Teriakan anak kecil itu menghentikan tangan wanita yang sudah akan membuka pagar. “Maaf, sebentar, ya. Biar saya bicara dengan anak-anak dulu.”Keyna tersenyum memaklumi. Kepalanya mengangguk menanggapi pernyataan wanita tersebut. Ia memperhatikan wanita itu akhirnya berbicara pada anak yang paling besar.Wanita itu kembali ke pagar. Ia membuka pintu dan mempersilahkan Keyna masuk. Begitu kakinya melangkah, lutut Keyna terasa lemas bisa kembali ke rumah ini lagi.“Kakak bukan orang asing?” tanya anak lelaki di depan pintu.“Bicara yang sopan, Max,” tegur ibunya.“Tidak apa, Nyonya.” Keyna sekali lagi memberikan senyum penuh pengertian.Anak lelaki itu masih menghadang pintu masuk. Keyna terkekeh melihat tingkahnya. Hingga ibu anak tersebut mendorong sedikit putranya agar Keyna bisa masuk.Namun, Keyna segera berjongkok di depan anak lelaki tersebut. “Nama kamu Max?” tanya Keyna.Max mengangguk.“Nama kakak, Keyna. Kamu boleh panggil Kak Key. Kakak dulu pernah tinggal di sini bersama o
“Kamu sudah menikah?” sentak Cedric terkejut. Spontan mata lelaki itu menatap jari manis Keyna yang memang terselip sebuah cincin bermata berlian.Entah mengapa, sejak kembali ke kota kelahirannya, Keyna ingin memakai cincin pernikahan tersebut. Cincin bermata berlian yang diberikan William saat pernikahan singkat mereka. Bahkan, sebelumnya cincin itu tidak pernah ia gunakan.William tidak pernah menanyakan perihal cincin tersebut. Selama ia bersama suaminya, tidak sekali pun William memintanya memakai cincin pernikahan mereka. Hingga, Keyna hanya menyimpan benda berharga itu di kotak perhiasan.“Siapa dia?” Nada suara Cedric terdengar getir.“Kamu tidak mengenalnya. Kami bertemu saat aku bekerja. Pertemuan singkat. Ia langsung memintaku menikahinya dan aku menerimanya.” Sekali lagi Keyna menyesali penjelasannya. Buat apa sih ia panjang lebar bercerita tentang pernikahannya dengan William.“Semudah itu? Aku tidak percaya,” ucap Cedric penuh keraguan.“Aku saja percaya kok begitu melih
“Bagaimana menurut Daddy?” tanya Fred.Saat ini mereka sedang berada di ruang kerja. Frederix membawa banyak pekerjaan ke mansion. Berharap dengan bekerja, William bisa teralihkan pikirannya.“Dad? Bagaimana?” ulang Fred saat tidak mendengar jawaban.Fred mendongakkan kepalanya dari berkas yang sedang ia baca. Lelaki itu melihat Daddy-nya yang sedang menatap layar monitor laptop. Namun begitu, Fred tau tatapan itu begitu kosong.Jari-jari Fred menyentuh lengan William. “Dad? Apa Daddy mendengar pertanyaanku barusan?”William bereaksi lambat. Mata lelaki hampir setengah abad itu menatap tangan Fred. Kemudian kedua matanya menutup dengan hembusan napas panjang.“Maaf, Fred. Sepertinya Daddy perlu istirahat sekarang. Daddy mempercayai semua keputusan kepadamu.” William lalu berdiri, menepuk pundak sang putra sulung lalu keluar dari ruang kerja.Frederix hanya dapat menatap pundak Daddy-nya yang menjauh. Kepalanya menggeleng lemah melihat betapa lelaki yang dulunya merupakan sosok yang sa
