Extra Part 3 GOOAL! Aiden berlari dan memeluk temannya yang berhasil mencatak gol. Di saat ia bergembira—ia menolak ke arah tribun. Tidak ada orang tuanya… Aiden mendadak lemas… Tidak ada semangat. Ia menjauh dari teman-temannya yang masih merayakan gol tersebut. Aiden berjalan dengan lesu ke arah ruang ganti pemain. Pelatih yang melihatnya langsung mengejar Aiden. “Aiden kamu kenapa?” tanya pelatih yang heran dengan Aiden. Aiden menggeleng. anak itu menunduk—membuka loker dan mengambil satu handuk. “Apa yang terjadi?” tanya pelatih. “Permainanmu tadi bagus..” pelatih itu memeluk Aiden. Kemudian menepuk pelan bahu Aiden. “Orang tuaku…” Aiden duduk. “Orang tuaku datang menonton tapi mereka tetap sibuk…” “Dari dulu sering seperti itu..” Aiden menghela napas panjang. Bahkan teman-teman satu timnya yang baru saja masuk saja sampai bingung melilhat Aiden. “Aku ingin pulang.” Aiden berjalan membawa tasnya. “Kita maka bersama supaya sedih kamu
“Minta maaf pada Mom.” Aiden menunduk sebentar. “Aiden minta maaf mom.” Setelah meminta maaf, Aiden keluar dari mobil. “Aiden kamu mau ke mana?” teriak Agatha panik. “Biar saja..” lirih Gio. Mereka berdua menatap Aiden yang berjalan sendiri kemudian mencegat taksi. Agatha menghela napas. “Jangan terlalu keras dengannya…” lirihnya. “Tapi dia membentak kamu.” Gio menatap Agatha. “Meskipun dia anakku, aku tidak akan rela istriku dibentak atau diteriaki..” Gio menoleh. “Aku saja tidak pernah membentak kamu dan tidak akan pernah. Jadi aku tidak akan membiarkan anak kita melakukan hal itu… Agatha mendekat kemudian memeluk Gio. “Aku hanya takut dia marah pada kita.” Gio mengusap pelan bahu Agatha. “Biar saja marah. Dia memang berhak marah. Aku juga tahu kesalahanku.” Agatha tidak bisa melihat taksi yang membawa anaknya lagi. “Apa dia membawa uang?” tanya Agatha. “Aku takut kalau dia tidak bawa uang untuk membayar taksi.” “Dia membawa ponsel. Aku selalu mengisi penu
Sebuah rumah mewah yang nampak sepi dari luar. Namun ada banyak mobil sport yang terparkir di halaman. Aiden keluar dari taksi. Apakah pakaiannya pantas pergi ke pesta? Ia hanya menggunakan celana pendek dan jersey timnya. Tidak masalah.. Aiden akan masuk sebentar dan kalau tidak asik ia akan segera pulang. Aiden akhirnya masuk ke dalam. Musik yang menggema. Lampu yang redup dan ada lampu kelap-kelip. Seperti klub yang ia lihat di video pendek ponselnya. “Aiden!” seorang laki-laki mendekat Aiden. Laki-laki itu membawa satu gelas yang terisi oleh cairan… “Waaah pangeran Winston datang ke sini..” Aiden tidak tahu siapa nama laki-laki ini. namun sepertinya memang teman sekelasnya. “Apa aku tidak boleh datang ke sini?” tanya Aiden. Hanya memastikan jika dirinya tidak masalah jika datang ke tempat ini. “Tentu saja boleh bro!” lelaki itu memeluk Aiden. “Kau ingat aku kan?” tanyanya. Aiden hanya diam. kemudian mengernyit tidak yakin. “Baiklah…” lelaki itu meng
