Tidak tersirat satu pun perhatian, awalnya, sehingga Barbara menduga keputusannya tidak akan mempan ... tanpa pernah tahu bahwa reaksi murni Abihirt sebenarnya sudah begitu dekat, tetapi pengedalian diri yang baik menenggelamkan ekspresi ganjil dengan cepat.
Darinya ... kepada Moreau. Sesuatu yang sama persis. Boneka panda itu menegaskan satu peristiwa telah dilewatkan cukup jauh. Mata kelabu Abihirt mendelik wajah Barbara tajam. Hanya perlu pertanyaan sederhana, maka dia bisa menemukan secuil petunjuk. “Kau dapat itu dari mana?” Kemudian Barbara terlihat berpikir untuk beberapa saat, sebelum wanita itu menemukan jawaban asal, membuat kecurigaan Abihirt terjerumus ketepian. “Pulang dari restoran tadi, aku tidak sengaja melihat boneka ini ada di etalase toko. Kau suka?” Abihirt nyaris menggeleng samar. “Mengapa kau pikir aku akan menyukai boneka?”Tidak bisa tidur .... Momen tak diinginkan seperti inilah yang akhirnya membawa Moreau untuk merenung skeptis di dapur. Pelbagai macam pemikiran di puncak kepala menginginkan supaya dia terus terbujuk dalam situasi paling hening. Memperkirakan sedang sendirian, walau itu tak benar – benar dapat disimpulkan. Ada kepulan asap ... samar sekali berhamburan ke sekitar udara. Meninggalkan kesan tertentu, sehingga yang Moreau tahu; dia perlu menunggu, mengaduk lelehan cokelat panas lebih lama agar rasanya tidak membakar, seperti saat – saat Barbara merampas hak kepemilikan tunggal. Rasanya tidak ada yang jauh luar biasa menarik perhatian Moreau selain memikirkan selebar mana ketertarikan Barbara terhadap sesuatu, kepunyaan orang lain, untuk dikategorikan ke dalam kebutuhan berbagi. Dia tak akan menyangkal bahwa telah mempelajari ironi dari sikap ibunya. Barbara melampaui batas jika menganggap segala hal dapat berperan serta, seolah tidak ada yang subtansial sehin
Kedua alis Moreau bertaut, masih menghadapi situasi yang sama. Pertanyaan muncul secara absolut di benaknya mengenai kebutuhan Abihirt untuk merancap. Dia berusaha menyangkal, tetapi menyadari hal itu akan datang pada akhirnya. Apa pun yang terjadi di antara mereka selalu dimulai dari seks. Moreau langsung menahan napas setelah mendeteksi bagaimana Abihirt dengan tentatif mengatur wajah tepat begitu dekat. Dia pikir pria itu akan melakukan tindakan kurang ajar. Tidak. Tidak sesederha itu membayangkan seseorang coba menggapai suatu tujuan, yang bergantung pada hasil akhir. Justru Moreau mengakui tuduhan dari benaknya ternyata cukup serius. Harus ada sesuatu untuk disesali dan dia sedang berusaha tidak terpengaruh oleh kenyataan demikian. Perlu sedikit menjaga jarak, tepatnya saat suara serak dan dalam Abihirt ternyata akan membisikan sebuah pertanyaan tak terduga. “Mengapa kau biarkan boneka panda yang kuberikan tempo hari lalu ada di tan
“Aku belum mengantuk.” Sambil mengendalikan tekad dalam dirinya, Moreau segera mengetatkan genggaman tangan pada boneka panda—mengambil benda tersebut, kemudian melakukan kontak mata bersama Abihirt. Bukankah dia selalu tak memiliki perjalanan serius untuk mengambil keputusan? Bahkan Moreau selalu kebingungan menentukan jawaban, antara menolak menjadi pilihan terakhir atau terus berada di titik paling pinggir, hingga dia jatuh tergelincir dari jurang yang diciptakan sendiri, seperti tiba – tiba ayah sambungnya mengajukan pertanyaan sekadar memastikan. “Belum mengantuk?” “Ya, mungkin insomnia.” Moreau yakin dia tak salah menyerahkan jawaban, tetapi jeda beberapa saat antara mereka terasa melewati teriakan keras. Dia berjuang mencari petunjuk ketika Abihirt seperti sedang memikirkan sesuatu, berikut dengan tindakan mengejutkan tambahan. Moreau tidak menduga ternyata pria itu akan mengangkat tubuhnya, lagi, dan secara naluriah dia mengetatkan pelukan seb