“William mencarimu, Key. Ia ingin memberikan bonus akhir kontrak kalian.” “Tidak perlu, Prof. Apa yang telah William berikan padaku sudah lebih dari cukup.” “Tapi, itu sudah tercantum dalam kontrak perjanjian pernikahan kalian. Kamu berhak mendapatkannya.” “Tidak, Prof. Saya tidak mau.” “Kenapa?” “Sebelumnya, saya menerima pembayaran karena pekerjaan menjadi perawat William. Namun, jika sekarang saya mengambil bonus tersebut, saya merasa bonus itu diberikan karena saya telah tidur dengan William.” “Kau terlalu overthingking, Key!” Jaslan mendengus kasar. Kepala Keyna menggeleng-geleng. Ia tetap pada pendiriannya untuk tidak menerima uang lagi dari William. Biarlah setelah ini ia bekerja dan menghabiskan uangnya untuk membahagiakan orang lain. “Jangan keras kepala. Aku bisa berhitung bahwa keuanganmu sekarang semakin menipis karena kegiatan dermawanmu di rumah sakit ini.” “Saya senang melakukannya, Prof.” “Terserah. Uang itu memang hakmu. Bagaimana kau menghabiskannya, aku tid
Keyna menatap selebaran kertas yang dipegangnya. Dibacanya lamat-lamat pengumuman tersebut. Dengan sekali hembusan napas, wanita itu menekan nomer telepon yang tertera pada kertas itu.Hampir satu jam Keyna menelepon. Setelah itu ia berkemas. Wanita itu membawa kucingnya ke kandang dan berkendara kembali ke daerah pemakaman.Rangkaian bunga cantik mengganti rangkaian bunga yang telah layu di makam tersebut. Keyna mengusap nisan pualam sang ayah dengan penuh kasih. Matanya berair terharu.“Papa, Maaf Key tidak bisa menepati janji. Key tidak bisa membeli kembali rumah Papa dan Key tidak jadi menetap di kota ini. Key mau pergi, ya. Papa jangan marah. Key ingin ilmu yang Key miliki bermanfaat bagi orang yang membutuhkan,” ucap Keyna pada makam Papanya sambil berderai air mata.Wanita itu berdiri, lalu kembali menatap lama gundukan tanah di bawahnya. Keyna tersenyum dan mengangguk. Pelan, Keyna berjalan kembali ke mobil sewaannya.“Kak
Keyna memicingkan mata menatap lelaki kekar berpakaian hitam-hitam di depannya. Tanpa banyak bicara, lelaki tersebut menyeret Laura menjauhi Keyna. Istri Cedric itu meronta-ronta.“Lepas! Kau akan aku laporkan pada polisi karena menyakitiku,” desis Laura murka.“Dan Anda akan aku laporkan polisi juga karena telah menyakiti Nyonya Keyna,” sentak lelaki tersebut tak kalah geramnya. “Aku memiliki rekaman CCTV kejadian di lorong ini sebagai bukti bahwa Anda lah yang lebih dulu menyerang Nyonya Keyna.”Laura terdiam. Ia menepis cekalan tangan lelaki kekar itu di lengannya. Dengan angkuh, wanita itu merapikan pakaian, melirik tajam Keyna lalu segera menderap langkahnya menjauhi kamar apartemen Keyna.Lelaki itu kemudian menatap Keyna. “Kita ke rumah sakit sekarang, Nyonya.”Keyna menggeleng. “Kenapa?”“Kita harus visum luka memar Anda agar mendapatkan bukti penyiksaan yang dilakukan Nyonya Laura.”Sekali lagi Keyna menggeleng. “Tidak. Aku rasa tidak perlu. Aku memahami kecemburuannya. Terim
