Belle menatap tangannya yang digandeng erat Frederix. Jantungnya tetap berirama kencang. Sulit sekali rasanya menormalkan debaran itu.Mereka berjalan di jembatan Sungai Saine. Salah satu tempat romantis di negara kelahiran Belle. Frederix mengangkat genggaman tangannya dan mencium jari-jari Belle."Maafkan aku jika selama ini membuatmu sedih dengan sikap dinginku," ucap Frederix."Sudah kumaafkan ... karena ini," balas Belle sambil menunjukkan jari manisnya yang tersemat cincin berlian.Frederix terkekeh. "Aku shock saat Louis berkata kalian berkencan.""Itu hanya bualan Louis. Aku tau ia hanya bercanda. Kalian berdua memang sangat berbeda, ya."Frederix mengembuskan napas berat. Andai Belle tau bahwa sesungguhnya Louis memang sesungguhnya berharap. Mungkin, ia tidak akan sesantai ini."Sikap kami?""Iya. Louis sangat ramah. Saat pertama bertemu dengannya, ia bersikap sangat baik.""Memangnya aku tidak baik saat pertama
Selesai makan dan kembali berbincang, Frederix pamit ke kamar mandi. Keluar dari sana, Zidane tampak bersandar pada dinding dan menunggunya. Kakak Belle itu menghampiri Frederix. “Ikut aku,” pinta Zidane. Frederix mengangguk. Lelaki itu berjalan di belakang Zidane. Mereka naik ke lantai dua, lalu masuk ke sebuah kamar. “Ini kamar Belle. Aku ingin menunjukkan sesuatu sebelum kamar ini diubah desainnya menjadi kamar pengantin kalian,” cetus Zidane. Frederix tersenyum dan mengangguk. Ruangan itu harum, rapi dan sangat bersih. Sepertinya, Belle tidak suka menempatkan banyak barang di kamarnya. Lalu, mata Frederix terpaku pada salah satu dinding. Poster dirinya pada sebuah majalah bisnis terpajang di sana. Spontan, Frederix melangkahkan kaki mendekati sisi tersebut. “Ini pojok kerja Belle. Biasanya, ia belajar dan bekerja dari sini. Kalau sedang suntuk, ia bisa hanya termenung menatap postermu berjam-jam lamanya,” ungkap Zidane. “Mungkin Belle sudah bercerita padamu bahwa ia mengido
“Kalau dilihat-lihat, Kak Fred akhir-akhir ini sering sekali tersenyum-senyum sendiri lho,” ucap Louis sambil mengamati ekspresi kakaknya.Frederix melirik tajam kepada adiknya yang langsung terkekeh. Mereka sedang membahas berbagai proyek kerjasama. Rasanya ia cukup serius membaca berbagai berkas di mejanya.“Jangan menggodaku terus, Lou.”“Yaa makanya jangan senyum-senyum sendiri begitu. Aku sih, paham karena Kak Fred sedang jatuh cinta. Tetapi, orang lain ‘kan tidak tau. Mereka pasti berpikir Kakak agak-agak gila sekarang.”“Louis!” Kini mata Frederix membulat sempurna.Dengan santai, Louis meledakkan tawanya. Pemuda itu membereskan beberapa berkas di meja Frederix. Lalu, menatanya sesuai dengan kategori yang mereka sepakati bersama.“By the way, Kak, Aku bertemu Ariana di klub minggu lalu.”“Oh.” Frederix tampak tidak tertarik pada berita yang disampaikan sang adik.“Menurutku, sebaiknya Kak Fred cepat-cepat mengumumkan bahwa Kakak sudah memiliki tunangan.”“Memang kenapa? Sebenar
Frederix menatap sang adik. Kenapa Lou? Kenapa kamu sangat sering mengalah? Bahkan kali ini kamu juga bersedia menyingkirkan cita-cita untuk Daddy mereka.“Kenapa? Kamu takut Daddy marah?”“Daddy pasti tidak marah, tetapi kecewa. Iya ‘kan?” jawab Louis.“Ini bagian dari cita-citamu, Lou. Kamu harus mengejarnya.”“Aku berniat begitu, Kak. Sebelum aku berumah-tangga, aku ingin sudah memiliki usaha yang bisa aku banggakan, seperti Daddy dan Kak Fred."Mungkin ini adalah salah satu gen yang mereka bawa dari William. Berusaha keras membangun usaha sendiri. Frederix dan Sacha memang sudah memulainya. Sementara Louis, pemuda itu memulai bukan dari bisnis melainkan dari bakat dan kegemarannya.Frederix meletakkan map itu di meja. Tubuhnya menyamping menghadap sang adik. Kedua tangannya kini memegang bahu Louis.“Aku akan mendukungmu, Lou. Aku juga yakin Daddy akan begitu,” tegas Frederix.“Benarkah?” Mata Louis berbinar antara haru dan bahagia.“Iya. Dan kamu belajar dengan sangat baik. Propo
