Sikap tenang Franky membuat aku semakin gugup. Apa semua pengacara senekat dia? Semua yang dia ketahui mengenai hukum tidak akan ada gunanya kalau dia mati konyol. Oh, Tuhan. Aku bisa masuk penjara lagi jika dia sampai mati di rumah ini, dan aku yang sedang bersamanya.“Franky, sebaiknya aku—” kataku, berusaha untuk melerai mereka. Sebelum Wahyo gelap mata, aku harus bisa menghindari pertumpahan darah.“Ibu jangan khawatir.” Franky meletakkan tangannya di atas tanganku. Wahyo mengikuti gerakan tangannya itu. “Tugas polisi adalah melindungi dan mengayomi masyarakat. Bukan begitu, Pak Wahyo Sudrajat? Mereka membawa senjata tidak untuk menembak orang sembarangan.”“Siapa yang bisa membuktikan bahwa aku tidak menembak penjahat?” tantangnya.“Bapak bisa melihat ponsel yang ada di atas meja sana,” kata Franky sambil melirik ke arah ponsel dengan dudukannya di meja tengah ruangan, bukan di depan kami. “Kameranya sedang merekam kita. Kalau Anda nekat, maka teman saya yang sedang menyaksikan k
Tinggi mereka di bawah rata-rata. Hanya ada dua orang yang sedikit lebih tinggi dariku. Mereka juga tidak punya badan yang atletis. Baguslah. Mereka hanya pria muda lemah yang hanya berani saat bergerombol. Walaupun aku tidak boleh meremehkan mereka, penampilan tidak bisa menipu.“Mengapa kalian menghancurkan toko roti itu?” tanyaku pelan.“Toko roti?” Mereka saling bertukar pandang.“Ah, pasti maksudnya toko si pembunuh itu,” kata salah satu pria yang berdiri di depanku. Mereka tertawa, entah apa yang lucu. Aku mengepalkan tangan, menahan emosiku.“Tidak ada pembunuh yang bisa mencari uang di tempat ini. Kami bertugas menjaga lingkungan ini supaya tidak ada nyawa yang melayang,” kata teman di sebelahnya.“Siapa yang menyuruh kalian melakukan itu?” tanyaku lagi.“Kami yang memegang kekuasaan di sini. Tidak ada seorang pun yang bisa mengatur kami,” kata pria yang pertama bicara tadi. “Siapa kamu? Ada urusan apa dengan pembunuh itu? Kamu temannya?”“Kalian pikir seorang pembunuh tidak p
Jeff menjemput kami dari rumah Moira. Walaupun dia bicara dengan sopan kepada sahabatku itu, aku bisa melihat dia sedang marah. Mungkin ini yang dimaksud Dina dengan rencananya yang tidak gagal. Dia bahkan menggenggam erat setir mobil saat mengemudi ke rumah.Aku tidak pernah melihat Jeff marah, juga tidak mau menyaksikannya. Orang yang emosinya tidak bisa dibaca seperti dia, biasanya sangat menyeramkan ketika marah. Jadi, aku tidak bertanya juga tidak mengajak dia bicara.“Mama,” panggil Jax saat aku membantu adiknya menaiki tempat tidur. Aku duduk di tepi ranjang itu dan menoleh ke arahnya. “Apa Mama dan Papa tidak akan bersama lagi?”Aku tertegun sejenak mendengar kalimat itu. “Mengapa kamu bilang begitu, sayang?”“Tante Dina sudah kembali. Apa Papa baikan lagi dengannya?” tanyanya sedih.“Siapa yang mengajari kamu memanggilnya begitu?” tanyaku khawatir. Aku tidak peduli dengan Dina, tetapi kalau sampai Ibu tahu, Jax bisa ada dalam masalah.“Ardi. Katanya, hanya ada satu mama. Yang
