong menjurus hal ke sana, ia mengeraskan pijatannya dengan sengaja."Aw! Ga gitu juga kali, Yang." Refleks Feri terbangun dan menatap wajah istrinya sambil merenggut."Abisnya Mas ngomong mesum terus sih, bikin sebel!""Siapa juga yang ngomong mesum, maksud Mas itu goyang gergaji, goyang inul atau goyang itik. Kamu nih yang mesum." Telunjuk Feri menuju ke Naura tanda mengejek.Mata Naura membeliak. "Tahu ah, aku mau beli kulkas beliin ya." Naura merengek manja."Siap, hari ini juga on the way, tapi kasi
"Saya udah ga mau pakai jasa Bapak lagi, tapi kalau Papa saya masih mau pakai jasa Bapak ya terserah."Pak Anwar manggut-manggut, ia terima hal menyakitkan ini karena memang sudah konsekuensi atas kecerobohannya yang selalu meminjam mobil Feri pada Alvin."Terima kasih, Nak Feri. Dipecat pun saya terima asal Nak Feri memaafkan kesalahan saya, dan Pak Bagus juga sepertinya sudah terlanjur kecewa, saya terima jika keluarga Nak Feri memutuskan memecat saya."Ada rasa perih menyelusup ke dalam hati Pak Anwar, saat ini ia butuh banyak biaya untuk anaknya, tapi yang terjadi malah kehilangan pekerjaan."Baguslah kalau Pak Anwar ngerti, saya juga minta maaf belum bisa jenguk anak Pak Anwar," ujar Feri, padahal sebenarnya ia masih kesal dengan kelakuan Alvin."Ga apa-apa, Nak, Bapak ngerti kalau gitu Bapak permisi."Feri hanya mengangguk tanpa berniat mengantarkan ke teras. Mereka berdua sempat melamun sejenak, apalagi rasa bersalah tiba-tiba hadir di hati Feri."Yang, kira-kira aku salah ga y
Sorakan dan suara tertawa pasien lain mengundang perhatian petugas jaga, mereka menghampiri ke taman belakang."Ya ampun ada apa itu? Ayo cepet." Salah satu penjaga menyeru temannya yang lain untuk melerai.Mereka sekuat tenaga melumpuhkan Bu Nendah yang sedang bringas seperti kerasukan, amarah yang terpendam berpuluh-puluh tahun lamanya kini terlampiaskan, wanita yang kini hampir sembuh dari gangguan jiwanya itu nampak belum puas, ia masih meronta ketika petugas jaga memegangi tubuhnya."Lepasin! Aku mau bunuh dia! Dia udah bawa anakku kabur!"Petugas yang lain serta dokter akhirnya berhamburan datang, mereka membantu membawa Bu Nendah ke dalam hendak diberikan suntikan penenang."Awas kamu ya nanti akan kubunuh!" teriak Bu Nendah, petugas bekerja secar gotong royong membawa Bu Nendah masuk ke dalam."Bangun, Bu, sakit banget ya." Dara terlihat khawatir dengan keadaan ibunya yang masih tergeletak di rerumputan hijau Petugas jaga menghampiri."Ibunya kenapa, Mbak? Atau mau dibawa ke
"Kecuali apa!" bentakku sambil menatapnya tajam."Loh, Sayang, kok kamu bentak-bentak Pak Bagas gitu? Ada apa?" tanya Mas Dari yang tiba-tiba datang dari arah belakang.Aku sudah tak tahan dengan semua ini, lantas berdiri dan menatap tajam wajah Bagas."Mas, lebih baik tolak bantuan dari lelaki ini!" telunjukku mengarah ke wajah Bagas.Lelaki itu sedikit panik dan ketakutan, ia pikir aku akan diam saja ditekan olehnya, jangankan menggertak mencoba membunuhnya saja aku berani.Ya, tepat dua tahun yang lalu Bagas mencoba melecehkanku di vilanya yang berada di puncak Bogor, mereka sengaja memberikan obat tidur pada ketiga temanku lalu dengan santainya menggodaku hingga berusaha melecehkanku di tempat itu.Namun, aku tak Sudi disentuh olehnya, saat itu aku melawan sekuat tenaga hingga berhasil memukul kepalanya dengan bangku, kepala Arvin berdarah, tetapi lelaki itu tak menyerah terus menyerangku untuk mengoyak diri iniHingga akhirnya aku kalap lalu menancapkan pisau daging ke perut dan