Semua yang ada di sini di luar perkiraan Aiden. Aiden menjaga jaraknya dengan Jacob. “Ada berapa banyak siswa Winston di sini?” tanya Aiden. Jacob mengernyit. “Aku kira tidak banyak. hanya sedikit karena yang berani datang juga sedikit..” Aiden berkacak pinggang. “Kau tahu jika hal ini sampai ketahuan..” “Maka jangan sampai ketahuan..” Jacob tersenyum. merangkul Aiden lagi. Aiden melepaskan tangan Jacob. “Aku akan di sini…. sebentar.” Aiden hanay penasaran dengan sistem kerja dari lelang itu seperti apa. Ia akan di sini sampai acara lelang itu selesai. Setidaknya bisa menjawab rasa penasarannya. Ini yang terakhir kali ia datang ke pesta seperti ini. maka ia harus mendapatkan apa yang ingin ia tahu. Aiden menjauh. Ia lebih memilih duduk di bangku kosong sendirian daripada bergabung dengan geng tadi. Keramaian juga tidak terlalu cocok dengannya. Usianya yang baru menginjak 15 tahun seharusnya masih smp kelas 3. Tapi karena ia masuk kelas akselarasi ia menjadi leb
Jacob dan Julian sama-sama menarik Aiden kabur. Mereka berlari—di antara kegelapan. Dari yang awalnya Aiden ditarik lari. Kini Aiden yang menarik mereka agar berlari lebih kencang. Terutama Jacob yang sangat payah dalam berlari. Lelaki itu sungguh kelelahan. Sampai mereka berhenti di jalan raya yang gelap. “Kenapa kita kabur..” Aiden dengan polosnya. “Are you stupid?” tanya Julian. “Kau bisa ditangkap jika tidak kabur..” “Aku tidak melakukan kesalahan..” Aiden mengerjapkan mata. “Aku bahkan tidak minum sama sekali. untuk apa aku ikut kabur seperti kalian.” Julian berdecak dengan kasar. Julian melirik Jacob. Maksudnya agar Jacob menjelaskan pada Aiden. Tapi Jacob justru terduduk dengan napas yang tersenggal. Seperti lari maratho puluhan kilometer. Berbeda dengan Aiden maupun Julian yang nampak biasa saja. Mungkin juga efek alkohol. Pipi Jacob memerah… wajahnya berkeringat. “Jangan mati di sini.” Julian mendekat—kemudian menggoyangkan kepala Jacob. Jacob
Di kantor polisi. Gio benar-benar tidak menyangka Aiden terlibat dalam pesta yang terindikasi melibatkanprostitusi dan obat-obatan terlarang. Gio datang bersama Agatha ke kantor polisi.. Aiden duduk menunduk bersama anak-anak yang lain. Agatha langsung memeluk Aiden. “Kamu baik-baik saja?” tanyanya. Aiden mendongak. “Mom…” mengeratkan pelukannya. Agatha menangkup wajah Aiden. “Kamu baik-baik saja kan?” tanya Agatha. Aiden mengangguk. Agatha mendekat. mencium aroma putranya. “Kamu tidak minum dan tidak merokok… apa yang kamu lakukan di pesta itu?” tanya Agatha. “Bosan..” balas Aiden. Agatha mengerjap. “Jangan ulangi ya. Kalau pergi ijin dulu ke mom atau Dad.” Ruangan polisi semuanya ramai. Yang datang kebanyakan orang tua para pelajar ini adalah kalangan berada. Mereka marah-marah pada anaknya. bahkan ketika datang langsung saja menampar anaknya dengan begitu keras.. Seperti… orang tua Julian yang baru saja langsung marah dan menampar anaknya. Agatha menger
Sesampainya di Mansion. Anggun mendekati mereka. Terlihat sangat khawatir. “Kamu baik-baik saja?” tanyanya. Aiden mengangguk sekilas. Gio berkacak pinggang. menyugar rambutnya pelan sebelum menatap Aiden. “Kenapa kamu pergi ke sana?” tanyanya. Aiden yang semula mendunduk kini mendongak. “Karena bosan…” Gio mengusap wajahnya kasar. “Apa kamu tahu pesta itu seperti apa?” tanya Gio lagi. Seperti sedang mengintrogasi anaknya. “Tidak.” “Apa kamu tahu akibat dari perbuatanmu?” tanya Gio. “Bisa berpengaruh pada reputasi perusahaan Dad.” “Mulai sekarang, Dad tidak akan mengijinkan kamu berteman dengan anak-anak seperti mereka.” Aiden menyipitkan mata. Tanpa menjawab perkataan orang tuanya. Aiden langsugn pergi begitu saja. “Aiden!” panggil. Gio. Aiden berhenti. lalu membalikkan tubuhnya. “Kenapa lagi? Dad ingin menyalahkanku kan?” tanya Aiden. “Iya, memang salah Aiden. Tidak seharusnya Aiden datang ke pesta itu..” “Tidak seharusnya Aiden ditangkap polisi da
