Sebuah ruang gedung mewah yang disulap sedemikian rupa. Menggantung lampu hias yang begitu cantik. Tatanan bunga dan meja kursi yang begitu rapi. Di sisi lain ada satu perempuan yang baru saja sampai. Aluna menghela nafas panjang sebelum masuk. Dress yang diberikan Ethan begitu tertutup. Sekali lagi, Aluna tidak boleh membantah. “Hei tunggu!” Bobby dari belakang menyusul Aluna. Aluna menoleh sebentar. “Kau sendirian?” tanyanya. Bobby menggeleng. “Kan aku bersamamu.” Dengan senyum menggoda. “Hih!” jijik Aluna. “Aku disuruh Ethan menjagamu.” Bobby memberikan jarinya yang membentuk love. “Apa?” Aluna menggeleng. “Tidak mungkin.” “Kau tidak percaya?” Bobby mengeluarkan ponselnya. Menunjukkan pesan dari Ethan yang berbunyi. [Awasi Aluna, jangan sampai didekati pria lain] Aluna berdecak. “Bukan menjagaku, tapi memata-mataiku.” “Sama saja. Intinya aku disuruh menjagamu. Apalagi di sini banyak pria yang datang menebar jaring.” “Maksudmu?” tanya Aluna bingung.
“Aluna!” panggil seseorang. Grace mendekati Aluna yang sibuk membersihkan dressnya. “Hai..” Aluna tersenyum canggung. Grace menatap dress Aluna. “Kenapa kau tidak menggunakan dress dariku?” tanyanya terdengar kesal. “Kau malah menggunakan putih sepertiku!” Grace menginjakkan kakinya kesal. “Tapi untunglah dressmu terkena minuman. Jadi kau harus berganti.” Aluna melongo. “Apa?” Aluna sempat melirik seorang pria yang menatapnya dari kejauhan. Tentu saja Ethan. Pria itu nampa mengamatinya dari jauh dengan mata elangnya. Aluna merasa gugup hanya ditatap begitu. Seolah aura gelap Ethan sampai mengenainya yang berjarak beberapa meter. “Pakai ini saja.” Bobby menyerahkan jasnya untuk menutupi rok Aluna yang terkena noda. “Gunakan saja dressku.” Grace tersenyum. “Dress apa?” Grace tersenyum. “Aku punya dress dan sepertinya sangat cocok denganmu.” Belum sempat menjawab, Aluna lebih dulu diseret Grace keluar dari gedung. “Grace..” panggil Aluna. Grace tidak men
Aluna menghela nafas. “Aku juga terpaksa. Grace memaksaku menggunakan dress ini.” “Aku akan pulang saja.” Aluna berbalik—tapi entah kenapa. Heelsnya terasa licin dan ujung dress yang ia gunakan tersangkut dalam heelsnya. Pada akhirnya membuatnya terjatuh. Sialnya, di hadapannya sebuah kue yang begitu tinggi. Braaak! Kue itu jatuh! Aluna pun jatuh tersungkur! Semua orang kini melihatnya. Semua mata—semua orang yang sudah hadir dalam acara tersebut. Padahal kue itu akan digunakan untuk inti acara tersebut, tapi karena ulah Aluna. Kue itu hancur begitu saja. Aluna menunduk—ketika kepalanya terangkat. Tatapan jijik, muak, rendah… itu semua ditunjukkan padanya. “Aluna apa yang terjadi?” Grace mendekat. “Kau bisa bangun?” Grace baru saja akan mengulurkan tangannya. “Jangan Grace!” Margaret. “Jangan buang tenagamu untuk mengurusi orang kampungan.” Aluna bangkit dibantu Bobby yang berada di belakangnya. “Maafkan saya.” Aluna menunduk tanpa berani berbicara. Margare