Moreau terkesiap merasakan sapuan ringan di permukaan kulit dadanya. Dia menelan ludah kasar mendapati mata kelabu itu menjatuhkan perhatian serius pada belahan cantik yang terbentuk alami. Masih tersirat samar – samar bekas kemerahan dari hari sebelumnya. Moreau tidak berusaha memahami apakah Abihirt punya kebiasaan menciptakan sebuah karya seni dan menambahkan gairah untuk melengkapi, tetapi dia kembali merasa tegang menyadari ujung jari pria itu telah bergerak sekadar memisahkan pengait bra, lalu menyingkirkan satu – satunya penutup bagian atas secara perlahan. "Abi.” Moreau berusaha keras mengingatkan supaya mereka tidak melampaui batas, saat ini, di sini, meski yang sebenarnya terjadi hanya ... dia tak berdaya, tunduk, terdorong; membiarkan pria itu menindih tubuhnya sementara mulut Abihirt mulai menjejali beberapa bagian di permukaan leher. Lambat sekali semacam kebutuhan mencari ledakan dahsyat hingga wajah pria itu terangkat, menatap Moreau diliputi bibir yang mengkilap
Lagi – lagi, di bawah sentuhan Abihirt, mata Moreau menatap pria itu lekat tertegun, membakar, dengan napas menggebu berat ketika pria itu menekan punggungnya ke kasur. sementara Abihirt kembali menggeram, hujaman kasar yang tersisa segera mengakhiri pernyatuan mereka. Pria itu mengeluarkan kejantanannya, mengurut persis di depan perut rata Moreau sambil mendesis, lalu menumpahkan cairan hangat di sana. Sesuai keinginan. Moreau tidak tahu harus memulai pembicaraan dari mana saat sesuatu di dalam pusat tubuhnya seperti masih berdenyut setelah puncak kenikmatan hebat. Yang dia tahu hanya ... Abihirt seperti kebingungan mencari sesuatu. “Tidak ada tisu kering di sini?” Pria itu akhirnya mengajukan pertanyaan saat tak menemukan sedikitpun petunjuk. Hal yang membuat Moreau harus menyerahkan jawaban. “Di lemari pakaianku.” Dia menipiskan bibir. “Tisu baru.” Dan menambahkan seraya mengamati setiap detil pergerakan dari ayah sambungnya. Abihirt
Terbangun bersama seseorang yang sama di sampingnya adalah satu bagian paling mustahil. Moreau tahu bagaimana dia tidak akan mendapatkan pemandangan seperti itu di pagi hari. Abihirt mungkin meninggalkan kamar terlalu dini supaya tidak menimbulkan kecurigaan, atau barangkali pria itu memiliki urusan penting lain, lebih pantas diutamakan alih – alih hanya menunggunya terbangun, lalu mereka akan bersikap bahwa hubungan terlarang ini merupakan sesuatu yang perlu diwajarkan. Tidak. Moreau mendengkus sambil mengusap wajah kasar, sebentar saja ... kemudian sebelah lengannya perlahan meraba permukaan ranjang. Sebuah gerakan naluriah, tetapi menuntun agar dia menemukan sesuatu berbulu lembut, meraihnya, dan terpaku untuk beberapa saat. Boneka panda. Moreau tidak dapat membayangkan bagaimana reaksi Barbara nanti setelah mengetahui sesuatu yang telah wanita itu ambil, ternyata kembali ke tempat seharusnya. Paling tidak, mereka akan melibatkan perdebatan; seng