“Dad, kita bisa minta dihentikan penerbangannya!” teriak Frederix. Lalu, putra sulung William itu sibuk menelepon.“Dad, ayo bersiap. Kita ke bandara, ya,” ucap Sacha sambil menuntun Daddy-nya.Sementara itu, Louis juga sibuk dengan teleponnya. Ia lebih memilih memperhatikan peta pada layar telepon genggamnya. Matanya begitu fokus pada layar kecil di tangannya.“Sial!” maki Frederix.“Ada apa?” tanya Sacha.“Pesawat relawan itu adalah pesawat angkatan udara. Kita tidak mungkin membatalkan pesawat milik negara tersebut,” jawab Fred dengan nada menyesal.“Sudah kubilang kalian terlambat,” desis Jaslan.Lalu, tiba-tiba Louis menarik kursi roda dan mendudukkan William sambil berkata,”Aku bisa membawa Daddy ke bandara dalam waktu lima belas menit!”Fred segera mendorong kursi roda William. Louis telah berlari untuk mempersiapkan mobil yang akan ia gu
Keyna mengerjap-ngerjap. Matanya belum dapat sepenuhnya terbuka. Namun begitu, ia dapat melihat wajah lelaki tampan di hadapannya yang sedang tersenyum."Emm ... apa kamu tidak tidur semalaman?" tanya Keyna pada William"Tidur, kok," balas William."Bohong. Setiap aku membuka mata, kamu masih terbangun dan menatapku."Tangan William terjulur mengusap halus pipi sang istri. "Aku tidak mau tertidur.""Kenapa?""Tentu saja agar aku dapat terus menatapmu. Lagipula, jika aku terlelap, aku takut saat terbangun kamu tidak ada di sisiku.""Kalau kamu tidur, mungkin saja kamu bisa bermimpi indah karena suasana hati yang sedang bersuka cita."William mengerutkan kening lalu menggeleng pelan. "Tidak akan ada mimpi yang lebih indah dari kenyataan bisa kembali bersamamu lagi seperti ini, Key."Keyna tersenyum menatap William. Ternyata seperti ini rasanya bahagia memiliki seseorang yang mencintainya. Sekarang, ia juga merasa senang tidak berada di dalam pesawat relawan itu."Tapi, kamu harus cukup
Malam harinya, tanpa membuang waktu, William dan keluarganya bertolak ke bandara untuk pulang. Tidak ada alasan lagi bagi William untuk menetap di Pulau Chantal setelah mengetahui sang putra baik-baik saja. Mereka pun pergi tanpa berpamitan pada sang pemilik pulau. William sudah bertekad menutup semua akses komunikasi dengan Chantal maupun semua wanita. Mengingat pernyataan keras Keyna, William merinding. Sejak itu, matanya tak pernah lepas dari sang istri. Hatinya sangat tidak tenang jika mereka berjauhan. "Cha, Keyna kenapa akhir-akhir pendiam, ya?" tanya William. "Apa Keyna masih marah, ya sama Daddy?" Sacha sedang duduk di depan meja kerja sang Daddy. Menatap berkas perusahaannya yang akan bergabung dengan perusahaan Will Universe. Kini matanya mengamati wajah William yang termenung. "Daddy masih berurusan dengan ibu-ibu komite sekolah Princess? Atau masih berhubungan dengan Chantal?" "Tidak sama sekali, Cha." Akhirnya mereka berkesimpulan, Keyna memang sedang lelah saja. M
Untuk mengalihkan rasa kesal, Keyna berjalan-jalan sendirian di tepi laut. Pulau ini memang cantik dan eksotik. Gabungan antara penduduk pribumi dan modern masih sangat kentara. Namun begitu, pelayan di sekitar resort terlihat telah lebih mengenal peradaban. “Cantik, ya?” Kepala Keyna menoleh ke samping. Chantal berdiri dengan wajah menatap laut. Wanita itu menarik napas dalam-dalam menghirup udara laut dan mengembuskannya perlahan. “Mau menemaniku berkeliling?” Itu bukan sebuah ajakan, nada suara Chantal jelas menuntut Keyna untuk ikut. Tangan kanan wanita pulau itu terentang ke sisi kanan untuk memberi kode agar berjalan. Keduanya berjalan menyisiri pinggir laut. Angin hampir saja menerbangkan topi lebar yang dikenakan Keyna jika ia tidak memeganginya. Sementara Chantal dengan santai berjalan tanpa alas kaki menembus angin yang mengibarkan pakaian tipis hingga lekuk tubuhnya tampak jelas terlihat. “Aku sudah berhasil membawa peradaban modern ke pulau ini. Namun begitu, sebagai
