“Lou!” panggil Frederix. Louis menoleh. Frederix berlari menghampirinya. Louis menunggu sang kaka mendekat. “Kenapa, Kak?” “Kamu ada agenda apa hari ini?” “Agenda hari ini?” “Ck, aku sudah lama sekali tidak mendengarmu menjawab dengan pertanyaan. Ternyata kebiasaan itu masih ada,” gerutu Frederix. “Hehe, maaf. Aku belum memiliki agenda apa-apa hari ini. Entahlah, rasanya malas sekali.” “Hmmm … kalau begitu, kamu bisa mengantarku?” Keduanya lalu berbincang sambil berjalan. Mereka menuju kamar Louis. Pemuda itu membuka pintu dan mempersilahkan kakaknya masuk. “Mengantar ke mana, Kak?” “Aku ingin bersenang-senang. Apa usulmu?” “Hah? Maksudnya?” “Kamu pasti tau tempat yang mengasyikkan. Tempat untuk kita menghibur diri.” Louis menatap lelaki di hadapannya dengan dahi berkerut. Bersenang-senang bukanlah kebiasaan Frederix. Kenapa tiba-tiba kakaknya ini ingin hiburan? Tangan Lou
Seminggu sudah Belle pergi. Frederix dan Louis menjalankan hari-hari mereka seperti biasa. Posisi Belle telah digantikan seorang lelaki dari perusahaan pusat keluarga Belle.Frederix semakin sibuk. Selain menangani beberapa proyek besar, ia juga kerapkali diundang menjadi narasumber. Beberapa universitas ternama memintanya memberikan motivasi bagi mahasiswa-mahasiswi jurusan bisnis dan ekonomi.“Lou, tolong tangani proyek ini dulu, ya. Aku harus menghadiri seminar.”“Oke. Seminar di universitas Kak Cha, ya?”“Iya. Aku siap-siap sekarang. Jalanan agak padat sepertinya.”“Kak Fred pakai supir, ‘kan?”“Daddy bilang supir dan pengawal sudah siap.”“Wuiih. Daddy kita memang sangat sigap.”“Kamu salah. Daddy bilang, Keyna yang mengatur semuanya.”“Hah? Keyna? Wah, wah, ibu tiri kita itu sudah mulai paham kebiasaan keluarga kita,” kekeh Louis.Frederix mengangguk. Ia mengenakan jasnya. Lalu, mengencangkan dasinya.“Jangan lama-lama menyelesaikan berkas itu. Kamu harus jemput Keyna ‘kan?”“Iy
Keyna menyusui Princess sambil berpikir keras. Wanita itu tak sadar sang suami juga mengamatinya. William duduk di samping sang istri lalu mengelus punggungnya.“Ada apa, Baby? Lelah, ya? Louis bilang pasienmu banyak lagi hari ini,” cetus William.Keyna tersenyum dan mengangguk. “Memang lelah, tetapi aku senang. Bisa membantu banyak orang.”Mulut Princess berhenti mengisap. Ia seperti mendengarkan kedua orang tuanya bercakap-cakap. Tak lama kemudian, bayi kecil itu kembali mengisap ASI dan memejamkan mata.“Princess juga mendapat banyak tamu hari ini di kantor,” ucap William pelan sambil mengusap dahi sang putri dengan ibu jarinya.“Oh ya? Tumben kamu mengizinkan Princess bertemu banyak orang,” balas Keyna keheranan.“Tentu tidak. Mereka hanya melihat dari luar jendela.”“Ya Tuhan.” Keyna menggeleng-geleng.“Tamu-tamu itu mengerti.”“Princess baik-baik saja hari ini? Tidak rewel, ‘kan?”“Sama sekali tidak. Bahkan aku mengajaknya meeting bersama para direktur.”Keyna menoleh dan menata
Setelah perbincangan dengan Louis, Frederix semakin merasa bersalah pada sang adik. Dulu, saking sibuknya, Frederix lah yang paling jarang berinterasi dengan Louis maupun Sacha. Kini, lelaki itu berusaha mendekatkan diri dengan adik lelakinya.Keyna dan William menyarankan Frederix untuk pergi menemui Belle. Tetapi, putra sulung keluarga Dalton itu masih memikirkan perasaan sang adik. Ia berkata akan pergi, jika melihat Louis sudah berhasil move on.“Bagaimana jika ternyata kamu terlambat dan Belle sudah menjadi milik lelaki lain?” tanya Keyna.Frederix menatap ibu sambungnya dengan jantung berdebar. Lelaki itu mengembuskan napas berat dan menjawab, “Artinya Belle bukan takdir untukku.”“Itu juga bisa berarti kamu menyia-nyiakan kesempatan. Kalian berdua kemungkinan saling menyukai. Jangan membuat segalanya sulit,” nasehat William.“Lalu, Louis?”“Ada apa denganku?” Louis bertanya lalu duduk di sebelah Keyna yang memangku Princess.“Apa menurutmu, Frederix harus pergi mencari Belle?”
