Keyna menatap selebaran kertas yang dipegangnya. Dibacanya lamat-lamat pengumuman tersebut. Dengan sekali hembusan napas, wanita itu menekan nomer telepon yang tertera pada kertas itu.Hampir satu jam Keyna menelepon. Setelah itu ia berkemas. Wanita itu membawa kucingnya ke kandang dan berkendara kembali ke daerah pemakaman.Rangkaian bunga cantik mengganti rangkaian bunga yang telah layu di makam tersebut. Keyna mengusap nisan pualam sang ayah dengan penuh kasih. Matanya berair terharu.“Papa, Maaf Key tidak bisa menepati janji. Key tidak bisa membeli kembali rumah Papa dan Key tidak jadi menetap di kota ini. Key mau pergi, ya. Papa jangan marah. Key ingin ilmu yang Key miliki bermanfaat bagi orang yang membutuhkan,” ucap Keyna pada makam Papanya sambil berderai air mata.Wanita itu berdiri, lalu kembali menatap lama gundukan tanah di bawahnya. Keyna tersenyum dan mengangguk. Pelan, Keyna berjalan kembali ke mobil sewaannya.“Kak
Keyna memicingkan mata menatap lelaki kekar berpakaian hitam-hitam di depannya. Tanpa banyak bicara, lelaki tersebut menyeret Laura menjauhi Keyna. Istri Cedric itu meronta-ronta.“Lepas! Kau akan aku laporkan pada polisi karena menyakitiku,” desis Laura murka.“Dan Anda akan aku laporkan polisi juga karena telah menyakiti Nyonya Keyna,” sentak lelaki tersebut tak kalah geramnya. “Aku memiliki rekaman CCTV kejadian di lorong ini sebagai bukti bahwa Anda lah yang lebih dulu menyerang Nyonya Keyna.”Laura terdiam. Ia menepis cekalan tangan lelaki kekar itu di lengannya. Dengan angkuh, wanita itu merapikan pakaian, melirik tajam Keyna lalu segera menderap langkahnya menjauhi kamar apartemen Keyna.Lelaki itu kemudian menatap Keyna. “Kita ke rumah sakit sekarang, Nyonya.”Keyna menggeleng. “Kenapa?”“Kita harus visum luka memar Anda agar mendapatkan bukti penyiksaan yang dilakukan Nyonya Laura.”Sekali lagi Keyna menggeleng. “Tidak. Aku rasa tidak perlu. Aku memahami kecemburuannya. Terim
“Dad, kita bisa minta dihentikan penerbangannya!” teriak Frederix. Lalu, putra sulung William itu sibuk menelepon.“Dad, ayo bersiap. Kita ke bandara, ya,” ucap Sacha sambil menuntun Daddy-nya.Sementara itu, Louis juga sibuk dengan teleponnya. Ia lebih memilih memperhatikan peta pada layar telepon genggamnya. Matanya begitu fokus pada layar kecil di tangannya.“Sial!” maki Frederix.“Ada apa?” tanya Sacha.“Pesawat relawan itu adalah pesawat angkatan udara. Kita tidak mungkin membatalkan pesawat milik negara tersebut,” jawab Fred dengan nada menyesal.“Sudah kubilang kalian terlambat,” desis Jaslan.Lalu, tiba-tiba Louis menarik kursi roda dan mendudukkan William sambil berkata,”Aku bisa membawa Daddy ke bandara dalam waktu lima belas menit!”Fred segera mendorong kursi roda William. Louis telah berlari untuk mempersiapkan mobil yang akan ia gu
Keyna mengerjap-ngerjap. Matanya belum dapat sepenuhnya terbuka. Namun begitu, ia dapat melihat wajah lelaki tampan di hadapannya yang sedang tersenyum."Emm ... apa kamu tidak tidur semalaman?" tanya Keyna pada William"Tidur, kok," balas William."Bohong. Setiap aku membuka mata, kamu masih terbangun dan menatapku."Tangan William terjulur mengusap halus pipi sang istri. "Aku tidak mau tertidur.""Kenapa?""Tentu saja agar aku dapat terus menatapmu. Lagipula, jika aku terlelap, aku takut saat terbangun kamu tidak ada di sisiku.""Kalau kamu tidur, mungkin saja kamu bisa bermimpi indah karena suasana hati yang sedang bersuka cita."William mengerutkan kening lalu menggeleng pelan. "Tidak akan ada mimpi yang lebih indah dari kenyataan bisa kembali bersamamu lagi seperti ini, Key."Keyna tersenyum menatap William. Ternyata seperti ini rasanya bahagia memiliki seseorang yang mencintainya. Sekarang, ia juga merasa senang tidak berada di dalam pesawat relawan itu."Tapi, kamu harus cukup
