Sampai di Apartemen juga. Aluna menatap telapak kakinya yang lecet. Itu karena ia memang nekat berjalan kaki dari gedung tempat acara sampai ke rumah. Aluna mengusap telapak tangannya yang ternyata sedikit berdarah. Tiba-tiba air matanya menetes. “Jangan menangis Aluna. Jangan!” Aluna menggeleng. Namun air matanya memang tidak bisa dibendung. Terlalu banyak kejadian menyakitkan hari ini. Aluna mengambil tisu. Diusapnya air matanya yang semakin deras. Tidak ada orang yang tahu penderitaannya seperti apa. Ibunya, keluarganya. Aluna tidak mungkin memberitahukan keadaannya yang sebenarnya pada mereka. Aluna selalu sendirian. Menanggung semua masalah dan bebannya di pundaknya sendiri. Tanpa mau memberitahukan siapapun. Aluna menghela nafas—saat tangisnya mulai reda. Ponselnya berbunyi—ia kira dari Bobby atau Ethan. Ternyata dari anaknya. Apa ini? Apa Gio tahu dirinya sedang tidak baik-baik saja? “Halo Gio… anak Mama…” Sapa Aluna dengan ceria. Gio terdiam se
Aluna meminta ijin liburnya selama 3 hari oleh Ethan. Untungnya tanpa berdebatan yang alot Ethan menyetujuinya. Pria itu mengijinkan Aluna pulang kampung selama 3 hari. Tapi sebenarnya bukan itu yang akan Aluna lakukan, melainkan membawa Gio ke kota. Biar saja, yang terpenting nanti jangan sampai Gio bertemu dengan Ethan. Lagipula semenjak kejadian di acara perusahaan, Aluna belum bertemu dengan Ethan. Sekarang Aluna berada di bandara. Menjemput putranya yang datang dari kampung. “Gio….” Aluna langsung memeluk Gio yang baru saja muncul. “Mama!” memeluk mamanya tidak kalah erat. Aluna menangis. Ia takut sekali terjadi sesuatu pada anak itu, karena Gio datang sendiri. “Kamu baik-baik saja?” menangkup wajah putranya. Gio mengangguk. “Gio baik, Mama. Kakak pramugarinya baik sekali..” “Syukurlah.” Aluna mengecup kedua pipi putranya. “Mama senang sekali kamu di sini.” kembali memeluk Gio. “Bagaimana keadaan kamu?” tanya Aluna begitu kawatir. Ia menyentuh dada Gio
[Jangan menghubungiku. 3 HARI LIBUR!] Ethan berdecih pelan. [Sombong amat!] Aluna hanya melihatnya. Tidak ada tanda-tanda mengetik apalagi membalas pesannya. Ethan melempar ponselnya begitu saja. Prak! “Santai bro!” Wiliam menggeleng pelan. Seperti biasa, tempat mereka nongkrong memang di klub. Ditemani beberapa perempuan cantik di sekeliling mereka. Sayangnya dari banyaknya perempuan cantik, tidak ada yang bisa menarik perhatian Ethan. Pria itu malah dibuat uring-uringan oleh seorang perempuan yang entah di mana keberadaannya. “Pawangnya hilang bro!” Bobby meminum vodkanya dengan santai. “Di mana si selingkuhanmu itu?” tanya Wiliam dengan senyum miring. “Kau sudah bosan dengannya?” Ethan menatap Wiliam tajam. Wiliam tertawa. “Kalau bosan, bisa berikan saja padaku. Lumayan buat mainanku, aku sedang bosan—” Duk! Bobby menendang kaki Wiliam yang berada di hadapannya. Memincingkan mata, sebagai kode agar diam saja. “Berani bayar berapa?” tanya Ethan pada Wil
Pagi hari, Aluna dan Gio sudah bersiap-siap akan pergi ke taman hiburan. Aluna dan Gio menatap cermin. Gio mengusap rambutnya ke belakang. Aluna malah teringat dengan Ethan. Ketika pria itu menghadap kaca, pasti melakukan hal yang sama. Mengusap rambut dan menatap kaca dengan wajah yang datar. “Sudah siap?” tanya Aluna. Gio mengangguk. “Siap lets go!” “Minum obat dulu…” Aluna membawa obat yang harus diminum oleh Gio. “MAMA…..” rengek Gio yang enggan meminum obat. Aluna mengusap pipi putranya. “Minum ya, nanti kalau enggak minum takut Gio sakit pas main. Oke? minum dulu.” Akhirnya setelah dibujuk mau juga minum obat. Aluna juga tidak ingin anaknya terus meminum obat. Tapi mau bagaimana lagi, untuk kesehatan putranya sendiri. Jarak dari apartemen ke taman hiburan tidak terlalu jauh. Aluna berangkat menggunakan taksi hanya membutuhkan waktu satu jam saja. Sampai di sana. Mereka turun di depan. “Mama tunggu.” Gio menghentikan Aluna. “Beli itu ya Ma?” menun
