Aluna melebarkan mata dengan panik. Ia menatap Andy yang berada di ambang pintu dengan mulut yang terbuka. “Andy jangan berteriak!” ucap Aluna. “Budhe…” lirih Andy. Yang terjatuh adalah sebuah kotak obat-obatan yang di bawa dari rumah. Keluarga Andy takut Aluna tidak punya obat yang lengkap sehingga menyuruh Andy untuk mengantar obat itu. “Andy…” Aluna melotot panik. “Budhe…” lirih Andy kali ini lebih keras dari sebelumnya. “1 juta!” ucap Ethan. Andy menatap Ethan dengan mata duitan. “Budhe…” ucapnya lagi tapi dengan nada yang telah dikecilkan. “2 juta!” Andy menutup bibirnya rapat-rapat. Ia tersenyum dengan senang setelah mendapatkan uang. “Paman aku mau masuk minggir!” itu suara Gio. Aluna merosot ke bawah. “Eh!” Andy tidak bisa mencegah Gio yang ingin masuk ke dalam rumah. Setelah bocah itu masuk. Gio berdiri dan hanya diam menatap kedua orang tuanya yang berada di hadapannya. “Gio..” lirih Ethan. “Mama Papa!” ucap Gio. Ethan dan Aluna saling berpan
Kesungguhan dan keseriusan Ethan diterima oleh nenek Aluna Namun, sebelum itu Ethan diajak ke sebuah tempat. Demi apapun, Ethan tidak bisa menebak ia akan dibawa ke mana. Ia tidak bisa menebak keluarga Aluna. Ethan mendesah lelah saat harus menyebrangi sebuah sungai kecil. Namun ia segera menutup mulutnya rapat setelah mendapat tatapan dari nenek Aluna. “Laki-laki itu harus kuat…” lirih Nenek Aluna yang berjalan lebih dulu. Wanita tua yang benar-benar kuat dengan tubuh yang mulai renta. Ethan tidak tahu apa rahasianya. Padahal ia sendiri sering gym. Tapi kenapa tubuhnya masih kalah kuat dengan nenek Aluna. “Iya, nek..” balas Ethan pasrah. “Aluna itu cucu satu-satunya nenek. Nenek sangat sedih waktu dulu Aluna pulang dalam keadaan hamil.” “Apalagi Aluna tidak mau memberitahu siapa laki-laki itu. Aluna memohon untuk bisa merawat anaknya sendiri….” Ethan baru saja ingin membantu nenek Aluna untuk berjalan ke jalan yang menanjak. Tapi nyatanya nenek Aluna memang
21++Aluna tertawa. “Tidak ada yang menyukaiku di sini.” “Kenapa?” tanya Ethan sembari merengkuh pinggang Aluna. “Karena aku punya anak.. dan imageku di desa ini tidak bagus.” Ethan mendesis. “Sial…” umpatnya. “Orang di sini banyak menghinamu.” “Tapi..” Ethan mengusap dahi Aluna. “Tapi orang-orang tidak berani mendekatimu. Aku bersyukur tentang hal itu.” Aluna menatap wajah Ethan. “Wajah kamu semakin kusam,” ujarnya. Bagaimana tidak kusam. Sudah beberapa hari di sini pekerjaannya di bawah sinar matahari. Sekarang punya kesibukan lagi, berlatih seharian penuh. “Bukankah aku semakin terlihat manly?” Ethan memerkan kulit tangannya yang mulai menggelap. “Kulitku terlihat lebih gelap.” Aluna tertawa pelan. “Aku tahu. Tapi itu tidak akan berlangsung lama. Kulit tubuhmu akan kembali memutih..” “Aku tidak peduli Aluna.” Ethan menatap Aluna. Mengusap bibir bawah Aluna yang begitu menggoda. “Aku akan melakukan semuanya asal kalian bisa bersamaku.” Mengusap pipi Aluna pelan