Setelah saling bercerita, mereka membereskan perlengkapan makan bersama. Keyna kembali takjub pada suaminya. Meskipun William seorang bilioner, tetapi ia tidak sungkan mengerjakan pekerjaan rumah tangga.Seperti saat ini, ia sedang mencuci piring dan perlengkapan memasak yang baru saja mereka gunakan. Keyna membantu sambil sesekali bercanda dengan suaminya. Tubuh bagian atas William yang tidak tertutup pakaian basah oleh cipratan air cuci piring.“Kenapa kamu jahil sekali, Baby?” William mendengus geli.“Karena aku suka sekali menjahilimu,” canda Keyna.“Terserah. Yang jelas, sekarang kita harus mandi. Ayo!” William menyeret tangan istrinya masuk ke kamar mandi.Kamar mandi itu pun memiliki jendela besar. Pemandangan di luar terlihat jelas. Keyna langsung merasa risih.“Bagaimana jika ada orang yang lewat? Mereka bisa melihat kita mandi, dong?”“Tenang saja, Baby. Kaca ini mirip de
“Hai, Dad.”“Kami membawakan makanan.”“Juga pakaian.”Frederix, Sacha dan Louis berdiri di depan pintu dengan senyum di wajah masing-masing. Mereka memperlihatkan barang-barang yang mereka bawa. William menyambut putra-putrinya dengan membalas senyum mereka.“Masuklah.” William melebarkan pintu agar ketiga anaknya dapat masuk ke dalam.Keyna berdiri canggung. Ia mengamati Frederix, Sacha dan Louis yang melenggang santai dan langsung masuk menuju ruang makan. Mereka berbincang seperti tidak ada Keyna di sana. Akhirnya, wanita itu memilih masuk ke dalam kamar.Meja makan langsung penuh dengan berbagai makanan dan minuman. Louis bercerita bahwa mereka mendapatkan signal dari mobil sport Daddynya di tempat ini. Frederix lalu memutuskan mengajak adik-adiknya untuk menyusul.“Terima kasih,” ucap William pada ketiga anaknya. “Kebetulan Daddy dan Keyna sudah sarapan barusan.”Saat itulah, William sadar bahwa Keyna tidak ada di sekelilingnya. Dadanya mulai berdebar kencang. Ia mengamati sofa
“Selamat datang kembali, Nyonya Dalton,” ucap Bastian dengan sikap hormat.Keyna tersenyum. “Terima kasih, Bastian.”“Saya sudah menyiapkan semua barang-barang Tuan dan Nyonya di kamar utama di lantai dua.”“Terima kasih, Bas.” William menepuk bahu Bastian saat akan melewatinya.Kamar yang ditempati Keyna dan William merupakan kamar paling besar di mansion. Ruang kerja William kini menyatu dengan dalam satu ruangan tersebut. Bastian mengatur sesuai dengan permintaan Tuan Besarnya.“Suka? Atau ada yang mau kamu rubah design kamarnya?” tanya William.“Besar sekali, Will. Kamar ini seluas rumahku, lho.”William terkekeh. “Itu karena aku menggabungkan dua ruangan menjadi satu. Lihat, itu ruang kerjaku. Karena saat aku bekerja, aku juga tidak ingin jauh darimu.”Mendengar pernyataan William, Keyna langsung menghambur masuk ke dalam pelukan suaminya.
Sacha memandang Keyna dengan tatapan terharu. Wanita yang baru saja masuk ke kehidupan keluarganya begitu perhatian. Hingga rela belajar keras untuk merawat Daddy dan adiknya.“Terima kasih, ya, Key. Kamu benar-benar wanita yang baik hati,” puji Sacha dengan tulus.“Tidak perlu berterima kasih. Aku merasa memiliki kewajiban untuk membantu menjaga kesehatan William dan Louis juga keluarga Dalton.”“Akh … aku jadi sedih.”“Eh, kenapa?”“Hiks, hiks, karena aku dulu sangat kasar padamu. Aku sangat menyesal!” Sacha melirih sambil terisak.William segera memeluk putrinya. Sama seperti Sacha, bahkan ia sendiri pun belum memaafkan dirinya karena membiarkan Keyna pergi. Apalagi semakin hari, Keyna semakin meperlihatkan kebaikan hatinya.“Sudah, Cha. Tuhan memang begitu padaku. Aku selalu diberi tantangan berat dulu sebelum menggapai kebahagiaan. Yang penting, sekarang aku bahagia bersama kalian,” tutur Keyna.William lalu memperhatikan dua wanita yang disayanginya saling berpelukan. Keyna meng