Pada sore harinya, Dina mengajak aku untuk makan malam dengannya dan Jeff. Lauren mengajak mereka untuk kencan ganda. Namun Dina merasa tidak enak membiarkan aku terus menjaga anak-anak di rumah. Tentu saja aku menerima ajakan tersebut. Moira segera mengerti ketika kami mengantar Jax dan Remy untuk bermain di rumahnya. Anak-anak sudah tidur siang karena kelelahan berenang. Jadi, energi mereka sudah penuh lagi untuk bermain dengan temannya. Kebetulan ayah Ardi sedang ada urusan dan tidak menjemput putranya itu. “Sepertinya Lauren belum datang, sayang,” kata Dina yang melihat ke sekeliling restoran. “Mungkin mereka terlambat. Ayo, kita cari tempat.” Pelayan mengantar kami ke meja dengan empat kursi. Aku langsung tahu bahwa ada yang tidak beres. Namun aku bersikap biasa dengan membaca buku menu, lalu menyebutkan pesananku. Jeff dan Dina juga melakukan hal yang sama. Aku tidak heran ketika Dina memesan menu yang sama dengan Jeff. Dia bertingkah persis seperti pada hari pertama aku kelu
~Jeffrey~ Hanya Jenar yang tahu alasan aku tidak pernah mengunjungi dia di penjara. Namun bertahun-tahun tidak bertemu, aku mengerti dia tidak mengenal aku dengan baik lagi. Aku juga mulai meragukan apa yang kami sepakati ketika dia harus masuk penjara. Apakah kami masih di jalan yang sama atau sudah berbeda? Aku tidak suka bertengkar dengannya atau meninggikan suara ketika bicara dengannya. Tetapi dia meminta aku untuk melakukan hal itu. Entah rencana apa lagi yang dia siapkan. Dia belum mau kami berterus terang kepada semua orang. Padahal aku tidak peduli dengan risikonya dan berharap kami bisa bersama tanpa bersembunyi lagi dari pandangan orang lain, termasuk keluargaku. “Jenar sepertinya gugup,” ucap Dina sambil tertawa geli. Dia berbohong lagi. Katanya, Lauren dan suaminya mengajak kami kencan ganda. Mereka malah batal datang dan pria sahabatnya ini yang duduk, bergabung bersama kami. “Apa aku bilang? Dia pasti menyukai kamu, Wahyo.” Kelihatan sekali ini bukan pertemuan yang t
~Jenar~ Aku mengenakan sarung tangan dan alas kaki, lalu membuka pintu kamar. Sebisa mungkin aku tidak meninggalkan jejak. Kamar mereka adalah satu-satunya ruangan yang tidak pernah aku masuki. Jeff yang membersihkannya sendiri. Dia tahu aku tidak akan sudi masuk kamar ini. Aku menarik napas panjang. Ini akan menjadi hari yang panjang. Ada dua nakas, satu bufet, dan lemari pakaian empat pintu. Perempuan gila itu pasti menguasai sebagian besar ruang dalam lemari. Aku menoleh ke arah Moira. Dia juga ikut mendesah panjang. “Kamu yakin pintu tidak akan bisa mereka buka, ‘kan?” tanyanya khawatir. Ini adalah aksi pertamanya membantu aku memasuki sebuah ruangan yang terlarang. Biasanya aku dan Bian yang masuk ke rumah orang tanpa izin. Jadi, aku mengerti dengan rasa takutnya. Apalagi dia tidak boleh melakukan kejahatan dalam bentuk apa pun atau ayah Ardi akan marah besar. “Sudah. Aku juga sudah menutup tirai, jadi mereka tidak akan bisa mengintip ke dalam rumah. Santai saja. Mereka tidak
Mereka maju sekaligus untuk menghajar aku. Kecepatan pukulan dan tendangan mereka tidak main-main. Apalagi kekuatan fisik mereka. Aku yang kesakitan setiap kali berhasil meninju wajah atau dada mereka. Sial. Aku tidak menendang agar tidak ada yang menyepak kaki tumpuanku. Sebisa mungkin aku harus tetap berdiri tegak. Kewalahan menghindari serangan mereka, aku mengecoh dua orang di depanku, lalu berkelit agar mereka tidak bisa menangkap atau memukul aku. Kesempatan itu aku gunakan untuk menjauhi mereka dengan mata mencari benda yang bisa aku pakai sebagai senjata. Melihat ada kayu tidak jauh di depanku, aku mengambil dan mengayunkannya ke belakang. Bukan hanya pukulan mereka yang cepat, lari mereka juga. Setidaknya aku sudah punya senjata sekarang. Aku tidak perlu ragu-ragu lagi memukul mereka. Sekali lagi, mereka maju secara bersamaan. Aku mengayunkan tongkat itu dan memukul sekuat tenaga. Lebih cepat semua ini selesai, lebih baik. Mereka mulai ragu melihat aku akhirnya bisa melawan
