Aluna tidak tahu apakah harus berterima kasih pada Ethan atau tidak. Karena sepanjang mereka bermain di taman hiburan, Ethan yang menggendong Gio. Tapi Aluna juga tidak menginginkan keberadaan pria itu bersamanya dan Gio. Malam hari. Mereka akhirnya sampai di Apartemen. Tentu saja Gio yang saat ini tengah digendong Ethan menuju kamar. “Hati-hati.” Ethan membaringkan tubuh Gio di atas kasur. Ia mengernyit. “Sejak kapan kamar ini berubah? kenapa aku tidak tahu?” Aluna menaruh jarinya di bibir sebagai tanda diam saja. Aluna membuka sepatu Gio, beralih membuka celana dan kaos bocah itu. lalu menggantinya dengan pakaian tidur. Aluna melakukannya dengan sangat telaten dan hati-hati. semua ia lakukan agar Gio tetap nyaman dan tidak terbangun. “Kau begitu ahli,” komentar Ethan ketika mereka keluar dari kamar Gio. “Apa yang ahli?” “Mengurus anak kecil.” Aluna menoleh. “Kamu harus pulang. Ini hari liburku kalau kamu lupa.” Ethan mendengus kesal. “Tidak usah kau ing
Sebuah mobil berhenti tepat di depan seorang perempuan dan anak laki-laki. Ethan keluar dari mobil dengan kacamata yang bertengger di hidung. Menggunakan kaos putih dan celana pendek selutut. Sederhana sekali, namun tidak saat melihat aksesoris yang digunakan pria itu. Jam rolex seharga ratusan juta rupiah. “Mama, kita pergi bersama uncle?” tanya Gio. Aluna mengangguk. “Kau belum memberitahunya?” tanya Ethan menyipitkan mata. Aluna menunduk. “Uncle tahu tempat yang bagus. Kamu tidak mau pergi dengan uncle?” Belum sempat menjawab, Ethan lebih dulu menyerobot. “Aku tahu tempat bagus. Kau tidak akan menyesal jika pergi denganku,” meyakinkan bocah kecil itu. “Aku membelikanmu es krim.” Ethan mengeluarkan jurusnya. “Jika kau mau pergi denganku, maka aku akan membiarkanmu makan es krim.” Gio nampaknya sedang berpikir. “Tidak usah banyak berpikir.” Ethan menggendong Gio dengan mudah. “Aku belum bilang iya loh uncle!” teriak Gio di dalam gendongan Ethan. Ethan me
Sampai juga di kebun binatang. Pilihan tempat Ethan tidak buruk. Kebun binatang memang tempat yang bagus untuk bermain anak kecil. Sekalian belajar tentang hewan-hewan langka. Mereka berjalan saling bergandengan tangan. Gio di tengah, sedangkan Aluna di samping kanan dan Ethan di samping kiri. Kenapa sampai seperti itu? karena Gio sendiri yang menggandeng tangan Aluna dan tangan Ethan. “Panda.” Tunjuk Gio pada seekor panda yang begitu besar. Gio nampak antusias. “Kalian di sana saja, aku akan memotret kalian.” Ethan membiarkan mereka dekat dengan kaca yang memisahkan mereka dengan area panda. Ethan mengeluarkan ponselnya. Memotret Aluna dan Gio. Bibirnya tersenyum melihat mereka berdua yang tampak bahagia. Lanjut—berjalan ke luar. Di sana ada jerapah. Untuk memberi makan jerapah mereka harus membayar. Aluna mengeluarkan dompetnya. “Tidak usah, biar aku.” Ethan mengeluarkan dompetnya. “Uncle punya uang ya mama?” lirih Gio. Ethan menghela nafas. Setelah
Aluna tidak tahu apa yang menjadi Gio kambuh. Padalah sebelum berangkat, Aluna sudah memastikan Gio meminum obat. Mungkin udara dingin dan kelelahan. Ini salah Aluna karena membawa memaksa menerobos hujan untuk pergi ke parkiran. “Gio kenapa—” Ethan menoleh ke belakang. “Ethan sekarang ke rumah sakit.” Tanpa banyak kata. Ethan menuruti perintah Aluna. Aluna memeluk Gio. “Tahan ya.. tahan sebentar.” “Coba nafas dulu… tarik… buang..” Aluna menggosok lengan putranya yang begitu dingin. “Gio bertahan sayang..” Aluna mengecup puncak kepala Gio beberapa kali. Ethan melirik Aluna dari kaca spion. Tidak pernah melihat Aluna yang begitu ketakutan. Aluna terlihat sangat ketakutan. Padahal dulu Ethan sering membuli Aluna, namun wanita itu tidak pernah memperlihatkan raut ketakutan. Tapi sekarang, karena keadaan anak kecil itu membuat Aluna begitu ketakutan. Seakan takut ditinggal pergi. Tidak membutuhkan waktu yang lama. Sampai di sebuah rumah sakit di bawah naungan Wins
