Setelah perbincangan dengan Louis, Frederix semakin merasa bersalah pada sang adik. Dulu, saking sibuknya, Frederix lah yang paling jarang berinterasi dengan Louis maupun Sacha. Kini, lelaki itu berusaha mendekatkan diri dengan adik lelakinya.Keyna dan William menyarankan Frederix untuk pergi menemui Belle. Tetapi, putra sulung keluarga Dalton itu masih memikirkan perasaan sang adik. Ia berkata akan pergi, jika melihat Louis sudah berhasil move on.“Bagaimana jika ternyata kamu terlambat dan Belle sudah menjadi milik lelaki lain?” tanya Keyna.Frederix menatap ibu sambungnya dengan jantung berdebar. Lelaki itu mengembuskan napas berat dan menjawab, “Artinya Belle bukan takdir untukku.”“Itu juga bisa berarti kamu menyia-nyiakan kesempatan. Kalian berdua kemungkinan saling menyukai. Jangan membuat segalanya sulit,” nasehat William.“Lalu, Louis?”“Ada apa denganku?” Louis bertanya lalu duduk di sebelah Keyna yang memangku Princess.“Apa menurutmu, Frederix harus pergi mencari Belle?”
“Apa ada sesuatu yang istimewa di sini?” Frederix bertanya sambil ikut menatap Sungai Seine di depan mereka.Wanita di samping Frederix tersentak kaget. Matanya mengerjap dengan sering untuk mencoba menajamkan penglihatan. Belle berdehem pelan sebelum berhasil menguasai diri dari keterkejutan.“Tu-Tuan Fred?” Terbata, Belle menyapa.“Frederix. Panggil aku Frederix atau Fred saja.”“Maaf, aku …. ““Kita bukan lagi partner bisnis. Lagipula kita juga berada jauh dari perusahaan,” potong Frederix.Kepala Belle mengangguk. “Baiklah, Fred.”“Nah, lebih enak terdengar telingaku. Terima kasih.” Frederix tersenyum manis.Jantung Belle berdebar kencang. Ia menjadi sangat kikuk mendapati senyuman Frederix. Biasanya, lelaki itu hanya menerima senyum santun atau sekilas saja saat mereka bekerja.“Ada urusan bisnis di sini?” tanya Belle, mengalihkan rasa sungkannya.“Iya, ada urusan penting,” jawab Frederix.Belle mengangguk. Hatinya belum tenang mendapati sosok yang tiba-tiba muncul di sampingnya.
Berita tentang lamaran Frederix yang diterima Belle, terdengar ke telinga keluarga Dalton. Semuanya mengucapkan selamat, termasuk Cedric yang sedang berada di mansion. Setelah ikut mengucapkan selamat, diam-diam, Louis keluar dari ruang keluarga.Tentu saja ia bahagia mendapat kabar kakak sulungnya akhirnya mendapatkan calon istri. Ia hanya perlu berjalan-jalan dan menyendiri untuk beberapa saat. Kakinya melangkah pelan di sekitar taman.Louis memperhatikan pekerja taman yang sedang merawat bunga mawar. Pemuda itu meminta satu tangkai, menciumnya, lalu duduk di bangku kayu. Ia ingat pernah memberikan rangkaian bunga mawar berwarna-warni untuk Belle.“Boleh Daddy bergabung?” William tiba-tiba sudah berada di belakangnya.Tanpa menoleh, Louis tersenyum dan mengangguk. William duduk di sebelah putra bungsunya. Sang bilioner ikut memperhatikan tanaman berbunga yang sedang dipetik dan dibersihkan petugas taman.“Apa yang bisa Daddy lakukan untuk membuatmu ceria lagi, Lou?” lirih William.“
Belle menatap tangannya yang digandeng erat Frederix. Jantungnya tetap berirama kencang. Sulit sekali rasanya menormalkan debaran itu.Mereka berjalan di jembatan Sungai Saine. Salah satu tempat romantis di negara kelahiran Belle. Frederix mengangkat genggaman tangannya dan mencium jari-jari Belle."Maafkan aku jika selama ini membuatmu sedih dengan sikap dinginku," ucap Frederix."Sudah kumaafkan ... karena ini," balas Belle sambil menunjukkan jari manisnya yang tersemat cincin berlian.Frederix terkekeh. "Aku shock saat Louis berkata kalian berkencan.""Itu hanya bualan Louis. Aku tau ia hanya bercanda. Kalian berdua memang sangat berbeda, ya."Frederix mengembuskan napas berat. Andai Belle tau bahwa sesungguhnya Louis memang sesungguhnya berharap. Mungkin, ia tidak akan sesantai ini."Sikap kami?""Iya. Louis sangat ramah. Saat pertama bertemu dengannya, ia bersikap sangat baik.""Memangnya aku tidak baik saat pertama