Di rooftop… Aiden pergi menemui Jacob. Ia akan mengembalikan vape ini. Aiden berhenti di ambang pintu. Julian juga ada di sana. Mereka duduk di atas sofa dengan santai. “Kalian tidak ikut kelas?” tanya Aiden. Jacob mengedikkan bahu. “Tidak, aku malas.” Segampang itu mereka menghindari kelas. Aiden mendekat—merogoh sakunya dan memberikan vape itu pada Jacob. “Aku mencobanya sedikit.” Jacob mengernyit. “Kau tidak ada penyakit menular kan?” Aiden berdecak pelan. “Tidak!” Jacob mengantongi vapenya. Sedangkan Julian sepertinya tertidur dengan buku yang berada di wajah. “Kenapa dia?” tanya Aiden. “Tidur setelah membaca buku,” balas Jacob. Aiden memasukkan kedua tangannya di dalam saku. “Apa yang kalian lakukan di sini?” tanyanya. “Bolos,” balas Julian. Lelaki itu bangun. Kemudian mengambil duduk santai. Tangannya terulur mengambil sebuah kaleng cola. Melihat wajah Julian yang babak belur pasti dipukuli orang tuanya. Ada bekas kebiruan yang masih terlihat.
GUYS INI CHAPTER TERAKHIR. SEMOGA SUKA YA... Aiden memutuskan untuk pergi langsung tanpa sarapan. ia pergi ke parkiran yang terletak di samping. Di sanalah motornya tersimpan… Namun ia berhenti ketika melihat ayahnya yang berada di samping motornya. “Kenapa dad di sana?” tanya Aiden mengernyit. “Dad ingin membuang motorku?” tanya Aiden lagi. Gio menghela napas. Kemudian tangannya terulur mengusap motor Aiden pelan. “Warnanya bagus… helmnya juga cocok.” Gio tersenyum. “Kamu membelinya dengan uang kamu sendiri ya?” kemudian mengangguk. “Motornya bagus.” Aiden mengernyit. Kemudian mendekat. “Apa yang terjadi dengan Dad?” Gio mengusap pelan bahu anaknya. “Dad minta maaf, Dad tidak tahu kalau Dad bersalah pada kamu. Dad sering mengabaikan kamu. Dad menganggap enteng acara penting kamu. Dad terlalu sibuk bekerja sampai tidak memperhatikan kamu…” “Dad juga lupa kalau semua anak pasti melakukan kesalahan…” Gio tersenyum. “Dad seharusnya memuji kamu daripada
GUYS INI CHAPTER TERAKHIR. SEMOGA SUKA YA... Aiden memutuskan untuk pergi langsung tanpa sarapan. ia pergi ke parkiran yang terletak di samping. Di sanalah motornya tersimpan… Namun ia berhenti ketika melihat ayahnya yang berada di samping motornya. “Kenapa dad di sana?” tanya Aiden mengernyit. “Dad ingin membuang motorku?” tanya Aiden lagi. Gio menghela napas. Kemudian tangannya terulur mengusap motor Aiden pelan. “Warnanya bagus… helmnya juga cocok.” Gio tersenyum. “Kamu membelinya dengan uang kamu sendiri ya?” kemudian mengangguk. “Motornya bagus.” Aiden mengernyit. Kemudian mendekat. “Apa yang terjadi dengan Dad?” Gio mengusap pelan bahu anaknya. “Dad minta maaf, Dad tidak tahu kalau Dad bersalah pada kamu. Dad sering mengabaikan kamu. Dad menganggap enteng acara penting kamu. Dad terlalu sibuk bekerja sampai tidak memperhatikan kamu…” “Dad juga lupa kalau semua anak pasti melakukan kesalahan…” Gio tersenyum. “Dad seharusnya memuji kamu daripada
