Haven bukannya diam tidak melakukan apapun. Ia hanya melakukan sesuatu yang bisa menguntungkannya. Bertindak seperti orang bodoh padahal tahu segalanya. Saat Gaby masuk rumah sakit pun ia tahu. Siapa yang mengirim bunga? Tentu saja dirinya. Ke mana kekasih Gaby? Si Damian itu? Haven meragukan jika pria itu benar-benar mencintai Gaby. Tentang Damian. Ia sudah mengetahui sesuatu tentang pria itu sejak lama. Namun ia tidak memberitahu langsung Gaby karena semuanya akan menjadi rumit. Ia membuat Gaby secara perlahan menyadari kejanggalan tentang Damian. Gaby mengambil duduk kembali di kursi. Tepatnya di hadapan Haven. “Lantas apa yang ketahui tentang Damian?” Haven terdiam sebentar. “Kau ingin tahu semuanya?” “Iya. Aku ingin tahu semuanya untuk menyelesaikan teki-teki ini.” Gaby memijit pelipisnya lelah. “Sekarang beritahu aku. Aku ingin menyelesaikan semuanya..” Haven meminum birnya dengan santai. “Kau ingin semuanya selesai dengan cepat?” Gaby mengangguk.
“Baterainya habis..” Haven menaruh penyadap itu di atas nakas kembali. Kembali hening. Semua ruangan sudah diperiksa. Kemudian pergi ke kamar Gaby. Memang tidak ada kamera tersembunyi. Kalaupun ada, Gaby sudah tahu sendiri. Haven sudah memeriksa lampu tidur, nakas, lukisan.. Semuanya tidak ada. Lantas di mana Damian menaruhnya.. “Tidak ada?” tanya Gaby tanpa suara hanya gerakan mulut saja. Haven tidak menjawab dan pergi ke balkon luar. Tidak ada juga. Ia kembali ke dalam. “Aku harus periksa ke bawah.” menunjuk ranjang. Mereka berkomunikasi tanpa suara. Akhirnya Haven pergi ke bawah ranjang Gaby yang begitu sempit. Saking sempitnya tubuhnya terasa terhimpit ketika berada di bawah ranjang itu. Gaby menunggu dengan cemas. Akhirnya ia duduk bersila di samping ranjang. Dan setelah Haven keluar. “Dua.” Menaruh penyadap suara yang sudah dimatikan itu ke atas ranjang. “Aku akan memeriksa lagi.” Haven mengeluarkan sebuah alat untuk mendeteksi di mana alat-a
Gaby menatapnya sebentar. “Memangnya itu apa?” “Kam tidak tahu?” tanya Damian. “Seperti penyadap suara bukan?” tanya Gaby hendak mengambil alat itu namun lebih dulu diambil alih Damian. “Bukan..” Damian memasukkan alat itu ke dalam sakunya.“Bagaimana kamu mendapatkannya?” tanya Damian. “Aku…” Gaby menunjuk ranjang. “Tadi malam aku mengambil cincinku yang menggelinding ke sana. lalu saat aku masuk ke kolong kasur, aku melihat benda kecil yang berkedip itu.” “Tapi setelah aku mengambilnya, benda itu langsung mati. Aku tidak tahu…” Gaby menatap Damian dengan wajah yang polos. “Apa mungkin itu alat dari kasurku ya? Kan kasurku bergerak otomatis. Apa jangan-jangan karena alat itu aku tarik, kasurku tidak bisa bergerak?” Benar. Kasur Gaby merupakan kasur elektronik yang bisa diatur ketinggiannya. Hal itu digunakan Gaby untuk menjelaskan semuanya. “Bagaimana menurutmu?” tanya Gaby mendongak. Damian mengangguk. “Oh mungkin saja…” “Lalu kenapa kamu tiba-tiba ke sini?” tanya Gaby.