Aluna menguatkan diri sebelum menjawab pertanyaan Ethan. “Itu karena… karena.. ayah Gio orang luar.” “Kakakku menikah dengan orang luar.” Jawaban masuk akal Aluna masih bisa diterima oleh Ethan. Meskipun pada dasarnya, kemiripan Gio dengannya sedikit mengganjal. Namun ia bisa menerimanya karena ia dan Gio sama-sama belasteran. Mungkin saja mirip karena memiliki darah campuran dari luar. Gio dipindahkan ke ruangan biasa. Bukan ruangan biasa. Ruangan VVIP rumah sakit. Yang untuk satu malamnya bisa menghabiskan uang belasan bahkan puluhan juta. Bahkan di dalam kamar Gio ada satu kasur yang digunakan untuk tidur siapapun yang menunggu. Aluna mendekati Gio yang sedang tertidur. Ia menyelimuti tubuh Gio sampai sebatas leher. Sebelum menjauh—Aluna lebih dulu mengecup dahi Gio beberapa detik. Setelah itu menjauh. “Aku ingin bicara denganmu.” “Tentang apa?” Aluna mengernyit. “Untuk Gio, aku tidak bisa memberitahumu lebih detail. Itu karena… karena menyangkut orang tua
“Kenapa kamu sangat peduli? Gio bukan siapa-siapa kamu..” Ethan mengedikkan bahu. “Entahlah. Aku hanya merasa akrab dengannya..” Ethan menatap lurus ke depan dengan bibir yang tersenyum. “Dia lucu.” Ethan tersenyum. “Aku tidak menyangka aku bisa akrab dengan anak kecil. Padahal aku pikir anak kecil itu merepotkan. Tapi Gio bukan anak yang merepotkan.. dia anak yang pintar.” Aluna terdiam sebentar. “Apa menurutmu Gio anak yang baik?” Ethan mengangguk. “Tentu saja. Dia anak yang baik. Dia menggemaskan..” Haruskan Aluna memberitahukan Ethan tentang siapa sebenarnya Gio? Aluna bimbang. “Jadi kamu tidak membenci anak kecil lagi?” “Mungkin tidak.” Ethan mengedikkan bahu. “Kenapa kau bertanya seperti itu?” “Aku tidak tahu.” Aluna tersenyum. “Aku hanya membayangkan bagaimana jika ada perempuan yang mengaku mempunyai anak dari kamu. Apa kamu akan menerimanya?” Tertanya pelan untuk mengurangi ketegangan Aluna. Sebenarnya ia tahu berbicara seperti ini. “Entahlah.” Ethan berpikir sej
Aluna segera mematikan televisi yang menyala. Ia menatap Ethan yang santainya bersandar dengan tangan yang membawa bungkusan. “Uncle!” teriak Gio. Ethan melambaikan tangannya. “Hai. Bocah.” Ethan mendekat dan memberikan paper bag itu pada Aluna. “Kue, roti, brownis… aku tidak tahu kesukaanmu. Aku membeli semuanya.” Aluna membuka paper bag itu. Benar, kue yang dibeli Ethan begitu banyak. “Uncle tidak bekerja?” tanya Gio dengan polos. “Bekerja. Aku ke sini untuk menjengukmu sebentar.” “Bagaimana keadaanmu boy?” Ethan mengusap puncak kepala Gio. “Sudah tidak sakit?” Gio menggeleng. “Tidak sakit. Gio ingin pulang.” “Kau boleh pulang besok.” Ethan menatap mainan yang berada di tangan Gio. “Kau suka mainan itu?” tanya Ethan. Gio mengangguk. “Uncle yang membeli?” “Iya. Supaya kau tidak bosan saat di sini. Kalau kau ingin lagi aku akan membelikanmu yang banyak.” “Ethan.” Aluna menyipitkan mata. Ethan mendengus kesal. “Mamamu ini..” lirihnya. Gio tertawa. “Tidak
Aluna diam-diam pergi ke kampung untuk mengantar Gio pulang. Ia sama sekali tidak memberi tahu Ethan. Lagipula juga tidak lama, ia hanya menginap sehari dan kembali ke kota. Namun saat ia berjalan di bandara. Pandangannya tertuju pada satu titik. Yaitu pria yang saat ini sedang duduk. Pakaiannya yang begitu mencolok. Kemeja rapi dengan jas. Kacamata hitam yang bertengger di hidung. “Kenapa kamu di sini?” tanya Aluna menatap Ethan. “Aku menjemputmu.” Ethan mengedikkan bahu. Kemudian berdiri—melepaskan kacamatanya sambil tersenyum miring. “Kau pergi diam-diam tanpa memberitahuku.” Ethan mendekat. “Apa menurutmu itu sopan?” Aluna mengernyit. “Sopan!” “Aku hanya sebentar dan kembali.” Aluna mendengus kesal. “Aku juga ingin mengantar Gio. Tapi kau pergi sendiri. Pergi ke kampung lagi.” Ethan bersindekap. “Aku kan tidak mau mengganggu kamu. Kamu sibuk bekerja, nanti kalau mengantarku dan Gio. Kamu harus menunda jadwal meeting kamu.” Aluna berdecak. “Aku ini pengertia