Naura mematung dengan tangan mengepal erat, di dadanya ada amarah yang membuncah hebat.Ia benci embusan napas itu, ia juga benci seringai menjijikkan itu yang hampir merenggut kesuciannya beberapa tahun silam, andai Naura tak pandai bela diri tentu sekarang dirinya sudah menjadi sampah."Maaf sekali, Pak Burhan, sepertinya saya berubah pikiran.""Maksud Anda?" Pria berjas silver bernama Burhan itu mengerenyitkan dahinya."Ya, tanah ini tidak jadi saya jual, mohon maaf ya, Pak."Lelaki bernama Burhan itu melirik Naura dengan intens, lalu melirik kliennya yakni Bagas."Maaf kalau boleh tahu apa alasan Bu Naura membatalkan jual beli tanah ini? Bukankah sebelumnya kita sudah sepakat soal harga? Di depan kita sudah ada pembeli yang berani menawar dengan harga tinggi loh, Bu."Naura terdiam sejenak menatap lelaki bernama Bagas yang sangat ia benci setengah mati."Alasannya karena saya tidak menyukai dia." Naura menunjuk dada Bagas dengan tatapan dingin.Sontak saja Bu Nendah dan Pak Burhan
"Pak Polisi?" Tenggorokan Dara tercekat.Bagaimana tak panik teman-teman yang digadang -gadangkan akan melindunginya malah hilang entah ke mana. Sekarang ia mendapati dirinya dalam keadaan mengkhawatirkan."Ini surat penangkapan Anda, saya harap Anda bisa diajak kerja sama." Polisi itu menyerahkan secarik kertas yang membuat Dara kian panik."Tapi ... saya ga bersalah kok, Pak polisi." "Ikut saja ke kantor ya. Ayo." Pimpinan aparat itu menyuruh bawahannya yang berjenis kelamin wanita agar membawa Dara."Sial!""Sial!"Ke mana Yopi, Clara dan yang lainnya? Lalu ada apa dengan tubuhku? Apa yang mereka lakukan semalam?Selama digiring pihak kepolisian Dara terus bertanya-tanya dalam hatinya, tiba-tiba ia langsung teringat Yopi.Apa jangan-jangan lelaki itu sudah menj*mah tubuhku? Kurang ajar kau Yopi, lihat saja nanti.Di ruang penyelidikan Dara terus di bombardir pertanyaan-pertanyaan yang membuat dirinya kehilangan konsentrasi karena pertanyaan tersebut hanya itu-itu saja dan dilontar
"Soal itu kami masih menyelidikinya Pak Feri jangan khawatir kita akan menemukan pelakunya secepat mungkin."Usai berbincang dengan aparat kepolisian jenazah Pak Bagus pun diperbolehkan pulang, seluruh keluarga besar Bu Nisya dan Pak Bagus datang kembali ke rumah itu.Mereka tak menyangka Pak Bagus akan meninggal dalam waktu berdekatan dengan istrinya, ada yang menganggap ini cinta sejati antara mereka ada juga yang menganggap karma."Fer, apa kamu melihat Dara?" tanya Farhan."Tidak, aku sudah menelpon Pak Endang mungkin dia di perjalanan sekarang," jawab Feri.Benar saja beberapa menit kemudian Pak Endang dan Bu Rita datang memakai pakaian serba hitam."Saya ikut berduka cita, Nak Feri," ucap Pak Endang."Terima kasih.""Oh ya mana anakmu si Dara itu? Kenapa dia ga ke sini?" tanya Jeni yang duduk di dekat suaminya.Saat ini jenazah Pak Bagus sedang dimandikan di belakang rumah.Pak Endang tak menjawab ia malah melirik istrinya."Mungkin sebentar lagi," jawab Bu Rita, karena sebenarn
"Hah!" Napas Dara terengah-engah melihat suaminya tergeletak di lantai dengan wajah penuh kesakitan, sedangkan dari dalam dadanya keluar darah dengan derasIa baru tersadar jika tindakannya barusan memang dikuasi setanDara beringsut mundur sambil menutup mulutnya, tubuh kurus itu bergetar ketakutan."Mas." Dara menggoncangkan tubuh suaminya menggunakan kaki.Tapi Pak Bagus tak bergerak, bahkan matanya melotot tanpa berkedip.Dara semakin panik, matanya liar melihat ke sekeliling ruangan, beruntung tak ada yang menyaksikan karena sanak saudara Bu Nisa telah pulang tadi malam.Perempuan itu pun mundur perlahan lalu pergi dengan berlari kencang, keluar dari perumahan itu baru ia bisa berhenti berlari karena napasnya terengah-engah."Ya Tuhan, apa Mas Bagus meninggal?" Seluruh tubuhnya bergetar hebat.Ia pun segera naik angkot lalu pulang ke rumah melewati ibunya yang sedang mengemas barang dagangan."Gimana, Ra? Pak Bagus ngasih uang?" tanya Dara.Bahkan ia lupa jika dompet suaminya ya
