“Kamu yang selingkh dengan mantan kamu itu, tapi menuduhku tiba-tiba?” Damian mencengkram lengan Gaby. “Mau cuci tangan dengan menuduhku?” Gaby menggeleng. “Ti-tidak..” Bahkan ucapannya terbata-bata. Bagaimana pria itu bisa tahu dirinya dan Haven dekat. “Tidak usah berbohong..” lirih Damian. “Aku tidak membicarakannya karena tidak ingin hubungan kita menjadi renggang. Tapi kamu…” Damian menjeda ucapannya. “Tapi kamu malah menuduhku sembarangan seperti ini.” Gaby memejamkan mata sebentar. “Tidak Damian.. tunggu.” “Apa?” tanya Damian. “Apa yang ingin kamu jelaskan?” tanya Damian lagi. “Jelas sekali kalian ciuman. Itu sudah disebut sebagai perselingkuhan. Kalian melakukannya juga bukan satu kali..” Damian merogoh ponselnya. kemudian menunjukkan foto-foto Gaby dan Haven yang ciuman. Di beberapa tempat. semuanya, tidak terkecuali. “Bagaimana kamu..” Gaby mendongak. “Kamu mengawasiku? Kamu menyuruh orang untuk membututi dan mengawasi semua kegiatanku?” tanya Gaby. “Aku tidak pe
Damian marah. Damian tidak mau menanggapi setiap pesan yang dikirim oleh Gaby. Hubungan yang hambar dan kacau ini semakin kacau saja. Pesan terakhir dari Damian. “Jangan berkomunikasi dulu. Apapun yang terjadi kita tetap menikah. Aku hanya perlu waktu untuk memaafkan kamu.” Gaby mengusap rambutnya kasar.Lantas apa yang harus ia lakukan untuk membuat pria itu tidak marah lagi? Apa harus menunggu sampai menikah dan mereka bisa berbaikan? Tidak. Itu terlalu lama. Bagaimana kalau mengirimkan makan siang untuk Damian?Gaby keluar dari ruangannya. Siang ini ia akan mencari makanan dan mengantarnya langsung ke kantor Damian. Namun setelah sampai—Damian justru ada rapat yang entah sampai kapan selesainya. “Miss, mau menunggu di dalam ruangan tuan Damian saja?” tanya Sekretaris Damian. “Bolehkah?” tanya Gaby. “Aku tidak pernah di ruangannya sendiri,” lanjutnya. Sekretaris itu juga nampak ragu. “Aku sudah lelah.” Gaby menghela nafas. “Aku akan menunggunya di dalam saja.” Sekretar
Gaby memejamkan mata ketika bibirnya dilumat oleh Damian. Awalnya hanya menggebu-gebu dan terkesan sangat terburu-buru. Namun, lama kelamaan malah berubah menjadi kasar. Damian menggigit bibir bawah Gaby. “Akh—” Belum sempat protes, bibir Gaby kembali dibungkam dengan ciuman Damian. Jemari Damian mengusap pinggang Gaby. Mencengkram erat pinggang Gaby. Seakan ingin merobek kemeja putih yang digunakan wanita itu. Sampai akhirnya Gaby mendorong Damian hingga ciuman mereka terlepas. “Pergi dari sini.” sekali lagi Damian menekankan kata itu. Gaby terdiam. “Ta-“ “Jangan membantahku.” Gaby menghela nafas. pada akhirnya ia memilih untuk pergi. Ia berjalan keluar dari ruangan Damian. Apapun yang terjadi seharusnya Damian bisa menceritakannya pada Gaby. Bukannya malah marah dan uring-uringan tidak jelas dan membuat Gaby semakin bingung. Apalagi perbuatan Damian tadi. Langsung tertancap di dalam otaknya. Image Damian seorang pria lembut kini berubah. Nyatanya pria itu sulit m
