“Gab aku mohon percayalah padaku.” Haven yang terdengar putus asa karena Gaby yang tidak pernah percaya padanya. “Aku tidak bodoh Haven..” balas Gaby. “Aku bukan Gaby lima tahun yang lalu.” “Sekarang pergilah dari sini.” Gaby mendorong Haven keluar dari ruangannya. “Gabriella..” lirih Haven. “Tidak. Tidak usah banyak omong. Pergilah sekarang juga.” Mendorong Haven sampai pria itu benar-benar keluar dari ruangannya. Setelahnya menutup pintu ruangannya dengan rapat supaya pria itu tidak bisa masuk. Gaby berkacak pinggang—mengusap wajahnya kasar. Sampai kapan ia akan dihianati seperti ini. sampai kapan ia terus dipermainkan oleh laki-laki? Gaby mengusap rambutnya kasar. Apa semua itu adalah kesalahannya di masa lalu? Apakah yang ia rasakan saat ini adalah akibat perbuatannya dulu yang suka mempermainkan hati para pria. ~~Di usir istri sendiri. Naas sekali memang. Padahal harapan Haven besar untuk dimaafkan oleh Gaby. Namun baru saja sampai sudah diusir begitu saja. Setelah
Haven benar-benar kehilangan kontrol emosinya ketika Gaby berbicara seperti itu. Alhasil ia tidak pulang ke rumah. Ia langasung pergi ke suatu tempat yang menurutnya lebih tenang. Sebuah bar hotel yang dimiliki oleh temannya. Haven masuk ke dalam. Ada beberapa wanita cantik di sana yang meliriknya. Tentu saja ia mengacuhkan para wanita itu. Haven memilih untuk dudu di sofa sendirian. Tidak minum ataupun merokok. Ia hanya diam dan menutup mata. Tangannya menarik dasinya pelan agar lebih longgar. Melepaskan jasnya—dan menggulung lengan kemejanya sampai siku. “Sir, boleh saya temani anda?” tanya seorang wanita cantik dengan pakaian minim yang mendekat. Haven menggeleng dan memberikan gerakan jarinya mengusir. “Bro!” seorang pria datang dengan membawa gelas di tangannya. “Tumben kau ke sini?” tanyanya. “Hanya mencari tempat yang tenang,” balas Haven. Thomas memberikan kode kepada para pegawainya. hingga mereka membawa minuman dan rokok. “Aku tidak minum dan t
Semua lampu sudah mati. Gaby menatap ruang bawah dari tangga. Sudah malam tapi Haven tidak kunjung pulang. Apa perkataannya keterlaluan? Gaby merogoh ponselnya. Tidak ada pesan atau panggilan lagi dari pria itu. Ia ingin menanyakan keberadaan pria itu tapi, Gaby gengsi. Akhirnya ia berjalan ke arah dapur yang begitu gelap. “Kenapa begitu gelap? Aku kira tidak segelap ini…” lirihnya menggeleng pelan. Gaby meraih handle kulkas. Membukanya dan mengambil air dari sana. Gaby mengernyit. ia merasa ada seseorang yang sedang mengawasinya. Gaby meremas botol ditangannya sebelum menonjok perut seseorang yang berada di belakang. “Akh!” ringis pria itu. “Siapa kau?” Gaby melotot. Ia waspada dengan pria yang tiba-tiba muncul itu. Di kegelapan ini. Gaby tidak bisa melihat siapa pria yang sedang menggunakan pakaian serba hitam dengan wajah yang ditutup dengan masker. “Siapa kau?” teriak Gaby. “Tebak aku siapa?” Suara itu. Gaby mengingatnya. Suara seorang pria yang
Haven menjalankan mobilnya sampai di halaman depan. Ia mengernyit melihat kediamannya yang begitu gelap. Lalu, saat ia turun. ia mendapati seorang satpam yang tengah tertidur. Haven mencoba membangunkan satpam tersebut. Namun sepertinya, Satpam tersebut telah dibius. “Pak!” Haven berusaha menyadarkan satpam itu. Namun tidak kunjung bangun. Haven merasa ini semua ganjal. Akhirnya ia memilih untuk mengamati cctv yang ada di rumahnya. Melalui ponselnya, ada satu cctv yang masih berfungsi. Cctv itu berada di lorong ruangan. Namun melalui cctv itu, ia bisa mendengarkan percakapan yang ada di dalam. “Sial,” umpat Haven. Segera setelah ia mendapatkan bukti penyergapan itu, Haven langsung menghubungi polisi. Ia berjalan ke arah mobilnya. Mengambil satu pistol di sana. Memasukkan satu peluru di sana. Setelah itu Haven memilih untuk berjalan. Dengan berhati-hati Haven masuk ke dalam rumahnya yang sudah benar-benar gelap. ‘Bajingan itu..’ ‘Jika dia menyent