“Apa ada sesuatu yang istimewa di sini?” Frederix bertanya sambil ikut menatap Sungai Seine di depan mereka.Wanita di samping Frederix tersentak kaget. Matanya mengerjap dengan sering untuk mencoba menajamkan penglihatan. Belle berdehem pelan sebelum berhasil menguasai diri dari keterkejutan.“Tu-Tuan Fred?” Terbata, Belle menyapa.“Frederix. Panggil aku Frederix atau Fred saja.”“Maaf, aku …. ““Kita bukan lagi partner bisnis. Lagipula kita juga berada jauh dari perusahaan,” potong Frederix.Kepala Belle mengangguk. “Baiklah, Fred.”“Nah, lebih enak terdengar telingaku. Terima kasih.” Frederix tersenyum manis.Jantung Belle berdebar kencang. Ia menjadi sangat kikuk mendapati senyuman Frederix. Biasanya, lelaki itu hanya menerima senyum santun atau sekilas saja saat mereka bekerja.“Ada urusan bisnis di sini?” tanya Belle, mengalihkan rasa sungkannya.“Iya, ada urusan penting,” jawab Frederix.Belle mengangguk. Hatinya belum tenang mendapati sosok yang tiba-tiba muncul di sampingnya.
Berita tentang lamaran Frederix yang diterima Belle, terdengar ke telinga keluarga Dalton. Semuanya mengucapkan selamat, termasuk Cedric yang sedang berada di mansion. Setelah ikut mengucapkan selamat, diam-diam, Louis keluar dari ruang keluarga.Tentu saja ia bahagia mendapat kabar kakak sulungnya akhirnya mendapatkan calon istri. Ia hanya perlu berjalan-jalan dan menyendiri untuk beberapa saat. Kakinya melangkah pelan di sekitar taman.Louis memperhatikan pekerja taman yang sedang merawat bunga mawar. Pemuda itu meminta satu tangkai, menciumnya, lalu duduk di bangku kayu. Ia ingat pernah memberikan rangkaian bunga mawar berwarna-warni untuk Belle.“Boleh Daddy bergabung?” William tiba-tiba sudah berada di belakangnya.Tanpa menoleh, Louis tersenyum dan mengangguk. William duduk di sebelah putra bungsunya. Sang bilioner ikut memperhatikan tanaman berbunga yang sedang dipetik dan dibersihkan petugas taman.“Apa yang bisa Daddy lakukan untuk membuatmu ceria lagi, Lou?” lirih William.“
Belle menatap tangannya yang digandeng erat Frederix. Jantungnya tetap berirama kencang. Sulit sekali rasanya menormalkan debaran itu.Mereka berjalan di jembatan Sungai Saine. Salah satu tempat romantis di negara kelahiran Belle. Frederix mengangkat genggaman tangannya dan mencium jari-jari Belle."Maafkan aku jika selama ini membuatmu sedih dengan sikap dinginku," ucap Frederix."Sudah kumaafkan ... karena ini," balas Belle sambil menunjukkan jari manisnya yang tersemat cincin berlian.Frederix terkekeh. "Aku shock saat Louis berkata kalian berkencan.""Itu hanya bualan Louis. Aku tau ia hanya bercanda. Kalian berdua memang sangat berbeda, ya."Frederix mengembuskan napas berat. Andai Belle tau bahwa sesungguhnya Louis memang sesungguhnya berharap. Mungkin, ia tidak akan sesantai ini."Sikap kami?""Iya. Louis sangat ramah. Saat pertama bertemu dengannya, ia bersikap sangat baik.""Memangnya aku tidak baik saat pertama
Selesai makan dan kembali berbincang, Frederix pamit ke kamar mandi. Keluar dari sana, Zidane tampak bersandar pada dinding dan menunggunya. Kakak Belle itu menghampiri Frederix. “Ikut aku,” pinta Zidane. Frederix mengangguk. Lelaki itu berjalan di belakang Zidane. Mereka naik ke lantai dua, lalu masuk ke sebuah kamar. “Ini kamar Belle. Aku ingin menunjukkan sesuatu sebelum kamar ini diubah desainnya menjadi kamar pengantin kalian,” cetus Zidane. Frederix tersenyum dan mengangguk. Ruangan itu harum, rapi dan sangat bersih. Sepertinya, Belle tidak suka menempatkan banyak barang di kamarnya. Lalu, mata Frederix terpaku pada salah satu dinding. Poster dirinya pada sebuah majalah bisnis terpajang di sana. Spontan, Frederix melangkahkan kaki mendekati sisi tersebut. “Ini pojok kerja Belle. Biasanya, ia belajar dan bekerja dari sini. Kalau sedang suntuk, ia bisa hanya termenung menatap postermu berjam-jam lamanya,” ungkap Zidane. “Mungkin Belle sudah bercerita padamu bahwa ia mengido