“Baby, jangan cemberut terus. Tolong, maafkan aku,” mohon William saat mereka telah dalam pesawat.Keyna tidak menjawab. Ia sibuk menatap laptopnya dan memberikan layanan kesehatan melalui online. Bahkan saat William kembali berkata, Keyna langsung mengenakan headset hingga suara suaminya sama sekali tidak terdengar lagi.William mengembuskan napas berat. Ia tau dirinya salah. Tetapi, bukankah alasannya cukup masuk akal? Apa ini karena Keyna cemburu?Pusing memikirkan sikap istrinya, William bangkit dari duduknya. Lelaki itu mengecup puncak kepala Keyna sebelum berjalan menjauh. Ia mendatangi Princess yang sedang bermain dengan Sacha.“Kenapa Daddy meninggalkan Keyna?” tanya Sacha.“Keyna sedang konsultasi online.”“Pasti Keyna marah pada Daddy.”“Iya, sepertinya begitu.”“Kenapa Mommy marah pada Daddy?” tanya Princess.Keduanya lalu tersadar bahwa P
“Akh … kalian sudah saling kenal?” Chantal menatap Louis dan Lily bergantian.“Mmm … kami teman masa kecil, Nyonya Chantal,” balas Lily menyeringai.“Oh ya? Menarik, sangat menarik.” Mata Chantal berbinar mendengar jawaban Lily.Sementara itu, Louis masih terpana dengan pemandangan di depannya. Chantal sampai menggeleng kemudian terkekeh. Wanita itu kemudian pamit.“Baiklah. Aku tinggalkan kalian berdua untuk bernostalgia.”“Terima kasih, Nyonya Chantal," balas Lily dengan santun.Sebelum Chantal berlalu, ia menyempatkan diri mengedipkan sebelah matanya pada Louis. Wanita itu juga mengusap dada Louis dan berbisik pelan di telinga lelaki muda itu.“Mungkin ini jawaban dari rasa penasaranmu.”Louis tersentak sedikit. Kepalanya menoleh menatap kepergian Chantal. Lalu, tersadar saat Lily kembali menyapanya.“Kamu baik-baik saja?”“Entahlah. Bertemu lagi denganmu … cukup mengejutkan,” aku Louis.Kepala wanita cantik bergaun putih itu meneleng ke kanan. Bibirnya rapat namun menyunggingkan s
Pertemuan dengan Chantal, sama sekali tidak mencerahkan Louis. Wanita itu malah melenggang santai meninggalkan Louis yang masih tidak mengerti. Chantal hanya berpesan untuk menghubunginya kapan saja ia butuh.Louis menatap bayangan Chantal. Ia bisa bebas memandangi tubuh Chantal dari tampak belakang. Setelah wanita pulau itu menghilang, Louis segera keluar dari restoran.“Permisi, hari ini aku ada jadwal menyelam. Apa perlengkapan untukku sudah siap?” tanya Louis pada pegawai resort.Lelaki pribumi yang diajak bicara itu bertelanjang dada, mengenakan sarung yang panjangnya hanya sampai lutut serta pengikat kepala khas pulau. Ia tersenyum ramah dan mengangguk pada Louis.“Silahkan, Tuan Louis,” jawab si lelaki sambil mengarahkan jalan.“Apa perjalanan kita jauh?”“Tidak, Tuan. Kita akan naik kapal ke tengah laut, setelah itu Anda baru bisa turun dan menyelam.”“Ada pengawas atau pelatih yang akan menemaniku?”“Saya sendiri yang akan menemani Tuan.”Louis mengangguk. Mereka berkenalan.