Gaby tidak boleh hanya diam saja. Keterdiamannya ini sama saja membunuhnya dan Haven. Pria gila yang sudah tidak mempunyai tujuan adalah manusia paling berbahaya. Pria seperti Damian bisa melakukan apa saja. Saat Damian merogoh kantung belakangnya untuk mencari sesuatu. “Bisakah kau mengerti posisiku?” tanya Gaby. “Aku putri bungsu keluargaku. Aku disayang oleh mereka. aku mendapatkan apapun, tapi ada pria yang datang dan merusaknya.” “Pria yang aku percaya bisa menyembuhkan lukaku di masa lalu, ternyata pria bajingan..” lirihnya. Damian menekan pisau itu. “Tidak usah banyak bicara.” “Kau tahu Damian apa yang membuatku paling bersedih? Karena kau. kau yang sudah aku anggap sebagai temanku, sahabatku, tempatku bersandar… ternyata kau juga menghianatiku.” “Perasaanku tulus. Aku tidak pernah berniat apapun padamu. Aku bahkan berusaha mencintaimu sebelum kita menikah…” “Tapi apa? kau justru yang menjadi penjahat di sini..” Damian terdiam. Ia mendengarkan semua ucapan
Peluru itu dilepaskan. Tepat mengarah pada Gaby. Namun dengan cepat Haven memutar tubuh Gaby yang berada di pelukannya. Menarik tubuh mereka berdua untuk menghindari tembakan itu. Namun sayangnya, kilatan tembakan itu terjadi lagi. Hingga peluru yang kedua berhasil menembus punggung Haven. “Akh!” Haven masih memeluk Gaby. DOOR DOOR Itu suara peluru yang dilepaskan. Peluru itu mengenai kaki Damian hingga pria itu terjatuh kesakitan. Polisi datang dan mengamankan pria itu. Gaby meraba punggung Haven. “Haven kamu..” suara Gaby gemetar. Ia menarik tangannya dan melihat telapak tangannya sudah basah karena darah yang mengucur dair pria itu. “Haven kamu tertembak..” lirih Gaby. Haven menggeleng. “Aku baik-baik saja asal kamu selamat.” Haven kembali memeluk Gaby. Mengusap pelan punggung Gaby. Tubuh Haven melemah. “Tunggu… kamu harus bertahan..” Gaby hendak melepaskan pelukannya. Tapi tubuh Haven yang sudah lemah itu tidak memperbolehkannya. Haven masih meme
Gaby menunggu Haven di samping ranjang pria itu terbaring. Sampai matanya tidak kuat menahan kantuk dan tertidur. Ia merasakan ada yang mengusap puncak kepalanya. gaby membuka mata. Mendapati Haven yang sudah siuman sembari menatapnya. “Apa yang kamu butuhkan?” tanya Gaby. “Masih sakit?” tanyanya. Haven menggeleng. “Mau aku panggilan dokter?” tanya Gaby. Haven menggeleng lagi. Kali ini tangannya yang tertancap infus itu meraih tangan Gaby. “Tetap di sini,” ucapnya dengan suara yang memelas. Gaby menuruti keinginan Haven. Ia tetap berada di samping pria itu. Meski untuk beberapa saat sungguh canggung sekali. Gaby berdehem pelan. “Terima kasih.” “Hm?” “Terima kasih sudah menyelamatkanku.” Haven menatap Gaby. “Sudah kewajibanku sebagai suamimu.” Gaby hanya mengangguk. “Ayo perbaiki hubungan ini Gab..” lirih Haven. “Beri aku kesempatan untuk membuktikan bahwa aku benar-benar mencintaimu.”“Aku akan berusaha untuk melakukan yang terbaik pada hubungan kita.” “Kalau kamu
Gaby berdecak. “Begitu saja marah..” “Malu dengan tubuhmu yang besar itu!” Gaby menunjuk tubuh Haven. Sebenarnya panik karena pria itu terlihat diam saja. “Kenapa harus malu? tubuhku bagus. mau lihat?” tanyanya. “Gila!” umpat Gaby berjalan menjauh. Ia berjalan ke arah sofa. kemudian membaringkan diri di sana. Menaikkan selimut sampai sebatas lehernya. “Aku akan tidur..” “Jangan tidur,” balas Haven. “Aku harus tidur karena aku lelah. Kau tidak kasihan denganku?” Haven menatap Gaby dari tempatnya berbaring. “Apa kau menyukai bajingan itu?” tanyanya. Gaby menutup mata namun masih bisa mendengarkan pertanyaan Haven. “Hm..” “Benarkah?” tanya Haven lagi kini dengan nada yang tidak terima. “Sampai kapan kau akan terus berbicara?” tanya Gaby pelan. “Aku mengantuk.” “Dulu kau tidak secerewet ini..” lirihnya. “Memangnya tidak boleh berubah menjadi banyak bicara. Aku senang banyak bicara jika bersamamu,” balas Haven. Gaby berdecak tidak menanggapi ucapan pria it