Ketertarikan di benak Barbara terungkap makin jelas saat sebelah alis wanita itu terangkat tinggi. Moreau mengerti betapa dia telah menyiarkan berita yang mengejutkan. Ibunya tidak akan pernah mengira, dan mungkin semacam sebuah tamparan hingga mengajukan rasa ingin tahu yang besar diikuti kemampuan bersuara lambat. “Apa maksudmu?” Moreau tidak pernah menyimpan maksud lain. Itu hanya separuh kebenaran. Dia tidak akan mengatakan yang tersisa, meski harus melanjutkan sebagian—dan terngambang di udara. “Abi yang mengembalikan boneka panda ini kepadaku.” Perhatian Moreau lurus – lurus menyusuri pelbagai perubahan wajah ibunya. Dari ledakan penasaran, lalu berakhir sebagai sebuah tuntutan besar. “Kenapa dia harus melakukannya?” Itu langsung dipertanyakan secara serius, tetapi Moreau juga tidak mengajukan sebuah lelucon konyol. Dia ingin ibunya segera menyadari dan berhenti mengambil alih sesuatu yang bukan milik wanita tersebut. “Karena Abi tah
Pria itu luar biasa berada di tengah ledakan antusias untuk merayu-nya. Sesekali Moreau akan menepis apa pun yang coba Juan sajikan begitu dekat. Pria itu tidak kehabisan akal meski pergulangan terasa percuma. Moreau selalu berhasil melarikan diri dari suatu tindakan memaksa—bukan semacam pelarian nyata; hanya terkadang memberi Juan cubitan ringan supaya pria itu diam, kemudian kembali duduk bersandar di kursi restoran. Moreau bahkan tidak ingat kapan reaksi murni Juan telah membawa pria itu menjulang di hadapannya. “Cobalah sedikit. Aku tahu kau tidak akan tahan.” Lagi. Moreau menipiskan bibir, hampir tanpa sadar tidak dapat menahan diri. Rasanya dia ingin mencubit kulit tangan Juan lagi, sekuat mungkin, agar pria itu berhenti, membebaskannya dari tuntutan tidak menyenangkan. “Tidak, Juan! Aku sudah berulang kali bilang kepadamu ... aku sedang diet. Jangan coba – coba menggodaku.” Keinginan untuk menjaga porsi makan dipengaruhi oleh pern
Mereka sudah menghabiskan waktu hampir satu setengah jam untuk sarapan pagi dan melakukan sisa – sisa perjalanan lain, tetapi Moreau tidak memahami motivasi ayah sambungnya terhadap apa pun yang telah berlalu tadi. Abihirt tidak banyak bicara. Tidak dimungkiri bahwa mereka sempat berkeliling hanya untuk mencarikan sesuatu, membeli perlengkapan yang Moreau yakin adalah kegemaran ibunya. Ya, seharusnya beberapa bagian tersebut akan cukup jelas. Dia hanya merasa masih terlalu ambigu, apalagi ketika sampai pada agenda pulang, Abihirt tidak bersikap seakan ada prospek spesifik mengenai apa yang akan terjadi. Meminta supaya mereka tetap di sini, terjebak sesaat di tengah gemuruh keheningan, sementara waktu terus memburu dan beranjak terlalu jauh. Dia tidak menginginkan itu. “Sekarang kita akan masuk?” Moreau tidak bisa menahan diri sekadar diam. Terlalu lama di mobil tidak membuat situasi terasa lebih baik. Ada begitu banyak keabsahan. Mereka tidak bisa meninggalkan bagi
Udara dari celah bibir Barbara berembus kasar. Dia menatap Samuel setengah enggan, tetapi merasa pria itu mungkin akan memberi solusi terhadap permasalahan yang sedang dihadapi. Samuel biasanya cukup cakap. Ntah apa yang mungkin akan pria itu katakan. Hanya sedikit tidak siap jika ternyata muncul serentatan kalimat tak menyenangkan dan makin membuat dia didesak ketakutan. “Bukannya tadi kau dan suamimu baik – baik saja? Kenapa tiba – tiba kau ingin pulang dan mengatakan kalau Froy benar tentang hubungan rahasia suamimu bersama anak gadismu?” Bagaimanapun, Samuel menginginkan rangkaian cerita lebih runut. Membuat Barbara ntah harus kali ke berapa menekan segerombol perasaan tidak tenang. Dia masih sangat memikirkan pelbagai kemungkinan buruk. Ditambahkan sikap Abihirt yang dia tahu tidak akan mudah dipoles. Suaminya bahkan tidak menunjukkan itikad baik sekadar menjelaskan segala bentuk hal yang sedang menjadi permasalahan mereka. “Aku mendengar suara Moreau di telep
