Semua yang ada di sini di luar perkiraan Aiden. Aiden menjaga jaraknya dengan Jacob. “Ada berapa banyak siswa Winston di sini?” tanya Aiden. Jacob mengernyit. “Aku kira tidak banyak. hanya sedikit karena yang berani datang juga sedikit..” Aiden berkacak pinggang. “Kau tahu jika hal ini sampai ketahuan..” “Maka jangan sampai ketahuan..” Jacob tersenyum. merangkul Aiden lagi. Aiden melepaskan tangan Jacob. “Aku akan di sini…. sebentar.” Aiden hanay penasaran dengan sistem kerja dari lelang itu seperti apa. Ia akan di sini sampai acara lelang itu selesai. Setidaknya bisa menjawab rasa penasarannya. Ini yang terakhir kali ia datang ke pesta seperti ini. maka ia harus mendapatkan apa yang ingin ia tahu. Aiden menjauh. Ia lebih memilih duduk di bangku kosong sendirian daripada bergabung dengan geng tadi. Keramaian juga tidak terlalu cocok dengannya. Usianya yang baru menginjak 15 tahun seharusnya masih smp kelas 3. Tapi karena ia masuk kelas akselarasi ia menjadi leb
Jacob dan Julian sama-sama menarik Aiden kabur. Mereka berlari—di antara kegelapan. Dari yang awalnya Aiden ditarik lari. Kini Aiden yang menarik mereka agar berlari lebih kencang. Terutama Jacob yang sangat payah dalam berlari. Lelaki itu sungguh kelelahan. Sampai mereka berhenti di jalan raya yang gelap. “Kenapa kita kabur..” Aiden dengan polosnya. “Are you stupid?” tanya Julian. “Kau bisa ditangkap jika tidak kabur..” “Aku tidak melakukan kesalahan..” Aiden mengerjapkan mata. “Aku bahkan tidak minum sama sekali. untuk apa aku ikut kabur seperti kalian.” Julian berdecak dengan kasar. Julian melirik Jacob. Maksudnya agar Jacob menjelaskan pada Aiden. Tapi Jacob justru terduduk dengan napas yang tersenggal. Seperti lari maratho puluhan kilometer. Berbeda dengan Aiden maupun Julian yang nampak biasa saja. Mungkin juga efek alkohol. Pipi Jacob memerah… wajahnya berkeringat. “Jangan mati di sini.” Julian mendekat—kemudian menggoyangkan kepala Jacob. Jacob
Di kantor polisi. Gio benar-benar tidak menyangka Aiden terlibat dalam pesta yang terindikasi melibatkanprostitusi dan obat-obatan terlarang. Gio datang bersama Agatha ke kantor polisi.. Aiden duduk menunduk bersama anak-anak yang lain. Agatha langsung memeluk Aiden. “Kamu baik-baik saja?” tanyanya. Aiden mendongak. “Mom…” mengeratkan pelukannya. Agatha menangkup wajah Aiden. “Kamu baik-baik saja kan?” tanya Agatha. Aiden mengangguk. Agatha mendekat. mencium aroma putranya. “Kamu tidak minum dan tidak merokok… apa yang kamu lakukan di pesta itu?” tanya Agatha. “Bosan..” balas Aiden. Agatha mengerjap. “Jangan ulangi ya. Kalau pergi ijin dulu ke mom atau Dad.” Ruangan polisi semuanya ramai. Yang datang kebanyakan orang tua para pelajar ini adalah kalangan berada. Mereka marah-marah pada anaknya. bahkan ketika datang langsung saja menampar anaknya dengan begitu keras.. Seperti… orang tua Julian yang baru saja langsung marah dan menampar anaknya. Agatha menger