“Tuan William.”“Tuan Philippe.”William dan Philippe saling menyapa dan berjabatan tangan. Setelahnya mereka berangkulan sekilas. Frederix mengantar William ke hotel sembari ia menjemput Belle.“Kita duduk dan mengobrol di restoran?” ajak Philippe.“Mari.” William mempersilahkan.Frederix dan Belle berpamitan. Mereka melambaikan tangan dan meninggalkan William dan Philippe. Bergandengan tangan keduanya masuk ke dalam mobil mewah dengan supir keluarga Dalton.“Akhirnya aku bertemu dengan Anda, Tuan William. Luar biasa,” puji Philippe. “Biasanya saya hanya melihat Anda melalui layar televisi atau majalah.”“Jangan berlebihan. Anda juga cukup terkenal, bukan?”“Di negara saya, iya. Saya bahkan baru merambah luar negeri saat bekerja sama dengan perusahaan Frederix.”William mengangguk. Perusahaan Philippe di negaranya memang cukup besar dan terkenal. Namun Philippe mengaku tidak memiliki cabang di negara mana pun.“Bagaimana setelah mengembangkan usaha hingga ke negara ini?” tanya Willia
Saat pandangan semua orang tertuju pada Ariana, dengan cepat Belle berusaha membantu Ariana. Bibirnya tersenyum penuh arti pada Ariana yang kini tampak sangat malu. Ia bahkan tidak berani menatap orang-orang yang berbisik-bisik pelan di sekitar mereka.Untungnya, saat itu para tamu memang telah banyak yang pulang. Hanya ada beberapa teman mempelai yang masih mengobrol.“Jangan mempermalukan dirimu sendiri, Ariana,” ujar Belle seraya menepuk-nepuk bahu Ariana.“Sok baik hati. Kamu akan menangis jika Frederix meninggalkanmu dan kembali padaku.”“Kalau ternyata Frederix tidak meninggalkanku tetapi malah benar-benar menikahiku, kamu dong yang menangis?” sindir Belle.“Kurang ajar!” Tangan Ariana sudah terangkat tinggi namun Belle berhasil menangkapnya sebelum telapak tangan itu mendarat di pipi mulusnya.Jelas perilaku Ariana ditonton banyak orang. Tidak ada yang melerai. Mereka malah mengompori Belle untuk membalas.Frederix datang tergopoh. Lelaki itu berdiri di depan Belle, lalu menata
“Mana Princess, sayang?” tanya Keyna saat William menjemputnya seorang diri.“Princess sudah dijemput Sacha tadi di kantor,” jawab William.“Oh. Tumben Sacha menjemput? Tidak menunggu Cedric praktek.”“Kalau itu aku tidak tau, Baby. Aku tidak bertanya tentang Cedric.”Keyna melirik suaminya. Meski telah terbiasa dengan kehadiran Cedric di tengah-tengah keluarga Dalton, William masih sering malas membicarakan lelaki tersebut. Padahal, Keyna tau dalam hati William, ia pasti sudah merestui hubungan Sacha dengan mantan kekasihnya itu.Mobil yang membawa mereka kembali ke mansion dikawal ketat. Perjalanan jadi lebih cepat karena pengawal membuka jalan di kepadatan lalu lintas. Keyna sampai mengerutkan kening.“Apa kita sedang terburu-buru? Kenapa sampai meminta pengawal membuka jalan?” tanya Keyna heran.“Tidak apa-apa. Biar lebih cepat sampai saja,” kilah William.Bilioner itu lalu mengalihkan pembicaraan agar sang istri tidak curiga. Sebenarnya, putra-putri keluarga Dalton saat ini sedan
Keyna menatap piyama pendek miliknya. Atasan piyama itu bertuliskan ‘Mom.’ William juga mengenakan piyama yang sama, namun dengan tulisan ‘Dad.’Piyama berbahan sutera itu sangat halus dan nyaman di kulit. Keyna memeluk sang suami dan menatap wajahnya. Mereka bertatapan dan saling memberikan senyum penuh cinta.“Terima kasih, aku suka piyamanya.”“Hehe, aku juga suka.” William lalu mengeluarkan kalung dari kantung piyama.Sang bilioner memasang kalung emas putih dengan tiga liontin itu ke leher Keyna. Setelahnya, ia mencium leher Keyna dan berdiri di depan istrinya kembali. Keyna sedang memperhatikan liontin di kalungnya.Tiga liontin itu merupakan inisial nama. K, W dan P yang berarti Keyna, William, Princess. Desainnya memang sederhana namun terlihat berkelas dan elegan.“Aku tau kamu pasti tidak hanya memberikan piyama saja,” tukas Keyna.“Aku tau, kamu pasti merengut jika aku memberikanmu satu set perhiasan lagi. Tetapi, aku suka melakukannya. Jadi, aku memesan yang bisa kamu guna