Sudah beberapa hari Gaby sungguh lelah. Ia sampai tidak masuk kerja karena kesehatan tubuhnya yang melemah. Di rumah sakit.Punggung tangannya diinfus. Kedua orang tuanya sedang berlibur ke luar negeri sehingga tidak bisa menjenguknya. Kakaknya pun sama, ada pekerjaan di luar negeri. Gaby sendirian. Damian tidak bisa dihubungi. Tepatnya mereka belum juga berbaikan setelah kejadian itu. Gaby berjalan dengan menarik tiang infusnya. Keluar dari ruangannya dengan sendiri. Berjalan pelan sampai ke sebuah taman rumah sakit. Ia duduk sembari menatap lurus. “Tidak ada orang yang bisa menjengukku…” Gaby menghela nafas. “Aunty..” ucap seorang gadis kecil. “Tiup ini dong.” Sebuah balon. “Berani bayar berapa?” tanya Gaby. Bocah perempuan itu nampak memanyunkan bibirnya. “Dengan doa.” Gaby tertawa pelan dan meniup balon itu sampai besar. “Kau dengan siapa?”Bocah perempuan yang berusia sekitar 5 tahun itu mengedikkan bahu. “Kenapa kau di rumah sakit?” tanya Gaby mengamati bocah i
Gaby berada di ruangannya dengan bosan. Tidak ada yang bisa dilakukan selain bermain ponsel. Sekedar membalas komentar dari pengikutnya di media sosial. Tok tok!Pintu kamarnya diketuk. Setelah itu seorang perawat datang. Perawat itu membawa buket bunga dan paper bag besar. “Dari siapa sus?” tanya Gaby. “Tidak ada tulisannya. Tapi ini buat anda.” Menaruh paper bag dan bunga itu di atas meja. Gaby mengambil bunga. Bunga daisy kesukaannya. Mungkin dari Damian. Lalu di dalam paper bag itu ada cokelat. Gaby yakin sekali itu dari Damian. Setelah memakan satu cokelat, ia kembali berbaring. Tidak kerja malah bosan seperti ini. Tok tok. Pintunya kembali berbunyi. Seorang anak kecil masuk ke dalam ruangan Gaby. “Risa..” lirihnya. “Bagaimana kamu tahu aunty di sini?” Risa tersenyum lebar. “Karena aku mencari tahu..” balas bocah itu. “Itu apa aunty?” tunjuknya pada paper bag besar. “Bunganya bagus. pasti dari pacar aunty.” Gaby mengangguk dengan bangga. “Iya dong.” “Mau cokelat
“Jadi mulai sekarang saya harap anda mengerti dan tidak membiarkan Risa dekat dengan anda.” Perawat itu meraih tangan Risa dengan kasar. “Aku ingin bermain dengan aunty!” teriak bocah itu. Namun belum sempat berbalik. Risa sudah digendong dan masuk ke dalam ruangan. Bocah itu terlihat meronta. Namun Gaby tidak bisa melakukan apapun. Lagipula yang membuat peraturan adalah orang tuanya sendiri. Ia tidak punya hak untuk melarang. Apalagi ia hanya orang asing. Gaby berbalik dan berjalan kembali ke ruangannya dengan lesu. Baru saja mendapatkan mainan baru, tapi malah pergi begitu saja. Mainan hidup yang cantik dan lucu. Karena tidak mau berdiam diri saja di ruangannya. Gaby melangkah ke kantin rumah sakit. Membeli minuman dan makanan ringan kemudian duduk. Tak lama—ia mendengar suara langkah sepatu yang kian mendekat. Saat mendongak. Bukan pria yang diharapkan. Melainkan pria yang ia hindari. “Kau sakit?” tanya Haven. tanyanya seperti tanpa beban. Gaby ber
“Aku bisa sendiri.” Gaby tidak mau dibantu. “Kenapa?” tanya Haven sudah mengambil tiang infus Gaby. Gaby berdecak. “Kau kembalilah ke dalam. Temani kakek.” Haven menggeleng. “Kakek yang ingin aku mengantarmu.” Gaby hanya menghela pasrah. Ia berjalan pelan dengan di sampingnya Haven yang membantunya membawa tiang infus itu. "Kenapa kau sendiri?" tanya Haven. "Di mana kekasihmu? Temanmu atau keluargamu?” tanya Haven beruntun. “Mereka sibuk,” jawab singkat Gaby. Haven menatap Gaby. “Jaga dirimu.” Gaby mengernyit. “Tentu saja.” Gaby menanggapi setiap ucapan Haven sangat cuek. Pokoknya ada hati yang harus ia jaga. Tidak boleh terlalu lama dengan pria lain. Setelah sampai di depan ruangan. Gaby segera mengusir Haven. “Pergilah.” Gaby mengibaskan tangan tanpa melihat Haven. Haven menunduk. mendapat perkataan ketus dan tajam, tidak membuat Haven langsung pergi. Ia menunduk. berjongkok di hadapan kaki Gaby. “Apa yang kau lakukan?” tanya Gaby hendak mundur namun dicegah oleh
