Haven berjalan sembari membuka jasnya. Gaby mengikuti pria itu dari belakang seperti anak kecil yang sedang mengikuti orang tuanya. Mereka tiba di ruang makan. Meja panjang itu sudah penuh dengan makanan. Gaby mengerjap. “Wow,” ucapnya kagum. Makanan lokal! Semuanya terisi makanan lokal dan itu adalah kesukaannya! “Makanan kesukaanmu bukan?” Haven meraih pinggang Gaby dari samping. Gaby mengangguk. “Duduklah dan makan.” Gaby mengambil duduk—ia kira Haven akan duduk di kursi tengah. Seperti yang dilakukan papanya di rumah. Tapi ternyata pria itu memilih duduk di sampingnya. “Makanlah jangan memandangiku.” Haven memasangkan sebuah kain di paha Gaby. Tingkahnya seperi seorang pangeran! Batin Gaby. Haven yang duduk dengan tenang. Makan dengan pelan dan berwibawa. Kenapa dirinya malah seperti bitch yang kelaparan. Gaby menggeleng pelan. Tidak peduli yang terpenting menjadi dirinya sendiri. “Ingin aku suapi?” tanya Haven. Uhuk! Gaby tersedak. “Pelan-pelan
“Bagaimana kalau aku bilang aku juga tidak suka melihatmu bersama wanita lain?” tanya Gaby mengalunkan tangannya di leher Haven. “Aku akan menjauhinya. Karena aku juga tidak suka wanita-wanita di luar sana,” balas enteng Haven. Gaby menyipitkan mata. “Benarkah?” Haven mengusap pipi Gaby. “Aku juga tidak mudah suka dengan wanita. Sejauh ini hanya kau yang aku sukai.” Gaby sedikit tersanjung. Namun ia tetap menyembunyikannya, menahan senyumnya. Pokoknya jangan tersenyum. Jangan menunjukkan kalau dirinya gampang luluh. “Baiklah, kesepakatan kita jangan dekat-dekat dengan lawan jenis.” Gaby mengulurkan tangannya. Namun Haven mendekat dan mencium bibirnya. Setelah ciuman singkat itu, Haven mengusap puncak kepalanya. “Setuju.” Haven mengusap pipi Gaby. “Jangan membantahku.” Gaby mendekat—mengecup rahang Haven dengan berani. “Jangan bersikap kasar padaku.” “Itu hukumanmu jika kamu membantahku.” Haven menatap Gaby dengan matanya yang penuh dengan kilatan tajam. “Ta
21++Haven menggendong Gaby. Dengan pangutan di bibir mereka yang belum terputus. Haven membawa Gaby memasuki sebuah kamar. Kamar yang didominasi warna hitam. Dengan hati-hati Haven menurunkan tubuh Gaby di ranjang. Ia mengukung tubuh Gaby. Sebelum kembali mencium bibir wanita itu. Mengusap pelan dahi Gaby dan mencium dari wanita itu. “Kamu cantik.” Gaby tersenyum di tengah ciuman mereka. Jemarinya yang lentik membuka kancing kemeja Haven. Mengusap otot-otot yang tercetak di perut pria itu. Haven menunduk—mengecup leher Gaby. Memberinya hisapan dan gigitan keci di sana. “Kamu suka perutku?” bisik Haven. Gaby mengangguk. Haven mengusap tangan Gaby yang berada di perutnya. “Semuanya milikmu.” Gaby mengalunkan kedua tangannya saat pria itu berhasil membuka seluruh pakaiannya. Haven menunduk—mengecup dan menghisap buah dada Gaby dengan lembut. Benar-benar pelan dan penuh kelembutan. Gaby merasa benar-benar diratukan. Selayaknya kekasih yang sedang memadu cinta. Jemari H
Ketika membuka mata pertama kali. Yang dilihat Gaby adalah wajah tampan Haven yang begitu dekat dengan wajahnya. Pria itu masih tidur dengan lelap. Tangan Gaby terangkat mengusap alis tebal pria itu. “Sudah bangun?” suara serak Haven. Masih menutup mata—namun tangannya menarik tangan Gaby dan dikecupnya pelan. Gaby tersenyum. “Ayo bangun.” Haven menggeleng pelan. “Tidak.” “Kamu bisa terlambat.” Gaby mengusap pelan rambut Haven pelan. “Aku hanya ingin bersamamu.” Menarik Gaby ke dalam pelukannya. Gaby mendongak. “Aku ingin memasak.” “Jangan menyusahkan dirimu. Ada maid yang sudah memasak. Kita tinggal makan,” suara serak Haven yang bisa didengar oleh Gaby. Gaby mengerucutkan bibirnya. “Bilang saja tidak mau memakan masakanku, pasti kau tidak mau kan?” Haven menghela nafas. “Jangan mencari masalah baby girl. Kita sudah berbaikan tadi malam.” “Tapi aku suka cari masalah denganmu.” Gaby tertawa pelan. Haven mendongak—menatap Gaby yang tidak merasa bersalah sama sekali. “Be