“Mau main apa?” tanya Aluna. Mereka sudah masuk ke dalam taman bermain. Aluna masih teringat dirinya yang bermain di sini dengan Ethan. “Kuda-kuda itu mama!” menunjuk sebuah wahana bernama Turangga rangga. Turangga rangga adalah sebuah komedi putar yang dilengkapi dengan 40 kuda tunggangan serta dihiasi ribuan lampu yang membuat meriah. Wahana ini boleh dinaiki semua usia dan akan berputar beberapa kali. “Gio naik sendiri Mama!” Gio yang kekeh naik sendiri tanpa bantuan Aluna. “Mama naik sendiri.” Gio mengusir Aluna yang ingin naik ke kuda yang sama dengannya. Aluna mencebikkan bibirnya. Namun ia menuruti keinginan anaknya. Mereka tertawa dengan riang. Aluna tidak berhenti memotret Gio yang berada di belakangnya. Tidak lupa merekam mereka berdua. Berganti. Namun sebelum itu, Aluna meminta agar istirahat dahulu sebelum ke permainan selanjutnya. “Tunggu ya, istirahat dulu kamu.” Aluna mengambil sebuah bangku dan menyuruh anaknya duduk. “Es krim mama!” menunjuk es
“Hei kalian.” Otomatis Aluna, Gio dan Ethan menoleh. “Kalian keluarga yang lucu.” Aluna menggeleng bersamaan dengan Gio. “Tidak!” Penjual es krim turki itu tersenyum. “Hei boy, kau begitu mirip dengan ayahmu!” Aluna melotot. Reflek menutup telinga Gio. “Sudah-sudah ayo..” Aluna menggandeng kiri kanan tangan dua laki-laki itu. Pokoknya harus menjauh dulu. Aluna tidak ingin setelah mendengar perkataan penjual es krim itu, Ethan menjadi sadar bahwa Gio memang mirip dengannya. “Mau naik apa?” “Tidak usah naik,” balas Ethan. Mengabaikan wajah kesal Ethan. “Lah!” Aluna melotot. “Aku bertanya pada Gio.” Ia menunduk. “Mau naik apa sayang?” Gio menatap sebuah wahana berputar di udara. “Itu!” “Gio…” lirih Aluna. Gio menghela nafas pasrah. “Tapi Gio ingin naik, Mama.” “Cari wahana lain saja ya?” Aluna menatap sekitar. “Di sana ada mobil-mobilan untuk anak kecil,” ucap Ethan menunjuk wahana yang cukup jauh untuk dijangkau. “Gio mau?” tanya Aluna. Gio men
“Aku dengar Aluna adalah kakakmu.” Gio mengangguk. “Iya..” “Lantas kenapa kau memanggilnya Mama?” “Karena aku sayang mama,” balas Gio. Jawaban Gio membuat Ethan berdecak. Memangnya apa yang ia harapkan dari jawaban anak kecil. “Lalu di mana orang tua—” “Ayo!” Aluna kembali dengan tiga tiket di tangannya. Akhirnya mereka naik sebuah wahana mobil yang berkeliling. Mobil itu berjalan di atas sebuah jalur mirip kereta api. Dilihat dari kejauhan, orang-orang pasti mengira bahwa mereka adalah keluarga cemara yang berbahagia. Posisi Gio berada di tengah diapit oleh Ethan dan Aluna. Mereka tertawa karena Gio memainkan sebuah tembak yang ternyata mengucur air. Sruut! Terkena wajah Ethan. Aluna tertawa begitu puas. “HAHAHAH… WAJAHMU…” Aluna sangat puas dengan Gio yang menembak Ethan dengan tembakan air tersebut. “Bukan begitu caranya bocah kecil.” Ethan mengusap wajahnya kasar. Kemudian mengajari Gio untuk menembak mobil-mobilan di hadapan mereka. Tepatnya pada s