Brak!Sebuah map melayang dan mengenai wajah Aluna Freya yang sedang merapikan berkas. Wanita satu anak itu sontak mengerjap kala menemukan istri sang bos menatapnya nyalang. “Bu, ada ap–?” Namun belum sempat berbicara, Aluna justru sudah diteriaki. “Perempuan jalang! Belagak jadi sekretaris, padahal sebenarnya kau selingkuhan suamiku, kan?!” Deg! Aluna sontak membeku kala mendengar tuduhan itu. Dulu, bosnya itu sempat mengejar Aluna, bahkan menawarkan sebuah hubungan gelap. Tapi, Aluna selalu menolak. Dia pikir tak akan ada masalah ke depannya asal bekerja dengan baik. Tapi, mengapa jadi seperti ini? “Ma, sudah! Aluna dan aku tidak akan hubungan apa-apa.” Dari belakang, bos Aluna tampak tergopoh-gopoh ke mejanya–menghampiri sang istri. “Papa bisa jelaskan–” “JELASKAN APA? KALAU KALIAN BERSELINGKUH KEMARIN MALAM? KALIAN PERGI KE HOTEL, KAN!” teriak wanita itu lagi. Kali ini bahkan lebih kencang, hingga seluruh orang di lantai itu bisa mendengar apa yang diucapkan olehny
[ Datanglah nanti malam ke Hotel Jasmine. 100 juta akan ditransfer langsung ke rekeningmu setelah selesai. Oh, iya. Nomor kamar akan menyusul. ] Aluna memejamkan mata. Lewat kenalan lamanya, Aluna akhirnya menemukan “pria” yang mau membayar tubuhnya mahal. Jujur, Aluna tidak pernah menyangka dirinya akan melakukan pekerjaan kotor ini. Tapi, semua yang ia lakukan demi anaknya. Dalam balutan dress selutut berwarna hitam itu nampak sangat pas di tubuhnya, Aluna pun keluar dari kos-kosan petak yang hampir 1 tahun ia tinggali. Ditujunya sebuah hotel yang sudah diberitahukan oleh temannya itu. “Kamar 66?” gumam Aluna begitu tiba sembari memastikan pesan temannya yang muncul di layar ponselnya yang retak. Tak lama, diketuknya pintu kamar dengan pelan sampai akhirnya pintu itu anehnya terbuka sendiri. Aluna pun masuk. Hanya saja, dia begitu bingung karena semuanya gelap. Grab! Tiba-tiba saja tubuhnya dipeluk dari belakang! Aluna sontak terkesiap dan menjau
“Sialan kau Aluna!” teriak teman Aluna menyadarkannya dari lamunan. “Kau merugikanku! Klienku marah-marah padaku, dia tidak akan menggunakan jasaku lagi.” Aluna memejamkan mata. “Maaf,” lirihnya. Bugh!Teman lamanya yang bekerja di bidang prostitusi itu mendorong bahu Aluna. “Seharusnya aku tidak langsung mempercayaimu!” “Kau merugikanku, Sialan!!” teriaknya lagi tepat di depan wajah Aluna. “Kau pikir mudah membuat janji dengan klien yang mau membayarmu 100 juta?”“Aku memberinya karena kau bilang untuk biaya rumah sakit anakmu. Tapi, kau dengan gampang mengacaukannya. Dasar tidak tahu diuntung.” Deg! Jantung Aluna mencelos.Sekarang, dia harus bagaimana?Bayang-bayang wajah Gio yang berjuang di rumah sakit seketika terbayang.Gegas, Aluna memegang kaki teman lamanya itu. “Aku benar-benar tidak sengaja. Aku mohon bantu aku sekali lagi.” “Aku janji—aku janji tidak akan mengecewakanmu. Aku--” “Tidak ada kesempatan kedua untukmu! Gara-gara kau, aku dimarahi Mami karena menghilan
“Bukankah kemarin malam cukup menyenangkan?”“Saya tidak mengerti,” bohong Aluna sembari menunduk. Jujur, dia ingin kabur, tetapi Victor ternyata sudah lebih dulu meninggalkannya.“Lantas kau tahu siapa aku?”Aluna menggeleng. “Tidak.”“Jawab yang benar,” ucapnya sembari menyentuh dagu Aluna, hingga kedua bola mata mereka saling bertemu.“Ethan Winston?” lirih Aluna, tak percaya.Kali ini, tubuhnya gemetar kala menyadari pria yang menghabiskan malam dengannya bukan hanya bosnya, melainkan pria yang selalu menjadi mimpi buruknya sejak 7 tahun lalu!Dulu, Aluna Freya sangat beruntung karena bisa bersekolah di Zenith International High School dengan beasiswa penuh. Aluna berharap dapat segera lulus dengan nilai bagus agar bisa melanjutkan kuliah dengan beasiswa. Bahkan, dia tak peduli jika anak-anak orang kaya di sekolah itu tak ada yang mau berteman dengannya.Hanya saja, di tahun terakhir, Aluna tidak sengaja ke rooftop dan menemukan 5 anak laki-laki sedang memegang botol berisikan m