Haven terdiam bukannya ingin menolak keinginan Gaby. Melainkan tidak fokus karena Gaby yang begitu cantik di matanya. Wajah cerah dan natural perempuan itu seolah menghipnotis. “Tidak boleh?” tanya Gaby pada Haven. Haven mengangguk. “Boleh my baby girl.” Gaby mengerjap. Ia panik! Ia kira Haven tidak memperbolehkannya. Karena untuk membeli satu pabrik minimal milyaran. Tapi dengan mudah pria ini menyetujuinya saja. “Aku hanya bercanda.” Gaby mengembalikan black card itu. Melepaskan diri dari kungkungan Haven. “Bye!” mengecup pelan pipi Haven. Karena ia hendak pergi ke kamar mandi. Haven menarik pinggang Gaby hingga wanita itu tidak bisa kabur darinya. “Mau ke mana Baby Girl?” tanya Haven dengan senyum miring. “Kau akan kabur setelah mempermainkanku?” tanyanya. Gaby menghela nafas. “Aku tidak mempermainkanmu.” “Aku tidak mau kamu menganggurkan kartu ini begitu saja.” Haven menaruh kartu itu di atas telapak tangan Gaby. “Pakai kartu ini untuk berbelanja
Haven masuk ke dalam kantor dengan senyum tipis. Jarang sekali bisa tersenyum seperti itu. Sebuah keajaiban. Sampai ia masuk ke dalam ruangannya. Ia menatap sebuh punggung seorang kakek. “Kenapa kakek di sini? Kenapa lagi kek?” tanya Haven memasukkan kedua tangannya di dalam saku. “Tidak sopan kamu!” kakek membalikkan tubuhnya. “Sudah banyak menemui wanita tapi kenapa semuanya kamu tolak?” tanya kakek dengan marah. Haven menghela nafas. “Sudah Haven katakan. Haven tidak berminat menjalin hubungn serius dengan wanita.” “Mau sampai kapan Haven?” tanya kakeknya. “Kamu mau jadi bujangan sampi tua? Perusahaan butuh pewaris asal kamu tahu. Bagaimana nanti jika kamu tidak punya keturunan, mau dibawa ke mana perusahaan?” kakek mendekat. “Haven akan menikah saat sudah waktunya. Tapi sekarang, Haven masih ingin sendiri dan mengurus perusahaan.” Pria itu terlihat frustasi dengan ucapan cucunya. Untung saja cucu satu-satunya. Jadi, hanya Haven yang bisa diandalkan olehnya. “Kamu…”
Datang ke sebuah acara sebagai perwakilan orang tua mereka yang sedang berlibur. Hanya sebuah acara formalitas dari saudara jauh mereka yang menikah. Mereka adalah pemilik Zea air. Tentu saja Gaby tidak datang sendiri, karena bersama kakaknya tercinta. “Kak, coba sedikit saja tersenyum.” Gaby menoel pipi kakaknya dari samping. “Coba tersenyum.” Gio hanya menatap adikny itu datar. “Pantas saja tidak ada wanita yang tertarik denganmu. Karena kau terlalu datar, tidak punya ekspresi.Gio menghela nafas. Giorgino Hendra Winston, pria tampan berusia 28 tahun. Pewaris utama Winston Corp. pria yang terkenal dingin dan pelit ekspresi. Entah apa yang menjadikannya seperti itu. Yang pasti, banyak wanita yang tergila-gila dengannya. Selain karena kaya, karena parasnya yang juga tampan sekali. Mewarisi ketampanan dan kecantikan ibu dan ayahnya. Giorgino bahkan pernah masuk ke dalam pria tampan yang berpengaruh. “Ngomong kak, ngomong.” Gabriella berdecak. “Masa mau diem-dieman.” Gio
Gaby tersenyum miring sebelum menggandeng lengan kakaknya. Gio menatap tangannya yang digandeng adiknya. “Kenapa tiba-tiba menggandengku?” Gaby tersenyum sembari mendongak. “Hanya ingin.” Mereka berdua memutuskan untuk menyapa kerabat mereka terlebih dahulu sebelum menikmati pesta. Gaby mengikuti kakaknya pergi ke manapun. Karena jujur saja ia tidak punya teman. Punya sebenarnya kalau dia mau berbasa-basi. Tapi ia tidak suka. Lebih baik mengikuti kakaknya. setidaknya jelas, dan tidak ada yang berani mengganggunya jika bersama Gio. Namun, Gaby menahan napasnya saat Gio berjabat tangan dengan seorang pria. Haven dan Gio saling berjabat tangan. Karena memang mereka saling mengenal dari bisnis. “Sudah lama aku tidak melihatmu,” ucap Haven. Gio mengangguk. “Aku jarang datang ke acara seperti ini.” Haven menatap Gaby yang berada di belakang tubuh Gio. Wanita itu menggunakan dress merah, sayang sekali Gaby tidak menggunakan dress pemberiannya. Wanita itu menggunakan dress lain