Pada sore harinya, Dina mengajak aku untuk makan malam dengannya dan Jeff. Lauren mengajak mereka untuk kencan ganda. Namun Dina merasa tidak enak membiarkan aku terus menjaga anak-anak di rumah. Tentu saja aku menerima ajakan tersebut. Moira segera mengerti ketika kami mengantar Jax dan Remy untuk bermain di rumahnya. Anak-anak sudah tidur siang karena kelelahan berenang. Jadi, energi mereka sudah penuh lagi untuk bermain dengan temannya. Kebetulan ayah Ardi sedang ada urusan dan tidak menjemput putranya itu. “Sepertinya Lauren belum datang, sayang,” kata Dina yang melihat ke sekeliling restoran. “Mungkin mereka terlambat. Ayo, kita cari tempat.” Pelayan mengantar kami ke meja dengan empat kursi. Aku langsung tahu bahwa ada yang tidak beres. Namun aku bersikap biasa dengan membaca buku menu, lalu menyebutkan pesananku. Jeff dan Dina juga melakukan hal yang sama. Aku tidak heran ketika Dina memesan menu yang sama dengan Jeff. Dia bertingkah persis seperti pada hari pertama aku kelu
~Jeffrey~ Hanya Jenar yang tahu alasan aku tidak pernah mengunjungi dia di penjara. Namun bertahun-tahun tidak bertemu, aku mengerti dia tidak mengenal aku dengan baik lagi. Aku juga mulai meragukan apa yang kami sepakati ketika dia harus masuk penjara. Apakah kami masih di jalan yang sama atau sudah berbeda? Aku tidak suka bertengkar dengannya atau meninggikan suara ketika bicara dengannya. Tetapi dia meminta aku untuk melakukan hal itu. Entah rencana apa lagi yang dia siapkan. Dia belum mau kami berterus terang kepada semua orang. Padahal aku tidak peduli dengan risikonya dan berharap kami bisa bersama tanpa bersembunyi lagi dari pandangan orang lain, termasuk keluargaku. “Jenar sepertinya gugup,” ucap Dina sambil tertawa geli. Dia berbohong lagi. Katanya, Lauren dan suaminya mengajak kami kencan ganda. Mereka malah batal datang dan pria sahabatnya ini yang duduk, bergabung bersama kami. “Apa aku bilang? Dia pasti menyukai kamu, Wahyo.” Kelihatan sekali ini bukan pertemuan yang t
~Jenar~ Aku mengenakan sarung tangan dan alas kaki, lalu membuka pintu kamar. Sebisa mungkin aku tidak meninggalkan jejak. Kamar mereka adalah satu-satunya ruangan yang tidak pernah aku masuki. Jeff yang membersihkannya sendiri. Dia tahu aku tidak akan sudi masuk kamar ini. Aku menarik napas panjang. Ini akan menjadi hari yang panjang. Ada dua nakas, satu bufet, dan lemari pakaian empat pintu. Perempuan gila itu pasti menguasai sebagian besar ruang dalam lemari. Aku menoleh ke arah Moira. Dia juga ikut mendesah panjang. “Kamu yakin pintu tidak akan bisa mereka buka, ‘kan?” tanyanya khawatir. Ini adalah aksi pertamanya membantu aku memasuki sebuah ruangan yang terlarang. Biasanya aku dan Bian yang masuk ke rumah orang tanpa izin. Jadi, aku mengerti dengan rasa takutnya. Apalagi dia tidak boleh melakukan kejahatan dalam bentuk apa pun atau ayah Ardi akan marah besar. “Sudah. Aku juga sudah menutup tirai, jadi mereka tidak akan bisa mengintip ke dalam rumah. Santai saja. Mereka tidak
Mereka maju sekaligus untuk menghajar aku. Kecepatan pukulan dan tendangan mereka tidak main-main. Apalagi kekuatan fisik mereka. Aku yang kesakitan setiap kali berhasil meninju wajah atau dada mereka. Sial. Aku tidak menendang agar tidak ada yang menyepak kaki tumpuanku. Sebisa mungkin aku harus tetap berdiri tegak. Kewalahan menghindari serangan mereka, aku mengecoh dua orang di depanku, lalu berkelit agar mereka tidak bisa menangkap atau memukul aku. Kesempatan itu aku gunakan untuk menjauhi mereka dengan mata mencari benda yang bisa aku pakai sebagai senjata. Melihat ada kayu tidak jauh di depanku, aku mengambil dan mengayunkannya ke belakang. Bukan hanya pukulan mereka yang cepat, lari mereka juga. Setidaknya aku sudah punya senjata sekarang. Aku tidak perlu ragu-ragu lagi memukul mereka. Sekali lagi, mereka maju secara bersamaan. Aku mengayunkan tongkat itu dan memukul sekuat tenaga. Lebih cepat semua ini selesai, lebih baik. Mereka mulai ragu melihat aku akhirnya bisa melawan