Hampir dua minggu Ethan berada di kampung Aluna. Untung sja ia gampang menyerap ilmu bela diri. Ditambah ia juga pernah mengikuti kelas taekwondo untuk waktu yang lama. Nenek Aluna sendiri yang mengetes kemampuan Ethan. Walaupun, hampir seluruh tubuh Ethan terkena pukulan nenek Aluna. Tapi ternyata Ethan lolos juga. “Kalian boleh menikah asalkan mendapatkan restu keluarga Ethan.” itu pesan dari Linda pada Ethan dan Aluna. Untuk itu mereka harus mendapatkan restu orang tua Ethan dahulu. Ethan dan Aluna akan ke ke kota untuk bertemu orang tua Ethan. Ethan sedang mengemasi barang-barang pentingnya. Ia tidak akan membawa apapun untuk kembali. “Baju-bajumu, Mas? Kau tidak membawanya?” tanya Andy mengamati Ethan yang hanya memasukkan dompet ke dalam tas slempang. “Tidak, kau bisa mengambilnya,” balas Ethan. Andy menganga. Padahal baju-baju itu baru dibeli di pasar. Dan jumlahnya banyak karena Ethan langsung membeli saja tidak melihat harganya. “Orang kaya memang tidak d
Setidaknya membutuhkan waktu 7 jam untuk sampai di kota. Setelah sampai, Ethan menggendong Gio yang sedang tertidur. Ia sudah menyiapkan kamar khusus anaknya di rumahnya. Aluna juga sangat mengantuk. Ia langsung pergi ke kamar Ethan. Langsung merebahkan dirinya di atas kasur Ethan yang empuk. Aluna memejamkan mata—baru saja akan terlelap dalam mimpinya. Tubuhnya di seret ke samping dan dipeluk. Puncak kepalanya di cium beberapa kali. “Aku mengantuk Ethan..” lirih Aluna sudah memejamkan mata. Ethan mengangguk. “Aku tahu..” Tapi bukannya membiarkan Aluna tidur, Ethan malah mengusap wajahnya di leher Aluna. Mencium dengan gemas leher Aluna. “Ethan..” geram Aluna. Bagaimana bisa tidur jika lehernya terus dicium dan dihisap sesuka hati. Aluna membuka mata dan mendongak. “Kapan bertemu dengan keluargamu?” “Nanti, aku belum memberitahu mereka.” Aluna mengangguk. Masuk ke dalam pelukan Ethan. Ia menyandarkan kepalanya di dada Ethan. “Selama ini Gio masih suka kambu
Menyenangkan juga pagi-pagi melihat pemandangan Ethan yang memandikan Gio. Aluna memandang Ethan dan Gio yang berada di dalam bathup. Mereka berdua bermain air layaknya anak seumuran. Lihatlah Ethan. Pria itu nampak begitu senang bermain bebek-bebek yang berjalan di atas air. “Papa aku tidak mau bermain itu!” Gio menunjuk bebek. “Kenapa? Ini lucu Gio!” Ethan mengangkat bebek itu. “Itu untuk anak-anak. Gio tidak suka Papa!” Gio menggeleng dengan bibir yang mengerucut lucu. “Kamu masih kecil. Siapa bilang kamu sudah besar?” Ethan akhirnya menyingkirkan bebek yang lucu. Sayang sekali padahal lucu sekali karena warnanya merah, kuning dan ungu. Padahal ia suka, kenapa malah anaknya yang tidak suka. “Terus mau main apa?” “Tembak!” Gio menembak Ethan dengan tembakan air. Ethan memejamkan mata. Membiarkan anaknya menyemprotkan air itu di wajahnya. Baru kali ini seorang Ethan mau mengalah dengan pasrah lagi. Ethan membuka mata saat Gio tertawa dengan begitu senang.
