“Hai babe, kenapa kamu pergi ke apartemenku malam-malam?” tanya Damian menyambut kedatangan Gaby yang berada di ambang pintu Apartemennya. “Aku ingin bicara.” Gaby langsung nyelonong masuk. Ia menatap Apartemen Damian sebentar sebelum ia berbalik. Menatap Damian yang hanya menggunakan celana pendek. Pria itu bersiap untuk tidur. Gaby menghela nafas. “Kamu mau tidur?” Damian mengangguk. “Tapi tidak masalah karena kamu di sini.” Damian mendekat. kemudian menunduk—mencium aroma yang begitu pekat dari Gaby. “Kamu mabuk.” Damian mengernyit. tidak suka jika Gaby pergi mabuk-mabukkan. Meski bersama teman wanita itu sendiri. Tapi Damian tetap tidak suka. “Kamu tidak memberitahuku kalau pergi ke klub. Datang ke Apartemenku dalam keadaan mabuk.” Tangan Damian terangkat mengusap pipi Gaby. “Seharusnya aku yang marah. Kenapa malah kamu yang terlihat marah..hm.” Gaby mendongak. “Setelah bekerja kamu langsung pulang?” tanyanya. Damian mengangguk. “Kenapa kamu bertanya sepe
“Kamu yang selingkh dengan mantan kamu itu, tapi menuduhku tiba-tiba?” Damian mencengkram lengan Gaby. “Mau cuci tangan dengan menuduhku?” Gaby menggeleng. “Ti-tidak..” Bahkan ucapannya terbata-bata. Bagaimana pria itu bisa tahu dirinya dan Haven dekat. “Tidak usah berbohong..” lirih Damian. “Aku tidak membicarakannya karena tidak ingin hubungan kita menjadi renggang. Tapi kamu…” Damian menjeda ucapannya. “Tapi kamu malah menuduhku sembarangan seperti ini.” Gaby memejamkan mata sebentar. “Tidak Damian.. tunggu.” “Apa?” tanya Damian. “Apa yang ingin kamu jelaskan?” tanya Damian lagi. “Jelas sekali kalian ciuman. Itu sudah disebut sebagai perselingkuhan. Kalian melakukannya juga bukan satu kali..” Damian merogoh ponselnya. kemudian menunjukkan foto-foto Gaby dan Haven yang ciuman. Di beberapa tempat. semuanya, tidak terkecuali. “Bagaimana kamu..” Gaby mendongak. “Kamu mengawasiku? Kamu menyuruh orang untuk membututi dan mengawasi semua kegiatanku?” tanya Gaby. “Aku tidak pe
Damian marah. Damian tidak mau menanggapi setiap pesan yang dikirim oleh Gaby. Hubungan yang hambar dan kacau ini semakin kacau saja. Pesan terakhir dari Damian. “Jangan berkomunikasi dulu. Apapun yang terjadi kita tetap menikah. Aku hanya perlu waktu untuk memaafkan kamu.” Gaby mengusap rambutnya kasar.Lantas apa yang harus ia lakukan untuk membuat pria itu tidak marah lagi? Apa harus menunggu sampai menikah dan mereka bisa berbaikan? Tidak. Itu terlalu lama. Bagaimana kalau mengirimkan makan siang untuk Damian?Gaby keluar dari ruangannya. Siang ini ia akan mencari makanan dan mengantarnya langsung ke kantor Damian. Namun setelah sampai—Damian justru ada rapat yang entah sampai kapan selesainya. “Miss, mau menunggu di dalam ruangan tuan Damian saja?” tanya Sekretaris Damian. “Bolehkah?” tanya Gaby. “Aku tidak pernah di ruangannya sendiri,” lanjutnya. Sekretaris itu juga nampak ragu. “Aku sudah lelah.” Gaby menghela nafas. “Aku akan menunggunya di dalam saja.” Sekretar
Gaby memejamkan mata ketika bibirnya dilumat oleh Damian. Awalnya hanya menggebu-gebu dan terkesan sangat terburu-buru. Namun, lama kelamaan malah berubah menjadi kasar. Damian menggigit bibir bawah Gaby. “Akh—” Belum sempat protes, bibir Gaby kembali dibungkam dengan ciuman Damian. Jemari Damian mengusap pinggang Gaby. Mencengkram erat pinggang Gaby. Seakan ingin merobek kemeja putih yang digunakan wanita itu. Sampai akhirnya Gaby mendorong Damian hingga ciuman mereka terlepas. “Pergi dari sini.” sekali lagi Damian menekankan kata itu. Gaby terdiam. “Ta-“ “Jangan membantahku.” Gaby menghela nafas. pada akhirnya ia memilih untuk pergi. Ia berjalan keluar dari ruangan Damian. Apapun yang terjadi seharusnya Damian bisa menceritakannya pada Gaby. Bukannya malah marah dan uring-uringan tidak jelas dan membuat Gaby semakin bingung. Apalagi perbuatan Damian tadi. Langsung tertancap di dalam otaknya. Image Damian seorang pria lembut kini berubah. Nyatanya pria itu sulit m