Langkah kaki itu mendekat, tetapi berhenti tidak jauh dari depan pintu. Lalu terdengar langkah kaki yang lain. Oh, tidak. Apa Wahyo membawa seorang teman pulang? Aku melihat ke arah Bian yang merapatkan bibirnya. Tangannya memegang kayu meja dengan erat.Aku ingin menenangkan dia, tetapi tidak tahu harus mengatakan apa. Kami sedang dalam bahaya dan aku sendiri pun tidak tahu bagaimana bisa keluar dari rumah ini tanpa ketahuan. Langkah kaki itu berjalan menaiki tangga. Semoga saja mereka akan lama berada di atas, jadi kami sempat keluar.Bian menunjuk ke arah pintu, aku mengangguk. Dia berdiri dan berjalan lebih dahulu. Aku berjingkat, mengikutinya dari belakang. Jantungku berdetak semakin cepat, membuat dadaku sesak. Pintu itu tidak mengeluarkan bunyi saat Bian membukanya. Aku nyaris tidak bernapas saat kami melangkah mendekati pintu belakang.“Ah, itu mereka!” seru seseorang yang kami kenal. Aku menoleh ke arah tangga dan melihat Moira berdiri di bordes dengan tangan pengawalnya menu
~Jeffrey~ Istriku bersaksi dengan berani dan menjawab setiap pertanyaan dengan gamblang. Apa pun kata yang digunakan kuasa hukum para terdakwa atau hakim saat bertanya, jawaban Jenar tidak berubah. Itu adalah bukti bahwa dia tidak berbohong atau mengarang jawabannya. Dia kembali duduk di sisiku setelah kesaksiannya dianggap selesai. Aku memegang tangannya dan meletakkan di atas pangkuanku. Aku bisa merasakan Dina tidak mengalihkan pandangannya dariku, tetapi aku mengabaikannya. Perbuatannya atas istriku tidak termaafkan. “Sayang sekali, sidangnya tertutup, jadi kami tidak bisa ikut menyaksikan yang terjadi selama sidang,” keluh Ibu. Ayah yang memanggil anak-anak, maka Ibu yang membukakan pintu rumah. “Pihak tergugat yang keberatan sidang itu dilaksanakan secara terbuka. Tidak apa-apa, Bu. Sidang masih berjalan dengan baik,” kataku, menjelaskan. “Papa! Mama!” seru anak-anak yang berlari mendekati kami. Aku meminta mereka untuk pamit kepada kakek dan nenek mereka, lalu kami keluar m
Jax dan Remy setengah menarik tanganku saat keluar dari taksi. Aku membawa banyak kantong plastik berisi keperluan sekolah mereka, jadi tidak bisa berjalan dengan cepat. Di mana Jeff? Apa dia tidak mendengar bunyi mesin mobil atau seruan anak-anak? Aku butuh bantuan dengan bawaanku. Lalu mengapa semua orang ini datang bersamaan ke rumah kami? Tidak ada acara khusus pada hari ini, juga tidak ada rencana akan membuat acara. Hanya ada suamiku di rumah, Lalu apa yang mereka lakukan di sini? Oh, tidak. Jangan-jangan terjadi sesuatu terhadap Jeff. “Cepat buka pintunya, Ma!” desak Jax. Tanganku gemetar saat mencari kunci di dalam tas, karena rasa khawatir. Putraku itu bergerak lebih cepat dengan menekan kenop pintu. Ternyata tidak dikunci. “Papa!” panggilnya serentak dengan adiknya. Aneh. Mengapa tirai jendela ditutup semua? Lampu juga tidak dinyalakan. Ke mana perginya mereka yang memarkirkan mobilnya di depan rumah? Anak-anak malah tertawa cekikikan di ruang depan sambil berjalan ke arah