[Abi, boleh aku pinjam ponselmu untuk mengirim foto – fotoku yang ada di padang pasir ....] Rasanya sekujur tubuh Barbara mendidih membayangkan apa yang sedang logikanya uraikan. Abihirt berkata jika pria itu masih Dubai; akan segera pulang, tetapi sangat mengejutkan mengetahui suara Moreau menyelinap masuk di tengah pembicaraan mereka. Ini tidak dapat disesali. Betapa pun Barbara mencoba sekadar menyangkal. Dia telah menyaring segala sesuatu yang terjadi di sana, dengan jelas ... dengan sangat jelas bahwa Moreau butuh foto – foto di padang pasir untuk dikirim ke ponsel gadis itu. Barangkali juga tidak diharapkan penjelasan lebih tentang apa yang sebenarnya terjadi. Sialnya, Barbara bahkan belum mengucapkan apa – apa dan menuntut Abihirt membicarakan semua yang telah suaminya sembunyikan, termasuk saat Abihirt mengaku tidak mengetahui keberadaan Moreau di kali terakhir dia menghubungi pria itu sambil membicarakan keberadaan putrinya yang tidak berkabar. Namun, pa
Namun, untuk beberapa saat Moreau menoleh ke arah ayah sambungnya ketika menyentuh gagang pintu. Abihirt terduga merenggut ponsel pria itu di atas nakas. Mungkin ada kesibukan penting, yang secara tidak langsung mengingatkan Moreau bahwa ada satu hal—lupa dia katakan kepada ayah sambungnya. Ini tidak akan lama. Dia hanya akan membasuh wajah dengan percikan air, kemudian kembali kepada pria itu. Memang tidak lama. Ketika Moreau menatap pantulan wajah di depan cermin, tindakan kali pertama dilakukan adalah menarik napas dalam – dalam. Semua perangkat di sini hanya milik Abihirt. Dia akan menggosok gigi, nanti, di rumah. Sekarang sebaiknya menghampiri pria itu di atas ranjang. Mendadak ledakan dalam diri Moreau menjadi antusias. Dia memang tidak sabar ingin mengirim foto – foto di padang pasir hari itu, setelah mulai mengoperasikan ponsel baru pemberian ayah sambungnya. Berharap Abihirt tidak keberatan saat dia mengatakan tujuan yang sedang berkecamuk liar. Mo
Walau ternyata tidak .... Moreau merasakan sesuatu yang berat menindih di sekitar tubuhnya. Dia mengerjap beberapa kali untuk menyadari bahwa biasan cahaya dari jendela berusaha menembus masuk melalui tirai yang menjuntai. Sudah pagi. Sepertinya permintaan tidur semalam membuat dia terlelap nyenyak. Moreau tidak akan berkomentar apa – apa tentang hal tersebut. Semua sudah berlalu dan tidak perlu mengingat kembali sesuatu yang pada akhirnya selalu berujung tidak pasti. Sambil mencoba bergeser, dia menghirup udara sebanyak mungkin, sedikit ingin meregangkan tulang – tulang yang terasa kaku, tetapi segera menyadari jika hampir tidak ada ruang sekadar bergerak. Seseorang seperti membuatnya terperangkap; menghirup aroma maskulin yang menyerbu deras, hingga tanpa sengaja Moreau menyentuh helai rambut—terasa halus, dan dia tetap menyapukan telapak tangan dengan lembut di sana. Ini seperti meninggalkan sensasi tertentu, tidak tahu mengapa secara naluriah sudut bibi