GUYS INI CHAPTER TERAKHIR. SEMOGA SUKA YA... Aiden memutuskan untuk pergi langsung tanpa sarapan. ia pergi ke parkiran yang terletak di samping. Di sanalah motornya tersimpan… Namun ia berhenti ketika melihat ayahnya yang berada di samping motornya. “Kenapa dad di sana?” tanya Aiden mengernyit. “Dad ingin membuang motorku?” tanya Aiden lagi. Gio menghela napas. Kemudian tangannya terulur mengusap motor Aiden pelan. “Warnanya bagus… helmnya juga cocok.” Gio tersenyum. “Kamu membelinya dengan uang kamu sendiri ya?” kemudian mengangguk. “Motornya bagus.” Aiden mengernyit. Kemudian mendekat. “Apa yang terjadi dengan Dad?” Gio mengusap pelan bahu anaknya. “Dad minta maaf, Dad tidak tahu kalau Dad bersalah pada kamu. Dad sering mengabaikan kamu. Dad menganggap enteng acara penting kamu. Dad terlalu sibuk bekerja sampai tidak memperhatikan kamu…” “Dad juga lupa kalau semua anak pasti melakukan kesalahan…” Gio tersenyum. “Dad seharusnya memuji kamu daripada
“Puas membuat kawatir orang tua? Puas bermain-main dengan acara penting?” tanya Gio pada Aiden. Aiden berhenti. pada langkah yang ketiga di tangga. Laki-laki itu berhenti dan menghadap ayahnya. “Bagaimana rasanya?” tanya Aiden sembari tersenyum. “Kalian tidak pernah datang ke acara pentingku. Jadi aku ingin melakukannya juga…” “Bagaimana rasanya?” tanyanya. “Aiden!” Gio memijit keningnya yang terasa pusing. “Kami melakukannya karena ada alasannya.” “Aku juga punya alasan untuk tidak datang ke acara itu.” Aiden memutar tubuhnya. berjalan—sampai Gio memanggilnya lagi. “Acara balapan yang kamu maksud?” tanyanya. “Balapan tidak jelas seperti itu? jika ingin balapan di sirkuit bukan di jalan raya. Kamu membahayakan orang lain. kamu juga membahayakan diri kamu sendiri.” “Aiden kamu jangan melakukan hal seperti ini lagi ya..” Agatha menatap putranya. “Mom dan Dad tidak akan melakukan hal seperti dulu lagi.” “Kalau kamu mau balapan, kamu bisa mengajak kamu ke sir
Di sinilah… Raini pergi ke atap gedung. Sendirian di tengah gelap yang hanya diterangi oleh cahaya rembulan yang bersinar dengan terang. Raini membiarkan rambutnya tertiup angin ke sana ke mari. Kedua tangannya bersandar pada dinding pembatas. Tempatnya memang di sini. Jelas dirinya dan Aiden sangat berbeda. Aiden memang lebih cocok dengan perempuan bernama Talia itu. Tadi, Raini melihat mereka dari kejauhan. Talia pasti dari keluarga yang memiliki perusahaan besar juga. Mereka memang cocok. Lantas… Kenapa hatinya sedikit tidak rela ya? Apa mungkin ia tidak rela jika Aiden bersama perempuan lain? Tidak! Sampai kapanpun Raini tidak boleh mendambakan apa yang tidak boleh didambakan. Tempatnya di sini… Menyingkir lalu tidak terlihat oleh siapapun. “Jadi seperti ini ya pemandangan kota dari atas gedung tinggi..” Raini tersenyum pelan. “Maklum orang kampung…” Raini menggeleng pelan. “Ternyata sangat bagus. pantas saja banyak orang kampung yang berbondong-b
Seorang pemuda dengan setelan kemeja dan jas rapi baru saja turun dari mobil. Langkahnya mantap—kemudian disusul oleh perempuan yang berada di belakangnya. Perempuan cantik yang menggunakan dress berwarna putih. Nampak sangat cantik dengan rambut panjang yang digerai… Aiden menyodorkan lengannya. Raini tersenyum manis dan menggandeng tangan Aiden. Tahukah permintaan Aiden? Ya, membawa Raini untuk pergi ke pesta bersamanya. Lantas, Raini harus menuruti permintaan lelaki itu jika ingin lelaki itu hadir di pesta. Raini tidak pernah berhadapan dengan orang segila Aiden. Tapi mari imbangi kegilaan Raini. Bersikap seperti apa kemuan Aiden saja. Raini berjalan dengan hati-hati. di luar ternyata banyak sekali kamera wartawan yang menyorot dirinya. Pasti mereka akan membuat berita dan bertanya-tanya tentang identitasnya. Raini bersumpah… Pasti setelah ini, kehidupan sekolahnya kian rumit. Pasti akan muncul rumor aneh tentan dirinya dan Aiden. Aiden dan Raini b