“Kenapa kamu menuduhku seperti itu?” tanya Gaby. Gaby menunjuk dadanya sendiri. “Aku dan Firly itu berteman di kampus. Aku hanya bertemu dengannya untuk membahas tugas. Aku bahkan tidak tahu dia bekerja di perusahaanmu.” Damian mengusap wajahnya kasar. “Yasudah kalau tidak percaya. Kamu pergi sekarang.” Gaby mengibaskan tangannya. Ia berbalik dan kembali masuk ke dalam kamarnya. Mengambil air dan meminumya perlahan. “Sayang..” lirih Damian. “Aku tidak mau kamu berteman dengan sembarangan orang,” ucap Damian. “Dia bukan sembarangan orang, Damian. She is my friend.” Gaby memutar balikkan tubuhnya. Damian menghela nafas. “Jangan dekat-dekat dengannya.” “Kenapa?” “Aku tidak mau kamu berteman dengan bawahanku.” “Kenapa?” tanya Gaby lagi. “Aku butuh alasan.” Damian mengambil tangan Gaby. “Kamu itu calon istriku, sebentar lagi kita menikah. status kamu akan segera berubah menjadi istriku. Status kamu jauh lebih tinggi daripada staff biasa di kantor. Aku tidak mau or
2 minggu terlewati. Gaby menatap cermin. Ia menatap pantulan dirinya sendiri yang begitu cantik dengan balutan gaun berwarna putih. Gaby mengusap air matanya yang tidak bisa berhenti mengalir. Apakah pernikahan ini yang ia inginkan? Apakah pernikahan seperti ini yang ia dambakan. Lantas apakah pernikahan ini bisa membawanya sampai tua. Pertanyaan dan keraguan itu akan terus berputar di otak Gaby. Sialnya ia tidak bisa mengabaikan prasangka buruk itu dari dirinya sendiri. Gaby menghela nafas. ia menoleh ketika pintu terketuk. Sampai akhirnya ibunya masuk. Aluna tersenyum. Ibunya itu cantik dengan menggunakan sebuah gaun berwarna hijau. Aluna diusianya yang tidak muda lagi terlihat begitu cantik. Wajar saja jika Gaby juga cantik, Gio tampan. Karena bibit unggul keluarga mereka. “Ma..” Gaby mengerucutkan bibirnya. “Kamu akan menikah Gaby…” Aluna merangkul putrinya. “Jangan bersedih. Ini sudah menjadi pilihan yang terbaik. Kalian saling menyukai dan mencint
Semua ruangan nampak begitu indah. Dihias dengan bunga putih yang melambangkan kesucian. Gaby masih tidak percaya bahwa hari ini akan datang juga. Ia menggandeng tangan ayahnya. Gaun putih yang digunakannya mempunyai ekor yang panjang. Sampai terkena lantai. Gaby menghela nafas berkali-kali untuk mengurangi kegugupannya. “Tenang saja..” Ethan mengusap punggung tangan anaknya. Pintu dibuka. Semua yang berada di dalam menyorot kedatangan Gaby. Gaby memasang senyum seindah mungkin di wajahnya. Ia berjalan pelan bersama ayahnya. Melihat orang-orang yang duduk di samping kanan dan kirinya. Orang tuanya, kakaknya, temannya dan rekan kantornya. Semua nampak tersenyum bahagia untuknya. Sampai akhirnya berhenti karena calon suaminya menunggunya. Calon suaminya yang menggunakan setelan jas dengan rapi. Pria itu tersenyum. Seakan kebahagian yang terpancar jelas dari wajah pria itu. “Kau cantik,” lirihnya pelan. kemudian mengulurkan tangannya. Akhirnya Gaby mendonga
Setelah acara pernikahan. Mereka berada di dalam hotel. Gaby duduk dengan canggung. ia menghela nafas berkali-kali dengan gaun putih yang masih membungkus dirinya. Ketika Haven masuk ke dalam kamar. Ia langsung bangkit. “Kau yakin dengan pernikahan ini?” tanya Gaby langsung to the point. Haven menunduk. “Kau tidak yakin?” Gaby mengerjap. “Tentu saja aku tidak yakin. kita melakukan pernikahan atas dasdar perjanjian.” Haven tersenyum. “Kau pikir aku melakukannya semata-mata karena perjanjian? Itulah caraku untuk mendapatkanmu kembali.” “Ada atau tidaknya perjanjian itu kau sudah menikah denganku. Kau tidak bisa lariku dariku.” Haven menatap Gaby. “Yang terpenting, aku tidak akan membiarkanmu pergi lagi.” #Flashback on 2 minggu yang lalu. Gaby tentu saja sangat bingung untuk memecahkan teka-teki ini sendirian. Setelah mendapatkan pengakuan dari Firly. Ia sudah mengatongi beberapa bukti untuk membuktikan kejahatan pria itu. Namun, Gaby takut untuk melangkah ka
“Aku tidak akan pernah menikah denganmu!” teriak Gaby. Damian tersenyum miring. “Aku akan tetap membuat kita menikah.” Tangannya merobek semua berkas-berkas bukti itu. “Apa yang kau incar dariku?” tanya Gaby frustasi. “Kau mengincar harta bukan? Kau mengincar koneksi keluargaku? Kau mengincar semua kekayaah keluargaku?” “Kalau iya?” tanya Damian. “Lagipula orang tuamu juga sudah setuju. Mereka bahkan dengan senang hati menyerahkan perusahaanny padaku.” “Bagaimana Gab? Bukankah aku memang menantu yang ideal meskipun aku sedikit brengsek?” tanya Damian. “Kau gila.” desis Gaby penuh kemarahan. Ingin sekali tangannya menonjok pria itu sampai babak belur. Gaby menggeleng. “Aku tidak akan memaafkan semuanya.” “Aku tidak peduli. Tapi kau harus tetap menikah denganku.” “BERANINYA KAU BILANG SEPERTI ITU PADAHAL ADA ANAK PEREMPUAN YANG SELALU MENUNGGUMU!” teriak Gaby begitu keras. “Bagaimana kau bisa bilang seperti itu saat ada wanita yang mengandung anakmu tapi kau justru