Langkah kaki itu mendekat, tetapi berhenti tidak jauh dari depan pintu. Lalu terdengar langkah kaki yang lain. Oh, tidak. Apa Wahyo membawa seorang teman pulang? Aku melihat ke arah Bian yang merapatkan bibirnya. Tangannya memegang kayu meja dengan erat.Aku ingin menenangkan dia, tetapi tidak tahu harus mengatakan apa. Kami sedang dalam bahaya dan aku sendiri pun tidak tahu bagaimana bisa keluar dari rumah ini tanpa ketahuan. Langkah kaki itu berjalan menaiki tangga. Semoga saja mereka akan lama berada di atas, jadi kami sempat keluar.Bian menunjuk ke arah pintu, aku mengangguk. Dia berdiri dan berjalan lebih dahulu. Aku berjingkat, mengikutinya dari belakang. Jantungku berdetak semakin cepat, membuat dadaku sesak. Pintu itu tidak mengeluarkan bunyi saat Bian membukanya. Aku nyaris tidak bernapas saat kami melangkah mendekati pintu belakang.“Ah, itu mereka!” seru seseorang yang kami kenal. Aku menoleh ke arah tangga dan melihat Moira berdiri di bordes dengan tangan pengawalnya menu
Kami semua memakai baju terusan dengan rok sedikit di bawah lutut. Aku dan Moira memakai baju yang sedikit longgar, sedangkan Talia dan Bian yang mengikuti lekuk tubuh. Mereka terlihat cocok sekali dengan dress pilihan Moira.Rambut kami dibiarkan tergerai dan wajah dirias minimalis. Untuk melengkapi penampilan kami, Moira memberikan sepatu dan tas yang serasi dengan pakaian yang kami kenakan. Bian keluar dari mobil sambil mengomel sendiri. Tangannya tidak berhenti menarik-narik bajunya.“Ternyata kamu bisa juga tidak percaya diri, ya,” goda Moira. “Santai saja. Kamu sangat cantik. Aku tidak akan memberi pakaian yang terlihat jelek di badan sahabatku sendiri.”Seorang pria menyambut kami di lobi, lalu berjalan bersama kami menuju elevator. Wow. Petugas keamanan bahkan tidak meminta tas kami untuk diperiksa. Tiba di lantai tujuan, pria itu keluar lebih dahulu, kemudian berjalan di depan kami.“Silakan masuk.” Pria itu membukakan pintu, masuk, dan menahan pintu tetap terbuka untuk kami.
Wajah anak-anak membayang di benakku. Jika aku tertangkap, aku tidak akan bisa berada di dekat mereka lagi. Mungkin saja hukuman kali ini akan lebih lama dari yang pertama. Aku tidak mau masuk penjara dan berpisah dari Jax dan Remy satu hari pun.Sebelumnya aku tidak merasakan ini, tetapi aku baru menyadarinya. Dina bukanlah orang biasa. Dia punya uang, pengaruh, dan mungkin orang-orang yang siap membantu dia, kapan saja dia butuh. Aku adalah bukti nyata dia bisa mengatur segalanya hanya dengan uang.“Jenar. Lihat aku,” kata Bian yang kembali berdiri di depanku. Aku menggeleng-gelengkan kepalaku. “Tarik napas dalam-dalam. Hei, lihat aku. Apa menurutmu orang akan tahu bentuk wajah di balik penutup kepala ini?”Tentu saja aku mengetahuinya, karena dia sahabatku. Tetapi orang lain tidak akan bisa melihatnya apalagi mengenalinya, maka aku menggelengkan kepalaku lagi.“Hal yang sama juga berlaku untukmu. Orang tidak akan bisa mengenali kamu hanya dari bentuk badan saja.” Dia memegang kedua
Aku tidak tahu mengapa map ini tiba-tiba jatuh. Aku memang hanya memeriksa setiap dokumen dengan cepat. Tidak ada niat membaca isinya. Ketika membaca isi dokumen ini aku sangat terkejut. Dina menyimpan sebuah rahasia yang sangat besar.Orang tuanya pasti tahu mengenai hal ini. Lalu mengapa mereka mendukung tindakan jahatnya? Dilihat dari tanggal kelahiran, maka kejadiannya saat dia belum bergabung bersama kami di tempat kerja yang lama. Lama berteman dengannya, aku tidak pernah mendengar dia bercerita mengenai anak yang dia lahirkan.“Di mana anak perempuan ini?” tanya Jeff pelan. Aku menggeleng pelan. “Dia tidak pernah bicara tentang anak. Apa dia memberikannya kepada orang lain?”“Kemungkinan besar anak itu ada pada ayahnya. Kamu lihat namanya? Aku akan cari tahu di mana pria ini berada. Kita akan tahu segalanya setelah mendengar ceritanya,” kataku, memberi saran.“Aku ikut. Kamu keluar malam entah melakukan apa, aku tidak mau membiarkan kamu melakukan semua ini sendiri lagi. Aku ik