Walaupun aku sudah bisa menebak siapa dan apa alasannya, aku mau mendengarnya langsung dari mulut kuasa hukumku. Polisi tadi sudah memberi petunjuk yang cukup jelas. Karena tidak mungkin hanya Wahyo yang melaporkan aku bila mereka sampai yakin bisa menjebloskan aku ke penjara lagi.Namun sebelum Franky menjawab, pintu ruangan dibuka dan seorang polisi masuk. Dia hanya mengangguk ke arah pengacaraku, lalu menutup pintu kembali. Apa maksud anggukan itu? Aku melihat ke arah Franky yang berdiri dari kursinya.“Kamu bebas. Ayo, kita pergi dan bicara di tempat lain saja.” Dia berjalan mendekati pintu.Sebuah ide bermain di kepalaku mendengar kalimat pertamanya itu. “Apa aku boleh melakukan satu hal sebelum kita pergi?”Entah apa yang Franky katakan, aku mendapat izin dari polisi. Pria itu menunggu di dekat pintu masuk, sedangkan seorang petugas menemani aku. Dia bersikap baik kepadaku dan tidak bersikap kasar seperti rekannya yang pernah membawa aku ke tahanan ini.“Akhirnya! Aku tahu kamu
Kakiku terasa lemas, tetapi aku berusaha untuk tetap berdiri dengan tegak. Kejadian beberapa minggu yang lalu kembali bermain di benakku. Mengapa mereka datang lagi? Anak-anak berada di rumah dan aku tidak mau memberi mereka trauma untuk kesekian kalinya. Aku melihat antara dua pria yang berdiri di depan pagar dan kunci pintu di hadapanku. Aku tahu bahwa aku tidak akan bisa menghalangi mereka melakukan tugas. Namun atas dasar apa mereka kini mendatangi rumah kami? Pasti ada hubungannya denganku. “Ada apa? Mengapa kamu tidak membuka pintu?” tanya Jeff yang ternyata berdiri di belakangku. Dia mengintip dari jendela, lalu mendesah pelan. “Biar aku yang bicara dengan mereka.” Aku mengangguk dan bergeser agar dia bisa membuka pintu dan keluar rumah. Aku mengintip apa yang dia lakukan di luar lewat jendela. Entah apa yang mereka bicarakan, aku tidak bisa mendengar. Namun aku bisa menebak bahwa kedua polisi itu membawa kabar buruk, karena suamiku terlihat kesal. Apakah tujuan mereka datang
Kelima pria dan wanita itu mundur selangkah dan memasang wajah kecut melihat ke arah pria yang datang tersebut. Tentu saja mereka mengenalinya. Nyaris tidak ada yang tidak pernah mendengar namanya. Dia sudah banyak sekali memenangkan kasus sulit, tetapi kliennya menang. Mereka kini tahu siapa yang sedang mereka hadapi. Bukti palsu. Polisi mana yang mau menerima laporan didasarkan atas bukti palsu? Aku tidak akan melakukan hal yang sama yang telah mereka perbuat kepadaku. Aku akan membuktikan bahwa dengan prosedur yang benar pun, aku bisa menjebloskan orang jahat ke penjara. “Aku baru tahu di sini adalah kantor polisi,” kata Franky yang berjalan mendekat, lalu berdiri di depanku. “Pulanglah sebelum aku mengajukan laporan baru. Kalian pasti berada di sini untuk mengancam saksi. Apa kalian tidak tahu bahwa mengancam saksi ada hukumannya?” Membuktikan bahwa mereka tidak tahu, mereka terlihat panik. “Ti-tidak. Kami tidak datang untuk mengancam siapa pun,” kata salah satu dari mereka, men
Berbekal rekaman dari wanita pada malam sebelumnya, aku dan Moira berencana untuk melihat kelanjutan nasib dari polisi jahat tersebut. Aku sudah mengirim kopinya ke surelnya. Dia membalas dan meminta untuk bertemu. Itu yang aku tunggu-tunggu. Tentu saja bukan aku atau Moira yang akan menemuinya, tetapi wanita yang tidur bersamanya. Aku sudah berjanji kepada Jeff dan Franky, maka aku tidak akan mengingkarinya. Aku tidak boleh terlibat dalam urusan yang melanggar hukum lagi. Bila terpaksa, maka aku tidak boleh sampai ketahuan. “Apa kamu akan terus melakukan ini kepada orang yang menyakiti kamu, keluarga, atau sahabatmu?” tanya Moira setengah menggoda. Aku tertawa kecil. “Tidak. Ini yang terakhir. Para polisi itu tidak mengerjakan tugasnya dengan baik, jadi aku harus memberi mereka pelajaran. Bila tidak, mereka akan terus bersikap sewenang-wenang.” “Iya, kamu benar. Tetapi terus terlibat dalam hal yang berbahaya, tidak baik untukmu.” Moira melihat aku dengan serius. “Jax dan Remy memb