Aluna tidak tahu apakah harus berterima kasih pada Ethan atau tidak. Karena sepanjang mereka bermain di taman hiburan, Ethan yang menggendong Gio. Tapi Aluna juga tidak menginginkan keberadaan pria itu bersamanya dan Gio. Malam hari. Mereka akhirnya sampai di Apartemen. Tentu saja Gio yang saat ini tengah digendong Ethan menuju kamar. “Hati-hati.” Ethan membaringkan tubuh Gio di atas kasur. Ia mengernyit. “Sejak kapan kamar ini berubah? kenapa aku tidak tahu?” Aluna menaruh jarinya di bibir sebagai tanda diam saja. Aluna membuka sepatu Gio, beralih membuka celana dan kaos bocah itu. lalu menggantinya dengan pakaian tidur. Aluna melakukannya dengan sangat telaten dan hati-hati. semua ia lakukan agar Gio tetap nyaman dan tidak terbangun. “Kau begitu ahli,” komentar Ethan ketika mereka keluar dari kamar Gio. “Apa yang ahli?” “Mengurus anak kecil.” Aluna menoleh. “Kamu harus pulang. Ini hari liburku kalau kamu lupa.” Ethan mendengus kesal. “Tidak usah kau ing
Pergi ke rumah kakek dan nenek Gio. Agatha rasa dia sedikit gugup. Meski ia yakin bahwa hubungannya dengan nenek Gio membaik. Tapi tetap saja, belum sebaik dan seakrab yang ia inginkan. Agatha menggandeng lengan Gio. Mereka perlahan masuk ke dalam mansion. Ada kenangan yang buruk… Agatha masih mengingat kenangannya bekerja di sini. Maaf tapi Agatha tidak bisa melupakan kenangan buruk itu. Nenek dan kakek Gio keluar. Agatha jarang sekali melihat kakek Gio. “cucu kakek…” menyambut mereka berdua dengan hangat. Kakek terlihat sangart bahagia meliaht cucunya datang. “Apa yang membawa kalian kemari?” tanya kakek. Nenek menatap kedua cucunya itu bergantian. “Duduk dulu kalian…” Mereka mengambil duduk dengan santai. Gio dengan setia merangkul bahu Agatha dari samping. “Kami sebenarnya hanya ingin memberitahu kalian kalau Agatha hamil,” Ucap Gio. “Waah…” Kakek Gio nampak berbinar. “Sebentar lagi cicitku bertambah..” Nenek Gio menyenggol lengan kakek. “cicitku j
21++ Vila di sini bentuknya berjajar. Menghadap ke laut. Tidak terlalu besar, hanya ada satu kasur yang berukuran besar. “Bagaimana?” tanya Gio sembari memeluk Agatha dari belakang. “Bukankah sangat bagus?” tanya Gio. Agatha mengangguk. “Bagus.” “Kita mau menginap di sini?” tanyanya. Gio mengernyit. “Memangnya mau ke mana? aku mengajakmu ke sini untuk menginap di sini.” Agatha mengangguk. “Baiklah aku akan memberitahu ibu dulu.” Gio menarik ponsel Agatha dan melemparkannya begitu saja. “Ibu akan mengerti.” sembari mengedipkan matanya. Menarik pinggang Agatha hingga tubuh mereka menempel. Gio menunduk dan menarik tengkuk Agatha. mencium bibir wanita itu pelan. Membawanya ke ranjang. membaringkan Agatha dengan hati-hati di atas ranjang. Gio melepaskan pangutan mereka, kemudian melepaskan kancing kemejanya. Membuka seluruh pakaian yang digunakannya. “Kamu tidak mau membantuku ya…” lirih Gio yang berada di atas Agatha. Agatha tertawa pelan. menggeleng, kemudia
Katanya ada wisata baru. Agatha tidak tahu kalau ternyata wisatanya memang indah. Area di sini memang pantai yang banyak tebingnya. Sehingga dibangunlah berbagai wisata yang berada di atas tebing. Ada restoran yang langsung mengarah ke laut. Ada beberapa permainan ekstrim yang dicoba orang-orang. Agatha dan Gio memutuskan untuk pergi ke restoran saja, menikmati langit senja yang perlahanmenghilang menjadi gelap. Agatha memejamkan mata menikmati udara yang berhembus. “Aku tidak menyangka hidup ibu seberat itu…” lirih Agatha. “Andai aku datang lebih cepat, aku pasti bisa menolongnya.” Gio mengusap pelan punggung Agatha. “Aku tidak bisa membayangkan bagaimana menderitanya ibu sendirian…” Agatha menatap laut biru di hadapannya. “Aku berjanji tidak akan membiarkan hidp ibu susah lagi. Aku juga akan sering-sering berkunjung ke sini.” Gio mengangguk. “Dan aku akan selalu menemani kamu.” Agatha mendongak. “Bagaimana kalau membawa ibu ke kota saja?” Agatha berdecak. “Ib