Di dalam gedung. Ethan bukannya mengusir, Aluna. Ia hanya berusaha agar Aluna tidak terlibat semakin jauh dengan keluarganya ataupun keluarga Grace. “Aluna..” Grace bergumam di samping Ethan. “Bukankah Aluna berlebihan? Dia menggunakan dress yang terlalu seksi datang ke acara seperti ini.” Grace menoleh. Menunggu reaksi Ethan seperti apa. “Terserah.” Grace mendengus. “Dia asistenmu. Bagaimana jika dia menggodamu saat di kantor?” Ethan menghela nafas sebelum mengambil gelas yang berisi air. Jika saja mereka berada di luar ruangan ini. Sudah dipastikan, Ethan akan pergi meninggalkan Grace begitu saja. “Ethan,” panggil Grace yang merasa diacuhkan oleh Ethan. “Aku berbicara denganmu, Ethan. Bagaimana jika Aluna menggodamu di kantor? Apa kau akan menanggapinya?” Ethan menaruh tangannya di dalam saku. “Tergantung..” “Tergantung?” “Tergantung bagaimana dia menggodaku. Jika menarik boleh juga..” dengan senyum miring yang jahat. “Memangnya aku peduli?” jawabnya y
Sampai di Apartemen juga. Aluna menatap telapak kakinya yang lecet. Itu karena ia memang nekat berjalan kaki dari gedung tempat acara sampai ke rumah. Aluna mengusap telapak tangannya yang ternyata sedikit berdarah. Tiba-tiba air matanya menetes. “Jangan menangis Aluna. Jangan!” Aluna menggeleng. Namun air matanya memang tidak bisa dibendung. Terlalu banyak kejadian menyakitkan hari ini. Aluna mengambil tisu. Diusapnya air matanya yang semakin deras. Tidak ada orang yang tahu penderitaannya seperti apa. Ibunya, keluarganya. Aluna tidak mungkin memberitahukan keadaannya yang sebenarnya pada mereka. Aluna selalu sendirian. Menanggung semua masalah dan bebannya di pundaknya sendiri. Tanpa mau memberitahukan siapapun. Aluna menghela nafas—saat tangisnya mulai reda. Ponselnya berbunyi—ia kira dari Bobby atau Ethan. Ternyata dari anaknya. Apa ini? Apa Gio tahu dirinya sedang tidak baik-baik saja? “Halo Gio… anak Mama…” Sapa Aluna dengan ceria. Gio terdiam se
Aluna meminta ijin liburnya selama 3 hari oleh Ethan. Untungnya tanpa berdebatan yang alot Ethan menyetujuinya. Pria itu mengijinkan Aluna pulang kampung selama 3 hari. Tapi sebenarnya bukan itu yang akan Aluna lakukan, melainkan membawa Gio ke kota. Biar saja, yang terpenting nanti jangan sampai Gio bertemu dengan Ethan. Lagipula semenjak kejadian di acara perusahaan, Aluna belum bertemu dengan Ethan. Sekarang Aluna berada di bandara. Menjemput putranya yang datang dari kampung. “Gio….” Aluna langsung memeluk Gio yang baru saja muncul. “Mama!” memeluk mamanya tidak kalah erat. Aluna menangis. Ia takut sekali terjadi sesuatu pada anak itu, karena Gio datang sendiri. “Kamu baik-baik saja?” menangkup wajah putranya. Gio mengangguk. “Gio baik, Mama. Kakak pramugarinya baik sekali..” “Syukurlah.” Aluna mengecup kedua pipi putranya. “Mama senang sekali kamu di sini.” kembali memeluk Gio. “Bagaimana keadaan kamu?” tanya Aluna begitu kawatir. Ia menyentuh dada Gio
[Jangan menghubungiku. 3 HARI LIBUR!] Ethan berdecih pelan. [Sombong amat!] Aluna hanya melihatnya. Tidak ada tanda-tanda mengetik apalagi membalas pesannya. Ethan melempar ponselnya begitu saja. Prak! “Santai bro!” Wiliam menggeleng pelan. Seperti biasa, tempat mereka nongkrong memang di klub. Ditemani beberapa perempuan cantik di sekeliling mereka. Sayangnya dari banyaknya perempuan cantik, tidak ada yang bisa menarik perhatian Ethan. Pria itu malah dibuat uring-uringan oleh seorang perempuan yang entah di mana keberadaannya. “Pawangnya hilang bro!” Bobby meminum vodkanya dengan santai. “Di mana si selingkuhanmu itu?” tanya Wiliam dengan senyum miring. “Kau sudah bosan dengannya?” Ethan menatap Wiliam tajam. Wiliam tertawa. “Kalau bosan, bisa berikan saja padaku. Lumayan buat mainanku, aku sedang bosan—” Duk! Bobby menendang kaki Wiliam yang berada di hadapannya. Memincingkan mata, sebagai kode agar diam saja. “Berani bayar berapa?” tanya Ethan pada Wil