Hari yang ditunggu datang. Bukan ditunggu, tapi Aluna menantikannya. Dan jantungnya tidak berhenti berdetak semenjak berada di mobil. Sedangkan anaknya duduk dengan rapi di tengah-tengah antara dirinya dan Ethan. “Aluna,” panggil Ethan. Mengambil tangan Aluna dan menggenggamnya pelan. “Jangan kawatir, aku tidak akan membiarkan mereka menyakiti kalian.” Aluna mengangguk pelan. Aluna dan Ethan berjalan dengan Gio yang berada di tengah mereka. Untungnya bocah itu memang pengertian dan cerdas. Gio diam dan mengikuti orang tuanya saja. Sampai di restoran. Dua orang sudah duduk dengan santai di sebuah bangku. Margaret menatap Aluna.. lalu pandangannya berpusat pada seorang anak kecil yang berada di antara mereka. Tiba-tiba ia menjadi diam dan tidak berkata-kata. Karena bocah itu sungguh mirip dengan Ethan saat kecil. Peter dan Margaret berdiri saat Ethan dan Aluna sudah sampai di hadapan mereka. “Aku ingin mengenalkan Aluna dan Gio pada kalian secara resmi.” Etha
“Apa kamu yakin kalau kita akan menikah—” “Tentu saja aku yakin. Memangnya kamu tidak ingin menikah denganku? Ada pilihan pria lain selain aku?” Ethan yang tiba-tiba cerewet. Padahal Aluna belum selesai bertanya. Aluna menatap sinis Ethan. Pria itu sudah berjalan lebih dulu sembari menggendong anak mereka yang sudah tertidur. Punggung lebar pria itu menghilang lebih dulu. Aluna tidak memeriksa Gio lagi karena Ethan pasti sudah memastikan anak mereka tdiur dengan nyaman. Aluna merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Menatap langit kamar yang terasa semakin gelap saja segelap aura pemiliknya. Aluna menatap Ethan yang mengunci dengan rapat pintu. “Kenapa dikunci begitu rapat?” heran sekali. “Seperti sedang mengunci kandang saja.” “Memang,” balas Ethan. Berbalik dengan tatapan yang sulit dijelaskan. Namun hanya Aluna yang tahu tatapan itu. “Supaya…” Ethan melangkah mendekat. Aluna menyipitkan mata. Ethan seperti seekor singa yang sedang mengintai mangsanya. dan dialah yang mnej
Sebuah rumah mewah yang nampak sepi dari luar. Namun ada banyak mobil sport yang terparkir di halaman. Aiden keluar dari taksi. Apakah pakaiannya pantas pergi ke pesta? Ia hanya menggunakan celana pendek dan jersey timnya. Tidak masalah.. Aiden akan masuk sebentar dan kalau tidak asik ia akan segera pulang. Aiden akhirnya masuk ke dalam. Musik yang menggema. Lampu yang redup dan ada lampu kelap-kelip. Seperti klub yang ia lihat di video pendek ponselnya. “Aiden!” seorang laki-laki mendekat Aiden. Laki-laki itu membawa satu gelas yang terisi oleh cairan… “Waaah pangeran Winston datang ke sini..” Aiden tidak tahu siapa nama laki-laki ini. namun sepertinya memang teman sekelasnya. “Apa aku tidak boleh datang ke sini?” tanya Aiden. Hanya memastikan jika dirinya tidak masalah jika datang ke tempat ini. “Tentu saja boleh bro!” lelaki itu memeluk Aiden. “Kau ingat aku kan?” tanyanya. Aiden hanya diam. kemudian mengernyit tidak yakin. “Baiklah…” lelaki itu meng
“Minta maaf pada Mom.” Aiden menunduk sebentar. “Aiden minta maaf mom.” Setelah meminta maaf, Aiden keluar dari mobil. “Aiden kamu mau ke mana?” teriak Agatha panik. “Biar saja..” lirih Gio. Mereka berdua menatap Aiden yang berjalan sendiri kemudian mencegat taksi. Agatha menghela napas. “Jangan terlalu keras dengannya…” lirihnya. “Tapi dia membentak kamu.” Gio menatap Agatha. “Meskipun dia anakku, aku tidak akan rela istriku dibentak atau diteriaki..” Gio menoleh. “Aku saja tidak pernah membentak kamu dan tidak akan pernah. Jadi aku tidak akan membiarkan anak kita melakukan hal itu… Agatha mendekat kemudian memeluk Gio. “Aku hanya takut dia marah pada kita.” Gio mengusap pelan bahu Agatha. “Biar saja marah. Dia memang berhak marah. Aku juga tahu kesalahanku.” Agatha tidak bisa melihat taksi yang membawa anaknya lagi. “Apa dia membawa uang?” tanya Agatha. “Aku takut kalau dia tidak bawa uang untuk membayar taksi.” “Dia membawa ponsel. Aku selalu mengisi penu