Dara melotot sambil melirik suaminya, tak menyangka Pak Bagus yang bucin bisa menuduh sekejam itu, ya walaupun tuduhan itu benar, pikir Dara."Apaan sih kamu ga jelas banget, aku mana ngerti begituan, jangan mentang-mentang istri kamu meninggal terus kamu merasa bersalah dan mencampakkan aku gitu aja ya, Mas." Dara berusaha memutar balikkan fakta."Seminggu yang lalu saya dirukiyah sama Feri dan saya muntah, setelah itu tiba-tiba aja rasa cinta saya ke kamu jadi hilang, itu apa artinya kalau kamu ga melet saya hah." "Apa?! Cuma masalah kaya gitu Mas berani nuduh aku." Dara tersenyum getir."Bilang aja nyesel nikah sama aku karena istri kamu udah meninggal sekarang, ga usah nuduh aku macam-macam karena Mas ga punya bukti." Dara masih tak ingin kalah Pak Bagus terdiam berdebat dengan anak ingusan memang takkan pernah menemukan titik penyelesaian."Saya ga nuduh kamu, tapi saat ini perasaan saya ke kamu udah ga ada, Dara, terus kamu mau kaya gimana?" Pak Bagus pasrah, sudah terlalu ban
"Neng, kasian sekali ya Bu Nisya."Hari ini tepat setelah tujuh hari Bu Nisya pergi Naura pulang ke rumahnya dengan sang ibu, tak dapat dipungkiri menginap di sana membuatnya sedikit tak betah oleh sikap Jeni yang sering sekali menyindir."Nasibnya ga jauh beda sama Ibu, sama-sama ditinggalin suami.""Udah ah, Ibu jangan banyak pikiran sekarang istirahat ya.""Neng, kapan Ibu berhenti minum obat? Ibu udah sembuh kok."Naura menatap ibunya dengan tersenyum. "Iya Ibu udah sembuh, tapi minum obat juga harus karena yang suka Ibu minum itu vitamin bukan obat, aku juga suka minum vitamin kok ga hanya Ibu aja." Naura terpaksa berbohong"Oh gitu ya." Bu Nendah masih mikir."Udah istirahat."Setelah ibunya tertidur Naura segera menghampiri Feri di kamarnya."Perusahaan lagi pailit, Ra, uang buat menggaji karyawan dipakai Papa buat nikah kemarin.""Apa, jadi mahar satu milyar itu uang perusahaan?"Feri mengangguk.Bertahun-tahun menjadi karyawan ia faham betul jika perusahaan telat memberi gaji
Bugh!Dara berhasil membuat Jeni terhuyung ke lantai dengan pukulannya, ia dan ibunya gegas masuk ke dalam rumah.Kebetulan di dalam ada Bu Nendah dan Naura yang sedang mempersiapkan acara tahlilan Bu Nisya."Rita," gumam Bu Nendah sambil mengehentikan aktifitasnya.Naura pun sontak melirik ke arah pandang ibunya."Naura, di mana Mas Bagus? Panggilin sana." Dengan pongah Dara memerintah."Ngapain kamu ke sini, Rita! Pergi sana! Ternyata bukan hanya kamu ya yang suka ngerebut suami orang tapi anakmu juga, emang ibu sama anak ga ada bedanya!" Hardik Bu Nendah.Jeni lah yang memberitahunya jika Dara adalah perusak rumah tangga Pak Bagus dan Bu Nisya."Jangan ikut campur! Kamu juga ngapain di sini sih? Sana balik ke rumah sakit jiwa," ejek Bu Rita tak mau kalah.Sementara Dara masih celingukan ke sekeliling ruangan mencari suaminya."Saya emang gila dan itu karena kamu sudah memisahkan saya dan Naura, dan saya sudah sembuh, saya doakan selanjutnya kamu atau anakmu ini yang gila," balas Bu
Bu Rita yang sedang maskeran di kamarnya terlonjak kaget mendengar jeritan putri bungsunya, ia bergegas ke luar menemui Dara."Kamu kenapa sih?" "Ini, Bu, duit aku ilang semua." Dara masih sibuk mengecek ponsel berusaha menghubungi costumer servis bank."Kok bisa ilang? 'kan disimpan di ATM." "Aduh, Ibu, aku tuh kena tipu." Dara semakin panik."Kok bisa sih duit disimpan di bank ilang gitu aja," gumam Bu Rita yang minim pengetahuan."Gimana, Dara? Duitnya balik lagi 'kan setelah nelpon tukang banknya?""Ga tahu, pokoknya besok pagi aku diminta ke datang ke bank.""Aduuh gimana ini, Bu, mana duitku masih ada delapan ratus juta lagi di situ." Dara frustasi sambil mengacak rambutnya."Ya ampun! Kamu ini sarjana masa bisa ketipu sih, kamu itu 'kan pinter, Dara! Kok bisa ketipu!" teriak Bu Rita.Pak Endang yang tak tahan dengan suara bising di kamar sebelah pun beranjak menghampiri."Ada apaan sih? Malem-malem teriak?""Pak, duit Dara, Pak. Habis semua kena tipu."Pak Endang merenung sej