Di sebuah klub. Ethan Winston tampak tengah duduk di sebuah sofa. Tangannya mengapit sebuah rokok sembari menatap ke lantai bawah, tempat orang-orang berjoget ria dengan iringan musik dari seorang DJ. Namun, Ethan tak benar-benar melihat mereka. Pikirannya tengah melayang dengan penolakan Aluna tadi. Sebagai seorang wakil Direktur dari Winston Corp, Ethan Wasinton terbiasa dengan kemudahan. Tak ada yang menentang dirinya. Bahkan, orang-orang berlomba “melayani” Ethan. Kecuali malam itu…. Ethan harusnya tidur dengan wanita yang sudah ia bayar. Namun, wanita itu mendadak meronta minta dilepaskan. Ethan jelas tidak terima. Dia memastikan wanita itu tunduk padanya. Sialnya, Ethan ditinggalkan begitu saja setelahnya. Oleh karena itu, Ethan segera menyuruh bawahannya untuk mencari wanita malam itu. Tapi, siapa sangka takdir begitu lucu? Wanita itu adalah Aluna Freya. Wanita yang pernah menjadi bahan buliannya dulu dan selalu memiliki banyak alasan untuk mendebatnya. Bahkan
Di kantor polisi. Gio benar-benar tidak menyangka Aiden terlibat dalam pesta yang terindikasi melibatkanprostitusi dan obat-obatan terlarang. Gio datang bersama Agatha ke kantor polisi.. Aiden duduk menunduk bersama anak-anak yang lain. Agatha langsung memeluk Aiden. “Kamu baik-baik saja?” tanyanya. Aiden mendongak. “Mom…” mengeratkan pelukannya. Agatha menangkup wajah Aiden. “Kamu baik-baik saja kan?” tanya Agatha. Aiden mengangguk. Agatha mendekat. mencium aroma putranya. “Kamu tidak minum dan tidak merokok… apa yang kamu lakukan di pesta itu?” tanya Agatha. “Bosan..” balas Aiden. Agatha mengerjap. “Jangan ulangi ya. Kalau pergi ijin dulu ke mom atau Dad.” Ruangan polisi semuanya ramai. Yang datang kebanyakan orang tua para pelajar ini adalah kalangan berada. Mereka marah-marah pada anaknya. bahkan ketika datang langsung saja menampar anaknya dengan begitu keras.. Seperti… orang tua Julian yang baru saja langsung marah dan menampar anaknya. Agatha menger
Jacob dan Julian sama-sama menarik Aiden kabur. Mereka berlari—di antara kegelapan. Dari yang awalnya Aiden ditarik lari. Kini Aiden yang menarik mereka agar berlari lebih kencang. Terutama Jacob yang sangat payah dalam berlari. Lelaki itu sungguh kelelahan. Sampai mereka berhenti di jalan raya yang gelap. “Kenapa kita kabur..” Aiden dengan polosnya. “Are you stupid?” tanya Julian. “Kau bisa ditangkap jika tidak kabur..” “Aku tidak melakukan kesalahan..” Aiden mengerjapkan mata. “Aku bahkan tidak minum sama sekali. untuk apa aku ikut kabur seperti kalian.” Julian berdecak dengan kasar. Julian melirik Jacob. Maksudnya agar Jacob menjelaskan pada Aiden. Tapi Jacob justru terduduk dengan napas yang tersenggal. Seperti lari maratho puluhan kilometer. Berbeda dengan Aiden maupun Julian yang nampak biasa saja. Mungkin juga efek alkohol. Pipi Jacob memerah… wajahnya berkeringat. “Jangan mati di sini.” Julian mendekat—kemudian menggoyangkan kepala Jacob. Jacob