“Kalian..” Damian menatap Gaby dan Haven bergantian. Damian menggeleng pelan melihat mereka berdua. Niatnya ingin menjenguk kekasihnya ditengah jadwalnya yang sangat padat. Namun saat sudah berada di sini, malah mendapati kekasihnya bersama pria lain. “Damian ini tidak—” Damian maju selangkah. Langsung menarik kerah leher Haven. “Apa yang kau inginkan hah?” tanyanya dengan tatapan tajam. Urat lehernya bahkan terlihat. Gaby tidak pernah melihat Damian semarah ini sebelumnya. Pria setenang air itu marah. Emosinya melunjak ketika mendapati kekasihnya bersama pria lain. Haven menanggapinya dengan santai. “Aku tidak sengaja bertemu dengan Gaby..” “Halah kau sengaja kan menjenguk kekasihku?” Damian masih mencengkram erat-erat kerah leher Haven. “Damian sudah!” Gaby berusaha mendekat. Namun tangannya disingkirkan oleh Damian begitu saja. “Kamu janjian dengan bajingan ini kan?” tuduh Damian. “Bilang padaku, kalian berselingkuh di belakangku?” “Tidak Damian.” Gaby me
GUYS INI CHAPTER TERAKHIR. SEMOGA SUKA YA... Aiden memutuskan untuk pergi langsung tanpa sarapan. ia pergi ke parkiran yang terletak di samping. Di sanalah motornya tersimpan… Namun ia berhenti ketika melihat ayahnya yang berada di samping motornya. “Kenapa dad di sana?” tanya Aiden mengernyit. “Dad ingin membuang motorku?” tanya Aiden lagi. Gio menghela napas. Kemudian tangannya terulur mengusap motor Aiden pelan. “Warnanya bagus… helmnya juga cocok.” Gio tersenyum. “Kamu membelinya dengan uang kamu sendiri ya?” kemudian mengangguk. “Motornya bagus.” Aiden mengernyit. Kemudian mendekat. “Apa yang terjadi dengan Dad?” Gio mengusap pelan bahu anaknya. “Dad minta maaf, Dad tidak tahu kalau Dad bersalah pada kamu. Dad sering mengabaikan kamu. Dad menganggap enteng acara penting kamu. Dad terlalu sibuk bekerja sampai tidak memperhatikan kamu…” “Dad juga lupa kalau semua anak pasti melakukan kesalahan…” Gio tersenyum. “Dad seharusnya memuji kamu daripada
GUYS INI CHAPTER TERAKHIR. SEMOGA SUKA YA... Aiden memutuskan untuk pergi langsung tanpa sarapan. ia pergi ke parkiran yang terletak di samping. Di sanalah motornya tersimpan… Namun ia berhenti ketika melihat ayahnya yang berada di samping motornya. “Kenapa dad di sana?” tanya Aiden mengernyit. “Dad ingin membuang motorku?” tanya Aiden lagi. Gio menghela napas. Kemudian tangannya terulur mengusap motor Aiden pelan. “Warnanya bagus… helmnya juga cocok.” Gio tersenyum. “Kamu membelinya dengan uang kamu sendiri ya?” kemudian mengangguk. “Motornya bagus.” Aiden mengernyit. Kemudian mendekat. “Apa yang terjadi dengan Dad?” Gio mengusap pelan bahu anaknya. “Dad minta maaf, Dad tidak tahu kalau Dad bersalah pada kamu. Dad sering mengabaikan kamu. Dad menganggap enteng acara penting kamu. Dad terlalu sibuk bekerja sampai tidak memperhatikan kamu…” “Dad juga lupa kalau semua anak pasti melakukan kesalahan…” Gio tersenyum. “Dad seharusnya memuji kamu daripada