Extra Part 3 GOOAL! Aiden berlari dan memeluk temannya yang berhasil mencatak gol. Di saat ia bergembira—ia menolak ke arah tribun. Tidak ada orang tuanya… Aiden mendadak lemas… Tidak ada semangat. Ia menjauh dari teman-temannya yang masih merayakan gol tersebut. Aiden berjalan dengan lesu ke arah ruang ganti pemain. Pelatih yang melihatnya langsung mengejar Aiden. “Aiden kamu kenapa?” tanya pelatih yang heran dengan Aiden. Aiden menggeleng. anak itu menunduk—membuka loker dan mengambil satu handuk. “Apa yang terjadi?” tanya pelatih. “Permainanmu tadi bagus..” pelatih itu memeluk Aiden. Kemudian menepuk pelan bahu Aiden. “Orang tuaku…” Aiden duduk. “Orang tuaku datang menonton tapi mereka tetap sibuk…” “Dari dulu sering seperti itu..” Aiden menghela napas panjang. Bahkan teman-teman satu timnya yang baru saja masuk saja sampai bingung melilhat Aiden. “Aku ingin pulang.” Aiden berjalan membawa tasnya. “Kita maka bersama supaya sedih kamu
Extra Part 2 5 tahun kemudian… Tidak banyak yang berubah. Tapi, orang tua Aiden berusaha untuk meluangkan waktu untuk putranya. Setiap satu bulan sekali mereka biasanya menghabiskan waktu bersama pergi ke sebuah tempat.. Lalu, mereka juga datang ke pertandingan. Seperti saat ini. Pertandingan di mulai. Gio dan Agatha berada di tribun untuk menyaksikan putranya yang bertanding. “Bukankah dia sangat tampan…” lirih Agatha. Kagum dengan anaknya sendiri. memuji anaknya sendiri. Agatha menoleh—banyak perempuan yang datang. Mereka berteriak mendukung Aiden. “Dia punya banyak penggemar..” Agatha menggeleng pelan. “Pesona anakku akan sulit ditolak perempuan. Aku harap dia tidak menjadi pemain perempuan di masa depan.” Gio mengangguk setuju dengan ucapan istrinya. “Melihat Aiden yang seperti ini. sungguh mengingatku dulu. aku juga punya banyak penggemar…” Agatha menatap Gio dari samping. “Ingat umur kamu. kamu sudah tua!” Gio menoleh. Mengusap rambutn
Extra Part 1 Agatha mendekat dan mengambil duduk di samping ranjang putranya. Melihat putranya yang kian besar. Kian dewasa… Agatha tidak tahu kalau kesibukannya membuat anaknya kurang mendapatkan perhatiannya. Agatha berusaha… Setiap hari ia berusaha agar bisa menghabiskan waktu lebih banyak dengan Aiden. Tapi, yang ia lakukan memang tidak terlalu berarti. Meski ia berusaha bekerja lebih keras agar bisa pulang lebih awal.. Tetap saja, pekerjaan lain akan datang terus menerus. “Maaf…” lirih Agatha. tangannya terulur mengusap helaian rambut Aiden pelan. Aiden terdiam… menarik selimut hingga menutupi seluruh tubuhnya. Tidak membiarkan ibunya melihat wajahnya. Agatha tersenyum tipis. “Maaf sayang…” “Mom akan berusaha lagi pulang lebih awal dan memperhatikan kamu.” Agatha menghela napas. “Kapan pertandingan kamu dimulai?” tanya Agatha. “Mom akan datang bersama Dad..” Aiden menarik turun selimutnya. “Tidak usah berjanji jika Mom tidak pernah bisa
10 tahun berlalu. Yang menjadi kekawatiran Gio tidaklah terjadi. Aiden Edward Winston, seorang anak yang berusia 6 tahun. Tumbuh dengan sehat. Tanpa penyakit keturunan sedikitpun. Aiden tumbuh menjadi anak laki-laki yang sehat dan begitu menggemari sepak bola. Namun… Permasalahannya adalah…. Aiden adalah anak yang terlahir dengan sendok emas… Keluarga kaya… Bahkan harta keluarganya tidak habis tujuh turunan. Namun, yang ia rasakan seperti anak lainnya yang kesepian karena ditinggal bekerja orang tuanya. Ibu dan ayahnya selalu pulang sore. Mereka tidak punya waktu untuk sekedar mengobrol atau…. Orang tuanya membacakan dongeng atau mendengarkan ceritanya saat di sekolah. Aiden hanyalah anak biasa yang ingin selalu bersama orang tuanya. Ketika orang tuanya pulang, ia tidur. Ia baru bertemu orang tuanya keesokan paginya. Hanya sebentar, saat Dad mengantarnya ke sekolah. Waktu weekend pun, Aiden sering merasa kesepian. Meski bersama orang tuanya.