Pagi hari, Aluna dan Gio sudah bersiap-siap akan pergi ke taman hiburan. Aluna dan Gio menatap cermin. Gio mengusap rambutnya ke belakang. Aluna malah teringat dengan Ethan. Ketika pria itu menghadap kaca, pasti melakukan hal yang sama. Mengusap rambut dan menatap kaca dengan wajah yang datar. “Sudah siap?” tanya Aluna. Gio mengangguk. “Siap lets go!” “Minum obat dulu…” Aluna membawa obat yang harus diminum oleh Gio. “MAMA…..” rengek Gio yang enggan meminum obat. Aluna mengusap pipi putranya. “Minum ya, nanti kalau enggak minum takut Gio sakit pas main. Oke? minum dulu.” Akhirnya setelah dibujuk mau juga minum obat. Aluna juga tidak ingin anaknya terus meminum obat. Tapi mau bagaimana lagi, untuk kesehatan putranya sendiri. Jarak dari apartemen ke taman hiburan tidak terlalu jauh. Aluna berangkat menggunakan taksi hanya membutuhkan waktu satu jam saja. Sampai di sana. Mereka turun di depan. “Mama tunggu.” Gio menghentikan Aluna. “Beli itu ya Ma?” menun
GUYS INI CHAPTER TERAKHIR. SEMOGA SUKA YA... Aiden memutuskan untuk pergi langsung tanpa sarapan. ia pergi ke parkiran yang terletak di samping. Di sanalah motornya tersimpan… Namun ia berhenti ketika melihat ayahnya yang berada di samping motornya. “Kenapa dad di sana?” tanya Aiden mengernyit. “Dad ingin membuang motorku?” tanya Aiden lagi. Gio menghela napas. Kemudian tangannya terulur mengusap motor Aiden pelan. “Warnanya bagus… helmnya juga cocok.” Gio tersenyum. “Kamu membelinya dengan uang kamu sendiri ya?” kemudian mengangguk. “Motornya bagus.” Aiden mengernyit. Kemudian mendekat. “Apa yang terjadi dengan Dad?” Gio mengusap pelan bahu anaknya. “Dad minta maaf, Dad tidak tahu kalau Dad bersalah pada kamu. Dad sering mengabaikan kamu. Dad menganggap enteng acara penting kamu. Dad terlalu sibuk bekerja sampai tidak memperhatikan kamu…” “Dad juga lupa kalau semua anak pasti melakukan kesalahan…” Gio tersenyum. “Dad seharusnya memuji kamu daripada
GUYS INI CHAPTER TERAKHIR. SEMOGA SUKA YA... Aiden memutuskan untuk pergi langsung tanpa sarapan. ia pergi ke parkiran yang terletak di samping. Di sanalah motornya tersimpan… Namun ia berhenti ketika melihat ayahnya yang berada di samping motornya. “Kenapa dad di sana?” tanya Aiden mengernyit. “Dad ingin membuang motorku?” tanya Aiden lagi. Gio menghela napas. Kemudian tangannya terulur mengusap motor Aiden pelan. “Warnanya bagus… helmnya juga cocok.” Gio tersenyum. “Kamu membelinya dengan uang kamu sendiri ya?” kemudian mengangguk. “Motornya bagus.” Aiden mengernyit. Kemudian mendekat. “Apa yang terjadi dengan Dad?” Gio mengusap pelan bahu anaknya. “Dad minta maaf, Dad tidak tahu kalau Dad bersalah pada kamu. Dad sering mengabaikan kamu. Dad menganggap enteng acara penting kamu. Dad terlalu sibuk bekerja sampai tidak memperhatikan kamu…” “Dad juga lupa kalau semua anak pasti melakukan kesalahan…” Gio tersenyum. “Dad seharusnya memuji kamu daripada