GUYS INI CHAPTER TERAKHIR. SEMOGA SUKA YA... Aiden memutuskan untuk pergi langsung tanpa sarapan. ia pergi ke parkiran yang terletak di samping. Di sanalah motornya tersimpan… Namun ia berhenti ketika melihat ayahnya yang berada di samping motornya. “Kenapa dad di sana?” tanya Aiden mengernyit. “Dad ingin membuang motorku?” tanya Aiden lagi. Gio menghela napas. Kemudian tangannya terulur mengusap motor Aiden pelan. “Warnanya bagus… helmnya juga cocok.” Gio tersenyum. “Kamu membelinya dengan uang kamu sendiri ya?” kemudian mengangguk. “Motornya bagus.” Aiden mengernyit. Kemudian mendekat. “Apa yang terjadi dengan Dad?” Gio mengusap pelan bahu anaknya. “Dad minta maaf, Dad tidak tahu kalau Dad bersalah pada kamu. Dad sering mengabaikan kamu. Dad menganggap enteng acara penting kamu. Dad terlalu sibuk bekerja sampai tidak memperhatikan kamu…” “Dad juga lupa kalau semua anak pasti melakukan kesalahan…” Gio tersenyum. “Dad seharusnya memuji kamu daripada
“Puas membuat kawatir orang tua? Puas bermain-main dengan acara penting?” tanya Gio pada Aiden. Aiden berhenti. pada langkah yang ketiga di tangga. Laki-laki itu berhenti dan menghadap ayahnya. “Bagaimana rasanya?” tanya Aiden sembari tersenyum. “Kalian tidak pernah datang ke acara pentingku. Jadi aku ingin melakukannya juga…” “Bagaimana rasanya?” tanyanya. “Aiden!” Gio memijit keningnya yang terasa pusing. “Kami melakukannya karena ada alasannya.” “Aku juga punya alasan untuk tidak datang ke acara itu.” Aiden memutar tubuhnya. berjalan—sampai Gio memanggilnya lagi. “Acara balapan yang kamu maksud?” tanyanya. “Balapan tidak jelas seperti itu? jika ingin balapan di sirkuit bukan di jalan raya. Kamu membahayakan orang lain. kamu juga membahayakan diri kamu sendiri.” “Aiden kamu jangan melakukan hal seperti ini lagi ya..” Agatha menatap putranya. “Mom dan Dad tidak akan melakukan hal seperti dulu lagi.” “Kalau kamu mau balapan, kamu bisa mengajak kamu ke sir
Di sinilah… Raini pergi ke atap gedung. Sendirian di tengah gelap yang hanya diterangi oleh cahaya rembulan yang bersinar dengan terang. Raini membiarkan rambutnya tertiup angin ke sana ke mari. Kedua tangannya bersandar pada dinding pembatas. Tempatnya memang di sini. Jelas dirinya dan Aiden sangat berbeda. Aiden memang lebih cocok dengan perempuan bernama Talia itu. Tadi, Raini melihat mereka dari kejauhan. Talia pasti dari keluarga yang memiliki perusahaan besar juga. Mereka memang cocok. Lantas… Kenapa hatinya sedikit tidak rela ya? Apa mungkin ia tidak rela jika Aiden bersama perempuan lain? Tidak! Sampai kapanpun Raini tidak boleh mendambakan apa yang tidak boleh didambakan. Tempatnya di sini… Menyingkir lalu tidak terlihat oleh siapapun. “Jadi seperti ini ya pemandangan kota dari atas gedung tinggi..” Raini tersenyum pelan. “Maklum orang kampung…” Raini menggeleng pelan. “Ternyata sangat bagus. pantas saja banyak orang kampung yang berbondong-b
Seorang pemuda dengan setelan kemeja dan jas rapi baru saja turun dari mobil. Langkahnya mantap—kemudian disusul oleh perempuan yang berada di belakangnya. Perempuan cantik yang menggunakan dress berwarna putih. Nampak sangat cantik dengan rambut panjang yang digerai… Aiden menyodorkan lengannya. Raini tersenyum manis dan menggandeng tangan Aiden. Tahukah permintaan Aiden? Ya, membawa Raini untuk pergi ke pesta bersamanya. Lantas, Raini harus menuruti permintaan lelaki itu jika ingin lelaki itu hadir di pesta. Raini tidak pernah berhadapan dengan orang segila Aiden. Tapi mari imbangi kegilaan Raini. Bersikap seperti apa kemuan Aiden saja. Raini berjalan dengan hati-hati. di luar ternyata banyak sekali kamera wartawan yang menyorot dirinya. Pasti mereka akan membuat berita dan bertanya-tanya tentang identitasnya. Raini bersumpah… Pasti setelah ini, kehidupan sekolahnya kian rumit. Pasti akan muncul rumor aneh tentan dirinya dan Aiden. Aiden dan Raini b