Beberapa bulan berlalu. Agatha menatap putranya yang tampan. Aiden Edward Winston. Menggendong putranya—menepuk pelan bokong bayi itu hingga tertidur. Agatha meletakkan Aiden ke dalam tempat tidur bayi. “Dia tidur?” tanya Gio yang masuk ke dalam kamar. Ia mendekat dan menunduk—tersenyum melihat putranya sedang tertidur. “Dia kecil sekali…” lirihnya. Agatha tertawa pelan. “Dia masih bayi… kalau besar ya bukan bayi namanya.” Gio memeluk Agatha dari samping. mencium pelan kening istrinya. Agatha mendongak. Ada yang ingin ia katakan pada Gio. Tapi… Ia sangat ragu mengatakannya. “Apa yang kamu pikirkan?” tanya Gio. Agatha memeluk pinggang Gio. “Apa jadinya jika aku meninggalkan perusahaan selama satu tahun?” Gio terdiam. “Kamu ingin cuti lebih lama?” tanyanya. Agatha mengangguk. “Aku ingin bersama Aiden setidaknya selama setahun. Aku tidak bisa percaya pada orang lain…” Agatha tentu saja belum bisa meninggalkan Aiden. Ia tidak bisa meninggalkan anakny
“Aarghh!” Agatha menjambak rambut Gio Gio mengernyit—berusaha menahan sakitnya tarikan Agatha pada rambutnya. Menyesal sekali karena tidak potong rambut dan membiarkan rambutnya sedikit memanjang. Agatha mengatur napasnya. Kesakitan selama perjalanan menuju rumah sakit. “Sakit..” Agatha memejamkan mata. “Tahan sayang…” Gio menunduk karena Agatha masih menggenggam rambutnya. “Sakit…” Ketika sampai di rumah sakit. Barulah Agatha melepaskan Gio. Gio menemani istrinya dengan setia. Menggenggam tangan Agatha. tidak melepaskan sedikitpun. Gio bahkan menemani Agatha ke dalam ruangan. Ia sendiri menyaksikan bagaimana Agatha melahirkan. Bagaimana istrinya berjuang mati-matian melahirkan anak mereka. “Aarggg!” teriak panjang Agatha sampai terdengar bunyi suara tangisan anak. Agatha memejamkan mata. eluruh tenaganya telah habis. Gio menatap anaknya yang masih digendong oleh dokter. Gio tidak kuasa menahan air matanya. “Bayinya prematur dan berjenis kelamin laki-la
Perut Agatha kian hari kian membesar. h-1 bulan dari tanggal prediksi melahirkan yang ditetapkan oleh dokter, Agatha memutuskan untuk mengambil cuti. Itu adalah keputusan bersama. Antara Gio dan Agatha, Gio yang memaksa agar Agatha cuti lebih awal. Ia tidak ingin Agatha sampai kenapa-kenapa jika memutuskan untuk terus bekerja. Agatha saat ini berada di dalam Mansion. Kegiatannya pun membosankan. Oh ya, untuk tugasnya sebagai pemimpin Harper telah dialihkan pada wakilnya. Wakill yang ia tunjuk sendiri dan orang yang paling ia percaya di kantor. Syukurlah ada orang yang bisa ia andalkan di kantor. Agatha mengusap perutnya pelan—saat ini ia menunggu suaminya yang tidak kunjung pulang. “Dia menyuruhku cuti tapi selalu membiarkanku sendirian di rumah…” Agatha berdecak. “Sudah jangan marah-marah…” Ibu Agatha menata makanan di atas meja. Ibu Agatha yang pergi menemui putrinya dan memutuskan untuk tinggal sampai Agatha melahirkan. Ia ingin ada dalam proses putrinya mel