“Dia di mana?” Agatha berkacak pinggang sembari mondar-mandir. Ia sudah berdandan rapi namun Aiden malah belum pulang… Gio menggenggam tangan Agatha. “Kali ini aku tidak bisa mentolerir perbuatannya..” “Tunggu sebentar. dia pasti pulang.” Agatha mengeluarkan ponselnya.. Melakukan panggilan berkali-kali namun satupun tidak dijawab. “Ayo kita berangkat..” nampak wajah Gio begitu dingin. Hanya berjalan beberapa langkah saja.. “Bagaimana kalau kita menunggu sedikit lebih lama..” Agatha mendongak. “Aku yakin dia akan segera pulang.” Gio menatap jam tangannya. “Kalaupun pulang dia butuh berganti pakaian segala macam. Kita tidak ada waktu sayang.” Agatha akhirnya mengangguk. menyetujui untuk berangkat. Akhirnya dengan berat hati Agatha dan Gio berangkat tanpa anak mereka. Entah, Gio tidak mau tahu keberadaan anaknya. Di sisi lain, Raini yang melihat mereka merasa ini tidak benar. Ia harus mencari Aiden dan membuat laki-laki itu datang ke pesta ulang tahun Winston.
Raini menjadi semakin panik ketika tubuh mereka terasa benar-benar menempel. “Cepat ambil,” lirih Raini. Aiden tersenyum. menunduk dan mendekatkan bibirnya pada telinga kanan perempuan itu. “Cepat ambil, aku tidak akan melihatmu,” ucap Raini. “Lantas kenapa wajahmu memerah seperti itu?” Raini mengerjap karena kesal akhirnya ia berbalik—namun kakinya tidak bisa berpijak dengan benar alhasil… Braak! Raini memejamkan mata—bersiap menerima kerasnya lantai. Tapi yang ia dapatkan adalah pelukan dari tangan seseorang. Raini membuka mata—wajah Aiden yang sudah begitu dekat di hadapannya. Kenapa… Jantungnya berdetak sangat cepat. Juga, suhu tubuhnya yang tiba-tiba memanas sampai membuat pipinya begitu panas seperti terbakar. Raini baru menyadari jika Aiden masih bertelanjang dada… “Bu-bu buahnya jatuh!” Raini melepaskan diri dari Aiden. Buru-buru mengambil buah itu dengan cepat. “Aku tidak makan buah yang sudah jatuh.” Aiden mengamati Raini yang begitu gugup memungut
“Apa aunty tahu kau menggunakan motor ke sekolah?” tanya Raini yang baru memarkirkan sepeda listriknya di halaman mansion. Aiden melepas helmnya. Pertama kalinya ia membawa motornya ke rumah. “Belum.” Aiden menggeleng. “Sekarang akan tahu.” Raini mendekati Aiden. “Bukankah bahaya?” tanyanya. “Kau belum memiliki sim juga.” “Bukan urusanmu.” Aiden menyipitkan mata. Aiden pergi begitu saja ke dalam mansion. Meninggalkan Raini yang ngomel-ngomel. Aiden pergi ke dalam rumah. disambut oleh ibunya yang selalu berada di rumah menunggunya pulang. “Kamu sudah pulang..” Agatha mendekat. “Di luar itu motor kamu?” tanya Agatha. Aiden mengangguk. Agatha berhenti sejenak. “Mom marah?” tanya Aiden. Agahta menggeleng. “Itu hobi baru kamu kan?” Agatha mengusap pelan bahu Aiden. “Asalkan kamu menaikinya dengan hati-hati, jangan sampai terluka. Mom tidak masalah.” “Mom dulu juga bisa tahu naik motor. Tapi sekarang lupa caranya..” Agatha terkekeh pelan. “Mom bisa?” Agatha men