GUYS INI CHAPTER TERAKHIR. SEMOGA SUKA YA... Aiden memutuskan untuk pergi langsung tanpa sarapan. ia pergi ke parkiran yang terletak di samping. Di sanalah motornya tersimpan… Namun ia berhenti ketika melihat ayahnya yang berada di samping motornya. “Kenapa dad di sana?” tanya Aiden mengernyit. “Dad ingin membuang motorku?” tanya Aiden lagi. Gio menghela napas. Kemudian tangannya terulur mengusap motor Aiden pelan. “Warnanya bagus… helmnya juga cocok.” Gio tersenyum. “Kamu membelinya dengan uang kamu sendiri ya?” kemudian mengangguk. “Motornya bagus.” Aiden mengernyit. Kemudian mendekat. “Apa yang terjadi dengan Dad?” Gio mengusap pelan bahu anaknya. “Dad minta maaf, Dad tidak tahu kalau Dad bersalah pada kamu. Dad sering mengabaikan kamu. Dad menganggap enteng acara penting kamu. Dad terlalu sibuk bekerja sampai tidak memperhatikan kamu…” “Dad juga lupa kalau semua anak pasti melakukan kesalahan…” Gio tersenyum. “Dad seharusnya memuji kamu daripada
“Puas membuat kawatir orang tua? Puas bermain-main dengan acara penting?” tanya Gio pada Aiden. Aiden berhenti. pada langkah yang ketiga di tangga. Laki-laki itu berhenti dan menghadap ayahnya. “Bagaimana rasanya?” tanya Aiden sembari tersenyum. “Kalian tidak pernah datang ke acara pentingku. Jadi aku ingin melakukannya juga…” “Bagaimana rasanya?” tanyanya. “Aiden!” Gio memijit keningnya yang terasa pusing. “Kami melakukannya karena ada alasannya.” “Aku juga punya alasan untuk tidak datang ke acara itu.” Aiden memutar tubuhnya. berjalan—sampai Gio memanggilnya lagi. “Acara balapan yang kamu maksud?” tanyanya. “Balapan tidak jelas seperti itu? jika ingin balapan di sirkuit bukan di jalan raya. Kamu membahayakan orang lain. kamu juga membahayakan diri kamu sendiri.” “Aiden kamu jangan melakukan hal seperti ini lagi ya..” Agatha menatap putranya. “Mom dan Dad tidak akan melakukan hal seperti dulu lagi.” “Kalau kamu mau balapan, kamu bisa mengajak kamu ke sir
Di sinilah… Raini pergi ke atap gedung. Sendirian di tengah gelap yang hanya diterangi oleh cahaya rembulan yang bersinar dengan terang. Raini membiarkan rambutnya tertiup angin ke sana ke mari. Kedua tangannya bersandar pada dinding pembatas. Tempatnya memang di sini. Jelas dirinya dan Aiden sangat berbeda. Aiden memang lebih cocok dengan perempuan bernama Talia itu. Tadi, Raini melihat mereka dari kejauhan. Talia pasti dari keluarga yang memiliki perusahaan besar juga. Mereka memang cocok. Lantas… Kenapa hatinya sedikit tidak rela ya? Apa mungkin ia tidak rela jika Aiden bersama perempuan lain? Tidak! Sampai kapanpun Raini tidak boleh mendambakan apa yang tidak boleh didambakan. Tempatnya di sini… Menyingkir lalu tidak terlihat oleh siapapun. “Jadi seperti ini ya pemandangan kota dari atas gedung tinggi..” Raini tersenyum pelan. “Maklum orang kampung…” Raini menggeleng pelan. “Ternyata sangat bagus. pantas saja banyak orang kampung yang berbondong-b
Seorang pemuda dengan setelan kemeja dan jas rapi baru saja turun dari mobil. Langkahnya mantap—kemudian disusul oleh perempuan yang berada di belakangnya. Perempuan cantik yang menggunakan dress berwarna putih. Nampak sangat cantik dengan rambut panjang yang digerai… Aiden menyodorkan lengannya. Raini tersenyum manis dan menggandeng tangan Aiden. Tahukah permintaan Aiden? Ya, membawa Raini untuk pergi ke pesta bersamanya. Lantas, Raini harus menuruti permintaan lelaki itu jika ingin lelaki itu hadir di pesta. Raini tidak pernah berhadapan dengan orang segila Aiden. Tapi mari imbangi kegilaan Raini. Bersikap seperti apa kemuan Aiden saja. Raini berjalan dengan hati-hati. di luar ternyata banyak sekali kamera wartawan yang menyorot dirinya. Pasti mereka akan membuat berita dan bertanya-tanya tentang identitasnya. Raini bersumpah… Pasti setelah ini, kehidupan sekolahnya kian rumit. Pasti akan muncul rumor aneh tentan dirinya dan Aiden. Aiden dan Raini b