Selesai makan dan kembali berbincang, Frederix pamit ke kamar mandi. Keluar dari sana, Zidane tampak bersandar pada dinding dan menunggunya. Kakak Belle itu menghampiri Frederix. “Ikut aku,” pinta Zidane. Frederix mengangguk. Lelaki itu berjalan di belakang Zidane. Mereka naik ke lantai dua, lalu masuk ke sebuah kamar. “Ini kamar Belle. Aku ingin menunjukkan sesuatu sebelum kamar ini diubah desainnya menjadi kamar pengantin kalian,” cetus Zidane. Frederix tersenyum dan mengangguk. Ruangan itu harum, rapi dan sangat bersih. Sepertinya, Belle tidak suka menempatkan banyak barang di kamarnya. Lalu, mata Frederix terpaku pada salah satu dinding. Poster dirinya pada sebuah majalah bisnis terpajang di sana. Spontan, Frederix melangkahkan kaki mendekati sisi tersebut. “Ini pojok kerja Belle. Biasanya, ia belajar dan bekerja dari sini. Kalau sedang suntuk, ia bisa hanya termenung menatap postermu berjam-jam lamanya,” ungkap Zidane. “Mungkin Belle sudah bercerita padamu bahwa ia mengido
“Kalau dilihat-lihat, Kak Fred akhir-akhir ini sering sekali tersenyum-senyum sendiri lho,” ucap Louis sambil mengamati ekspresi kakaknya.Frederix melirik tajam kepada adiknya yang langsung terkekeh. Mereka sedang membahas berbagai proyek kerjasama. Rasanya ia cukup serius membaca berbagai berkas di mejanya.“Jangan menggodaku terus, Lou.”“Yaa makanya jangan senyum-senyum sendiri begitu. Aku sih, paham karena Kak Fred sedang jatuh cinta. Tetapi, orang lain ‘kan tidak tau. Mereka pasti berpikir Kakak agak-agak gila sekarang.”“Louis!” Kini mata Frederix membulat sempurna.Dengan santai, Louis meledakkan tawanya. Pemuda itu membereskan beberapa berkas di meja Frederix. Lalu, menatanya sesuai dengan kategori yang mereka sepakati bersama.“By the way, Kak, Aku bertemu Ariana di klub minggu lalu.”“Oh.” Frederix tampak tidak tertarik pada berita yang disampaikan sang adik.“Menurutku, sebaiknya Kak Fred cepat-cepat mengumumkan bahwa Kakak sudah memiliki tunangan.”“Memang kenapa? Sebenar
Frederix menatap sang adik. Kenapa Lou? Kenapa kamu sangat sering mengalah? Bahkan kali ini kamu juga bersedia menyingkirkan cita-cita untuk Daddy mereka.“Kenapa? Kamu takut Daddy marah?”“Daddy pasti tidak marah, tetapi kecewa. Iya ‘kan?” jawab Louis.“Ini bagian dari cita-citamu, Lou. Kamu harus mengejarnya.”“Aku berniat begitu, Kak. Sebelum aku berumah-tangga, aku ingin sudah memiliki usaha yang bisa aku banggakan, seperti Daddy dan Kak Fred."Mungkin ini adalah salah satu gen yang mereka bawa dari William. Berusaha keras membangun usaha sendiri. Frederix dan Sacha memang sudah memulainya. Sementara Louis, pemuda itu memulai bukan dari bisnis melainkan dari bakat dan kegemarannya.Frederix meletakkan map itu di meja. Tubuhnya menyamping menghadap sang adik. Kedua tangannya kini memegang bahu Louis.“Aku akan mendukungmu, Lou. Aku juga yakin Daddy akan begitu,” tegas Frederix.“Benarkah?” Mata Louis berbinar antara haru dan bahagia.“Iya. Dan kamu belajar dengan sangat baik. Propo
“Tuan William.”“Tuan Philippe.”William dan Philippe saling menyapa dan berjabatan tangan. Setelahnya mereka berangkulan sekilas. Frederix mengantar William ke hotel sembari ia menjemput Belle.“Kita duduk dan mengobrol di restoran?” ajak Philippe.“Mari.” William mempersilahkan.Frederix dan Belle berpamitan. Mereka melambaikan tangan dan meninggalkan William dan Philippe. Bergandengan tangan keduanya masuk ke dalam mobil mewah dengan supir keluarga Dalton.“Akhirnya aku bertemu dengan Anda, Tuan William. Luar biasa,” puji Philippe. “Biasanya saya hanya melihat Anda melalui layar televisi atau majalah.”“Jangan berlebihan. Anda juga cukup terkenal, bukan?”“Di negara saya, iya. Saya bahkan baru merambah luar negeri saat bekerja sama dengan perusahaan Frederix.”William mengangguk. Perusahaan Philippe di negaranya memang cukup besar dan terkenal. Namun Philippe mengaku tidak memiliki cabang di negara mana pun.“Bagaimana setelah mengembangkan usaha hingga ke negara ini?” tanya Willia