Semua yang ada di sini di luar perkiraan Aiden. Aiden menjaga jaraknya dengan Jacob. “Ada berapa banyak siswa Winston di sini?” tanya Aiden. Jacob mengernyit. “Aku kira tidak banyak. hanya sedikit karena yang berani datang juga sedikit..” Aiden berkacak pinggang. “Kau tahu jika hal ini sampai ketahuan..” “Maka jangan sampai ketahuan..” Jacob tersenyum. merangkul Aiden lagi. Aiden melepaskan tangan Jacob. “Aku akan di sini…. sebentar.” Aiden hanay penasaran dengan sistem kerja dari lelang itu seperti apa. Ia akan di sini sampai acara lelang itu selesai. Setidaknya bisa menjawab rasa penasarannya. Ini yang terakhir kali ia datang ke pesta seperti ini. maka ia harus mendapatkan apa yang ingin ia tahu. Aiden menjauh. Ia lebih memilih duduk di bangku kosong sendirian daripada bergabung dengan geng tadi. Keramaian juga tidak terlalu cocok dengannya. Usianya yang baru menginjak 15 tahun seharusnya masih smp kelas 3. Tapi karena ia masuk kelas akselarasi ia menjadi leb
Sebuah rumah mewah yang nampak sepi dari luar. Namun ada banyak mobil sport yang terparkir di halaman. Aiden keluar dari taksi. Apakah pakaiannya pantas pergi ke pesta? Ia hanya menggunakan celana pendek dan jersey timnya. Tidak masalah.. Aiden akan masuk sebentar dan kalau tidak asik ia akan segera pulang. Aiden akhirnya masuk ke dalam. Musik yang menggema. Lampu yang redup dan ada lampu kelap-kelip. Seperti klub yang ia lihat di video pendek ponselnya. “Aiden!” seorang laki-laki mendekat Aiden. Laki-laki itu membawa satu gelas yang terisi oleh cairan… “Waaah pangeran Winston datang ke sini..” Aiden tidak tahu siapa nama laki-laki ini. namun sepertinya memang teman sekelasnya. “Apa aku tidak boleh datang ke sini?” tanya Aiden. Hanya memastikan jika dirinya tidak masalah jika datang ke tempat ini. “Tentu saja boleh bro!” lelaki itu memeluk Aiden. “Kau ingat aku kan?” tanyanya. Aiden hanya diam. kemudian mengernyit tidak yakin. “Baiklah…” lelaki itu meng
“Minta maaf pada Mom.” Aiden menunduk sebentar. “Aiden minta maaf mom.” Setelah meminta maaf, Aiden keluar dari mobil. “Aiden kamu mau ke mana?” teriak Agatha panik. “Biar saja..” lirih Gio. Mereka berdua menatap Aiden yang berjalan sendiri kemudian mencegat taksi. Agatha menghela napas. “Jangan terlalu keras dengannya…” lirihnya. “Tapi dia membentak kamu.” Gio menatap Agatha. “Meskipun dia anakku, aku tidak akan rela istriku dibentak atau diteriaki..” Gio menoleh. “Aku saja tidak pernah membentak kamu dan tidak akan pernah. Jadi aku tidak akan membiarkan anak kita melakukan hal itu… Agatha mendekat kemudian memeluk Gio. “Aku hanya takut dia marah pada kita.” Gio mengusap pelan bahu Agatha. “Biar saja marah. Dia memang berhak marah. Aku juga tahu kesalahanku.” Agatha tidak bisa melihat taksi yang membawa anaknya lagi. “Apa dia membawa uang?” tanya Agatha. “Aku takut kalau dia tidak bawa uang untuk membayar taksi.” “Dia membawa ponsel. Aku selalu mengisi penu
Extra Part 3 GOOAL! Aiden berlari dan memeluk temannya yang berhasil mencatak gol. Di saat ia bergembira—ia menolak ke arah tribun. Tidak ada orang tuanya… Aiden mendadak lemas… Tidak ada semangat. Ia menjauh dari teman-temannya yang masih merayakan gol tersebut. Aiden berjalan dengan lesu ke arah ruang ganti pemain. Pelatih yang melihatnya langsung mengejar Aiden. “Aiden kamu kenapa?” tanya pelatih yang heran dengan Aiden. Aiden menggeleng. anak itu menunduk—membuka loker dan mengambil satu handuk. “Apa yang terjadi?” tanya pelatih. “Permainanmu tadi bagus..” pelatih itu memeluk Aiden. Kemudian menepuk pelan bahu Aiden. “Orang tuaku…” Aiden duduk. “Orang tuaku datang menonton tapi mereka tetap sibuk…” “Dari dulu sering seperti itu..” Aiden menghela napas panjang. Bahkan teman-teman satu timnya yang baru saja masuk saja sampai bingung melilhat Aiden. “Aku ingin pulang.” Aiden berjalan membawa tasnya. “Kita maka bersama supaya sedih kamu