Sudah beberapa hari Gaby sungguh lelah. Ia sampai tidak masuk kerja karena kesehatan tubuhnya yang melemah. Di rumah sakit.Punggung tangannya diinfus. Kedua orang tuanya sedang berlibur ke luar negeri sehingga tidak bisa menjenguknya. Kakaknya pun sama, ada pekerjaan di luar negeri. Gaby sendirian. Damian tidak bisa dihubungi. Tepatnya mereka belum juga berbaikan setelah kejadian itu. Gaby berjalan dengan menarik tiang infusnya. Keluar dari ruangannya dengan sendiri. Berjalan pelan sampai ke sebuah taman rumah sakit. Ia duduk sembari menatap lurus. “Tidak ada orang yang bisa menjengukku…” Gaby menghela nafas. “Aunty..” ucap seorang gadis kecil. “Tiup ini dong.” Sebuah balon. “Berani bayar berapa?” tanya Gaby. Bocah perempuan itu nampak memanyunkan bibirnya. “Dengan doa.” Gaby tertawa pelan dan meniup balon itu sampai besar. “Kau dengan siapa?”Bocah perempuan yang berusia sekitar 5 tahun itu mengedikkan bahu. “Kenapa kau di rumah sakit?” tanya Gaby mengamati bocah i
Gaby berada di ruangannya dengan bosan. Tidak ada yang bisa dilakukan selain bermain ponsel. Sekedar membalas komentar dari pengikutnya di media sosial. Tok tok!Pintu kamarnya diketuk. Setelah itu seorang perawat datang. Perawat itu membawa buket bunga dan paper bag besar. “Dari siapa sus?” tanya Gaby. “Tidak ada tulisannya. Tapi ini buat anda.” Menaruh paper bag dan bunga itu di atas meja. Gaby mengambil bunga. Bunga daisy kesukaannya. Mungkin dari Damian. Lalu di dalam paper bag itu ada cokelat. Gaby yakin sekali itu dari Damian. Setelah memakan satu cokelat, ia kembali berbaring. Tidak kerja malah bosan seperti ini. Tok tok. Pintunya kembali berbunyi. Seorang anak kecil masuk ke dalam ruangan Gaby. “Risa..” lirihnya. “Bagaimana kamu tahu aunty di sini?” Risa tersenyum lebar. “Karena aku mencari tahu..” balas bocah itu. “Itu apa aunty?” tunjuknya pada paper bag besar. “Bunganya bagus. pasti dari pacar aunty.” Gaby mengangguk dengan bangga. “Iya dong.” “Mau cokelat
“Jadi mulai sekarang saya harap anda mengerti dan tidak membiarkan Risa dekat dengan anda.” Perawat itu meraih tangan Risa dengan kasar. “Aku ingin bermain dengan aunty!” teriak bocah itu. Namun belum sempat berbalik. Risa sudah digendong dan masuk ke dalam ruangan. Bocah itu terlihat meronta. Namun Gaby tidak bisa melakukan apapun. Lagipula yang membuat peraturan adalah orang tuanya sendiri. Ia tidak punya hak untuk melarang. Apalagi ia hanya orang asing. Gaby berbalik dan berjalan kembali ke ruangannya dengan lesu. Baru saja mendapatkan mainan baru, tapi malah pergi begitu saja. Mainan hidup yang cantik dan lucu. Karena tidak mau berdiam diri saja di ruangannya. Gaby melangkah ke kantin rumah sakit. Membeli minuman dan makanan ringan kemudian duduk. Tak lama—ia mendengar suara langkah sepatu yang kian mendekat. Saat mendongak. Bukan pria yang diharapkan. Melainkan pria yang ia hindari. “Kau sakit?” tanya Haven. tanyanya seperti tanpa beban. Gaby ber
“Aku bisa sendiri.” Gaby tidak mau dibantu. “Kenapa?” tanya Haven sudah mengambil tiang infus Gaby. Gaby berdecak. “Kau kembalilah ke dalam. Temani kakek.” Haven menggeleng. “Kakek yang ingin aku mengantarmu.” Gaby hanya menghela pasrah. Ia berjalan pelan dengan di sampingnya Haven yang membantunya membawa tiang infus itu. "Kenapa kau sendiri?" tanya Haven. "Di mana kekasihmu? Temanmu atau keluargamu?” tanya Haven beruntun. “Mereka sibuk,” jawab singkat Gaby. Haven menatap Gaby. “Jaga dirimu.” Gaby mengernyit. “Tentu saja.” Gaby menanggapi setiap ucapan Haven sangat cuek. Pokoknya ada hati yang harus ia jaga. Tidak boleh terlalu lama dengan pria lain. Setelah sampai di depan ruangan. Gaby segera mengusir Haven. “Pergilah.” Gaby mengibaskan tangan tanpa melihat Haven. Haven menunduk. mendapat perkataan ketus dan tajam, tidak membuat Haven langsung pergi. Ia menunduk. berjongkok di hadapan kaki Gaby. “Apa yang kau lakukan?” tanya Gaby hendak mundur namun dicegah oleh