“Dia di mana?” Agatha berkacak pinggang sembari mondar-mandir. Ia sudah berdandan rapi namun Aiden malah belum pulang… Gio menggenggam tangan Agatha. “Kali ini aku tidak bisa mentolerir perbuatannya..” “Tunggu sebentar. dia pasti pulang.” Agatha mengeluarkan ponselnya.. Melakukan panggilan berkali-kali namun satupun tidak dijawab. “Ayo kita berangkat..” nampak wajah Gio begitu dingin. Hanya berjalan beberapa langkah saja.. “Bagaimana kalau kita menunggu sedikit lebih lama..” Agatha mendongak. “Aku yakin dia akan segera pulang.” Gio menatap jam tangannya. “Kalaupun pulang dia butuh berganti pakaian segala macam. Kita tidak ada waktu sayang.” Agatha akhirnya mengangguk. menyetujui untuk berangkat. Akhirnya dengan berat hati Agatha dan Gio berangkat tanpa anak mereka. Entah, Gio tidak mau tahu keberadaan anaknya. Di sisi lain, Raini yang melihat mereka merasa ini tidak benar. Ia harus mencari Aiden dan membuat laki-laki itu datang ke pesta ulang tahun Winston.
Raini menjadi semakin panik ketika tubuh mereka terasa benar-benar menempel. “Cepat ambil,” lirih Raini. Aiden tersenyum. menunduk dan mendekatkan bibirnya pada telinga kanan perempuan itu. “Cepat ambil, aku tidak akan melihatmu,” ucap Raini. “Lantas kenapa wajahmu memerah seperti itu?” Raini mengerjap karena kesal akhirnya ia berbalik—namun kakinya tidak bisa berpijak dengan benar alhasil… Braak! Raini memejamkan mata—bersiap menerima kerasnya lantai. Tapi yang ia dapatkan adalah pelukan dari tangan seseorang. Raini membuka mata—wajah Aiden yang sudah begitu dekat di hadapannya. Kenapa… Jantungnya berdetak sangat cepat. Juga, suhu tubuhnya yang tiba-tiba memanas sampai membuat pipinya begitu panas seperti terbakar. Raini baru menyadari jika Aiden masih bertelanjang dada… “Bu-bu buahnya jatuh!” Raini melepaskan diri dari Aiden. Buru-buru mengambil buah itu dengan cepat. “Aku tidak makan buah yang sudah jatuh.” Aiden mengamati Raini yang begitu gugup memungut
“Apa aunty tahu kau menggunakan motor ke sekolah?” tanya Raini yang baru memarkirkan sepeda listriknya di halaman mansion. Aiden melepas helmnya. Pertama kalinya ia membawa motornya ke rumah. “Belum.” Aiden menggeleng. “Sekarang akan tahu.” Raini mendekati Aiden. “Bukankah bahaya?” tanyanya. “Kau belum memiliki sim juga.” “Bukan urusanmu.” Aiden menyipitkan mata. Aiden pergi begitu saja ke dalam mansion. Meninggalkan Raini yang ngomel-ngomel. Aiden pergi ke dalam rumah. disambut oleh ibunya yang selalu berada di rumah menunggunya pulang. “Kamu sudah pulang..” Agatha mendekat. “Di luar itu motor kamu?” tanya Agatha. Aiden mengangguk. Agatha berhenti sejenak. “Mom marah?” tanya Aiden. Agahta menggeleng. “Itu hobi baru kamu kan?” Agatha mengusap pelan bahu Aiden. “Asalkan kamu menaikinya dengan hati-hati, jangan sampai terluka. Mom tidak masalah.” “Mom dulu juga bisa tahu naik motor. Tapi sekarang lupa caranya..” Agatha terkekeh pelan. “Mom bisa?” Agatha men