Extra Part 2 5 tahun kemudian… Tidak banyak yang berubah. Tapi, orang tua Aiden berusaha untuk meluangkan waktu untuk putranya. Setiap satu bulan sekali mereka biasanya menghabiskan waktu bersama pergi ke sebuah tempat.. Lalu, mereka juga datang ke pertandingan. Seperti saat ini. Pertandingan di mulai. Gio dan Agatha berada di tribun untuk menyaksikan putranya yang bertanding. “Bukankah dia sangat tampan…” lirih Agatha. Kagum dengan anaknya sendiri. memuji anaknya sendiri. Agatha menoleh—banyak perempuan yang datang. Mereka berteriak mendukung Aiden. “Dia punya banyak penggemar..” Agatha menggeleng pelan. “Pesona anakku akan sulit ditolak perempuan. Aku harap dia tidak menjadi pemain perempuan di masa depan.” Gio mengangguk setuju dengan ucapan istrinya. “Melihat Aiden yang seperti ini. sungguh mengingatku dulu. aku juga punya banyak penggemar…” Agatha menatap Gio dari samping. “Ingat umur kamu. kamu sudah tua!” Gio menoleh. Mengusap rambutn
Extra Part 1 Agatha mendekat dan mengambil duduk di samping ranjang putranya. Melihat putranya yang kian besar. Kian dewasa… Agatha tidak tahu kalau kesibukannya membuat anaknya kurang mendapatkan perhatiannya. Agatha berusaha… Setiap hari ia berusaha agar bisa menghabiskan waktu lebih banyak dengan Aiden. Tapi, yang ia lakukan memang tidak terlalu berarti. Meski ia berusaha bekerja lebih keras agar bisa pulang lebih awal.. Tetap saja, pekerjaan lain akan datang terus menerus. “Maaf…” lirih Agatha. tangannya terulur mengusap helaian rambut Aiden pelan. Aiden terdiam… menarik selimut hingga menutupi seluruh tubuhnya. Tidak membiarkan ibunya melihat wajahnya. Agatha tersenyum tipis. “Maaf sayang…” “Mom akan berusaha lagi pulang lebih awal dan memperhatikan kamu.” Agatha menghela napas. “Kapan pertandingan kamu dimulai?” tanya Agatha. “Mom akan datang bersama Dad..” Aiden menarik turun selimutnya. “Tidak usah berjanji jika Mom tidak pernah bisa
10 tahun berlalu. Yang menjadi kekawatiran Gio tidaklah terjadi. Aiden Edward Winston, seorang anak yang berusia 6 tahun. Tumbuh dengan sehat. Tanpa penyakit keturunan sedikitpun. Aiden tumbuh menjadi anak laki-laki yang sehat dan begitu menggemari sepak bola. Namun… Permasalahannya adalah…. Aiden adalah anak yang terlahir dengan sendok emas… Keluarga kaya… Bahkan harta keluarganya tidak habis tujuh turunan. Namun, yang ia rasakan seperti anak lainnya yang kesepian karena ditinggal bekerja orang tuanya. Ibu dan ayahnya selalu pulang sore. Mereka tidak punya waktu untuk sekedar mengobrol atau…. Orang tuanya membacakan dongeng atau mendengarkan ceritanya saat di sekolah. Aiden hanyalah anak biasa yang ingin selalu bersama orang tuanya. Ketika orang tuanya pulang, ia tidur. Ia baru bertemu orang tuanya keesokan paginya. Hanya sebentar, saat Dad mengantarnya ke sekolah. Waktu weekend pun, Aiden sering merasa kesepian. Meski bersama orang tuanya.