Agatha ingin minta kejelasan pada ibunya. Semuanya. semuanya yang disembunyikan oleh ibunya. Saat ini mereka berada di rumah ibu Agatha. Rumah yang kini lebih baik. Usaha ibunya memang berkembang dengan baik sampai ibunya bisa merenovasi rumah. rumah ini menjadi nyaman ditinggali. “Jelaskan pada Agatha. kalau tidak, Agatha akan marah pada ibu. Agatha juga tidak akan pernah ke sini lagi kalau ibu masih tidak mau bercerita.” Ibu Agatha menggeleng. “Jangan. Ibu akan memberitahu kalian semuanya.” “Jadi kakek nenek pernah mengangkat anak. Sampai anak itu, yaitu almarhum paman kamu lulus sekolah saja. tapi kami masih berhubungan dengan baik meskipun pamanmu kembali pada keluarga aslinya…” “Ibu pernah kecelakaan. Ibu ditabrak oleh pengemudi motor yang mabuk…” Agatha memejamkan mata sebentar. Ia memang tidak tahu apapun selama ini. Ia merasa bersalah karena ia selalu menyalahkan ibunya yang tidak pernah menjenguknya. Padahal ibunya sendiri hidup sangat susah. “Ibu ha
“Kalian anaknya?” tanya pria itu sembari menatap ibu Agatha. Ibu Agatha menarik tangan pria itu. “Jangan bicara di sini.” Agatha langsung berdiri. “Tunggu!” Agatha mengejar ibunya dan pria itu yang keluar dari restoran. “Mintalah pada anakmu untuk membantu kami!” pria itu berteriak pada ibu Agatha. “Aku akan membantumu… jangan libatkan anak-anakku.” Agatha terdiam. Kemudian segera mendekat. “Apa hubungan ibu dengan pria ini?” tanya Agatha. Pria itu nampak masih muda. Agatha tidak yakin, hubungan apa yang dimiliki oleh ibunya dengan pria itu. Tidak mungkin kan kekasih ibunya. Agatha tidak masalah jika ibunya punya kekasih atau bahkan akan menikah lagi, tapi jangan pria yang terlalu muda seperti ini. “Agatha kamu kembali ke dalam..” Ibu Agatha mendorong pelan Agatha agar kembali. Agatha kekeh tidak mau. “Urusan ibu, urusanku juga. Jika ada yang menyakiti ibu, maka aku akan menyakitinya kembali.” Agatha malah memasang badan di depan pria itu. “Ada apa denganmu. Kena
Minggu selanjutnya. Agatha dan Gio pergi menemui ibu Agatha. Agatha menatap satu restoran yang begitu ramai. “Jadi ini restoran itu ya…” Gio mengangguk. “Sangat ramai… sepertinya ibu memang pintar mengelola restoran. Dia bahkan punya banyak pegawai.” “Agatha!” ibu Agatha keluar dengan bahagia. Ia masih menggunakan celemek tapi langsung memeluk putrinya dengan gembira. “Ibu..” Agatha membalas pelukan ibunya. “Bagaimana kabar kamu.” Ibu Agatha menatap perut sang putri. “Bagaimana calon cucu ibu?” Agatha tertawa pelan. “Agatha baik, Bu.” Agatha menatap ibunya dengan seksama. Ibunya terlihat semakin cantik. kulit ibunya yang semakin cerah. Wajah itu terlihat semakin bersih. Agatha yakin, Ibunya merawat diri dengan baik setelah memiliki restoran. Agatha juga bersyukur ibunya memiliki restoran sehingga tidak perlu lagi bekerja sebagai pengepul ikan. “Menantu ibu…” menatap Gio. “Semakin tampan kamu.” mengusap pelan bahu Gio. Gio menunduk dan memeluk ibu Agatha.