“Dia di mana?” Agatha berkacak pinggang sembari mondar-mandir. Ia sudah berdandan rapi namun Aiden malah belum pulang… Gio menggenggam tangan Agatha. “Kali ini aku tidak bisa mentolerir perbuatannya..” “Tunggu sebentar. dia pasti pulang.” Agatha mengeluarkan ponselnya.. Melakukan panggilan berkali-kali namun satupun tidak dijawab. “Ayo kita berangkat..” nampak wajah Gio begitu dingin. Hanya berjalan beberapa langkah saja.. “Bagaimana kalau kita menunggu sedikit lebih lama..” Agatha mendongak. “Aku yakin dia akan segera pulang.” Gio menatap jam tangannya. “Kalaupun pulang dia butuh berganti pakaian segala macam. Kita tidak ada waktu sayang.” Agatha akhirnya mengangguk. menyetujui untuk berangkat. Akhirnya dengan berat hati Agatha dan Gio berangkat tanpa anak mereka. Entah, Gio tidak mau tahu keberadaan anaknya. Di sisi lain, Raini yang melihat mereka merasa ini tidak benar. Ia harus mencari Aiden dan membuat laki-laki itu datang ke pesta ulang tahun Winston.
Raini menjadi semakin panik ketika tubuh mereka terasa benar-benar menempel. “Cepat ambil,” lirih Raini. Aiden tersenyum. menunduk dan mendekatkan bibirnya pada telinga kanan perempuan itu. “Cepat ambil, aku tidak akan melihatmu,” ucap Raini. “Lantas kenapa wajahmu memerah seperti itu?” Raini mengerjap karena kesal akhirnya ia berbalik—namun kakinya tidak bisa berpijak dengan benar alhasil… Braak! Raini memejamkan mata—bersiap menerima kerasnya lantai. Tapi yang ia dapatkan adalah pelukan dari tangan seseorang. Raini membuka mata—wajah Aiden yang sudah begitu dekat di hadapannya. Kenapa… Jantungnya berdetak sangat cepat. Juga, suhu tubuhnya yang tiba-tiba memanas sampai membuat pipinya begitu panas seperti terbakar. Raini baru menyadari jika Aiden masih bertelanjang dada… “Bu-bu buahnya jatuh!” Raini melepaskan diri dari Aiden. Buru-buru mengambil buah itu dengan cepat. “Aku tidak makan buah yang sudah jatuh.” Aiden mengamati Raini yang begitu gugup memungut
“Apa aunty tahu kau menggunakan motor ke sekolah?” tanya Raini yang baru memarkirkan sepeda listriknya di halaman mansion. Aiden melepas helmnya. Pertama kalinya ia membawa motornya ke rumah. “Belum.” Aiden menggeleng. “Sekarang akan tahu.” Raini mendekati Aiden. “Bukankah bahaya?” tanyanya. “Kau belum memiliki sim juga.” “Bukan urusanmu.” Aiden menyipitkan mata. Aiden pergi begitu saja ke dalam mansion. Meninggalkan Raini yang ngomel-ngomel. Aiden pergi ke dalam rumah. disambut oleh ibunya yang selalu berada di rumah menunggunya pulang. “Kamu sudah pulang..” Agatha mendekat. “Di luar itu motor kamu?” tanya Agatha. Aiden mengangguk. Agatha berhenti sejenak. “Mom marah?” tanya Aiden. Agahta menggeleng. “Itu hobi baru kamu kan?” Agatha mengusap pelan bahu Aiden. “Asalkan kamu menaikinya dengan hati-hati, jangan sampai terluka. Mom tidak masalah.” “Mom dulu juga bisa tahu naik motor. Tapi sekarang lupa caranya..” Agatha terkekeh pelan. “Mom bisa?” Agatha men