“Kenapa kau terus menghimpitku seperti ini?” Butuh keberanian penuh tekad dan Moreau akhirnya mengajukan pertanyaan diliputi suara nyaris setengah berbisik. Ingin menoleh ke belakang, tetapi jelas keberadaan wajah Abihirt justru membuat pipi mereka bersentuhan. Pria itu dapat dipastikan tidak akan mengatakan apa – apa. Moreau secara naluriah mengembuskan napas kasar; membiarkan Abihirt mengatur posisi lebih baik dan sekarang wajah pria itu nyaris terperangkap di ceruk lehernya. Abihirt tidak tidur. Demikian yang setidaknya dapat Moreau rasakan. Mungkin juga tidak akan secepatnya terlelap, walau pria itu mengakui sendiri untuk tidak melakukan apa pun setelah mereka melakukan perjalanan jauh. Lagi pula, ada sisa hal di antara mereka yang tidak coba Moreau ungkap begitu saja. Masih tentang Froy dan dia akan mencoba mencari petunjuk. “Aku memikirkan sesuatu.” Mula – mula memulai dengan rasa waspada meningkat deras di benaknya. Ketika Abihirt masuk ke dala
Menyenangkan menggoda Abihirt. Demikian yang Moreau rasakan. Kali ini dia benar – benar berani. Benar – benar akan bersikap menantang ayah sambungnya dan secara tentatif merenggut kain yang dikenakan hingga menyisakan dalaman berenda yang kontras. Membiarkan jeda terjadi beberapa saat, kemudian ragu – ragu melirik Abihirt ketika harus dengan hati – hati menutup beberapa bagian tubuhnya di hadapan pria itu. Dia yang berusaha memancing sesuatu meledak dalam diri Abihirt, tetapi tidak ingin suami ibunya menjadi brutal dan tidak terselamatkan. Sekarang, begitu perlahan memasukkan tangan ke dalam bolongan kain—mengenakan kaus pemberian pria itu dengan tepat. Selesai. Tubuh Moreau terbungkus. Dia seperti tenggelam. Segera menunduk dan menyaksikan bagaimana ujung kain sungguh secara pasti menyentuh di pahanya. Abihirt menebak dengan tepat untuk tidak menambahkan celana. Cukup dengan dalaman satin tipis dan itu membuat Moreau merasa nyaman. “Aku akan tidur sekarang,
Moreau menunduk; tersadar bahwa perlu melakukan hal serupa, tetapi koper dan seluruh pakaian barunya—yang dipersiapkan ketika mereka hendak menuju Dubai, masih di mobil. Abihirt tidak memberikan petunjuk tentang barang – barang yang tertinggal di luar. Barangkali pria itu akan menyiapkan nanti, saat mereka telah begitu siap dan Moreau hanya perlu menunggu ayah sambungnya menyelesaikan bagian tersisa. Dia tidak akan diam begitu saja, segera menyusul bangun dan menerapkan perhatian pada kali terakhir bahu kokoh milik suami Barbara masih terlihat membelakanginya. Mungkin terlalu lancang. Ya. Namun, itu lebih baik daripada tidak pernah. Setiap detil tindakan Abihirt begitu tak terduga. Pria itu dalam sekejap telah berpakaian rapi di sana. Paling tidak, hal tersebut perlu digaris bawahi. Tidak ada yang perlu disesali, meski Moreau merasa sangat gugup saat mata kelabu itu menatap ke arahnya lamat. “Kau bilang masih mengantuk. Kenapa tidak tidur?” Suara serak dan dalam A
“Aku sangat mengantuk dan malas berjalan, bisa kau menggendongku saja?” Moreau tidak ingin menganggap ini berlebihan ketika dia hampir tidak bisa mengajukan protes kepada ayah sambungnya; mengenai keputusan pria itu untuk berada di sini, di halaman mansion mewah, alih – alih kembali ke rumah tempat mereka tinggal. Mungkin ini akan cukup pantas memberi pemahaman. Abihirt juga tidak menunjukkan sikap enggan sekadar menuruti apa yang baru saja coba dia mulai di antara mereka, yang diam – diam membuat Moreau melekukkan bibir tipis setelah mendeteksi bagaimana cara pria itu turun dari mobil, lalu mengambil sikap mengambil tubuhnya—mendekap erat dengan kedua tangan melekat penuh di sana. Moreau secara naluriah berpegangan di leher ayah sambungnya. Dia menengadah. Mengagumi setiap detil hal di wajah pria itu. Nyaris tidak ada yang bisa dilewatkan. Rasanya menyenangkan membayangkan seperti berkencan dan Abihirt sebagai kekasih baik, menuruti apa yang diinginkan. Wa