Aluna menyambut kedantangan anak dan menantunya dengan gembira. Jarang sekali mereka datang ke sini. Mereka sama-sama sibuk di kantor ia juga tidak heran… Agatha memeluk Aluna. “Bagaimana kabar mama?” tanya Agatha. Aluna mengangguk. “Mama baik. bagaimana dengan kamu?” tanyanya. “Agatha juga baik.” “Akhirnya kalian ke sini.” Ethan tersenyum kemudian mendekati Agatha. Memeluk menantunya seperti putrinya sendiri. “Kamu baik-baik saja? Gio tidak menyakiti kamu?” tanya Ethan pada Agatha. Agatha tertawa pelan. “Agatha baik, Pa.” “Pertanyaannya bisa lebih sopan?” tanya Gio yang memeluk pinggang Agatha dari samping. Ethan menepuk pelan bahu Gio. “Sudah dewasa ya kamu sekarang.” Gio mengangguk dengan bangga. “Sebentar lagi Gio juga akan menjadi ayah..” mengusap perut Agatha. “Wah..” Aluna berbinar. “Benarkah?” tanyanya. “Berapa bulan?” tanyanya. Ia mendekat—dan menyentuh perut menantunya. “Baru enam minggu,” balas Gio. Ethan memberikan jempolnya pada Gio. “Gerak c
Gio dan Agatha benar-benar membeli durian. Bahkan Agatha tidak sabar memakannya. Saat ini mereka berada di dalam mobil. Dengan seluruh jendela mobil yang dibuka. Agatha membuka buah durian yang siap makan. Langsung saja baunya memenuhi seluruh mobil. Gio menyipitkan mata—ia sendiri tidak sanggup dengan baunya, apalagi sampai memakannya. Gio semakin terheran melihat Agatha yang begitu lahap memakan durian itu. “Kamu suka?” tanya Gio. Agatha mengangguk. kemudian mengambil durian itu dan menyodorkannya pada Gio. “Ini.” Gio menolak dan menggeleng. “Tidak, kamu saja yang makan.” Agatha mengedikkan bahu dan memakannya dengan lahap. Sampai habis… Tidak tersisa…. Tersisa bijinya saja. Gio mengambil tisu dan diusapkannya di bibir Agatha. membukakan botol minum. “Minum perlahan…” Gio tersenyum. melihat Agatha yang bahagia, juga membuatnya bahagia meski ia tidak tahan dengan baunya durian. Agatha menatap Gio. “Aku kenyang.” “Yasudah tidur saja..” Gio menutup jende
Gio dan Agatha perjalanan pulang setelah bertemu dengan Julie dan Minjae. “Aku jadi kasihan ya.. pada Julie.” Menatap Gio yang berada di sampingnya. “Hm.” Gio hanya mengangguk. “Kamu bagaimana?” “Lumayan..” balas Gio. “Dia berkali-kali menunduk dan minta maaf. Aku jadi lumayan kasihan.” “Tapi kalau mengingat perbuatannya…” lirih Gio. Tangannya terulur mengambil tangan istrinya. “lumayan menyebalkan. Aku jadi tidak bisa menyentuhmu, tidak bisa tidur dengan tenang…” Agatha mengangguk. menyandarkan kepalanya di bahu Gio. “Tapi kalau dipikir itu bukan kesalahannya. Dia tidak tahu yang tidur dengan dia siapa…” “Dia harus menggugurkan kandungannya karena penyakit. Dia juga tidak bisa hamil lagi.” Agatha mengusap perutnya pelan. “Aku harap hidupnya bahagia bersama Minjae,” lirih Agatha. Gio mangut-mangut mendengar ocehan istrinya. “Sudah…” Gio mengusap pelan puncak kepala Agatha. “Jangan dipikirkan. Aku yakin Minjae akan membahagiakannya..” Agatha mendongak. mendadak b