“Tersesat?”Louis berhenti berjalan. Tidak ada siapa-siapa di dekatnya. Suara seksi dari arah belakang itu pasti memang menyapanya.Pemuda tampan itu membalik tubuh. Menahan napas sejenak begitu melihat sosok yang berdiri dengan senyum menggoda. Mata hitamnya mengerjap pelan.“Ehm.” Louis menjernihkan tenggorokannya. “Tersesat? Tidak. Aku memang mau berkeliling.”“Oh. Ini saatnya makan siang. Kamu tidak ke restoran?”“Setelah ini aku ke restoran.”“Dari arah sini kamu tidak akan menemukan apa pun selain lorong yang ujungnya buntu. Bagaimana kalau kita ke restoran saja. Aku tau jalan tercepat ke sana.”Louis terpana. Bukan karena suara seksi itu. Wanita ini terlihat manis dengan kulit kecoklatan yang mengkilat. Sekilas ia mengamati. tubuhnya berisi dengan tonjolan dan lekukan yang proporsional.Masalahnya, wanita di depannya ini memakai gaun panjang tembus pandang. Ia hanya mengenakan celana dalam. Bagian dada wanita itu tercetak jelas melalui bahan tipis bermotif bunga dan tertutup s
“William,” panggil Keyna.Cepat, William menoleh. Tersenyum manis pada Keyna dan merengkuh bahunya.“Ya, Baby? Sudah selesai melihat-lihat kelas Princess-nya?”“Sudah. Princess sudah mau masuk sekolah,” ucap Keyna.Seorang wanita tersenyum dan menyapa Keyna. “Oh, ini Mommynya Princess, ya?”“Akh, ya. Kenalkan, ladies. Ini istriku, Keyna.” William kemudian menatap istrinya. “Baby, kenalkan ini ibu-ibu komite yang luar biasa kontribusinya pada sekolah.”Sambil memaksakan senyum, Keyna menyalami para ibu yang sejak tadi mengerubungi sang suami. Lalu ia memberi kode pada suaminya untuk pergi dan mengantar Princess kembali ke kelas.“Kami permisi dulu ke kelas Princess,” ucap Keyna dengan nada yang dibuat seramah mungkin, padahal hatinya sangat kesal.“Oke. Setelah mengantar Princess, ke sini lagi, ya. Kita ngobrol-ngobrol dulu. Jarang-jarang kan Mommy Keyna muncul di sekolah.”Ucapan salah satu wanita itu seolah menyindir Keyna. Dengan menggenggam tangan William, Keyna menatap satu per-sa
Setengah jam William berbincang dengan Chantal. Lelaki itu menutup teleponnya sambil tersenyum dan menggeleng samar. Ia kembali ke kamar, naik ke ranjang dan tidur.Pagi harinya, Keyna bangun lebih dulu. Ia mencium suaminya dan bergegas ke kamar Princess. Putri cantik itu sudah bangun, namun masih mengobrol di ranjang bersama Ferina.“Selamat pagi,” sapa Keyna.“Mommyy …. “Princess merentangkan tangannya meminta Keyna memeluknya.Ferina tersenyum menatap keduanya. “Aku ke kamar tamu dulu, ya. Mau mandi dan bersiap-siap ke rumah sakit.”“Oke, Auntie Ferina.”Ferina mencium pipi Princess sebelum keluar. Keyna menggenggam sekilas tangan sahabatnya. Pintu menutup dan langkah Ferina yang menjauh tak terdengar lagi.“Apa Princess Mommy tidur nyenyak hari ini?”“Iya. Tapi Princess bangun sebentar karena Auntie menangis.”“Auntie Ferina menangis?”“Iya, karena aku pakai selimut dari Uncle Hanson.”Keyna mengamati sekitar ranjang. Selimut dari Hanson tidak ada di sana. Ia lalu kembali menatap
“Bagaimana Ferina hari ini, Baby?” tanya William pada istrinya.Mereka sedang berbaring di ranjang. Berbincang tentang aktifitas padat yang William dan Keyna lakukan hari ini. Keyna meletakkan kepalanya pada dada William.“Matanya tidak bisa berbohong. Aku tau, ia masih sangat berduka. Walaupun ia bisa tersenyum pada semua orang yang memeluknya dan mengucapkan bela sungkawa,” jawab Keyna.“Aku lihat Ferina sangat berusaha untuk tegar. Ia melakukannya demi janin di rahimnya.”“Betul. Ferina bilang padaku, yang menguatkannya saat ini adalah adanya benih Hanson pada tubuhnya.”William mengembuskan napas berat. Tangannya mengelus rambut panjang sang istri. Sesekali ia mengecup rambut halus itu.“Apa Ferina sekarang masih tidur di kamar Princess?”“Masih.”“Apa putri kita terganggu?”Kepala Keyna mendongak menatap sang suami. “Kenapa terganggu?”“Siapa tau, Princess terbangun karena mendengar isak tangis Ferina di malam hari.”“Princess tidak pernah bercerita tentang hal itu. Aku asumsikan