~Jenar~ Berada di penjara karena membela diri dan fitnah, sudah cukup membuat kami menderita. Terpisah dari keluarga untuk sementara maupun selamanya bukanlah kehidupan yang mudah. Lalu kami juga harus diperlakukan tidak adil setelah bebas, itu tidak adil. Aku sudah merencanakan hal selain menemui para penjahat itu untuk membalas perbuatan jahat mereka. Cara itu hanya aku lakukan kepada para saksi palsu. Untuk polisi licik dan tidak tahu diri, aku sudah menyiapkan hal yang lebih baik. Hal yang akan membuat mereka berhati-hati bertindak. “Kamu yakin mau melakukan ini?” tanya Talia heran. “Harus. Aku tidak terima dia memperlakukan Bian layaknya penjahat.” Aku mengangkat penutup kepala jaketku untuk menudungi rambutku. Bian mengeluarkan sebuah kandang dari bagian belakang mobil, lalu kami menyeberangi jalan menuju rumah targetku. Setelah memanjat pagar dan mendarat sesenyap mungkin, kami menuju bagian belakang rumah. Bian melakukan keahliannya membuka kunci, dan aku tersenyum saat pi
~Jeffrey~Aku tidak percaya dengan apa yang aku dengar. Lauren, adikku sendiri, yang sudah meracuni anak-anakku. Hal yang ingin sekali aku lakukan adalah bicara dengannya dan memintanya untuk bicara jujur. Apa kesalahan Jax dan Remy sampai mereka harus menjadi korban keegoisannya?Mereka memang selamat dan ditangani dokter segera, tetapi mereka bisa saja kehilangan nyawa pada hari itu juga. Kami tidak pernah punya masalah sebelumnya, lalu apa yang mendorong dia melakukan hal sejahat itu?“Jadi, dana yang telah kita terima dari donatur, cukup untuk melaksanakan program liburan kita,” kata kepala keuangan organisasi.Orang yang aku pikir melakukannya adalah Dina. Wajar saja jika dia bisa semudah itu menyakiti anak-anak, karena mereka bukan miliknya. Tidak aku sangka, adikku sendiri pelakunya. Dia bahkan tidak ragu-ragu menjadikan kedua anaknya sebagai korbannya juga.“Bagaimana, Jeff? Apa pendapatmu? Dana yang lebih sebaiknya kita gunakan untuk apa?” tanya bosku. Dari ekspresi wajahnya,
Aku duduk di sisinya dan melihat layar tablet tersebut. Ternyata ada sebuah berita yang tidak aku duga. Bertahun-tahun berusaha untuk melupakan dan melanjutkan hidup, akhirnya aku bisa melihat orang yang menyakiti aku mendapat ganjarannya.Perjuanganku menunjukkan hasilnya juga. Bukan hanya aku yang menuntut perbuatannya di masa lalu, tetapi ada banyak wanita lain. Mereka melaporkan perbuatan pria itu di kantor polisi di mana dia bertugas. Syukurlah, aku tidak mundur ketika menemui banyak kesulitan.“Sayang, apa kamu tidak apa-apa?” Jeff menyeka pipiku. Tanpa aku sadari, aku menangis.Aku menggeleng pelan, lalu meletakkan kepalaku di bahunya. “Aku tidak apa-apa. Ini air mata haru. Aku senang dia akhirnya akan membayar semua perbuatan jahatnya. Semoga saja Franky sehebat yang Moira katakan.”“Dia lebih hebat dari yang sahabatmu katakan. Aku melihat sendiri bagaimana dia mengatasi polisi yang tidak mau membebaskan kamu dari tahanan. Jadi, jangan khawatir. Wahyo dan Dina akan mendekam di